Potensi Skena Sumatra dan Lokalitas bersama Rian Pelor
Berbincang dengan Rian Pelor, seorang musisi, jurnalis musik dan pemilik label rekaman Rimauman Music, tentang perkembangan skena musik bawah tanah Palembang hingga umur apresiasi musik yang berbeda di masa sekarang.
Words by Ghina Sabrina
In partnership with British Council - DICE (Developing Inclusive Creative Economy)
Ketika berbicara soal musik underground, pergerakan skena tersebut didasari oleh kekecewaan dan pesan-pesan emansipasi yang kemudian dikemas secara apik untuk bisa membakar semangat para pendengarnya. Hal ini pun yang membuat Farid Amriansyah, atau yang lebih dikenal dengan nama Rian Pelor tertarik pada skena tersebut, karena menurutnya “Punk rock malah menjentikkan kritisisme ke dalam pemikiran kita.” Bukan sosok baru di dunia musik bawah tanah, ia telah tergabung dalam beberapa band, salah satunya Auman, dan juga dikenal lewat label rekamannya Rimauman Music. Oleh karena itu, kami berbincang dengan Rian Pelor mengenai perjalanannya bergelut di dunia musik bawah tanah, upayanya untuk membangun skena musik di Palembang, dan dikotomi antara kota-kota besar dan daerah dalam ekosistem musik
Bagaimana awal Anda menemukan ketertarikan pada musik?
Sebenarnya kalau ketertarikan dari musik dan kesenian secara keseluruhan itu mungkin karena dari ibu. Di rumah itu dulu bapak menyuruh olahraga, sementara ibu menyuruh saya kursus menari dari kecil. Di rumah itu dia sering memutarkan kaset-kaset dia, seperti Lobo dan Joan Baez, jadi exposure terhadap musik itu memang dari ibu.
Kemudian saya mengembangkan sendiri ketertarikan itu karena dari kecil om saya itu metalhead, sehingga saya mendengarkan kaset-kasetnya Slayer kemudian saya malah tertarik pada thrash metal hingga kemudian SMP nge-band di sekolah dan membawakan Metallica. Lalu saya mulai mendengarkan punk rock, hardcore punk. Ketika saya SMA di Medan, baru saya menyadari kalau musik ini ternyata beneran ada scene-nya, ada kancahnya. Saya menonton konser Puppen pertama kali di Medan, melihat band-band konser yang beneran. Pas di Medan ini saya baru terekspos dengan itu dan baru kemudian pindah ke Palembang. Di Palembang lah kemudian saya bertemu dengan teman-teman di sini, ada teman satu sekolah kemudian bikin band namanya band Peniti, dan habis itu baru mulai terlibat langsung di scene lokal Palembang.
Jadi waktu kecil itu karena berpindah-pindah, orang tua itu memberikan saya uang saku lebih hanya untuk dua hal, yaitu buku dan kaset. Makanya dua hal itu yang menjadi ketertarikan waktu kecil, antara membaca atau mendengarkan musik karena uang jajan lebih hanya boleh buat itu. Mainan ya tidak. Mainan itu dibeli kalau ranking doang. Mungkin itu juga kesalahan terbesar mereka ya, membolehkan anaknya untuk beli kaset (tertawa). Jadi rebutan stereo set di rumah hingga dibelikan head phone.
Lalu bagaimana ketertarikan pada musik membawa Anda terlibat di aspek media musik?
Kalau mendengarkan musik-musik lain itu kan kayaknya hanya sekadar entertainment. Tapi ketika saya terpapar ke punk rock dan hardcore punk, pesan dalam musik itu di satu sisi malah mengemansipasi diri saya. Waktu dari SD sampai SMP, karena saya kerap pindah-pindah itu saya sering di-bully di sekolahan karena selalu jadi anak baru. Baru pindahan, jadi anak baru, terus langsung ranking, jadi nerd banget emang waktu itu. Ketika menemukan punk rock, saya langsung terkoneksi dengan pesan yang menyentuh tentang opresi.
Kalau dulu kita hanya punya satu channel TV, kemudian satu channel radio, di masa orde baru. Dari lirik-lirik hardcore punk itu saya merasakan ada sesuatu yang tidak beres di sini. Hal-hal yang kita anggap selama ini normal dengan kompromi ternyata ada sesuatu yang salah, dan Jello Biafra itu pernah di tulisannya saya baca mengatakan, “Don’t hate the media, become the media.” Kita jangan benci media, jadilah media untuk menyampaikan itu. Dari punk rock itulah saya kemudian melihat sisi lain bahwa ada fanzine, kita bisa menulis tanpa perlu terpaku dengan informasi yang dipapar oleh media yang sudah established.
Di sini benturan antara nilai-nilai mulai terjadi. Bapak saya yang juga tentara mengalami realita bagaimana idealisme dia membuat karirnya terganggu. Saya melihat realita itu dan kemudian makanya ketika kuliah saya pilih untuk mengambil jurusan Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Karena apa? Karena punk rock juga. Saya melihat Greg Graffin sebagai orang yang pintar, terus melihat vokalisnya Offspring dia lulusan S2, terus Jello Biafra yang sarkasmenya yang brilian. Hal ini pun membuat saya menyadari kalau misalnya musik psychedelic itu memperluas cakrawala persepsi, punk rock malah menjentikkan kritisisme ke dalam pemikiran kita.
Punk rock malah menjentikkan kritisisme ke dalam pemikiran kita.
