Membahas Progresivitas Agama dan Fenomena Hijrah bersama Roy Murtadho
Kami berbincang dengan Roy Murtadho, salah satu pendiri media Islam progresif, Islam Bergerak, dan pendiri Pesantren Ekologis Misykat Al-Anwar
Words by Hana A. Devarianti
Progresivitas terkadang sering dianggap sebagai hal yang berlawanan dalam narasi agama. Namun, hal tersebut sepertinya tidak berlaku pada Roy Murtadho atau yang kerap disapa Gus Roy. Kami pertama kali mendengar tentang beliau selepas sesi Instagram Live kami bersama Rara Sekar dan Ben Laksana beberapa waktu lalu. Oleh Rara dan Ben, Roy Murtadho adalah salah satu figur Islam yang tak hanya progresif tapi aktif dalam gerakan yang mendorong penyampaikan perspektif yang baru dalam lanskap agama kita. Pada sesi wawancara bersama kami, pendapat tersebut pun sepertinya terbukti. Bersama Gus Roy, kami berbincang soal pentingnya progresivitas dalam agama, kegelisahannya terhadap fenomena hijrah, hingga bagaimana pandemi ini bisa mendorong hadirnya narasi baru yang dapat mengubah sistem kapitalistik saat ini.
Pada tahun 2018 lalu Anda mendirikan Pesantren Ekologi Misykat Al-Anwar. Apa yang melatarbelakangi Anda mendirikan pesantren ini?
Sebenarnya bukan hanya saya. Lebih tepatnya saya dan istri yang sejak lama mempunyai kegelisahan terhadap pendidikan di Indonesia.
Ada banyak kritik kami terhadap penyelenggaraan pendidikan di negeri ini. Kalau dijabarkan satu persatu tentu sangat kompleks. Intinya kami melihat, baik secara teoritik dan praktik pendidikan di Indonesia telah menyimpang jauh dari visi kemanusiaan, keadilan, kesetaraan dan berwawasan lingkungan.
Pendidikan terlanjur menjadi komoditas dan diselenggarakan tak ubahnya menjalankan sebuah pabrik yang sedang mencetak produk-produk yang siap dilempar di pasar kerja untuk menjalankan mesin produksi yang melanggengkan penghisapan, ketimpangan dan perusakan.
Pendidikan kita berwatak kapitalistik. Pendidikan terlanjur menjadi komoditas dan diselenggarakan tak ubahnya menjalankan sebuah pabrik yang sedang mencetak produk-produk yang siap dilempar di pasar kerja untuk menjalankan mesin produksi yang melanggengkan penghisapan, ketimpangan dan perusakan. Jadi wajar kalau kemudian yang diajarkan di sekolah adalah kompetisi, persaingan, alih-alih solidaritas, kerjasama, dan cinta kasih. Insyaalah dalam waktu dekat kami akan menerbitkan buku tentang pengalaman dan pengamatan kami berdua terhadap pendidikan di Indonesia. Nah, pesantren ini merupakan ikhtiar kami mewujudkan pendidikan dengan visi yang tadi saya sebutkan. Mengajarkan solidaritas, cinta kasih dan berwawasan lingkungan.
Kemudian, apa yang menjadi fokus di pesantren ini?
Tema besar yang kami usung adalah multikulturalisme dalam dua aspek, yakni sosial dan ekologis. Kami melihat persoalan inilah yang menjadi tantangan terbesar manusia di abad kapitalisme, kerusakan sosial ekologis yang tak pernah bisa dibayangkan sebelumnya dalam sejarah umat manusia. Seiring dengan krisis kapitalisme, yang selalu mencari ruang-ruang baru investasi untuk melipatgandakan modal, menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan di hampir seluruh penjuru bumi. Hutan-hutan dibabat, gunung-gunung dikeruk, lautan dicemari. Tak hanya itu, konsekuensi dari perjalanan modal tersebut adalah meningkatnya perjalanan umat manusia dan barang yang juga tak kalah merusaknya, menciptakan polusi. Berbarengan dengan itu juga sedang terjadi eskalasi kebencian rasial di banyak negara sebagai salah satu bentuk ekspresi dari persaingan bisnis yang saling berebut sumber daya ekonomi dan keluar sebagai pemenang.
