Tentang Akses Pelayanan Kesehatan Mental di Negara Kita
Berbincang dengan psikolog hingga founder organisasi kesehatan mental tentang hal akses pelayanan mental di Indonesia serta apa yang bisa dilakukan untuk memberikan support bagi mereka yang membutuhkan.
Words by Hana A. Devarianti
Ilustrasi & Desain: Mardhi Lu
Dewasa ini topik seputar kesehatan mental semakin lumrah diperbincangkan di masyarakat, terlebih sejak kondisi pandemi. Mulai dari perbincangan di media sosial, berkembangnya berbagai komunitas pendukung kesehatan mental, hingga lahirnya berbagai platform pelayanan kesehatan mental secara digital, kita semakin mudah menemukan diskusi yang mengangkat tentang kesehatan mental. Namun, di tengah meningkatnya tren akan topik tersebut, apakah negara kita sudah menyediakan akses yang baik terhadap pelayanan kesehatan mental? Dalam edisi kali ini, kami berbincang dengan psikolog hingga founder organisasi kesehatan mental tentang hal tersebut serta apa yang bisa dilakukan untuk memberikan support bagi mereka yang membutuhkan.
Ade Binarko
Founder Sehatmental.id
Dewasa ini, kesehatan mental sudah mulai diperbincangkan di masyarakat. Hal ini terutama terlihat di ruang media sosial. Namun, menurut Anda apakah meningkatnya tren soal diskusi tentang kesehatan mental sudah sejalan dengan tersedianya pelayanan akses terhadap kesehatan mental di Indonesia?
Sekarang banyak inovasi bagus, banyak yang ngasih konseling psikologi via daring dan bisa chat juga. Coba lihat saja halodoc, orang akhirnya bisa tertolong tanpa harus dibawa dulu ke psikolog atau psikiater di mana mereka harus nunggu lama. Cara ini lebih cepat dan sangat membantu, terutama saat pandemi. Banyak banget temen-temen saya, ataupun DM yang masuk, mereka itu sangat sangat terbantu sekali dapat mengaksesnya. Sekarang juga semakin banyak psikolog baru yang luar biasa banyak.
Saat ini banyak berkembang pula beberapa aplikasi psikologi, mulai dari yang menyediakan layanan meditasi hingga konseling berbasis daring. Bagaimana Anda melihat adanya aplikasi-aplikasi ini, terutama terhadap kemudahan akses pelayanan kesehatan mental?
Aplikasi itu benar-benar dibutuhkan, karena saat ini dunia sudah berubah. Aplikasi ini sangat membantu banget, saya harap akan semakin banyak lagi. Melihat keadaan di luar negeri, mereka sudah mempunyai sumber banyak dan mudah diakses. Jika kita ingin mencapai titik yang sama, maka semua pihak harus bisa membantu, dan psikolog atau psikiater juga punya inovasi sendiri. Mudah-mudahan ke depannya mereka juga semakin melek untuk membuat aplikasi pribadi. Untuk membuat sebuah aplikasi atau situs yang bisa dilakukan di rumah seperti kelas.com atau masterclass.com khusus buat terapi psikoligi. Dengan itu para pengguna bisa tetap di rumah, apalagi di saat pandemi sekarang, dan bertemu psikolog atau psikiater tanpa resiko yang besar.
Selain soal akses yang terbatas, pelayanan terhadap kesehatan mental juga cenderung membutuhkan dana yang besar. Apa yang bisa dilakukan mereka yang terbatas secara finansial untuk mengakses pelayanan kesehatan mental?
