Hantu Bodong dan Represi di Tengah Pandemi
Represi negara terus berlangsung di tengah pandemi Covid-19. Peringatan bagi aktivis?
Words by Whiteboard Journal
Awal April lalu, di tengah pandemi Covid-19 yang seakan tak habis-habis, polisi menyiarkan kabar yang ngeri-ngeri tapi geli: “Kelompok anarko merancang penjarahan di sekujur Jawa”. Menurut keterangan polisi aksi jarah besar-besaran itu akan terjadi pada 18 April. Hal itu diketahui setelah polisi mengubek-ubek ponsel kelima pemuda asal Tangerang yang digelandang atas dugaan menghasut orang-orang untuk membakar lewat coret-coretan di tembok.
Mereka yang sering bertemu dengan anasir anarko di berbagai kesempatan, barangkali sejak awal menganggap kabar itu sebagai lelucon belaka. “Mana mungkin sih anak-anak anarko yang kerjanya mabuk dan bangun siang bisa mengorganisir penjarahan sepulau Jawa,” kata seorang teman menanggapinya dengan bercanda.
Tapi teman saya yang lain ada yang menanggapinya dengan serius. Teman itu, yang saya ketahui jarang bersentuhan dengan isu politik apalagi ikut aksi massa, bertanya lewat japri. “Itu bener anarko mau ngejarah serentak?” Tentu saja saya jawab dengan penuh keyakinan “Ya, enggak mungkinlah”. Klarifikasi via japri masih sanggup diladeni, tapi membendung banjir forward-an kabar anarko jarah-jarahan di WAG keluarga besar itu sulit luar biasa. Kalaupun saya urun opini, kecil kemungkinan semua percaya.
Saya tidak akan masuk ke dalam perdebatan menakar kekuatan riil kelompok anarko menggoyang konstelasi politik oligarkis di Indonesia karena itu belum perlu didiskusikan panjang lebar hari-hari ini. Yang lebih penting untuk mendapat perhatian kita semua sekarang adalah strategi yang dilancarkan negara merepresi aspirasi warga.
Lebih spesifik lagi, sejak narasi anarko itu muncul, lahir kekhawatiran di benak saya kalau-kalau narasi ini untuk beberapa waktu akan dipakai sebagai senjata sapu jagat untuk menumpas massa aksi entah apapun isu yang digaungkannya: kelemahan pemerintah dalam menghadapi pandemi Covid-19, Stafsus milenial, Omnibus Law, RKUHP, persoalan KPK, #ReformasiDikorupsi, Papua, dll.
Pantaskah kekhawatiran itu?
Jika dilihat menggunakan kacamata skeptis, bisa dibilang isu ‘anarko’ dan rencananya untuk ‘jarah-menjarah’ itu tak lebih dari hantu bodong yang sengaja dimunculkan untuk menebar ketakutan. Mirip dengan peristiwa 3-4 tahun silam di mana kabar-kabar kebangkitan PKI dihembuskan lagi padahal tak ada bukti nyata penganut ideologi komunis kembali mengorganisir diri.
Menariknya, “hantu-hantu bodong” yang dibangkitkan itu ampuh dipakai sebagai bola liar yang siap digoreng kapanpun diperlukan. Sekali waktu isu PKI dipakai untuk menggebuk acara di LBH Jakarta, lain waktu bisa dipakai untuk menjatuhkan elektabilitas rival politik.
Isu ‘anarko’ dan ‘jarah-menjarah’ pun difungsikan dengan cara serupa. Faktanya, pasca penangkapan di Tangerang, kasus demi kasus terjadi di tempat-tempat lain: penangkapan 10 anak punk serta 3 aktivis Kamisan di Malang; Beredarnya video Pius Laut tahanan Polda Metro Jaya mengaku-ngaku sebagai ketua Anarko Sindikalis (belakangan diketahui ia maling helm); Kasus Ravio Patra yang ditangkap atas tuduhan menyebar pesan whatsapp berisi ajakan untuk menjarah; Serta kasus dapur umum relawan solidaritas pangan di Yogyakarta yang sempat disambangi polisi karena dicurigai melibatkan anasir anarko.
Semua peristiwa itu terjadi dalam kurun waktu tak lebih dari sebulan.
Jika dilihat menggunakan kacamata percaya 100% pada narasi ‘anarko jarah-menjarah’, sejauh ini belum ada peristiwa yang meyakinkan. Penjarahan se-Jawa pada 18 dan 30 April buktinya tak ada. Sebaliknya, penelitian Remotivi menyatakan malah polisi lah yang paling dominan memproduksi cerita tentang Anarko. Dari semua pemberitaan tentang anarko di enam media yang diteliti Remotivi, sebesar 76,2% narasumbernya adalah polisi. Sementara dari kelompok anarko hanya 2,4% saja.