Singkatnya buat kami, kehidupan saat ini selain harus segera keluar dari sistem kapitalisme yang mengkomodifikasi segala-galanya, juga memerlukan dosis tinggi multikulturalisme. Suatu gagasan tentang keragaman yang dibayangkan sebagai sesuatu yang niscaya dalam hidup, terberi dan menjadi prasyarat multak kehidupan. Artinya, kami melihat bahwa keragaman dalam kehidupan tak boleh dirusak dan semua orang bertanggungjawab untuk menjaganya. Merusak keragaman berarti merusak kehidupan itu sendiri. Contoh sederhananya hutan bisa disebut hutan selama masih ada keanekaraman hayati di dalamnya. Ada beraneka macam tumbuhan dan hewan. Kalau itu semua dirusak, dibabat diganti menjadi perkebunan sawit, maka akan rusak pula ekosistemnya. Musnahnya satu pohon saja, membawa konsekuensi berantai musnahnya hewan-hewan tertentu yang menggantungkan hidup dari pohon tersebut. Karena itu sistem tanam monokultur yang menyeragamankan sangat berbahaya. Di kehidupan sosial juga demikian, keragaman etnis dan budaya tak boleh diseragamkan, karena tiap bentuk penyeragaman atau monokulturisasi selalu destruktif dan mengancam kehidupan. Bahkan di abad ini, kapitalisme tak hanya menghisap manusia dalam relasi kerja industrial, tapi juga menghisap seluruh isi bumi, menjadikan lingkungan sebagai labor untuk mengakumulasi modal. Lingkungan diperlakukan sebagai buruh sekaligus komoditas yang dihisap dan diperjualbelikan.
Kalau dicermati pendidikan kita juga menyeragamkan dan memenjarakan anak. Anda masih ingat, waktu kecil kita diajari melukis yang sama? Dari sabang sampai Merauke, semua anak SD dipaksa melukis gunung dan sawah yang persis sama. Ini mengerikan sekali. Imajinasi kita sejak belia telah didikte dan dikerangkeng seturut imajinasi pemerintah totaliter, yang mengandaikan ketertiban sebagai keseragaman.
Padahal, tiap anak merupakan pribadi yang unik yang tak bisa diperbandingkan satu sama lain. Semua anak istimewa dengan kemampuan mereka masing-masing yang tidak persis sama yang harus dihargai dan dihormati keahlian dan kemampuannya masing-masing. Semua kemampuan anak-anak yang unik dan tidak sama tersebut harus dilihat sebagai anugerah bagi kehidupan. Anda bayangkan kalau kemampuan manusia seragam, bermusik semua, atau berhitung semua misalnya. Tentu tidak akan ada peradaban dan kebudayaan. Semuanya keahlian berharga dan saling melengkapi untuk membangun kehidupan yang baik. Tugas kita mengarahkan bahwa kemampuan yang dimiliki harus dipahami sebagai sarana untuk solidaritas dan cinta kasih, bukan untuk persaingan, saling mengalahkan dan permusuhan.
Nah, sebagai pintu masuk untuk mewacanakan proyek pengetahuan multikulturalisme tadi, kami memilih via ekologi. Ilmu tentang rumah tangga. Yang dimaksud rumah tangga di sini bukan dalam pengertian biasa layaknya orang membangun rumah tangga. Melainkan rumah tangga dalam pengertian hubungan manusia dengan lingkungannya. Dimana manusia menjadi bagian dari jagat raya ini. Mengapa kami memilih terminologi ini? setidaknya menurut kami, ekologi selaras dengan visi Islam rahmatan lil alamin, yang berupaya menjadikan Islam sebagai rahmat bagi alam (dan kehidupan).
Oh ya, meski saya dan istri besar di lingkungan keluarga pesantren, mulanya kami tidak ingin menggunakan nama pesantren untuk kegiatan pendidikan yang kami rintis. Namun setelah dipikir, sekarang mulai banyak pesantren, terutama di perkotaan yang mengajarkan fanatisme dan sangat eksklusif, maka kami memberanikan diri menggunakan nama pesantren.
Menarik melihat bahwa akhirnya Anda menggunakan nama pesantren. Sebenarnya, dalam sejarahnya, pesantren memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan pemahaman agama dan kehidupan berbangsa. Bagaimana Anda melihat peran pesantren dalam merespon isu-isu abad ke-21?
Tak bisa dipungkiri, pesantren merupakan corak pendidikan tertua di Indonesia yang diadopsi dari pola pengajaran dalam tradisi Hinduisme dan Bhudisme yang terlebih dulu ada di Nusantara. Jadi corak pengajaran pesantren tidak jauh berbeda dengan tradisi Hinduisme dan Bhudisme, dimana anak-anak dikirim ke pesantren sejenis biara untuk belajar agama dan ditempa spiritualitasnya, setelah itu, setelah dianggap cukup ilmunya, mereka mengabdi pada masyarakat.
Dengan demikian, pesantren juga merupakan produk dialektika antara agama dan budaya kreasi para penyebar Islam di Nusantara. Bagaimana agama dan budaya tidak saling menegasikan. Para wali mempertahankan tradisi pengajaran yang sudah ada. Bentuknya tidak diubah, yang diubah hanya isinya saja dengan nilai-nilai Islam.