Ketika masuk ke ranah itu, saya mulai berani nge-band karena punk rock. Waktu di metal itu hanya jadi band yang mengcover, tidak berani bikin lagu sendiri karena tangan tidak sampai. Ketika mendengarkan punk rock, baru merasa bisa. Cuma tiga chords, marah-marah, dan pesannya real. Saya pun jadi berani nge-band yang beneran bikin band dan mengulik lagu waktu SMA di Palembang. Ketika itu, karena berani menulis lagu, akhirnya saya memberanikan menulis hal yang non-sastrawi. Biasanya kan dulu cuma puisi jadi lirik. Kemudian mulai lah saya membuat fanzine dan berkontribusi ke fanzine teman. Jadi ketertarikan ke dunia media itu terbentuk dari emansipasi yang diberikan oleh musik punk rock yang saya dengarkan. Memberanikan saya untuk speak up. Ketika di-bully saya bisa melawan, ketika ada yang saya tidak setujui, saya bisa mengungkapkan pikiran saya ke dalam bentuk lagu dan tulisan karena punk rock kan sebenarnya bukan murni estetika. Dia lebih utamanya itu pesan yang disampaikan. Ya tidak tahu kalau sekarang mungkin sudah sedikit watered-down. Punk rock is just another music. Tapi secara personal, musik itu bermakna besar bagi saya. High roller casino slots are slot machines that are designed for players who are willing to bet large sums of money. These slots typically have higher betting limits and payouts than regular slot machines, and they are often favored by experienced gamblers who enjoy taking risks. If you are interested in playing high roller casino slots , it is important to note that these games can be very risky and require a significant amount of experience to play well. It is always a good idea to start with smaller bets and work your way up as you become more comfortable with the game.
Ketika masuk ke ranah media, terutama waktu kecil, saya dulu melihat om saya itu punya pirate radio, dia itu siaran. Kemudian saya baru berani nulis. Awalnya menulis itu bukan di fanzine, tapi di selebaran. Saya dulu waktu kuliah di tahun ’98 itu terlibat di sebuah organisasi yang namanya tidak usah disebut, dan kebetulan saya di divisi agitasi dan propaganda. Jadi pekerjaan saya itu menulis leaflet dan pamphlet untuk disebarkan ketika aksi dan demonstrasi. Tangan selalu hitam dengan bekas tinta. Jadi saya menulis antara dua hal, yaitu menulis soal pembahasan isu sosial radikal, dan juga menulis soal musik. Baru di situ lah saya memberanikan diri untuk menulis atau masuk ke ranah media.
Kini Anda juga mengelola label rekaman sendiri, Rimauman Music, yang menjadi rumah bagi beberapa rilisan seperti Detention, Manekin, hingga Against Oppression. Boleh ceritakan proses bagaimana Anda akhirnya memutuskan untuk membentuk sebuah label?
Saya terbentuk di generasi dulu, di awal ‘90-an sampai pertengahan. Pada waktu itu kan band minim rilisan, bahkan kita punya band pun susah banget mau rilis. Knowledge akan studio rekaman minim. Ketika saya masuk ke ranah media, di Jakarta itu saya sempat bekerja di sebuah majalah media musik nasional, Trax, dan juga siaran di Prambors. Pengalaman itu membuka pandangan saya ke ranah-ranah dimensi yang berbeda. Dari yang awal itu di underground, lalu saya kemudian melihat di ranah industri musiknya. Pengalaman itu membuka pandangan saya, “Ternyata ada a proper way untuk rekaman”. Saya lebih kritikal soal sound, soalnya saya mesti mengulas musik. Sound-nya tepat atau tidak dan juga saya sempat bekerja di sebuah studio rekaman yang namanya dE studio, yang waktu itu client-nya Sony, Warner Music Indonesia, studionya cukup high-end lah di Jakarta, di bilangan Blok S. Indonesian Idol juga rekaman di situ.
Pengalaman itu jelas membuka pemikiran baru, ternyata merekam musik itu tidak sesederhana mencolok ampli/gear dan kemudian rekam. Ternyata ada seninya tersendiri, terus saya bekerja menjadi A&R di label sama di dE records untuk merilis “Anthems of Tomorrow”. Pertama kali saya terlibat di dunia label rekaman adalah di dE Studio itu, mereka punya subdivisi namanya dE Records. dE Records itu merilis satu album kompilasi namanya “Anthems of Tomorrow” yang isinya band-band post hardcore, ada juga yang metal core di tahun 2003. Terus merilis juga sebuah album soundtrack buat film “Gerbang 13”. Itu pertama kali saya kerja langsung di dunia rekam dan label rekaman yang proper, sebelumnya ya kayak sederhana aja. Ketika masuk di Trax saya juga bikin project kompilasi namanya Traxound bersama rekan di redaksi.
Setiap saya pulang dari Jakarta ke Palembang, ketika naik kapal atau bus, setiap cerita rambut mohawk pasti ditanya, “Nge-band ya dek? Gak maju lah nge-band di Palembang”. Itu selalu melekat di kepala saya. Maju nge-band itu kayak bagaimana? Kemudian saya berpikir, biar scene-nya ini maju, band-nya mesti produktif, mesti ada rilisannya. Dengan pemikiran itu, ketika tahun 2010 pulang, saya bikin label Rimauman Music itu hanya sebagai label ecek-ecek untuk merilis musiknya Auman. Tapi kemudian, ketika sudah rilis kami berpikir, Auman kan cukup gain attention dan kami punya cukup kas dari bayaran gigs. Kami berpikir akhirnya, kami mesti payback ke scene yang men-support kami. Pakemnya itu saya tertarik dengan apa yang dilakukan oleh Neurosis dengan Neurot Recordings, Aaron Turner dari Isis dengan Hydra Head Records, kemudian Brett Gurewitz dengan Epitaph Records, dari situ kami merasa kalau kami harus memutar balik keuntungan yang kami pakai, in a way mesti dipakai untuk mengembalikan ke skena.
