Apa Yang Menanti Setelah Pandemi Ini?
Pada submisi column kali ini, Mochammad Naufal Rizki membayangkan apa yang akan terjadi ketika kita berhasil melampaui pandemi ini.
Words by Whiteboard Journal
Ketika kita bicara tentang pandemi, agaknya semua manusia—terlepas dari identitas, pandangan politik, kelas sosial yang melekat kepadanya—sepakat akan satu keinginan: mengenyahkannya. Kita sama-sama ingin lepas dari kesengsaraan yang disebabkannya. Namun, jika memang suatu saat keinginan itu terkabul dan kita berhasil melampaui kesengsaraan ini, apa yang selanjutnya terjadi? Apakah semua akan baik-baik saja? Atau adakah sesuatu yang lebih mengerikan sedang menanti? Jawaban untuk pertanyaan itu memang mengecewakan: Ya, sesuatu yang lebih mengerikan sedang menanti.
Pada tahun 2018, Intercontinental Panel on Climate Change (IPCC), merilis sebuah laporan yang isinya berupa peringatan tentang krisis iklim yang sebentar lagi dapat melanda bumi. Laporan itu menyatakan bahwa kita harus berusaha keras untuk menjaga kenaikan suhu global agar tetap di bawah 1,5 derajat Celsius. Jika suhu global melampaui batas itu sebelum tahun 2030, maka bencana iklim akan menghantam kita. Artinya, kita punya waktu 10 tahun lagi untuk menahan kedatangan bencana ini.
Jika kita gagal, IPCC memperingatkan bahwa akan banyak ekosistem yang mengalami kerusakan total dan di dalamnya beberapa spesies menghadapi kepunahan. Hancurnya ekosistem tentu berdampak untuk kita, sebab bagaimana pun kita adalah hewan yang menghuni jejaring ekosistem itu, sama dengan organisme lainnya. Misalnya, Bank Dunia memperkirakan bahwa pada tahun 2030 akan ada 100 juta orang yang mengalami kemiskinan ekstrem akibat krisis iklim. Sementara WHO menyebutkan bahwa setelah tahun 2030 sampai 2050, krisis iklim dapat membuat sekitar 250.000 orang kehilangan nyawa setiap tahunnya karena penyakit-penyakit yang muncul dari kerusakan ekologis. Saat ini kita mungkin hanya melihat prediksi itu sebagai angka yang tidak riil, tapi sepuluh tahun lagi, bisa jadi kita yang mengisi angka-angka itu. Sama seperti saat kita melihat angka statistik penyebaran COVID-19 sebagai sesuatu yang tidak nyata, sebelum angka-angka itu mengetuk pintu rumah tetangga kita.
Tidak hanya ancaman krisis iklim. Setelah pandemi COVID-19 usai, manusia belum sepenuhnya bebas dari kengerian yang ditimbulkan makhluk-makhluk tak kasat mata seperti virus. Patogen-patogen lain mungkin sedang mengintai dan bersiap untuk menginfeksi hanya lewat satu gigitan satwa liar yang seseorang makan, atau lewat hutan-hutan yang satu perusahaan buka.
Seperti yang kita ketahui, penyakit menular dan wabah hampir selalu disebabkan oleh patogen yang muncul dari hewan (zoonotic diseases): HIV, Ebola, MERS, Flu burung, Flu babi dan COVID-19. Patogen-patogen memang telah ada dan menginfeksi binatang sejak awal. Bahkan, hasil studi dari sebuah kelompok peneliti dunia yang tergabung dalam Global Virome Project memperkirakan bahwa ada sekitar 1,6 juta virus yang bersirkulasi dalam tubuh-tubuh binatang, terutama mamalia dan unggas, dan sekitar 827.000 diantaranya memiliki potensi besar untuk menginfeksi manusia.
Risiko virus-virus itu menginfeksi manusia muncul karena aktivitas manusia itu sendiri: deforestasi, masifnya industri peternakan, perburuan dan konsumsi satwa liar. Aktivitas-aktivitas itu menjembatani kemunculan wabah-wabah berikutnya yang mungkin saja lebih mematikan.
Ahli kesehatan dan penulis asal Amerika, Dr. Michael Herschel Greger, dalam bukunya yang berjudul “How To Survive A Pandemic” (2020) menyebutkan jika COVID-19 bukanlah wabah yang terburuk. Ia menulis bahwa masih ada kemungkinan munculnya penyakit yang seratus kali lebih berbahaya dari COVID-19 di waktu mendatang jika manusia tidak mengatur ulang relasinya dengan binatang dan alam secara keseluruhan.
Bagi saya, membayangkan krisis iklim dan pandemi secara terpisah saja sudah memberikan gambaran kengerian yang hebat, apalagi jika keduanya terjadi berbarengan. Sayangnya, kengerian itu sangat mungkin terjadi.