Kita udah punya BPJS sekarang, walaupun pakai rujukan, tapi teman-teman banyak yang menggunakan. Makanya saya punya harapan besar banget terhadap teman-temen yang punya komunitas, seperti Bipolar Care Indonesia, untuk bikin konseling khusus buat Bipolar. Indonesia penuh dengan orang-orang ataupun penyintas yang punya masalah di bidangnya masing-masing. Misalnya, jika saya tahu saya Bipolar atau Schizo, saya sudah tahu perlu ke mana. Saat ini, kebanyakan psikiater atau konseling masih umum. Kedepannya, saya harap Indonesia bisa paling maju di Asia Tenggara dalam menyediakan akses terhadap kesehatan mental. Sayangnya, saat ini cenderung hanya terbatas dalam membuat konten saja. Jika ada webinar, yang dibahas adalah masalah yang umum. Kita mesti mulai memikirkan spesifikasi masing-masing, ingin fokusnya apa, rujukannya ke mana, dll. Kita mudah membangun komunitas, wadah, atau organisasi yang sudah tahu tujuannya ke mana. Walaupun tidak mampu kita punya rekanan yang bisa kita rujuk, karena banyak kasus di mana orang ingin mencari psikiater tapi bingung harus gimana dan mau kemana. Jadi kalo bisa kita tidak cuma bikin konten doang.
Stigma bagi mereka yang mendapatkan layanan terapis atau konseling kesehatan mental masih kental di masyarakat. Bagaimana tanggapan Anda tentang hal ini?
Saya sejak 2004 sudah merasakan sekali dari keluarga cewek saya dulu, saya dianggap yang nggak waras, nanya “Ngapain ke psikolog lu ada gangguan?”, padahal setiap orang punya masalah. Seringkali mereka tidak tahu mungkin mereka ada masalah tapi mereka terlalu over confidence atau menganggap enteng. Saya berharap kita bisa lebih sadar dan menghargai orang, bahwa it’s okay not to be ok kayak film Korea itu. Kita manusia biasa yang tak lepas dari masalah dan kadang kita nggak sanggup ngadepin sesuatu itu sendiri. Nobody’s perfect. Jadi kalo ada yang mencari bantuan seharusnya mereka dibantu bukan di-bully atau dijauhkan.
Menurut Anda, support seperti apa yang bisa diberikan masyarakat secara luas juga pemerintah terhadap masalah minimnya akses untuk pelayanan kesehatan mental?
Keluarga saya butuh lima atau enam tahun untuk bisa terima bahwa saya punya gangguan psikologis. Saya butuh waktu yang lama dan tidak mudah karena stigma yang ada di orang-orang, seperti generasi baby boomers. Tapi generasi sekarang ini banyak bikin komunitas di Instagram, walaupun saya rasa mereka harus bisa dibimbing lagi dan diarahkan ingin mau kemana, menolong siapa, spesifiknya ke manakah. Cenderung orang Indonesia baru tahu langsung bikin konten tanpa memikirkan terlebih dulu tujuan mereka mau mengarah ke mana. Semua pada bikin konten yang isinya desain bagus-bagus. Kita di Sehat Mental ingin melakukan sesuatu yang berbeda, kita ingin bikin topiknya yang selalu menarik dan perlu dibahas. Saya ingin membuat sesuatu yang mereka bisa relate.
Putri Dewinta
Associate Psychologist ibunda.id
Dewasa ini, kesehatan mental sudah mulai diperbincangkan di masyarakat. Hal ini terutama terlihat di ruang media sosial. Namun, menurut Anda apakah meningkatnya tren soal diskusi tentang kesehatan mental sudah sejalan dengan tersedianya pelayanan akses terhadap kesehatan mental di Indonesia?
Untuk satu tahun belakangan ini menurut saya sudah sejalan. Terlebih lagi dalam masa pandemik ini, banyak sekali orang-orang yang menyadari bahwa mereka membutuhkan bantuan untuk menghadapi ketidaknyamanan psikologisnya, seperti rasa kesepian, kecemasan, serta depresi. Mencari akses pelayanan konseling di media sosial dapat dikatakan mudah, atau bisa dibilang sudah menjamur. Webinar untuk memberikan edukasi-edukasi kesehatan mental pun sudah banyak diselenggarakan. Namun tentu saja akan terdapat banyak hal yang perlu dibenahi, salah satunya dari segi penyampaiannya terhadap masyarakat. Perlu dipastikan bahwa materi yang disampaikan itu benar-benar kredibel, serta disampaikan oleh profesional yang menguasai area terapinya atau pembahasannya.