Akhirnya kami bikin Rimauman Music itu untuk mengkurasi dan merilis band-band lokal Palembang karena waktu itu belum ada label yang mau merilis rilisan lokal dan berani melakukan itu. Makanya band-band di sana kebanyakan masih self-released. Sementara kalau self-released itu kan pusing, sudah memikirkan dari hulu ke hilir. Ketika si Auman itu bubar pada tahun 2013, pada tahun 2015 itu lah rilisan pertama non-Auman yang dirilis oleh Rimauman Music yaitu rilisan BLACK//HAWK. Sejak saat itu kami established jadi label yang fokusnya hanya merilis band-band dari region Sumatra bagian selatan. Untuk menjadi local-based. Tujuannya itu tadi, untuk memberikan exposure yang layak buat band lokal di sini dan melakukan fungsi kurasi.
Anda merupakan seorang figur yang telah hadir di skena musik bawah tanah cukup lama, bagaimana Anda melihat perkembangan skena tersebut selama ini?
Yang menarik buat saya adalah, saya merasakan beberapa era generasi. Merasakan bagaimana awal scene ini. Melihat dulu patokannya di era ’90-an itu majalah Hai, ada band underground itu ada Rotor, Sucker Head, kemudian masuk ke era 2000-an. Yang membedakan sebenarnya itu arus informasi. Itu yang paling cukup signifikan. Kalau zaman dulu itu, ya karena kulturnya adalah tatap muka dan analog, yang mau masuk dalam kancah musik ini mesti nongkrong. Mesti menjadi part dari scene itu lah. Mesti secara fisikal nongkrong. Nonton ke gig. Orang jadi tahu ke kita. Dan ketika nongkrong itu kita akan ditanya, “Kamu punya band gak? Punya fanzine gak?” yang punya bsn jadi tape-trading. Jadi hubungan emosionalnya jelas lebih rapat karena pelakunya masih lebih sedikit. Jadi cukup intense.
Masuk era 2000, mulai muncul namanya fenomena digital era awal dengan adanya Friendster, Myspace. Kalau dulu di fanzine itu ada scene report, jadi teman-teman dari Malang menulis di fanzine ini dan dia berkontribusi, “Di Malang itu ada rilisan ini lho.” Lalu kalau kita tahu, kemudian kita berkontak, saling bersurat. Nah ketika di Myspace, mulai ada kemudahan, ternyata komunikasi dan jaringan bisa dibangun dengan platform internet walaupun kultur nongkrong secara fisikal masih cukup kental. Orang masih tetap nongkrong, ketemu, baru kemudian kita mendapat respect yang layak, baru kita diakui. Jadi semacam ada rites of passage-nya, ada inisiasinya lah. Karena kalau dulu lebih kejam, kita tidak tahu apa-apa bisa langsung dibilang poser. Makanya kita mesti nongkrong, karena kalau tidak nongkrong kita tidak dapat akses, tidak dapat kaset, band merchandise.
Ketika sudah mulai masuk digital, komunikasi menjadi lebih mudah. Sekarang sudah terbuka luas, kita tidak perlu nongkrong untuk punya referensi musik yang begitu banyak. Kita tidak perlu sering-sering datang ke konser tiap akhir pekan, kalau dulu kan kalau di Jakarta tiap akhir pekan itu wajib dateng ke Poster Cafe, Nirvana Cafe, daerah Blok M, dan venue-venue lain. Kalau sekarang, intensitas fisiknya malah berkurang tapi referensi semakin besar. Sisi lemahnya adalah apresiasinya tidak terbangun dalam level konektivitas yang erat. Kalau yang dari generasi dulu walaupun tidak ketemu sekian lama ketika ketemu lagi kita masih ada a sense of brotherhood, terutama di kancah musik underground. Misalnya dulu di era awal ada BB’s, Parc, hubungan kita sampai sekarang itu masih cukup baik. Kalau sekarang, dengan semua orang ditentukan oleh algoritma dan lain sebagainya, selera itu dipertanding-bandingkan. Kalau dulu, kalau kita tidak tahu kita dianggap poser. Kalau sekarang, kita sudah bisa mengakses semuanya tapi salah mendengarkan band, kita bisa di-judge. Jadinya tidak perlu nongkrong, tinggal pakai kaos keren, terus jadi.
Kalau sekarang, dengan semua orang ditentukan oleh algoritma dan lain sebagainya, selera itu dipertanding-bandingkan.
Permasalahannya sekarang, sense of identity-nya dan juga sense of connectivity antar orangnya itu sedikit berkurang walaupun konektivitasnya semakin tinggi. Dalam dunia hyperconnectivity malah nilai kemanusiaannya yang berkurang. Semua orang bisa jadi reviewer, semua orang bisa jadi snob, semua orang bisa punya selera yang adiluhung tanpa perlu menguji coba itu di lapangan. Kalau di lapangan, bisa ketemu orang yang melabrak, lalu kita bisa duduk bareng. Kalau sekarang, tidak perlu ketemu jadinya kayak tubir.
Tantangannya sekarang, band yang muncul sekarang dan dibilang bagus pada saat ini umur apresiasi yang mereka terima mungkin akan lebih pendek. Kalau band zaman dulu, kita sekali senang sama Rotor, sampai sekarang juga akan masih senang sama Rotor. Kalau sekarang beda, karena tidak ada effort buat itu. Dulu waktu saya menonton Thinking Straight, dari Pulomas ke Depok naik bus 2-3 kali buat nonton konser mereka. Effort banget. Kalau sekarang kan bisa “Ah gak asik, gak demen” padahal tinggal cuman sekali naik gojek. Kalau dulu kita mesti kunyah dan telan semua. Kalau sekarang kita bisa memilih dan memilah. Jadi tantangannya malah ke band-nya karena fans zaman sekarang rakus atensi, fans musik sekarang juga short attention span.