Menurut saya, tugas pesantren sekarang jauh lebih berat dibanding pertama kali ia muncul. Pesantren sekarang mengemban tugas ganda. Selain harus menyelesaikan problem-problem internalnya yang belum tuntas seperti mengikis patriarkisme, figurisme dan feodalisme yang pada batas tertentu, masih melekat dalam kultur keberagamaan pesantren. Juga harus merespon problem sosial ekologi yang terjadi di luar pesantren.
Pesantren harus terlibat aktif mempromosikan kesetaraan, keadilan lingkungan, keadilan gender, dan kemanusiaan.
Menurut saya, pesantren tidak boleh terjebak sekedar menjadi lembaga pendidikan dan pemberi stempel keagamaan. Apalagi sampai terseret dalam puasaran bisnis agama dan pendidikan yang tengah marak. Kalau tidak, pesantren hanya akan tinggal fisiknya, namun kehilangan ruhnya di telan arus zaman. Singkatnya, pesantren harus terlibat aktif mempromosikan kesetaraan, keadilan lingkungan, keadilan gender, dan kemanusiaan.
Di awal tadi, Anda sempat mention soal pendidikan di Indonesia. Menurut Anda, seperti apa potret pendidikan agama Islam yang diajarkan di sekolah atau mungkin di pesantren?
Menurut saya kegagalan pendidikan agama merupakan efek dari kegagalan pendidikan secara keseluruhan. Seperti tadi saya bilang, pendidikan di Indonesia berwatak kapitalistik, patriarkis, militeristik (mengekang), ritualistik, dan formalistik. Menurut saya, tak ada yang bisa diharapkan dari watak pendidikan yang memuja keseragaman dan menebar ketakutan (kepatuhan) selain benih-benih fasisme dan totalitarianisme.
Mengapa? Karena anak-anak kita tidak pernah dilatih berpikir dialektis, bernegosiasi, berbagi pandangan, dan membuat aturan secara demokratis. Pokoknya harus patuh dan nurut. Kalau tidak sesuai dengan standar yang sudah baku yang ditentukan pihak sekolah, anak-anak dicap pembangkang, melenceng, dan nakal. Kepatuhan ala militer seperti ini mengebiri potensi anak. Mereka tak dilibatkan untuk membicarakan masa depan mereka, tak diajak merumuskan tentang apa yang baik dan buruk bagi hidup mereka. Tak dilatih untuk menggali definisi hidup yang baik dan bermakna. Semua sudah ditentukan, sudah ada template-nya, tinggal mau taat apa tidak. Artinya, semua hal hendak diseragamkan dan diukur dengan standar tertentu yang sejak awal tidak adil. Biasanya pihak sekolahan lebih memilih ribut dengan para muridnya untuk hal-hal yang tidak perlu, misal soal warna sepatu, baju tidak dimasukkan, atau tidak pakai gesper dls.
Cara beragama kita juga begitu. Tak boleh tanya, tak boleh protes, tak boleh sekedar untuk ragu. Hanya tinggal satu peraturan yang tak bisa ditawar: patuh, atau dicap pembangkang.
Yang lebih mengerikan, pendidikan kita tak mampu membedakan antara nilai dalam pengertian ekonomi dengan nilai dalam pengertian pendidikan dan budaya. Nilai dalam ilmu ekonomi adalah kapital, modal dan angka-angka. Sedangkan nilai dalam pendidikan dan budaya adalah pengalaman dan latihan hidup baik. Yang terakhir ini tak bisa diukur dengan angka.
Kita ambil contoh sederhana. Pelajaran agama Islam tiap ramadhan, guru memberi tugas muridnya untuk mengumpulkan tanda tangan imam sholat tarawih untuk membuktikan bahwa anak-anak telah ikut tarawih. Siapa yang mengumpulkan banyak tanda tangan akan mendapat nilai (angka) yang besar. Kalau tanda tangannya sedikit akan dapat nilai kecil atau bahkan dapat sangsi. Uniknya, pihak sekolahan mengklaim tugas seperti itu dapat melatih anak taat beribadah, dan latihan jujur.
Buat saya tak ada praktik yang lebih konyol dan absurd selain pelajaran agama seperti itu. Tugas meminta tanda tangan, alih-alih melatih anak berbuat jujur, justru menempatkan anak dan orang tua anak dalam posisi dilematis. Sebagian besar anak tidak akan sanggup menjalankan sholat tarawih sebulan penuh. Pilihannya dua, jujur dapat nilai kecil, atau bahkan dihukum, atau bohong dapat nilai besar dan dapat pujian. Sebagian besar akan memilih yang kedua. Lebih baik berbohong tapi dapat nilai tinggi dan dapat pujian, ketimbang jujur tidak dapat nilai besar dan akan distempel anak nakal atau tidak rajian ibadah.