Hingga hari ini tak ada fakta yang menunjukkan bahwa kelompok anarko punya kekuatan riil untuk menjarah Jawa. Mereka yang sejak awal tak percaya malah menggunakan isu ini sebagai bahan mengolok-olok aparat saja di media sosial. Tapi melihat gencarnya represi negara yang dilancarkan polisi, kita sepatutnya tidak menyepelekan narasi anarko jarah-menjarah.
Kita perlu khawatir karena dari setiap kasus kemunculan hantu-hantu bodong, muncul pula permainan tanda yang secara lihai, entah disengaja atau tidak, mengusik alam bawah sadar kita. Dulu ketika saya SD (Soeharto masih presiden), tiap bermain kejar-kejaran, si anak yang mengejar-ngejar mesti dicap PKI dulu, dengan begitu semua yang dikejar harus menghindar karena tak mau jadi PKI alias tak mau jadi orang jahat.
Untuk memahami cara kerja hantu bodong, kompleksitas teori Karl Marx yang melandasi komunisme diabaikan. Begitu dikerdilkannya kompleksitas itu sampai tinggal tersisa pemahaman PKI = jahat. Memang itu menyederhanakan dengan kurang ajar. Tapi apa lacur? Pemahaman itu merasuk bahkan sampai ke anak SD sekalipun. Lihai!
Kasus lambang bintang kejora pun bisa dilihat dengan cara serupa. Telaah antropologis, sosiologis, dan kultural perihal lahirnya lambang bintang kejora diabaikan karena itu tak dibutuhkan dalam konteks represi negara. Yang dibutuhkan adalah pemahaman Bintang Kejora = Organisasi Papua Merdeka = makar = harus ditangkap. Menjadi politically correct adalah salah. Untuk memahami bagaimana cara tanda-tanda ini dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu, maka kita harus men-sengaja-kan diri untuk menjadi politically incorrect.
Narasi anarko pun berpotensi (atau bahkan sudah) diperlakukan dengan cara serupa. Itulah sebabnya dalam penangkapan di Tangerang awal April lalu, buku Aksi Massa yang ditulis Tan Malaka Bapak Republik Indonesia turut disita, apakah karena dianggap menganjurkan anarkisme? Juga buku Eka Kurniawan “Corat-coret di Toilet” yang sampulnya bergambar molotov ikut diambil, apakah karena berbau vandal? Dan yang tak kalah kocak, buku karangan Tere Liye “Negeri Para Bedebah” dibawa juga, mungkinkah karena bernada provokatif? Apakah artinya semua yang berbau ajakan beraksi, vandal, dan provokatif = anarko?
Jika berlanjut, permainan simbol (tanda) ini bisa membahayakan gerakan sipil. Siapapun bisa saja ditangkap dengan alasan yang sama sekali tak masuk akal. Misalnya: menggunakan kaos hitam saat aksi, karena anarko identik dengan warna hitam. Jika memiliki buku Tere Liye saja cukup dijadikan bukti menyatakan seseorang anarko, apalagi membawa oxycan atau odol ke dalam aksi?
Apalagi jika negara sudah mencampuradukkan permainan tanda dengan akrobat pemaknaan kata semacam mudik ≠ pulang kampung ke dalamnya. Bagaimana jika suatu unjuk rasa berujung ricuh. Dengan mengabaikan segala kompleksitas linguistik, bisa jadi unjuk rasa itu disebut berujung ‘anarkis’ maka berarti pesertanya adalah ‘anarko’. Di era serba represif seperti sekarang ini, hukum saja bisa dimanipulasi, apalagi hal seremeh itu.
Maka masyarakat sipil yang kini tengah didera ancaman wabah Covid-19 sudah dibayang-bayangi ketakutan baru. Mereka yang masih menyimpan bara untuk kembali beraksi setelah sejenak padam pasca #ReformasiDikorupsi mesti berpikir-pikir lagi: apakah mungkin menggelar massa aksi lagi tanpa perencanaan yang matang? Tanpa strategi menyeluruh?
Tanpa evaluasi atas kegagalan-kegagalan aksi di masa lalu? Tanpa membangun jaring pengaman hukum? Tanpa konsolidasi cair yang meluruhkan segala fragmentasi yang ada di kalangan mahasiswa, buruh, dan aktivis? Sembari work from home ada baiknya berefleksi sebelum turun ke jalan lagi. PR ini perlu dikerjakan sebelum hantu-hantu bodong atau polisi penangkap aktivis gentayangan lagi.