Kayak Barasuara saja, kemarin keren nih, tapi sekarang bisa saja ditinggalkan. Kayak .Feast pas muncul di awal, “Wah keren nih”, sekarang dijadiin meme. Pola kultur menikmatinya sudah beda. Kalau di era kita dulu, good music is good music. Dulu kita tidak peduli, attitude itu masalah tongkrongan, paling digebukin di tongkrongan. Sekarang bisa ada tubir panjang berbulan-bulan soal itu-itu lagi, kan capek sebenarnya? Karena apa? Nongkrongnya kurang. Dan band sekarang juga merasakan panggung kecil, tapi kalau panggung kecil berterusan kan belum? Sekarang kan band panggung kecil bisa saja dalam waktu dekat mendapatkan panggung besar. Jadi ya mungkin band-band era dulu, mereka yang bisa bertahan dengan mental seperti itu adalah yang seperti Burgerkill, Seringai. Makanya band sekarang perlu banyak gimmick untuk dapat atensi, mau tidak mau. Karena selera orang juga susah. Kalau sekarang kan hype, kalau dulu itu kan tren. Tren itu umurnya lebih panjang daripada hype, dan ketika kita mengikuti tren, kita juga bisa klaim misalnya saya mengikuti Nirvana, terus kita bisa nge-klaim kalau kita anak grunge. Kalau hype, sekalinya ada yang keren langsung bergerombol, tapi lebih cepat untuk berpindah-pindah. Itu bedanya sih.
Boleh ceritakan pengalaman Anda di Jakarta dan bagaimana kemudian Anda menghidupkan scene di Palembang?
Sebenarnya ke Jakarta itu sudah takdir. Itu sudah tergaris dalam perjalanan hidup seorang anak Sumatra, pasti merantau. Ketika saya merantau, sebenarnya tujuannya satu, untuk kuliah. Pada waktu itu saya sudah terima UMPTN, tapi tidak dapat jurusan yang saya mau yaitu Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Padjadjaran. Akhirnya saya pindah ke Jakarta, walaupun rata-rata orang Palembang memilih dua lokasi: Bandung dan Yogyakarta. Tapi ketika itu, ketertarikan saya sama punk itu tinggi banget. Dan saya melihat ketika baca di Haiklip kalau Jakarta itu ada Subnormal, Young Offender, sehingga akhirnya saya memilih kuliah di Jakarta pada tahun 1998. In the heat of the moment banget pada waktu itu. Tepat sekali ketika saya mendengarkan punk rock, lalu terpolitisasi, dan jadi kayak momen ruang aktualisasi diri banget karena masa SMA saya kalau orang bilang, “Masa SMA masa yang paling indah,” saya nggak banget. Masa SMA saya butek, digebukin anak basket.
Ketika kuliah di Jakarta, teman-teman banyak yang bilang, “Lo ke Jakarta mau kuliah apa mau apa sih?” Jujur, sebenarnya porsi saya lebih untuk mengeksplor subkulturnya daripada perkuliahannya. Di perkuliahannya saya mengambil ilmu itu hanya untuk menerapkan di aktivitas-aktivitas ekstra parlementer, seperti demonstrasi, mengorganisir massa, bekerja di kantong-kantong kaum miskin kota dan buruh. Ketika terlibat di sana, setiap akhir pekan itu pasti nongkrong, dari Jumat sampai Minggu itu pasti mengunjungi beberapa tempat. Pertama kali nongkrong itu dari daerah Jakarta Utara karena ada teman-teman dari Subnormal, kemudian ke Pusat. Ketika di situ, saya memang berjejaring, tapi bukan berarti lupa akan Palembang.
Setiap saya pulang ke Palembang, saya selalu membawa kopi kaset teman-teman dari Jakarta. Saya bawa setumpuk fanzine dan kaset. Dulu pulang dari Jakarta ke Palembang itu hanya butuh sekitar Rp 50.000. Jadi salah kalau dipikir saya pulang untuk membangun skena, karena tidak cuma saya doang, di Palembang juga ada para scenester yang lain. Saya hanya menjalankan fungsi sebagai berjejaring. Dan teman-teman di Palembang juga sudah berjejaring, walaupun exposure-nya tidak kelihatan pada waktu itu karena sangat underground. Ketika di Jakarta, saya main sana-sini, pulang bawa rilisan, terbitan literatur alternatif. Dan ketika bekerja di Trax Magazine juga saya coba meng-expose band-band lokal dari Palembang dengan kompilasi Traxound, terus ada rubrik yang merekomendasikan band-band yang layak disimak dari seluruh Indonesia. Jadi bukannya fokus di Palembang doang. Pada waktu di sana, saya menempatkan kalau di kota-kota lain mesti mendapat exposure juga dan bukan hanya membahas Jakarta doang. Jadi semangat anak daerahnya itu dibawa ke situ, untuk memberikan exposure yang lebih luas. Ketika kerja di Trax, membuat kompilasi Traxound, terus di Prambors pun ketika dulu siaran kan disiarkan ke 8 kota, itu juga kita coba tetap merespon dengan mengharuskan adanya konten dari band-band lokal, lalu mengajak band-band lokal untuk mengirimkan demo. Jadi kerja-kerja, berjejaring dan memperluas exposure sebagai kerja media itu sudah saya laksanakan. Selain juga nge-band ya, di Jakarta juga nge-band. Ada beberapa band yang sempat saya buat, saya terlibat di sana. Terakhir itu ada band Dagger Stab.