Krisis iklim dan pandemi dapat saling terkait, jika bukan bergabung atau membentuk sebuah bencana luar biasa. Tidak hanya untuk manusia, tapi untuk bumi seluruhnya. Berbagai studi telah menunjukkan keterkaitan antara perubahan iklim dan kemunculan wabah. Profesor Hans-Otto, peneliti dari Alfred Wegener Institute, mengatakan bahwa perubahan iklim akan mengubah kondisi geografis bumi. Artinya, persebaran hewan juga akan mengalami perubahan.
Ketika suhu meningkat dan curah hujan menjadi kacau, area-area tertentu akan berubah menjadi area yang sangat ekstrem: sumber daya langka, kekeringan atau kebakaran. Hewan-hewan yang tinggal di area itu akan bergerak menuju area yang lebih ramah untuk ditinggali, dan sangat mungkin mereka bergerak mendekati manusia. Sementara hewan-hewan itu pindah, mereka juga membawa virus-virus yang belum kita kenal sepenuhnya di dalam tubuh mereka.
Misalnya, sebuah studi yang dilaporkan dalam jurnal Nature Communication tahun 2019 menyebutkan bahwa Ebola akan ‘pecah’ dan mewabah kembali dalam beberapa puluh tahun ke depan karena perubahan iklim. Beberapa wilayah Afrika yang gersang dapat perlahan berubah menjadi lebih basah dan lembab, akibatnya area itu akan ditumbuhi tanaman yang lebat. Itu mengundang kelelawar penyebar virus Ebola untuk berdatangan dan tinggal di area itu, sehingga terjalin interaksi yang lebih intens dengan manusia. Itu baru satu wilayah, belum lagi di wilayah-wilayah lain.
Selain itu, keadaan ini tentu akan diperparah dengan terus berlanjutnya proyek-proyek deforestasi dan perburuan satwa liar. Dengan aktivitas-aktivitas itu, kita tidak hanya menciptakan kiamat dan bencana ekologis bagi bumi, tetapi kita juga membangun jembatan yang kokoh bagi 1,6 juta virus untuk menginfeksi manusia.
Lebih kacau lagi, jika bayangan itu benar-benar terjadi. Tentu kita akan melihat keruntuhan dalam berbagai sektor kehidupan manusia dan sangat mungkin menciptakan krisis multidimensi yang dahsyat. Bayangan itu memang pahit dan mengerikan, dan tentu saya berharap bahwa bayangan itu hanya bualan ala-ala film post-apocalypse belaka. Tapi, sayangnya tidak. Bayangan itu sangat mungkin terjadi dan mampu menghajar kita dalam beberapa puluh tahun ke depan.
Jika kita ingin optimis, kita masih memiliki sedikit waktu untuk menginjak rem, berhenti dan memikirkan akar dari semua persoalan ini: relasi kita dengan alam. Kita mesti sadar bahwa selama ini kita menjalin toxic relationship dengan alam. Dalam relasi itu, kita mendudukkan alam sebagai objek di luar diri kita yang sepenuhnya dapat kita amati, kendalikan dan kuasai. Padahal, sejak hari pertama nenek moyang ‘kadal’ kita beranjak dari air, sampai saat ini—sebegitu canggihnya mesin-mesin yang kita buat—kita tidak pernah terlepas dan berada di luar alam. Menempatkan alam sebagai objek tidak akan membawa apa pun, kecuali bencana.
Kita mesti secepatnya memikirkan dan mengatur ulang relasi kita dengan alam, jika kita ingin mencegah atau setidaknya siap menghadapi ancaman pandemi serta krisis-krisis yang lain. Tapi, dalam usahanya kita juga mesti ingat posisi.
Tentu, semua elemen berperan dan bertanggungjawab. Tapi, jangan lupa bahwa ada sekelompok orang yang berkontribusi paling besar terhadap ekspoitasi alam. Sebutlah beberapa korporasi yang terus-menerus membabat hutan dan menyumbang emisi gas rumah kaca hingga pada tingkat yang mengkhawatirkan. Di lain sisi, pihak-pihak itu juga lah yang sebetulnya memegang kendali untuk menginjak rem dan menentukan arah kemudi; pihak-pihak itu yang memiliki kuasa atas perubahan. Jadi, umumnya kesadaran untuk merombak hubungan kita dengan alam memang mutlak diperlukan, tetapi itu tidak cukup.
Bersama dengan kesadaran itu, kita harus mendesak kelompok yang memegang kendali tadi untuk menentukan arah kemudia yang tepat; perubahan besar-besaran dalam cara kita hidup, cara kita menjalankan pengaturan sosial, politik, ekonomi serta cara kita menjalin relasi dengan alam.
Jika tidak, krisis-krisis tadilah yang akan terjadi setelah pandemi ini selesai. Suhu bumi akan melebihi batas 1,5 derajat celcius; patogen-patogen akan lebih banyak menginfeksi manusia, jika kita masih belum sadar bahwa manusia tetaplah bagian dari jaringan kehidupan yang ada di bumi dan alam, sehingga apa yang terjadi pada alam juga berdampak untuk manusia—dan sebaliknya. Setelah pandemi, krisis-krisis lain menanti di depan jalan, kita tentu tidak ingin berpapasan, maka kita harus menginjak rem, putar kemudi dan belok di persimpangan.