Biasanya dari sinilah orang tua anak, terlibat dalam persekongkolan jahat memanipulasi tanda tangan agar anak-anak mendapat nilai besar dari gurunya di sekolah. Bahkan, ada pengalaman menggelikan dari teman saya waktu kecil. Dia dan orang tuanya mendatangi rumah imam tarawih, meminta sang imam menandatangani semua kolom, meski teman saya hanya ikut jamaah sholat tawarih beberapa kali saja. Setelah dewasa saya baru sadar, ternyata, kejahatan tadi dilembagakan dan dilanggengkan oleh sekolahan (tertawa).
Saya sangat khawatir dengan pendidikan agama di Indonesia yang cenderung ritualistik, formalistik, dan hitam putih. Sebab model beragama seperti ini akan menggerus akan spirit beragama itu sendiri. Kalau ini terus terjadi, maka substansi beragama akan sirna tinggal ritusnya saja. Model beragama seperti ini memicu orang semakin jauh dari nilai-nilai agama itu sendiri dan berpotensi mencetak manusia-manusia picik, fanatis, eksklusif, kurang bisa menghargai penalaran logis dan kehilangan sikap ilmiah.
Sekolah harus kita luruskan kembali jalurnya untuk mengisi waktu luang yang membuat anak-anak riang gembira bukan seperti sedang dimasukkan ke dalam penjara.
Apa sih spirit dalam agama (Islam)? Membela orang-orang yang dizalimi, memperbaiki kehidupan, memanusiakan manusia, atau menghargai kehidupan sosial yang multikultur. Sayangnya sekarang, agama lebih kerap ditampilkan sebagai hiburan ketimbang sebagai alat pembebasan.
Tugas kita sekarang membumikan Islam dengan mengajarkan komitmen hidup setara, merawat lingkungan, menghargai identitas dan agama yang berbeda, serta melatih anak-anak untuk bersolidaritas. Sekolah harus kita luruskan kembali jalurnya untuk mengisi waktu luang yang membuat anak-anak riang gembira bukan seperti sedang dimasukkan ke dalam penjara. Ingat tidak, kita dulu tiap hari selalu menanti-nantikan saat pulang. Karena alam bawah sadar kita merasakan sekolah sebagai penjara dan hukuman.
Penyampaian narasi agama seringkali pula mempertentangkan antara akal dan iman. Bagaimana Anda melihat fenomena ini?
Ya seperti tadi saya katakan, karena agama telah kehilangan spiritnya, hanya tinggal ritusnya. Mempertentangan akal dan agama tentu tidak pada tempatnya. Agama (Islam) sangat menghargai akal. Bahkan tidak sedikit ayat yang menyinggung peran akal. Wahyu misalnya, itu hanya mungkin diberikan bagi mereka yang berakal. Tidak mungkin hewan selain manusia mendapat wahyu untuk mengemban tugas tertentu dari Tuhan. Perintah yang diberikan Tuhan itu kan mengandaikan yang diperintah mengerti—dan untuk mengerti itu harus mendayagunakan akal—tentu akan aneh sekali yang diperintah ternyata tak bisa memahami perintah tersebut.
Kemudian, bagaimana cara mengembalikan relevansi agama di masyarakat, terutama di kalangan anak muda?
Agama, sebenarnya soal substansi dan nilai-nilainya. Jadi ya harus digali nilai-nilai beragama untuk kehidupan sekarang.
Jangan terkesima dengan bungkusnya kalau kata Gus Dur. Lebih baik isinya ketimbang bungkusnya. Masalahnya banyak orang suka dengan kemasannya ketimbang isinya. Bukan berarti saya hendak mengatakan bahwa kita harus mengabaikan kemasan. Tidak. Misal, apa sih hidup yang baik menurut Islam? Sederhana, bermanfaat bagi orang lainnya. Mulutnya tidak mudah melukai orang lainnya. Berpihak pada yang lemah dan membela keadilan. Sesederhana itu. Itulah Islam. Bukan soal jenggot, model hijab, jidat hitam dls. Jadi orang baik. Sudah. Itu saja.
Kalau santri-santri di pesantren bertanya mengenai hidup yang baik dalam Islam akan saya jawab. Kalian jadi anak baik, mencintai kebersihan, menyayangi teman, dan saling menghormati.