Kembalinya ke Palembang itu sebenarnya karena kenakalan saya sendiri dan pilihan. Kalau buat saya itu ada tiga kenakalan besar, antara perempuan, judi atau mabuk. Saya tidak mahir soal perempuan dan judi, tapi saya dulu tekun banget mabuk. Itu sisi gelapnya. Terlalu dalam berkecimpung di situ sehingga pada dulu itu sempat kacau juga, itu sisi gelapnya lah. Karena punk rock itu punya dua sisi mata pisau ya, sisi yang empowering tapi juga sisi yang self-destruct. Antara Greg Graffin sama Sid Vicious. Ini kan role model yang rumit. Ketika saya bermasalah dengan drugs sehingga mesti berhadapan dengan hukum, ketika itu saya mikir, kalau di Narcotics Anonymous itu kan ada yang harus melewati 1000 hari clean ya, kita paling tidak ketika self-rehabilitation melewatkan 1000 hari tanpa narkotika. Pada waktu itu saya memang mau sembuh, kemudian saya menyadari kalau saya mau melewati 1000 hari tersebut di Palembang dulu.
Ketika melewati itu, pikiran saya semakin jernih, adiksi saya semakin menghilang, energi saya semakin membesar. Itu yang menarik. Nah ketika di Palembang, saya nge-band, bikin Auman, terlibat sama anak-anak bantuin rekaman, jadi music producer, organik saja mengalir. Karena saya ini tipe orang yang seperti singkong, singkong itu cuma dipotong batangnya, ditanam di mana saja bisa hidup. Kalau saya sih prinsipnya jadilah seperti singkong atau jadilah seperti ikan hiu. Ikan hiu itu mesti terus bergerak, kalau berhenti dia tenggelam karena dia tidak bisa mengambil udara. Jadi saya bergerak terus, karena energinya lebih, sober up, akhirnya banyak yang bisa dilakukan. Jadi kembalinya ke Palembang itu bukan kayak, “Saya mesti kembali ke Palembang untuk membangun skena.” Oh tidak, karena dinamika kehidupan pribadi juga. Tapi kalau masalah keterlibatan dan aktivitas di skena, sebelum pulang ke Palembang juga sudah cukup intense. Hanya karena ketika saya balik di sini aja kemudian lebih banyak. Salah satu PR terbesar adalah bagaimana memaksa orang-orang di luar Palembang menoleh Palembang. Caranya dan mediumnya adalah memakai Auman. Misinya adalah itu, go big or go home. Kalau tidak, tidak bisa memaksa orang untuk menoleh ke sini. Makanya ketika Auman sudah tertoleh, dia beraksi sebagai gerbong untuk memperkenalkan band-band lain di Palembang. Jadi we could have our say, bisa merekomendasi.
Jadi tantangannya malah ke band-nya karena fans zaman sekarang rakus atensi, fans musik sekarang juga short attention span.
Bagaimana Anda melihat scene musik di Sumatra?
Kalau saya melihat secara historikal, skena di Sumatra itu ada dua kota yang cukup maju. Di sisi utara dan selatan. Dulu itu yang cukup maju di Sumatra itu saya sendiri terekspos pertama kali ketika di Medan. Medan itu dari awal sampai pertengahan ‘90-an cukup maju, saya melihat konser Puppen dan Netral, pertama kali di sana, juga melihat band hardcore punk dan punk rock lokal main di sana. Itu yang menginspirasi saya. Skena yang ada di Medan waktu itu menginspirasi saya untuk memulai sesuatu ketika kemudian saya pindah ke Palembang. Ternyata musik ini bukan hanya dinikmati tapi juga bisa digunakan untuk melakukan sesuatu dan membangun komunitas. Bukan hanya untuk ke toko kaset, beli kaset Shelter ataupun Biohazard, dan kita dengarkan di rumah kayak masturbasi. Ternyata tidak. Ternyata ini bisa kayak group sex. Analoginya seperti itu.
Satu lagi di Lampung. Lampung itu di akhir tahun ’90-an menuju tahun 2000 itu cukup maju, dalam artian mereka punya show besar. Tapi permasalahannya di Sumatra waktu itu adalah karena exposure-nya kecil, ditambah keminiman infrastruktur, jarak antar kota yang jauh, misalnya jarak terdekat antar kota di Sumatra itu antara Palembang dan Jambi. Tantangannya itu, akses, jaringan, sehingga exposure-nya minim. Hingga ketika band-band lokalnya sudah sampai di satu titik, lalu mereka burn out. Habis. Jadi regenerasinya itu bukan kayak kalau di Bandung kalau sudah ada band mencapai satu titik, akan muncul band baru yang terinspirasi untuk mencapai titik yang sama. Di Sumatra, permasalahannya adalah karena minim dalam beberapa akses, ketika ada band yang mencapai satu titik, lalu apa lagi? Touring tidak mungkin. Yang menariknya dengan sekarang, jejaring semakin solid sehingga memungkinkan bagi band-band Sumatra untuk memberikan exposure lebih besar dengan tur-tur ke Jawa. Yang malah lebih luar biasa lagi, karena mungkin ke Jawa susah kita turnya ke atas, lewat jaringan Southeast Asia. Kita malah tur ke Singapura, Malaysia sampai Thailand. Band Medan itu lebih gampang untuk main ke Kuala Lumpur daripada mereka main ke Jakarta, dan tiketnya pun lebih murah. Jadi jaringan yang dibangun malah ke Southeast Asia.
