Bagaimana Rajutan Menjadi Terapi Bagi Perempuan bersama Komunitas Quiqui
Berbincang bersama Fitriani A. Dalay dari Komunitas Quiqui tentang pemberdayaan perempuan melalui seni rajut hingga peran pemerintah dalam memberi dukungan bagi komunitas.
Words by Ghina Sabrina
In partnership with British Council - DICE (Developing Inclusive Creative Economy)
Banyak alasan untuk seseorang ikut dalam sebuah komunitas. Terutama dalam Komunitas Quiqui, sebuah komunitas perajut Makassar, alasan tersebut bisa karena keinginan untuk belajar lebih lanjut soal seni rajut atau karena keinginan untuk berkumpul dan sekaligus menjadi alasan agar bisa keluar rumah. Namun, dari obrolan yang muncul di tengah aktivitas tersebut, muncul gagasan-gagasan yang bersinggungan dengan isu sosial di antara kita seperti kekerasan dalam rumah tangga hingga masalah posisi perempuan dalam keluarga. Oleh karena itu kami berbincang bersama Fitriani A. Dalay, salah satu pendiri Komunitas Quiqui tentang rajutan sebagai terapi, aktivitas Bom Benang sebagai bentuk unjuk rasa hingga peran pemerintah dalam memberi dukungan bagi komunitas.
Bagaimana proses awal terbentuknya Komunitas Quiqui?
Jadi awalnya itu kami sebenarnya hanya mengumpul buat bikin kelas merajut, cuma ada di bawah 6 orang. Perkumpulan itu kami adakan sekali seminggu, terus lama-kelamaan jadi rutin. Karena teman-teman yang lain penasaran, satu-dua orang mulai berkumpul dan datang. Setelah itu kami mulai mengadakan piknik merajut, terus kemudian sharing tips dan tricks. Biasa lah kalau piknik gitu kita makan-makan, terus bawa keluarga, ajak teman, berkenalan terus lama-lama jadi banyak. Kegiatan itu kemudian jadi rutin dan diadakan setiap akhir pekan.
Selain merajut, kami ada obrolan personal biasanya. Jadi bagi teman-teman/ibu-ibu muda ada curhatan rumah tangga, ngobrolin hal-hal yang bersifat internal misalnya cash flow dan kesehatan reproduksi perempuan. Kebetulan teman-teman yang datang itu beragam basic-nya, ada yang analis di laboratorium, LSM, dosen, dokter, macam-macam lah. Untungnya karena ada informasi yang beragam, bukan cuma merajut akhirnya. Karena ada yang curhat, ada yang menimpali, jadi mengobrol dan lebih berkualitas obrolannya. Karena lama kelamaan makin banyak yang datang, akhirnya kita menginisiasi Komunitas Quiqui untuk dibentuk.
Kegiatan Komunitas Quiqui didasari dengan spirit women empowerment, memang seperti apa masalah-masalah yang dihadapi oleh perempuan di sana?
Sebenarnya masalah yang dihadapi hampir sama saja dengan masalah-masalah perempuan yang ada di Indonesia. Yang paling mencolok dari masalah perempuan itu masalah eksistensi, pengakuan, karena di masyarakat kita yang maskulin jadi apa-apa itu tolak ukurnya lewat laki-laki. Mereka yang harus di depan, laki-laki yang harus memberi nafkah, dan dengan itu akhirnya perempuan jadinya kalau keluar ada batasan waktu sementara laki-laki tidak. Ibu-ibu muda juga seperti itu. Karena ada tuntutan untuk punya anak, terus suami juga harus diurusin, rumah juga harus diurusin, itu lah yang membuat eksistensi diri agak terkikis di perempuan. Terutama bagi yang sudah berumah tangga.
Apakah setiap member dari Komunitas Quiqui tertarik untuk bergabung karena ingin menambah skill merajut atau karena alasan lainnya?
Motif berkomunitas kan macam-macam, ada yang benar-benar memang ingin belajar merajut, ada juga yang ingin belajar merajut karena dia melihat ada motif ekonomi di baliknya karena bisa dijual. Terus kalau motif yang lain, saya pikir ada yang karena ingin berkumpul sekaligus mencari alasan agar bisa keluar rumah. Terus misalnya ingin belajar merajut karena ingin bikin topi buat bayi, jadi tidak harus keluar uang untuk beli sehingga dana hobinya bisa jadi positif. Terus kalau keluar itu kami biasanya piknik, dan pada saat itu jadinya orang pada membawa bekal masing-masing dari rumah lalu kita sharing, jadi semacam potluck. Dengan begitu, ini bukan hobi yang berbahaya dan suami-suami juga menganggap ini aman, makanya mereka dibolehkan untuk keluar. Mereka keluar pun biasanya mengajak saudara, anak, atau bahkan suami.
Yang paling mencolok dari masalah perempuan itu masalah eksistensi, pengakuan, karena di masyarakat kita yang maskulin jadi apa-apa itu tolak ukurnya lewat laki-laki.
Bagaimana kalian melihat perkembangan minat masyarakat terhadap seni rajut, apalagi jika dibandingkan dengan waktu awal mula kalian terbentuk?