Buat saya, anak-anak muda bisa beragama dengan tetap santuy, tanpa harus merasa kurang iman, kurang saleh hanya karena mode celananya tidak sama dengan ustdaz yang lagi populer, atau karena tidak memanjangkan jenggot. Yang penting jadi orang baik.
Tapi tidak bisa dipungkiri kalau bungkusnya juga penting. Dulu Gus Dur pernah bilang, “Kamu lebih pilih minyak kelapa cap babi atau minyak babi cap kelapa?”, ini kan menggambarkan pentingnya substansi dalam narasi agama. Tapi di satu sisi kita juga tidak mau kehilangan “kulit”. Orang sering berdebat soal panjang jenggot atau panjang hijab, tapi dalam praktiknya pemanfaatan ajaran Islamnya nol. Padahal parameter dalam Islam itu kan sebaik-baiknya manusia harus bermanfaat bagi manusia lain.
Masalahnya sekarang kan banyak orang sedang memuja simbol.
Dalam industri agama, simbol ini yang diperjualbelikan. Orang harus terlihat saleh dengan baju koko dan peci tertentu. Orang terjebak pada hal-hal yang dianggap “syar’i”. Padahal kan sebetulnya tidak begitu, yang terpenting menutupi aurat. Bahkan kalau dalam analisis ekologi, harus dilihat apakah baju-baju yang kita pakai selama produksinya tidak merusak lingkungan dan menghisap buruh? Kalau masih merusak lingkungan dan menghisap buruh, tugas kita untuk mengubah itu semua menjadi lebih adil dan berkelanjutan. Sungai Citarum yang di Bandung, misalnya, kabarnya, airnya tercemar dan beracun disebabkan oleh pewarna dari industri garmen di sekitar sungai. Harusnya ini yang kita kritik dan dicarikan solusinya. Lalu, soal batasan aurat sendiri. Dulu, ketika para perempuan memakai kemben dan konde, itu biasa-biasa saja. Menjadi masalah, setelah tubuh perempuan dikomodifikasi dan dijual sensualitasnya.
Buat saya, anak-anak muda bisa beragama dengan tetap santuy, tanpa harus merasa kurang iman, kurang saleh hanya karena mode celananya tidak sama dengan ustdaz yang lagi populer, atau karena tidak memanjangkan jenggot. Yang penting jadi orang baik.
Trend hijrah juga sebenarnya bisa dilihat sebagai rangkain pemujaan atas simbol serta memaknai agama sebatas ritus. Mereka gemar membuat kategori saleh dan tidak dari parameter individu dengan simbol-simbol tertentu. Gerakan-gerakan moral seperti ini tanpa kesadaran politik kelas yang berpihak dan membebaskan juga bagian dari persoalan hidup kita hari ini, ketimbang sebagai solusi.
Karena itu sangat penting untuk membangun kesadaran politik di kalangan anak muda. Setelah itu ditangkatkan menjadi kesadaran politik kelas, kemudian bersukarela berjuang dalam perjuangan kelas dan berkadilan lingkungan. Ini merupakan prasyarat untuk mengembalikan relevansi agama. Misal kalau saya tanya, adakah agama yang membela penguasa lalim dan mendukung penghisapan? Tentu tidak ada. Nah, agar agama revelan, ya mau tidak mau harus menebalkan keberpihakannya pada pihak yang paling dilemahkan dalam struktur sosial saat ini. itulah dahulu yang dilakukan para Nabi. Musa vs Fir’aun. Muhammad vs Petinggi Quraisy.
Dewasa ini, agama seringkali dilihat sebagai antitesis dari progresivitas, bagaimana Anda melihat hal ini?
Menurut saya, Islam sebagaimana dipraktekkan Rasulullah dan para sahabatnya di masa Islam perdana, pada dirinya progresif, meski tanpa embel-embel progresif.
Thaha Husein, seorang pemikir dan sastrawan besar dari Mesir, dalam bukunya Al-Fitna Al-Kubra atau (Fitnah Terbesar) mengatakan, seandainya Rasullullah hanya mengajarkan Tauhid saja, tidak akan dimusuhi oleh para petinggi kaum Quraisy. Rasulullah dimusuhi karena berusaha mencongkel struktur sosial yang tidak adil dan menindas. Rasulullah dimusuhi karena mempromosikan kesetaraan dan keadilan. Beliau membebaskan budak, membela hak-hak perempuan, menegakkan supremasi hukum, dan menjunjung tinggi persaudaran. Pendeknya, Rasulullah dimusuhi karena melawan kelas penguasa yang zalim dan dianggap mengancam dominasi kelas penguasa. Jadi bukan soal konsep Allah.