Kalau masalah perbandingannya kayak bagaimana, saya pikir tidak pantas tiap scene dibanding-bandingkan karena setiap kota itu punya karakternya sendiri. Makanya saya selalu bilang, kita jangan mengekor lah, kita coba belajar saja dari seberang. Ambil mana yang bisa diterapkan, mana yang tidak. Lalu kita bikin jalan kita sendiri. Kalau kita berusaha mengejar dan mengekor, akan dapat buntut. Tapi kalau kita membuat jalan kita sendiri, kita akan punya distingsi dan juga hal yang lebih signifikan untuk bisa ditawarkan ke orang lain. PR-nya cuma satu, bikin musik yang bagus, that’s it. Sekarang sudah mulai lebih bagus, teman-teman sudah mulai memikirkan promo, bikin siaran pers, blast ke media, sekarang pun memungkinkan untuk itu. Kalau dulu kan tidak. Band-band independen saja minim di media-media besar nasional, kalau sekarang malah band-band independen ini kayak the new industry standard walaupun bukan sidestream is the new mainstream. Masih jauh, karena belum tercipta kemapanan dan sustainability secara ekonomi. Bedanya apa? Yang di Jawa mulai duluan, itu doang, dan semua akses, media, ada di Jawa. Kalau dibalik, mungkin beda ceritanya. Kalau dulu Bukittinggi ibukota negara mungkin Padang dan Medan scene-nya lebih maju daripada Jawa.
Iklim musik antara kota-kota besar seperti Jakarta dan Bandung diketahui berbeda dengan yang di daerah, bagaimana Anda melihat dikotomi antara pusat dan daerah dalam ekosistem musik?
Memang perlu diakui secara realita dan juga historis Bandung dan Jakarta mulai duluan. Jakarta mulai dari awal ’90-an dan di Bandung pun sama. Kultur fanzine pertama dimulai di sana. Memang kita perlu akui bahwa Jakarta dan Bandung itu patron dalam artian yang jadi sumber acuan. Kita di Palembang pun kayak gitu, teman-teman di Palembang dulu ke Bandung buat datang ke Ultimus misalnya. Terus saya merantau ke Jakarta, nongkrong. Terus kemudian Yogyakarta pun seperti itu. Kalau saya pikir ya memang perlu diakui secara historical memang Bandung dan Jakarta menjadi menara suar pertama yang meletakkan pondasi untuk subkultur.
Kalau kemudian berbicara soal adanya dikotomi, itu hanya masalah persepsi sebenarnya. Persepinya gini, musik itu kan cuman ada dua kategori; bagus dan jelek, dengan pakemnya masing-masing. Misalnya bagus dalam thrash metal mungkin berbeda dengan bagus dalam jazz. Apresiasi bisa akan kita raih kalau jelas kita bikin musik yang bagus. Cuma gitu sebenarnya. Permasalahannya untuk mencapai titik musik bagus tadi itu ditentukan dengan apa? Sarana dan prasarana. Akses dan informasi. Elemen-elemen itu di daerah memang masih minim. Sementara di Jakarta dan Bandung, personil band sudah bisa mengarahkan studionya, kalau di daerah lain dulu pada waktu itu, band-nya diarahkan sama yang punya studio. Jadi wajar apabila ada dikotomi, tapi masalah persepsi.
Kalau sekarang itu sudah semakin blur. Kita melihat ada band bagus di Makassar, seperti Theory of Discoustic, ada Secret Weapon di Pontianak, dulu di Bali ada Superman Is Dead. Jujur ketika waktu saya di Jakarta, saya yang mengundang pertama kali SID ke Jakarta itu untuk acara di kampus saya. Nah pemikiran kayak gitu, “Ada band keren di Bali, berangkatin lah!” Kalau band dari Jakarta main terus, tidak akan ada ruang untuk yang lain. Jadi sebenarnya, dikotomi itu hanya masalah persepsi dan masalah kita mengkerdilkan diri dengan mental yang inferior.
Kalau kita sudah punya mental inferior, ya jadinya kecil aja terus. Itu yang selalu saya bilang. Kita jangan melihat band sana sudah sampai mana, kita melihat apa yang bisa kita lakukan dengan karya seni kita. Kita bisa apresiasi itu, kita feel proud about it, itu saja dulu. Kalau teman-teman di Jakarta dan Bandung pada kerja keras, teman-teman di luar kota utama itu harus bekerja lebih keras, tiga kali lebih keras untuk bisa diterima dalam lingkungannya, bisa menjadi lead di dalam komunitasnya, bisa menjadi tuan rumah di kota sendiri, dan bisa membakar batas lokalitas yang dan diapresiasi secara nasional.
Dikotomi itu hanya masalah persepsi dan masalah kita mengkerdilkan diri dengan mental yang inferior.
Mau bekerja keras tidak? Kalau tidak, ya sudah. Banyak sekali orang yang mengeluh, “Ah, Jakarta-Bandung,” tapi kalau ditanya sudah mengirim press release apa belum dijawabnya belum. Ya sama saja, effort-nya minim! Ini itu cuma masalah persepsi dan effort. Mau ada masalah seperti apa pun pasti gampang kok sekarang. Kalau tidak bisa tembus ke sana, tinggal mencari jalan lain, ada banyak jalan kok menuju belantika musik Indonesia.
Tantangannya malah gini, media-media di kota-kota utama itu sekarang mesti lebih tajam memasang radar. Karena dengan runtuhnya media besar nasional malah membuka adanya desentralisasi opini. Sekarang kan bingung. Kalau dulu kan tinggal lempar ke Rolling Stone, exposure-nya sudah cukup. Sekarang sudah tidak ada lagi. Semua band punya posisi tarung dan posisi tawar yang lebih sama rata sekarang. Tinggal kita bagaimana caranya menemukan akses ataupun mekanisme untuk mempromosikan karya kita.
Tur musik ke beberapa kota di Indonesia sudah menjadi hal yang umum terjadi. Bagaimana Anda melihat gelaran tersebut sebagai penyedia ruang untuk para musisi saling bertukar pikiran dan secara tidak langsung menumbuhkan semangat berkarya dan kebersamaan?
