Membebaskan Diri dari Kekangan Maskulinitas
Pada submisi Column kali ini, Melisa Nirmala Dewi mempertanyakan konsep maskulinitas toksik yang hadir di masyarakat.
Words by Whiteboard Journal
“Laki-laki kok main boneka? Mending main bola aja di lapangan sana!’”
“Ih, barangnya ada warna pinknya! Nggak macho banget sih lu!’”
Sejak kecil kita selalu ditanamkan atau mungkin diperlihatkan bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan bersikap dan berperilaku. Tanpa disadari semua tontonan dan beberapa ajaran yang kita terima lambat laun menjadi asupan mindset kita dalam menilai seseorang, tidak terkecuali masalah maskulinitas. Tidak sedikit dari kita yang pastinya sering melihat bagaimana seharusnya seorang anak laki-laki berperilaku. Laki-laki acapkali diharuskan memiliki fisik yang kuat, tangguh, aktif olahraga, dan tidak boleh cengeng. Akan sangat mengherankan kalau kita melihat seorang pria menangis dengan begitu kerasnya, sedangkan sudah terbiasa dengan auman suara tangis seorang perempuan yang terus merengek.
Mengenai bagaimana seorang laki-laki harus bersikap dan berperilaku semestinya bisa ditentukan oleh masing-masing individu, bukan dari standar yang dibatasi dengan mana yang termasuk perilaku maskulin, mana yang termasuk feminin. Standar-standar yang melekat ini kemudina melahirkan stereotipe yang kadung meresap di sebagian pemikiran banyak orang. Ketika seseorang berusaha menyebrangi atau menentang standar perilaku yang ‘seharusnya’ siap-siap saja termakan dengan bisikan dan omongan buruk orang-orang yang tidak ada habisnya.
Kita hidup di masa stereotipe gender berkembang sebagai bentuk dari efisiensi informasi. Dengan adanya stereotipe ini, manusia cenderung menjelaskan perilaku dan keteraturan statistik kehidupan di dunia tanpa instruksi yang eksplisit, dengan kata lain lebih mudah untuk melakukan pengkategorian berdasarkan gender. Kategori ini lantas berkembang menjadi bentuk opresi untuk memberikan gambaran ideal bagaimana seorang pria dan wanita seharusnya bertindak.
Coba lihat sekeliling atau putar waktu mundur saat kita masih kecil, mungkin tidak sedikit dari orang tua yang menekankan bagaimana seorang anak laki-laki tidak sepatutnya menangis di depan umum atau merengek. Di film layar lebar atau serial, kita disuguhkan bagaimana pria yang terlihat lemah karena mereka terlalu menunjukkan sisi feminitas, (pendiam, lembut, dan peduli) seringkali menjadi korban bully geng terkuat di sekolahnya. Padahal tidak ada sedikitpun perilakunya yang membahayakan, tapi justru dia yang sering menerima kekerasan dari pihak lain terutama sesama pria yang digambarkan memiliki kekuatan fisik lebih dan sifat agresif yang (dianggap) menjadi sifat alami seorang pria.
Istilah maskulinitas toksik pun muncul untuk menggambarkan bagaimana sikap maskulinitas ini dianggap memenjarakan emosional kaum pria untuk bisa berperilaku sesuai standar maskulinitas yang dipahami oleh masyarakat umum. Pria diasosiasikan dengan perilaku kuat, dominan, dan rasional ini nyatanya malah menekan kebebasan ekspresi emosional mereka.
Kita mengenal istilah ‘gengsi’ setiap kali seorang pria berusaha mengungkapkan perasaan atau emosinya, mereka enggan terlalu terbuka soal ini karena stereotip yang kadung bertumbuh di kehidupan sosial kita. Pria yang terlalu terbuka untuk mengungkapkan perasaannya dianggap lemah dan tidak berdaya. Sama halnya ketika seorang pria menangis atau galau, ketika dua hal ini adalah perasaan emosi yang bisa dialami setiap manusia, tapi dilihat sebagai sesuatu yang buruk untuk pria.
Adanya opresi emosional ini lantas berdampak pula pada kesehatan mental pria yang mengalaminya. Suzannah Weiss dalam tulisannya mengenai 6 Harmful Effect of Toxic Masculinity menyebutkan beberapa efek buruk yang diterima pria ketika mereka harus bertahan dengan standar maskulinitas, dua diantaranya adalah rentannya melakukan kekerasan dan kurangnya kemauan untuk meminta pertolongan orang lain. Untuk menutupi kelemahan dan perasaannya yang sedang sedih, seringkali pria harus memilih jalan lain untuk menunjukkan kalau mereka tampak baik-baik saja, salah satu caranya adalah dengan melakukan tindakan kekerasan.
Hal ini merupakan perwujudan dari sifat dominasi yang melekat pada maskulinitas, seorang pria yang lemah harus bisa menguasai emosinya dan tidak boleh menunjukkan kalau mereka sedang sedih atau merasa tertekan. Selanjutnya mengenai keengganan untuk meminta pertolongan, hal ini lagi-lagi dipandang sebagai bentuk pelemahan sikap dari seorang pria. Laki-laki sangat jarang pergi ke ahli psikiater untuk membicarakan masalah psikologisnya dibanding wanita karena mereka takut dianggap lemah sampai-sampai harus membutuhkan bantuan orang lain untuk menyelesaikan masalahnya. Pria lebih memilih untuk menutup permasalahan yang dialaminya, ketika wanita lebih sering mengekspresikkan emosi yang mereka rasakan. Karena itulah kita seringkali melihat bagaimana wanita biasanya lebih sering mengalami depresi ketimbang pria, karena pria jarang mengekspresikkan emosinya secara terbuka.
Mungkin sedikit sulit untuk benar-benar bisa merubah stereotip maskulinitas yang sudah merayap di pikiran masyarakat, tapi alangkah baiknya kita bisa melakukan beberapa kontribusi untuk mengurangi tumbuhnya maskulinitas toksik ini berkembang. Tidak apa untuk seorang laki-laki menangis, tidak apa jika mereka sedang merasa galau dan butuh tempat curhat, tidak apa untuk seorang laki-laki tidak kuat dan besar secara fisik. Mereka bebas untuk mengekspresikkan diri mereka senyaman mungkin, bukan bersandar pada stereotip atau standar yang dibentuk oleh budaya atau society. Membebaskan dari persepsi, ekspektasi dan stereotype yang telah melekat bukanlah hal yang mudah. Perlu waktu bagi mereka yag terlanjur terperangkap dalam kekangan maskulinitas toksik ini untuk kemudian bisa lebih percaya diri menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri. Sudah saatnya kita hidup di ruang yang lebih bebas dan terbuka untuk setiap bentuk ekspresi emosi terlepas dari gender yang dimiliki.