Saat ini banyak berkembang pula beberapa aplikasi psikologi, mulai dari yang menyediakan layanan meditasi hingga konseling berbasis daring. Bagaimana Anda melihat adanya aplikasi-aplikasi ini, terutama terhadap kemudahan akses pelayanan kesehatan mental?
Tentu saja saya memandangnya dengan positif. Bagi saya, ini menunjukkan bahwa terdapat kebutuhan dari masyarakat terhadap layanan-layanan ini, dimana hal tersebut merupakan bukti bahwa kesadaran akan kesehatan mental sudah mulai berkembang. Dengan bertahap, saya berharap selanjutnya penyediaan layanan meditasi dan konseling berbasis daring ini juga dapat diawasi dengan baik sehingga para pengguna jasanya pun merasa aman dan nyaman dalam mengaksesnya.
Selain soal akses yang terbatas, pelayanan terhadap kesehatan mental juga cenderung membutuhkan dana yang besar. Apa yang bisa dilakukan mereka yang terbatas secara finansial untuk mengakses pelayanan kesehatan mental?
Terdapat beberapa platform pelayanan kesehatan mental yang dapat memberikan layanan sesi konseling dengan potongan biaya, atau bahkan menyediakan layanan gratis secara berkala. Tidak sedikit pula Psikolog yang secara privat menyediakan layanan konseling sukarela bagi yang membutuhkannya. Masyarakat dapat mencari tahu lebih lanjut dengan mengakses platform-platform tersebut di media sosial. Selain itu, akses pelayanan kesehatan mental secara offline pada dasarnya juga sudah ditunjang dengan cukup baik. Usai pandemik, teman-teman dapat mengunjungi Puskesmas terdekat yang memiliki jasa Psikolog atau Psikiater. Dengan menggunakan kartu BPJS, teman-teman dapat mendaftar layanan sesi konseling dengan harga yang relatif murah.
Stigma bagi mereka yang mendapatkan layanan terapis atau konseling kesehatan mental masih kental di masyarakat. Bagaimana tanggapan Anda tentang hal ini?
Berdasarkan pengamatan saya setelah beberapa tahun belakangan menangani klien, mengisi webinar, melakukan support group therapy, dan berdiskusi dengan orang-orang disekitar, sebenarnya saya merasakan stigma buruk mengenai pengidap gangguan psikologis tertentu itu pelan-pelan memudar. Meskipun masih terdapat stigma negatif yang datang dari beberapa kalangan, tapi seiring berjalannya waktu banyak individu yang berani untuk berbagi kisah hidupnya sebagai sosok yang memiliki masalah psikologis tertentu. Hal ini pun diterima dengan terbuka oleh masyarakat, khususnya yang berusia muda.
Saya sangat tergugah dengan perkembangan ini. Namun demikian, justru yang mengkhawatirkan bagi saya adalah kurangnya edukasi yang terstandarisasi dalam membangun kesadaran kesehatan mental, yang dapat memunculkan kecenderungan membuat mental illness itu sebagai tren. Kondisi ini biasa disebut sebagai “romanticizing mental illness”, dimana terdapat kesalahan penempatan dalam menggunakan label gangguan psikologis tertentu untuk dijadikan sebagai identitas diri agar terlihat menarik, edgy, quirky.
Lalu mengapa kondisi tersebut mengkhawatirkan? Karena dapat memberikan gambaran seakan sangatlah cool untuk memiliki mental illness, sehingga memunculkan keinginan untuk menunjukkan karakter problematik yang bahkan tidak menggambarkan kesulitan dan struggle yang sesungguhnya terjadi pada orang-orang yang memiliki gangguan psikologis tersebut, atau justru malah mengakibatkan berkurangnya keinginan untuk mencari bantuan profesional. Saya mendukung sepenuhnya individu yang ingin berbagi mengenai ketidaknyamanan psikologisnya untuk membangun kesadaran akan pentingnya menjaga kondisi psikis, namun masih terdapat banyak hal yang perlu dibenahi dalam memberikan edukasi mengenai isu kesehatan mental ini.