Banyak orang melihat tur itu untuk mempromosikan karya, tapi buat saya tur itu adalah momen ketika kita bertatap muka dengan orang yang mengapresiasi karya kita. Membangun hubungan emosional yang lebih dekat, lebih dalam dengan fanbase masing-masing band. Bukan hanya, “Kita mau merilis album baru nih, mesti promoin.” Dan jadi steril, hanya keuntungannya yang pragmatis. Walaupun sebenarnya saya melihat tur itu sebagai bentuk pola komunikasi yang organik. Dari apresiasi yang tadinya masturbatif lewat tape deck atau Bandcamp, di sini kita bisa bertatap muka secara langsung. Itu yang sebenarnya luar biasa. Kita bisa menjalani hubungan yang lebih dekat dengan fanbase atau teman-teman yang men-support kita di luar sana dan menunjukkan bahwa di balik akun-akun dan avatar itu ternyata ada manusia. Saya melihatnya seperti itu. Itu esensi pentingnya tur.
Impact-nya bisa dalam dua hal. Bisa memiliki impact secara apresiasi secara psikologis dan juga moral. Di satu sisi lagi itu impact yang real secara finansial, penjualan album kita meningkat, penjualan merchandise pun bagus, karena kita tidak bisa mengendap di satu tempat saja. Itu pentingnya tur sekarang, yaitu untuk membangun koneksi yang real dengan fans. Saya sempat mengobrol dengan pelaku industri zaman dulu, salah satu sosok dibalik Aquarius Musikindo, katanya zaman dulu orang tur itu ketika dia sudah tahu penjualan albumnya besar. Dulu itu kalau band tur dan melihat di Jawa Tengah ramai, kita mesti datang ke sana. Bukan kayak, kita baru rilis album dan kita harus mempromosikan album itu, dengan gambaran di kepala berapa audiensnya. Misalnya waktu Metallica mau datang ke sini itu karena dia yakin, dan promotornya pun meyakinkan mereka kalau sekian orang akan datang.
Kalau sekarang, orang melihat tur itu sebagai medium promo. Itu juga, tapi di satu sisi yang lebih penting adalah sekarang interkoneksi antar kota itu lebih mudah karena internet, mau tur bersponsor atau independen, semua executable. Kayak kemarin The Panturas tur Sumatra, dia didukung oleh satu korporasi. Tidak apa-apa. Tapi ada juga band seperti Jeruji dan Rajasinga, mereka tur mandiri, bisa juga. Permasalahannya hanya bagaimana mengkalkulasi hitung-hitungan keuangan. PR terbesarnya adalah itu. Misalnya band saya DETENTION, panggung-panggung besar tidak kami ambil, kami hanya mengandalkan pemasukan dari merchandise. Orang-orang pasti bertanya-tanya, kok bisa kami tur? Ya masalah mau pintar-pintar mengatur keuangan saja. Bahkan kadang malah band yang semakin besar margin fee-nya, malah semakin tidak lincah karena terbentuk dari mental transferan, ini jadi profesi.
Semua band punya posisi tarung dan posisi tawar yang lebih sama rata sekarang.
Akhirnya saya sering menyentil teman-teman yang sudah naik dari crowd kecil jadi crowd besar, “Jangan lupa awal dulu dong, sekarang apa-apa ngelempar riders.” Bahkan saya sarankan band-band besar untuk sekali-kali buang duit untuk jalan sendiri. Karena band di luar negeri juga kalau tur jalan sendiri. Masalah dapat funding atau tidak, ya kadang-kadang mereka juga jalan sendiri.
Makanya kemarin sempat mencolek beberapa band Jakarta, “Sudah jangan ribut, sini tur Sumatra jalan sendiri, berani gak?” Karena ini trial by fire banget, jalur Sumatra DIY. Gokil di sini. Jadi tur itu penting dalam beragam aspek, tapi yang paling utama adalah panggung.
Menurut Anda, apa sajakah dampak yang sudah terlihat dan terasa di lanskap musik lokal akibat pandemi ini?
Momen sekarang ini bukan momen yang dipandang untuk bisa selalu merasa “Kita mesti kreatif, mencari jalan.” Hal pertama yang mesti kita lihat adalah ini musibah. Namanya musibah, tidak ada alasan apapun untuk menafsirkan itu sebagai peluang baru untuk berkreasi. Itu absurd menurut saya. Pahami ini adalah musibah. Pahami ini adalah sebuah tantangan. Pahami itu untuk bisa beradaptasi untuk situasi. Karena tidak ada yang mencari kesempatan dalam kesempitan di momen ini, orang sempit semua. Saya melihat hal ini absurd ketika ada yang bilang, “Kita harus mencari jalan.” Mencari jalan apaan? Emang ada event organizer yang bikin acara? Emang kru panggung pada kerja? Orang mereka pada pusing. Ketika kita paham bahwa ini adalah musibah, baru kita tahu di mana kita akan menempatkan diri di sini karena intinya yang mesti dilakukan sekarang adalah untuk survival. Kru produksi kehilangan job. Kru panggung kehilangan job. Band kehilangan job. Personil band mungkin lebih beruntung kalau mereka punya tabungan, tapi kan kru-krunya belum tentu punya tabungan. Promotor kehilangan job. EO tidak bisa bikin job. Pahami ini sebagai musibah, kemudian mau beradaptasi dari situ. Ini tuntutannya sudah real sekarang karena masalah hidup. Masalah ini adalah bagaimana kita bisa survive di tengah ini.
