Tentang Toxic Positivity dan Dampaknya Pada Kesehatan Mental Kita
Berbincang dengan psikiater, yayasan konseling, aktor hingga musisi tentang toxic positivity dan dampaknya pada kesehatan mental kita.
Words by Emma Primastiwi
Ilustrasi: Max Suriaganda
Desain: Mardhi Lu
Pandemi ini terbukti mempunyai dampak yang signifikan terhadap kesehatan mental kita. Banyaknya masalah yang muncul, mulai dari ekonomi ataupun kesehatan, situasi ini telah membawa banyak kehilangan juga ketidakpastian dalam kehidupan kita masing-masing. Dengan itu, tentu kita merasakan keinginan untuk mendukung teman-teman dan kerabat kita dengan kata-kata semangat. Namun, tanpa kita sadari, niat tersebut malah mempunyai dampak yang negatif bagi orang lain. Munculnya istilah “Toxic Positivity” telah menyadarkan banyak orang bahwa mencoba untuk selalu positif setiap saat mempunyai dampak yang signifikan akan kesehatan mental seseorang. Oleh karena itu, kami berbincang dengan psikiater, yayasan konseling, aktor hingga musisi tentang pendapat mereka akan istilah tersebut, pengalaman pribadi, hingga cara membedakan positivitas yang toxic dan yang sesuai.
Dian Indraswari
Yayasan Pulih Indonesia
Secara pribadi, bagaimana Anda menanggapi term ‘Toxic Positivity’?
Sebelum bicara tentang toxic positivity, mungkin saya jelaskan dulu ya tentang Positive Psychology. Martin Seligman (mantan presiden American Psychological Association/APA dan penulis buku Authentic Happines) pada tahun 1998 menetapkan Positive Psychology merupakan domain baru keilmuan psikologi, sebagai respons atas sangat sedikitnya penelitian psikologi terkait kebahagiaan, well-being dan berbagai hal positif lainnya. Dengan segera Positive Psychology kemudian menjadi tren dan diadopsi dalam berbagai sektor termasuk pemerintahan, private sector, gerakan sosial, institusi pendidikan, pengelolaan SDM dan praktek-praktek psikologi tentunya. Di sisi lain, tentu banyak juga yang tidak setuju dengan konsep positive psychology karena seolah-olah menyangkal atau menghindari berbagai persoalan dan hal-hal negatif yang benar-benar terjadi. Ketika term “positivity” menjadi hal yang merugikan atau menjadi racun dalam kehidupan seseorang atau organisasi, maka itulah yang disebut sebagai toxic positivity.
Secara general, pemikiran positif dinilai sebagai hal yang baik, mengapa dorongan untuk tetap positif bisa mempunyai dampak negatif?
Manusia selain sebagai makhluk individual, ia juga merupakan makhluk sosial. Dorongan untuk memilih berpikir dan bersikap positif adalah merupakan respons terhadap stimulus dari luar, yang bisa positif ataupun negatif. Dorongan untuk tetap positif mempunyai dampak negatif, jika itu kemudian beresiko merugikan dirinya sendiri ataupun orang-orang lain. Saya mengambil contoh misalkan korban kekerasan seperti KDRT yang memilih bersikap positif dan memaafkan pelaku, dapat membahayakan dirinya sendiri karena pelaku dapat mengulang tindakan kekerasan, bahkan kemungkinan meningkat levelnya. Sehingga dorongan untuk berpikir dan bersikap positif perlu dilandasi berbagai pertimbangan akan resiko dan dampak yang terjadi, baik bagi diri sendiri maupun orang lain.
Dengan banyaknya kasus PHK dan unemployment sejak pandemi, kata-kata “ayo tetap bersyukur” atau “semangat terus” semakin banyak dilontarkan, terutama di situs-situs servis employment atau media sosial. Apa opini Anda terhadap situasi ini?
Kata-kata dan semangat positif akan berdampak baik dalam situasi normal atau seseorang dalam kondisi maksimal. Namun dapat menjadi toxic ketika seseorang merasa buntu dan tidak menemukan jalan keluar, yang dapat menyebabkan stress hingga depresi berkepanjangan sehingga diperlukan sensitivitas slogan atau kata-kata terhadap berbagai kemungkinan situasi dan kondisi yang dihadapi individu. Dengan kata lain, diperlukan “positivity” yang konstruktif (membangun) dan bukan destruktif (merusak). Membangun ini maksudnya bukan sekedar memberikan kata-kata positif, namun juga memberikan berbagai alternatif solusi bagi individu yang mengalami persoalan.
Bagaimana kita bisa membedakan sifat-sifat positif yang toxic dan yang sesuai?