Menurut Anda, support seperti apa yang bisa diberikan masyarakat secara luas juga pemerintah terhadap masalah minimnya akses untuk pelayanan kesehatan mental?
Peningkatan akses pelayanan kesehatan mental akan sangat mungkin terjadi dengan adanya apresiasi masyarakat terhadap profesional di bidang kesehatan mental, seperti Psikolog atau Psikiater. Hal ini dapat dilakukan dengan menyebarkan informasi kredibel mengenai pentingnya menjaga kesehatan mental, atau sesimpel menunjukkan dukungan dan motivasi bagi teman, keluarga, atau pasangan yang membutuhkan penanganan profesional. Sementara dari sisi pemerintah, mungkin kesehatan mental dapat menjadi program lebih lanjut yang dapat diberi perhatian khusus dan diberikan wadah untuk terus berkembang selayaknya kesehatan fisik. Hal ini yang dapat menjadi titik berat perkembangan akses pelayanan kesehatan mental itu sendiri.
Syazka Narindra
Psikolog Klinis Dewasa
Dewasa ini, kesehatan mental sudah mulai diperbincangkan di masyarakat. Hal ini terutama terlihat di ruang media sosial. Namun, menurut Anda apakah meningkatnya tren soal diskusi tentang kesehatan mental sudah sejalan dengan tersedianya pelayanan akses terhadap kesehatan mental di Indonesia?
Pemahaman masyarakat mengenai kesehatan mental sudah semakin baik, hal ini menjadi langkah yang baik untuk masyarakat mulai memahami bahwa tak hanya kepentingan kesehatan fisik, juga dengan kesehatan mental yang perlu kita perhatikan. Pelayanan akses terhadap kesehatan mental di Indonesia sudah mulai bertambah baik, namun memang hanya berada di beberapa daerah tertentu seperti di daerah Ibukota. Terdapat pula juga puskesmas-puskesmas yang sudah menyediakan jasa psikolog yang dapat menggunakan asuransi atau BPJS namun informasi mengenai data tata letak psikolog yang ada di dekatnya atau sekitarnya belum ada. Masyarakat juga perlu mendapat informasi mengenai bagaimana mereka dapat mencari akses terdekat atau setidaknya yang sesuai dengan kebutuhan dirinya.
Saat ini banyak berkembang pula beberapa aplikasi psikologi, mulai dari yang menyediakan layanan meditasi hingga konseling berbasis daring. Bagaimana Anda melihat adanya aplikasi-aplikasi ini, terutama terhadap kemudahan akses pelayanan kesehatan mental?
Layanan psikologis berbasis online merupakan salah satu cara untuk membantu klien yang kesulitan untuk menjangkau tempat konseling atau kendala biaya untuk mendapatkan sesi konseling dengan mudah, namun memang masih banyak kendala menggunakan online konseling, mulai dari sinyal, kenyamanan klien, efektifitas konseling dan lain-lain. Konseling online menjadi salah satu tindakan pertolongan pertama bagi individu, seringkali apabila psikolog melihat bahwa kondisi klien terlihat berat, psikolog akan memberikan saran untuk tetap pergi ke psikolog tatap muka agar mendapatkan penanganan yang optimal.
Selain soal akses yang terbatas, pelayanan terhadap kesehatan mental juga cenderung membutuhkan dana yang besar. Apa yang bisa dilakukan mereka yang terbatas secara finansial untuk mengakses pelayanan kesehatan mental?