Saya tidak tahu juga untuk metodenya akan seperti apa karena tidak ada template-nya untuk menghadapi wabah. Ini adalah kejadian yang tidak pernah terjadi sebelumnya di sejarah saya hidup. Masalah rezim otoritarian saya mungkin pernah menjalaninya, masalah revolusi sosial mungkin kita juga pernah, masalah diopresi sama aparatur negara juga kita pernah. Tapi yang sekarang ini musuhnya tidak kelihatan dan membuat manusia menjadi orang yang menyebalkan. Jadi bagaimana caranya mencari ruang untuk beradaptasi? Beradaptasi untuk apa? Bukan lagi untuk reaksi, tapi untuk bagaimana agar periuk nasi kita tetap berisi. Kadang-kadang soalnya begini, ini jadi momen baru untuk orang-orang membuat hal-hal baru tapi di satu sisi juga merip-off orang lain. Jadi banyak juga yang menjadi aji mumpung.
Saya pikir tantangannya tetap sama seperti dulu, tapi situasinya saja yang berbeda. Kalau kita sekarang pindah ke gig online juga belum memungkinkan kok, masih belum teruji apakah itu bisa profitable. Ada lagi di Denmark ada konser drive-in, terus diadaptasi di Indonesia, semua ini kan eksperimental. Begini deh realitanya, sidestream yang kemarin saja belum bisa gain traction sebagai penghasil financial sustainability ataupun sustainable economy buat band dan pelaku. Ditambah dengan kondisi sekarang, saya pikir berantakan sekarang ini. Di industri musik Indonesia pun belum jelas sekarang. Misalnya belum ada kebijakan yang memihak ke penulis lagu untuk mendapatkan cek yang real setiap bulan dari menulis lagu. Ditambah dengan kondisi sekarang, ya sudah, kemarin saja masih uji coba. RUU Permusikan saja kemarin ngaco saat dibuat, belum lagi industri ekonomi kreatif belum jelas. Di level pembuat policy saja belum beres, apalagi di lapangan. Platformnya apa, saya belum tahu. Saya juga bukan seorang futuris. Tapi memang ini sekarang adalah momentum revolusioner akan kultur digital. Masyarakat tiba-tiba disentak dengan kejadian seperti ini. Dulu kan kita sudah bilang, dengan koneksi internet membuat yang jauh lebih dekat, yang dekat lebih jauh. Itu hanya jadi candaan saja dulu. Nah kalau sekarang kan jadi beneran. Mau dibawa kemana kultur digital ini? Mau dibawa kemana platform-platform ini? Bagaimana caranya band bisa capitalize akan kondisi seperti ini?
Permasalahannya, sekarang semua orang di Indonesia ini harus figure out on their own. Tidak ada asosiasi yang memungkinkan sebuah pondasi untuk bisa membantu. Begini deh, masalah pekerja kreatif yang didata oleh pemerintah. Didata terus ujung-ujungnya buat Kartu Prakerja. Kartu Prakerja itu kan hasilnya bukan pemberi support secara ekonomi seperti kayak di Amerika yang memiliki musiCares. Itu kan real targetnya karena industrinya sudah berjalan, sehingga apabila ada inisiatif sosial mereka tahu menyalurkannya ke mana. Kita sekarang di Indonesia, dalam kondisi normal saja musisi legendaris yang sakit mesti membuat Kitabisa. Sementara di Kanada ada musician fund, jadi setiap pengusaha harus menyisihkan dana pensiun untuk musisinya. Di sini kan belum. Tidak ada ikatan organisasi. Yang paling maju paling Koalisi Seni. Dalam kondisi normal saja masih acak-acakan, ditambah kondisi sekarang orang-orang pasti bingung. Survive sendiri bingung juga. Tata laksananya belum beres, tata kelolanya belum beres, dan petunjuk teknis lapangan juga masih belum jelas. Jadi semua masih di level eksperimental.
Kita masih berangan-angan soal kultur digital, orang belum terbentuk kok kulturnya di sini. Orang masih jualan Spotify akun gratis. Kemarin Soleh Solihun masih dibajak kontennya masuk Spotify. Apresiasi tidak mungkin muncul kalau perut belum terisi realitanya. Benda budaya di Indonesia itu masih di bawah lagi dari tersier sebagai konsumsi masyarakat. Makanya tantangan besar bagi musisi sekarang itu bukan mencari jalan, tapi bagaimana kerja bareng. Mau duduk semeja. Biar kalau pemerintah mengacak-acak lagi kita tahu sikapnya, tidak perlu bikin Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan (KNTL RUUP) seperti kemarin. Rumit sekarang.
Apakah Anda dalam proses penggarapan record maupun inisiatif baru di masa depan?
Kalau sekarang, sebenarnya tadinya ada beberapa rencana. Yang pertama itu mungkin teman-teman di Palembang dan beberapa rekan itu sempat mau ada niat buat reform Auman. Tapi karena kondisi sekarang, kita ketepikan dulu. Yang kedua, dalam tahun ini ada album kedua posthumous dari Auman yang akan dirilis. Dari label juga masih ada rencana beberapa rilisan tapi dari band-bandnya malah menangguhkan. Jadi kalau yang saya sedang lakukan sekarang itu trying to get by day to day, trying to survive the situation sama terlibat di sebuah gerakan sosial di Palembang. Saya pikir urgensinya sekarang ini adalah melibatkan semua elemen bukan hanya dari musik tapi dari masyarakat lain untuk terlibat – kita di Palembang lagi bikin inisiatif sosial namanya Sriwijaya Youth Action. Sebuah inisiatif sosial untuk penanggulangan dampak COVID-19 secara sosial ekonomi di masyarakat Palembang dan Sumatera Selatan secara keseluruhan. Fokusnya lebih banyak ke sana.
–
Artikel ini adalah bagian dari proyek kolaborasi British Council – DICE dengan Whiteboard Journal yang berfokus pada Creative Hubs di Indonesia. Berjudul “Direktori” kolaborasi ini akan menceritakan profil komunitas dan kolektif lokal, mulai dari video series, interview hingga buku. Tunggu rangkaian kontennya di website kami.