Dorongan untuk berpikir dan bersikap positif yang toxic adalah yang menyamaratakan/mengeneralisir berbagai situasi dan kondisi yang dihadapi individu. Dorongan untuk terus positif memungkinkan diberikan dalam situasi normal atau seseorang dalam kondisi puncak. Namun ketika seseorang jatuh dan ia tidak tahu bagaimana untuk bangkit kembali, semangat untuk positif justru dapat beresiko membuat frustasi karena seperti meremehkan persoalan yang ia hadapi. Dengan demikian, mesti berhati-hati untuk memberikan dorongan positif jika kita tidak memahami apa yang orang lain alami, atau tidak dapat memberikan alternatif solusi. Positivity yang sesuai adalah ketika kita benar-benar memahami persoalan yang terjadi dan sekaligus dapat memberikan alternatif yang mencerahkan. Pada level persoalan individu yang lebih berat, saya menyarankan untuk meminta bantuan pada profesional seperti konselor, psikolog ataupun psikiater.
Mengekspresikan rasa duka atau kecewa merupakan hal yang normal. Namun dalam budaya ini, hal tersebut dilihat sebagai sikap ungrateful. Seberapa pentingnya bagi kita untuk kembali menormalisasi perasaan-perasaan tersebut?
Individu adalah pribadi yang unik. Setiap orang memiliki perbedaan dalam menerima dan mengekspresikan rasa duka atau kecewa. Sebagaimana fisik, psikis seseorang memungkinkan terluka oleh berbagai peristiwa. Sebagian mungkin dapat pulih seiring waktu. Sebagian lagi menetap dan cenderung tidak menyadari bahwa luka yang tidak diobati dapat menjadi semakin parah dan membebani hidupnya di kemudian hari. Seseorang yang terluka, sangat memungkinkan untuk melukai dan mencelakai baik dirinya sendiri maupun orang lain. Dengan demikian sangat penting bagi individu untuk mengobati dan menormalisasi dirinya sendiri. Cara yang dapat saya sarankan adalah jangan segan untuk mencari bantuan, terutama bantuan profesional. Pada berbagai temuan penelitian, laki-laki cenderung segan untuk meminta bantuan dibandingkan perempuan. Hal ini yang biasa disebut sebagai toxic masculinity dimana laki-laki itu harus selalu kuat dan tidak boleh menyerah pada emosi. Temuan ini berkorelasi dengan fakta bahwa sebagian besar pelaku tindak kekerasan adalah para laki-laki, karena kemungkinan besar memiliki luka atau beban psikologis yang tidak diobati. Sekali lagi dan terakhir saran saya, adalah jangan pernah segan untuk mengunjungi atau mendapatkan bantuan profesional jika memiliki persoalan.
Dipha Barus
Musisi
Secara pribadi, bagaimana Anda menanggapi term ‘Toxic Positivity’?
Toxic positivity is an unrealistic standard and a mindset that forces one to repress their real feelings and continually be positive.
Secara general, pemikiran positif dinilai sebagai hal yang baik, mengapa dorongan untuk tetap positif bisa mempunyai dampak negatif?
There is a fine line between resilience and toxic positivity. When you don’t feel what you feel and have a tendency to brush negative feelings aside, it builds up and has the potential to explode one day.
Dengan banyaknya kasus PHK dan unemployment sejak pandemi, kata-kata “ayo tetap bersyukur” atau “semangat terus” semakin banyak dilontarkan, terutama di situs-situs servis employment atau media sosial. Apa opini Anda terhadap situasi ini?
While maintaining a positive outlook is a good thing, too much of anything can turn toxic. For example, too much sugar can be bad for your health. I think that we should be honest with reality and acknowledge that negative feelings are valid also, and is part of the human experience. It would be best if negative emotions are expressed through constructive outlets such as speaking to loved ones, journaling, and taking good care of our physical selves.
Bagaimana kita bisa membedakan sifat-sifat positif yang toxic dan yang sesuai?
There is no sure way to tell, but I do believe that energies don’t lie. Sometimes, when you are on social media you can tell that certain people maintain an overly positive outlook to blatantly cover emotional pain that they are going through. These people also usually tend to draw other people into their plight simply for acknowledgment, which to them, feels like a remedy.
Mengekspresikan rasa duka atau kecewa merupakan hal yang normal. Namun dalam budaya ini, hal tersebut dilihat sebagai sikap ungrateful. Seberapa pentingnya bagi kita untuk kembali menormalisasi perasaan-perasaan tersebut?
Extremely important. This is where perspective comes into play. Negative emotions are a valid part of human experience and should be felt, not repressed. It is scientifically proven that holding on to negative emotions for too long has many health repercussions. The key is to express it and let it pass your system through constructive outlets in order to avoid emotional build-up.
Hannah Al Rashid
Aktor
Secara pribadi, bagaimana Anda menanggapi term ‘Toxic Positivity’?