Dalam merespon isu-isu global yang ada, apa yang bisa dilakukan oleh pemuka agama dalam memberikan gambaran menyeluruh serta memantik diskusi di dalam lanskap agama, khususnya di kalangan anak muda?
Pertanyaan sulit sebenarnya.
Mungkin, yang paling sederhana, membangun pendidikan politik dahulu. Belajar memahami persoalan-persoalan konkret yang sedang terjadi di tengah masyarakat. Banyak pemuka agama yang fasih dengan kajian agama tapi masih miskin analisis. Tidak bergumul dengan teori-teori sosial kritis dan tidak punya pengalaman hidup bersama masyarakat yang menjadi korban kebijakan yang tidak berpihak. Mereka cenderung di atas menara gading, dipuja, dikagumi, dihormati, dianggap nyaris suci, necis, rapi, mewah, dan kaya.
Berapa banyak tokoh agama kita yang punya pikiran terbuka? Sangat sedikit sekali. Sebagian besar adalah bigot. Sudah terlanjur dianggap pemuka agama, maka merasa kebal kritik dan menempatkan dirinya sebagai pusat kesadaran masyarakat. Ini yang berbahaya, karena miskin analisis, gagal memahami persoalan-persoalan konkret, mereka bisa dengan mudah dijadikan sebagai stempel kekuasaan atau penghisapan.
Pernah suatu ketika, kawan-kawan buruh di Bekasi cerita, mereka diintimidasi pihak perusahaan saat mereka memperjuangkan hak-haknya. Bahkan pihak perusahaan sampai mendatangkan seorang ustadz untuk menghardik aksi para buruh yang sedang berjuang menuntut keadilan.
Ada yang melihat fenomena hijrah sebenarnya adalah gerakan kapitalisme berkedok agama. Bagaimana pendapat Anda?
Saya gelisah sebenarnya karena selain wataknya yang kapitalistik juga banyak ujaran kebencian bermunculan di sana. Masalahnya, para intelektual Islam progresif yang jauh lebih kompeten, belum mampu tampil ke depan mewarnai mimbar-mimbar dakwah Islam. Mungkin di dalam forum-forum akademis dan aktivisme sosial, para intelektual Islam progresif sangat mewarnai, tapi di luar forum tersebut, mereka hampir tidak dikenal sama sekali.
Mungkin sudah waktunya juga ada yang berani merambah dunia dakwah tanpa tergelincir dalam kapitalisasi agama. Semoga saja nanti ada yang bisa.
Mungkin sudah waktunya juga ada yang berani merambah dunia dakwah tanpa tergelincir dalam kapitalisasi agama. Semoga saja nanti ada yang bisa.
Aktif di ruang digital sepertinya menjadi salah satu cara Anda dalam menyampaikan perspektif baru dalam Islam. Anda sendiri adalah salah satu pendiri Islam Bergerak, sebuah media Islam yang progresif. Menurut Anda, seperti apa pengaruh ruang digital dalam melakukan hal tersebut?
Ya, sekarang dengan adanya ruang digital memberi peluang bagi siapapun bisa menyampaikan gagasannya, dan pandangan politiknya. Digital sebenarnya bisa jadi sebuah ruang bebas yang bisa diperebutkan semua pihak. Jadi belum tentu juga, setelah menyampaikan gagasan di sebuah kanal media, taruhlah Islam Bergerak, kemudian otomatis gagasan dan gerakan Islam progresif akan menang atau minimal ditangkap banyak orang. Ukuran banyaknya seberapa? Tentu tidak sebanding dengan pengikut para ustadz selebritis dengan program hijrahnya. Tentu masih kalah jauh dengan penonton Ria ricis atau Atta Halilintar. Atau bila dibandingkan dengan media-media Islam lainnya, kami masih kalah jauh. Namun, ya, setidaknya meski kecil bisa mewarnai dengan memberikan gagasan-gagasan segar keberislaman.
Saya dan mungkin kawan-kawan lainnya, paham bahwa media-media progresif tidak akan mendapat ceruk pembaca atau penonton yang sangat besar. Tapi setidaknya, meski prosentasenya kecil dibanding media-media Islam yang lebih populer, media islam progresif tetap akan mendapat pembaca setia yang haus dengan gagasan-gagasan segar yang ditawarkan.
Ya, niatnya adalah menjadi butiran-butiran pasir yang secara intens ditabur ke dalam mesin. Mungkin tidak sekarang, mungkin kelak, mesin itu akan macet oleh butiran-butiran pasir yang telah kita tabur. Artinya kami sadar bahwa gagasan dan wacana yang kami usung belum dominan, tapi cukup bisa mengganggu kemapanan wacana Islam yang jumud dan cenderung konservatif.