Beberapa puskesmas di Jakarta telah menyediakan jasa psikolog yang dapat diakses menggunakan BPJS sehingga hanya membayar registrasi saja kalau tidak salah sebesar 5 sampai 10 ribu rupiah. Online konseling juga menjadi salah satu cara untuk masyarakat mendapatkan bantuan yang lebih terjangkau. Saya rasa saat ini bukan membantu masyarakat mengetahui cara mendapatkan konseling yang terjangkau, tapi bagaimana membuat sistem memahami bahwa kebutuhan kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik, sehingga masyarakat bisa dipermudah seperti di negara-negara lain yang sudah memberlakukan seluruh asuransi untuk mencakup pembayaran biaya kesehatan mental. Hal ini juga sudah perlahan dipahami oleh beberapa perusahaan yang memberikan layanan konseling untuk karyawannya. Memang perlahan namun setidaknya beberapa lapisan sudah memahami pentingnya kesehatan mental.
Saat ini sudah banyak bentuk webinar-webinar atau setidaknya penjelasan ringkas yang dilakukan oleh para psikolog di sosial media dapat membantu setidaknya pemahaman mengenai apa yang bisa dilakukan secara pribadi yang dapat membantu diri sendiri.
Stigma bagi mereka yang mendapatkan layanan terapis atau konseling kesehatan mental masih kental di masyarakat. Bagaimana tanggapan Anda tentang hal ini?
Menurut saya, secara perlahan stigma ini sudah mulai runtuh setelah banyaknya orang yang membicarakan kesehatan mental secara open di publik. Orang jadi lebih memahami bahwa kesehatan mental perlu dilakukan. Menurut saya malah yang menjadi sulit saat ini bukan untuk melawan stigma namun bagaimana untuk secara berani secara perlahan mengakui bahwa diri ini perlu bantuan, karena pergi ke psikolog adalah bentuk self care yang menarik; kita tahu ada hal yang perlu diperbaiki dalam diri kita namun kita juga harus siap memahami bahwa self care ini alias pergi ke psikolog butuh komitmen besar untuk mengetahui kesalahan kita dan komit untuk menggunakan tool box yang diberikan oleh psikolog untuk mencapai diri yang lebih baik. Pergi ke psikolog adalah satu step untuk berani mengakui ada hal yang salah dalam diri dan kita memperbolehkan orang lain untuk membantu kita dan mengetahui hal-hal yang orang lain tidak ketahui.
Menurut Anda, support seperti apa yang bisa diberikan masyarakat secara luas juga pemerintah terhadap masalah minimnya akses untuk pelayanan kesehatan mental?
Support paling terkecil adalah dari lingkungan, sebagai teman kita bisa mengecek atau menanyakan teman kita yang kamu rasa sedang memiliki masalah, tanyakan saja apabila ada yang bisa dibantu dan ingatkan ke mereka bahwa mereka masih memiliki dirimu apabila butuh bantuan. Ketika mereka mengontakmu dan mengeluhkan masalahnya, dengarkan saja dan jangan diberikan judgement, validasi emosinya, belajar untuk empati. Dengan orang memahami bahwa ada orang lain yang setidaknya berusaha untuk mendengarkan, ini membuat dirinya merasa bahwa ia tidak sendiri.
Dari sisi pemerintah, pemerintah kurasa sudah memahami bahwa kesehatan mental perlu menjadi hal yang penting untuk ditelaah lebih dalam dan dimasukkan dalam kebutuhan kesehatan masyarakat. Mulai dari puskesmas yang terjangkau dalam sisi harga, pemberian konseling gratis pada saat masa covid dimulai yang dilakukan suka rela oleh ikatan psikologi klinis hingga pemerintah yang perlahan sudah berusaha mencoba menciptakan bentuk konseling online yang dapat diakses masyarakat. Yang bisa dilakukan saat ini adalah bagaimana masyarakat memahami bahwa ada kok pelayanan kesehatan mental yang terjangkau, tinggal perlu diberikan informasi tempat-tempatnya agar semua orang sekarang dapat mengakses kesehatan mental dengan baik.