Personally I think the idea of toxic positivity is really worrying. I’ve seen it in friends who particularly on social media pertaining to this idea of happiness and positivity as a front, but in reality, offline, they are clearly going through some stuff for which “just be positive” is really not the right solution.
Secara general, pemikiran positif dinilai sebagai hal yang baik, mengapa dorongan untuk tetap positif bisa mempunyai dampak negatif?
We live in a balance of positive and negative, feelings on both sides should be processed, the bad even more so. By denying or not processing the bad, they become a bigger problem in the end. Toxic positivity removes conversations about the bad, it’s just like sweeping things under the carpet which in the long run will do more damage than good.
Dengan banyaknya kasus PHK dan unemployment sejak pandemi, kata-kata “ayo tetap bersyukur” atau “semangat terus” semakin banyak dilontarkan, terutama di situs-situs servis employment atau media sosial. Apa opini Anda terhadap situasi ini?
People have a right to feel whatever it is they feel, whether it’s gratitude or frustration and anger during these times. Yang penting feeling apapun itu harus di-process dulu, sebelum bisa try to move forward positively. Telling someone to be “semangat terus” isn’t always helpful, maybe instead of telling people what to feel, we should be LISTENING to how they feel, let’s have those conversations instead.
Bagaimana kita bisa membedakan sifat-sifat positif yang toxic dan yang sesuai?
Menurut gw sifat sifat positif yang toxic itu terjadi saat seakan-akan positivity is the ONLY way forward, bahwa solusinya itu saja. Padahal sangat penting untuk identify bahwa we should live in balance, and that feelings not traditionally deemed as “positive” not only have to be processed and felt, but they also bring a positive impact on our lives in their own way. Being angry or sad or frustrated in certain contexts can be immensely positive for our well being especially when we process and have an outlet for those emotions.
dr. Jiemi Ardian
Psikiater
Secara pribadi, bagaimana Anda menanggapi term ‘Toxic Positivity’?
Toxic positivity itu overgeneralisasi inefektif keadaan bahagia dan optimis dalam semua situasi kehidupan (tanpa perduli apa itu). Tujuannya menyangkal/meniadakan penderitaan dan emosi dari lawan bicara, dan dengan segera berharap dia menjadi positif.
Secara general, pemikiran positif dinilai sebagai hal yang baik, mengapa dorongan untuk tetap positif bisa mempunyai dampak negatif?
Karena toxic positivity ini adalah
– overgeneralisasi
– tidak efektif
– menyangkal emosi
– berharap emosi langsung berganti
– tidak perduli konteks
– harus optimis/ bahagia
Kata “semangat” atau “jangan menyerah” bisa jadi toxic kalau memenuhi unsur ini, tapi bisa jadi penyemangat jika tidak memenuhi. Konteks memainkan peran penting, bukan hanya isi kalimatnya saja. Jika hanya diberi semangat positif, tapi perasaan tidak nyaman diabaikan, disepelekan atau dikecilkan maka hasilnya bisa tidak baik.
Dengan banyaknya kasus PHK dan unemployment sejak pandemi, kata-kata “ayo tetap bersyukur” atau “semangat terus” semakin banyak dilontarkan, terutama di situs-situs servis employment atau media sosial. Apa opini Anda terhadap situasi ini?
Kata kata yang diulang akan kehilangan kekuatannya. Jadi jika terus menerus diucapkan, mungkin sekali semangat tidak akan datang. Bukan berarti ini tidak baik, tapi kita perlu model penyampaian yang lebih kreatif dalam mengembalikan semangat dan harapan
Bagaimana kita bisa membedakan sifat-sifat positif yang toxic dan yang sesuai?
Ada dua istilah yang perlu kita pahami dulu: Validasi & Invalidasi
Validasi itu kita menerima emosi (nggak kita sangkal) lawan bicara dan berusaha memahami pikirannya. Invalidasi itu kita menyangkal emosi lawan bicara tanpa berusaha memahami pikirannya.
Toxic positivity itu dasarnya invalidasi, seakan mau bicara “kamu ga boleh ngerasa sedih/takut/cemas dan sejenisnya)”. Jadi walaupun niatnya positif tapi kalau invalidasi, ya bisa jadi keliru. Termasuk membanding bandingkan penderitaan “masih mending elo, gue pernah”, itu tidak tepat karena konteksnya invalidasi
Mengekspresikan rasa duka atau kecewa merupakan hal yang normal. Namun dalam budaya ini, hal tersebut dilihat sebagai sikap ungrateful. Seberapa pentingnya bagi kita untuk kembali menormalisasi perasaan-perasaan tersebut?
Penting sekali. Budaya yang diteruskan tidak selalu benar, kalau keliru boleh saja kita perbaiki. Termasuk dalam budaya mengekspresikan emosi, ketimbang bottle up dan meledak suatu hari maka lebih baik kita belajar menyampaikan dengan cara-cara yang sehat.