Tapi gini, siapa yang betah baca tulisan-tulisan njlimet dengan banyak analisis sosial? Jadi wajar kalau misalnya pembaca Islam Bergerak tidak sebesar media-media Islam lainnya. Karena membaca tulisan-tulisan di sana cukup berat bagi orang yang malas berpikir. Bahkan ada yang mengkritik, kalau Islam Bergerak itu tidak ada Islamnya [tertawa]. Tapi, saya bilang kalau apa yang ada di Islam Bergerak itu Islami. Menjelaskan problem penggusuran, misalnya, dengan riset yang matang dengan kerangka teoritik tertentu, itu kan sebenarnya Islami. Tapi, orang tidak melihatnya sebagai sesuatu yang Islami. Mungkin mereka mengira, media Islam itu yang banyak berisi ulasan zikir, atau cara beribadah. Bukan yang banyak nulis analisis [tertawa].
Kadang saya juga berpikir, mengapa kelompok Islam konservatif, membuat pengajian berbayar saja bisa laku. Mungkin memang banyak yang sedang galau di dalam sistem kapitalisme sehingga perlu obat penenang [tertawa].
Mungkin selain online perlu juga diimbangi dengan gerakan offline. Karena menawarkan perspektif baru di media online, juga belum cukup untuk memenangkan “pertarungan” merebut ruang publik. Kadang saya juga berpikir, mengapa kelompok Islam konservatif, membuat pengajian berbayar saja bisa laku. Mungkin memang banyak yang sedang galau di dalam sistem kapitalisme sehingga perlu obat penenang [tertawa].
Jika dilihat memang pergerakan Islam yang progresif tidak terlalu terlihat di masyarakat, yang justru banyak muncul adalah mereka yang konservatif. Konservatisme sendiri sepertinya semakin mengakar di masyarakat. Bagaimana Anda menyikapi hal ini?
Menurut saya ini ada kaitannya dengan krisis kapitalisme. Orang membutuhkan jawaban dan pegangan hidup. Ya tadi saya bilang, banyak yang galau, bimbang antara hedonisme sekular atau hedonisme islami. Jawabannya ada di ustadz-ustadz selebritis itu. Para ustadz ini tampil bak payung teduh dan lebih dari itu memberi ketenangan (ini juga tak jauh beda dengan membawa ke-terlena-an). Narasi yang mereka sampaikan tidak rumit. Misal, kenapa umat Islam tertindas? Jawaban mereka bukan analisis soal. Cukup teriak, China! Kalau masih kurang bisa ditambahi, Kafir! Kalau masih kurang lagi, ditambahi, Zionis Yahudi plus Dajjal!. Tak perlu berpikir dan belajar ekonomi politik. Cukup dengan hasutan. Para jamaah akan puas sudah dan merasa dibela dan dilindungi oleh para demagog dan badut-badut agama.
Biasanya juga di sana diajarkan kiat-kiat sukses ala Islam, seperti memperbanyak sedekah, memperbanyak istri, memperbanyak anak dan jawaban-jawaban absurd lainnya. Kuncinya jangan ajak masyarakat berpikir, dakwah laku, masyarakat terlena (terbuai) dan ustadz dapat bayaran. Cukup.
Intinya, nggak terlalu banyak mengajak berpikir dan telaten membuat konten menghibur atau menenangkan hati orang-orang galau yang hidup di dalam sistem kapitalisme yang serba tidak menentu. Dan jangan salah yang disebut menghibur di sini termasuk di dalamnya ujaran kebencian rasial. Karena dari sana jama’ah merasa hatinya dibuat tenang dan senang dengan membenci agama lain dan etnis lainnya.
Sejalan dengan pola dakwah seperti itu juga tumbuh subur imajinasi umat Islam untuk mendirikan negara Islam, untuk mengembalikan kejayaan Islam. Kejayaan Islam di sini ada dalam perspektif kapitalistik dan imperialistik, di mana Islam diproyeksikan bisa menguasai dunia.
Tapi yang perlu dilihat juga, tendensi kebencian rasial itu bukan khas Islam. Ini gejala global. Narasi yang dibawa Habib Rizieq misalnya, tak jauh beda dengan Donald Trump di Amerika dan Narendra Modi di India. Yakni politik identitas yang anti keragaman. Ini artinya konservatisme itu adalah gejala global, tidak khas Islam. Islam hanya menjadi salah satu di antaranya dan menjadi tantangan di Indonesia. Saya melihat sentimen agama hanya dipakai untuk tujuan ekonomi dan politik.
Lagi-lagi, mungkin memang sudah waktunya intelektual Islam progresif tampil di mimbar-mimbar dakwah memberikan jawaban yang solutif atas kegelisahan ini. Orang terkadang membayangkan Islam berat sekali, misal dengan harus ada negara Islam. Kalau menurut saya, Islam itu agama dan masyarakat. Bentuknya pengorganisasian masyarakatnya bisa bermacam-macam, bisa dengan negara atau bisa juga tidak.
Di tengah kondisi pandemi ini, bagaimana agama bisa membantu menyikapi masalah yang ada di masyarakat?
Banyak kaum beragama cara berpikirnya fatalistik, melihat semua masalah di dunia sebagai ujian dari Tuhan. Padahal, tidak seperti itu. Krisis sosial ekologi saat ini, termasuk covid-19 merupakan masalah manusia dan karena itu, bukan tanggungjawab Tuhan. Persoalan ini harus dijawab dan dijelaskan secara scientific bukan dikembalikan ke Tuhan. Kalau semua masalah krisis ekologi adalah tanggungjawab Tuhan, enak sekali para kapitalis yang telah meresikokan kehidupan untuk kepentingan modal tidak dimintai pertanggungjawaban. Kerusakan ini disebabkan oleh sistem kapitalisme dan para penyokongnya, kaum kapitalis.
Saya rasa yang bisa didorong oleh tokoh agama adalah mengedepankan bukti-bukti ilmiah dari pandemi dan tidak menyuguhkan teori konspirasi atau alam pikir fatalis yang menyesatkan.
Saya rasa kita harus mendorong proposal pembangunan yang tidak berorientasi pada agregat pertumbuhan ekonomi atau Produk Domestik Bruto (PDB). Jadi, bagaimana pembangunan bisa memberikan kebahagiaan yang tidak “menghisap” dan merusak. Ini harus ditawarkan oleh tokoh-tokoh agama, terutama di dalam Islam. Karena ini sangat Islami.
Jadi, pandemi ini seharusnya bisa menawarkan perspektif baru selain perspektif kapitalisme?
Ya tentu. Kapitalisme pada dirinya adalah masalah. Ia hanya mungkin hidup melalui hukum gerak modal yang menjarah ruang hidup dan menghisap buruh. Tak hanya itu kapitalisme juga menyeragamkan segalanya. Sekarang, definisi kita atas semua hal di dunia ini, tanpa disadari telah dituntun oleh kapitalisme. Watak kita sebagai manusia dan hewan sosial juga diubah oleh kapitalisme.
Apa itu cantik, apa itu gagah, apa itu gaul, apa itu orang yang keren, apa itu sukses, definisi dan pengertian atas semua tadi telah diseragamkan oleh kapitalisme. Anak-anak muda harus kritis terhadap ini semua, karena mereka telah dijajah, dan didikte pikiran dan tubuhnya. Kita harus mengganti sistem ini, dan membangun imajinasi tentang kesuksesan dan kebahagian yang sesungguhnya. Sekurangnya ada tiga hal yang harus jadi prioritas kehidupan pasca pandemi. Pertama, pendidikan. Kedua, kesehatan. Ketiga, kedaulatan pangan memalui pertanian kolektif. Kalau kita bisa mencapai tiga hal ini, tentu akan sangat bahagia sekali kehidupan manusia. Nah, ketiga hal tadi bisa diwujudkan melalui sosialisme berwawasan ekologis.
Memang manusia setelah itu, tidak lagi bermewah-mewah ria,tidak akan punya barang-barang branded. Tapi, kita bahagia. Hutan-hutan lestari, laut tidak tercemari, udara segar, produksi bersama dinikmati bersama, kelimpahan pangan, kecukupan gizi, tak ada yang dihisap, saling mengasihi satu sama lain, semua mendapat pendidikan yang baik, dan kesehatan terjamin [tertawa]. Absurd!? Tidak. Kalau kita mau mengupayakannya.
Pertanyaan terakhir, menurut Anda bagaimana Islam di Indonesia di masa depan?
Saya optimis dengan masa depan Islam di Indonesi akan lebih terbuka dan berpihak. Setidaknya, semoga saja tidak keliru, ada tuntutan dan tekanan dari situasi-situasi konkret yang harus diselesaikan umat beragama, yang memungkinkan mereka untuk saling bergandengan tangan ketimbang bermusuhan.
Riak-riak kecil dan suara konservatif akan selalu ada, tapi resonansinya tidak besar. Saya optimis kalau narasi-narasi agama akan lebih progresif di masa depan. Agama akan ditransformasi menjadi cinta kasih, jembatan menuju kehidupan yang lebih baik. Tapi dengan catatan, kita harus sama-sama kerja keras dengan mendorong narasi-narasi baru yang progresif ini di masyarakat. Saya rasa dengan begitulah agama bisa memberikan solusi.