Pada awalnya merajut itu dianggap sebagai materi pelengkap yang sifatnya dekoratif. Misalnya taplak meja, topi bayi, dan selimut. Lalu kemudian berkembang karena tiba-tiba hype di kalangan teman-teman Makassar. Merajut ini kan dulunya memang pekerjaan orang-orang, para perempuan di rumah, yang lalu menjadi komunitas dan kemudian diantar ke publik. Jadi dari domestik menjadi publik. Orang-orang melihat ini sudah menjadi lebih menarik, benang-benangnya sudah lebih beragam, desainnya pun sudah berbeda, sekarang kita bisa bikin kupluk yang agak gaul. Handmade itu menjadi tren. Ini kemudian cukup membantu perkembangan seni rajut di Makassar.
Banyak perempuan yang turut terbantu dalam masalah perekonomian keluarga. Begitu bisa merajut, bisa saja mereka tiba-tiba mendapatkan pesanan, padahal sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan tapi karena sedang tren makanya ada minatnya. Dari situ perempuan jadi punya nilai lebih, posisinya lebih bersaing lah dalam keluarga. Dia itu tidak lagi menjadi pihak yang diberi. Tapi, dia itu bisa urun tenaga, memberikan kontribusi untuk kebutuhan-kebutuhan dasar keluarga sehari-hari. Itu baru di bagian rumah tangga. Kalau di kalangan anak muda sendiri, merajut menjadi alat bertemu dan berkomunikasi karena terlihat unik dan mengikuti tren saat ini.
Merajut itu gerakan ritmis yang membuat tekanan darah menjadi lebih stabil, detak jantung menjadi normal dan emosi menjadi stabil.
Kemudian, bagi Quiqui sendiri merajut itu berubah bentuk. Yang awalnya bersifat dekoratif, kemudian menjadi pisau bedah buat kami dalam menginisiasi dan menganalisis persoalan warga. Misalnya saat kita bertemu dengan mereka kita melihat ada masalah perekonomian yang terjadi, jadi posisi perempuan itu nilainya tidak bisa seimbang dengan laki-laki karena mereka itu di posisi yang diberi. Dengan adanya merajut itu sebagai alat, yang lalu menjadi sebuah pengetahuan baru yang membuat perempuan dianggap ada di dalam keluarga dan di lingkungannya.
Dengan merajut, warga itu satu-satu berkumpul dan dari perkumpulan itu lalu ada supporting group. Merajut itu gerakan ritmis yang membuat tekanan darah menjadi lebih stabil, detak jantung menjadi normal dan emosi menjadi stabil. Pada awalnya, sebelum bisa merajut kita masih fokus dengan teknis, lalu setelah bisa teknik, itu menjadi gerakan ritmis. Seperti sudah hafal di luar kepala. Kemudian para perajutnya ini akan mencari cara lain supaya kegiatan merajut ini bisa menjadi lebih menyenangkan, yaitu dengan mengobrol. Mereka bisa curhat, mengobrol tentang apa saja. Dengan begitu, satu-satu masalah keluarga diobrolkan dengan santai. Secara tidak sadar supporting group itu terbentuk.
Salah satu event yang sering digelar oleh kalian adalah Bom Benang, di mana Komunitas Quiqui dapat menginvasi ruang publik dan juga mengajak perempuan untuk ikut serta. Boleh ceritakan tentang ide sekaligus misi dari gelaran ini?
Bom Benang itu awalnya kami lakukan hanya sekadar untuk unjuk rasa. Jadi kami mau menunjukkan kalau kami, terutama ibu-ibu pasca melahirkan ini bisa bikin sesuatu. Mereka itu mengalami depresi, jadi dari yang awalnya bisa bebas terus tiba-tiba harus di rumah karena harus mengurus bayi, terutama di tiga bulan pertama. Itu lah sindrom baby blues, jadi perempuan mengalami depresi karena tiba-tiba ada perubahan hidup yang luar biasa. Kemudian teman-teman ini ingin bikin event untuk menunjukkan kalau kita ini ada. Ibu-ibu muda ini sebenarnya masih bisa bikin sesuatu lho, bukan cuma bisa mengurus bayi saja terus terkungkung di rumah. Awalnya sih cuma dari situ, tapi kemudian selesai dari situ kami bilang, “Mau selesai di sini aja atau masih mau bikin lagi?” Akhirnya teman-teman bersemangat untuk membuat acara ini lagi.
Pertanyaannya adalah apakah kami masih mau berlokasi di halaman rumah, atau di mana? Kemudian intervensi publik kami lakukan dengan menggunakan taman kota untuk Bom Benang. Kami itu memperkenalkan hal-hal domestik ke ranah publik, selain dengan rajut, kami juga mengasuh anak sambil merajut, terus membawa keluarga, orang tua, terus mereka pun diajak piknik. Jadi semuanya kelihatan, yang domestik itu ternyata tidak masalah untuk dibawa ke publik. Terus juga selain perempuan, laki-laki juga ada beberapa yang senang merajut. Jadi kami sekalian mengkampanyekan juga kalau hobi itu sebenarnya tidak bergender, bisa dilakukan oleh siapa saja. Terus visinya itu agar perempuan dan semua pelaku perajut itu merasa berdaya. Dengan membuat sesuatu, kita bisa merasa “Saya juga bisa membuat sesuatu ya, gak cuma masak atau mengurus bayi”. Atau bagi ibu-ibu muda yang tidak bisa masak merasa kalau mereka bisa merajut. Bisa menunjukkan sesuatu, terutama ke suami dan keluarga. Jadi kemudian karena dipercaya, rasa percaya diri dan berdaya itu bisa timbul.
Lewat Bom Benang, kalian tidak hanya memberdayakan komunitas dan warga sekitar, tapi juga bisa mengadakan aktivitas yang bersinggungan dengan isu sosial seperti kekerasan, keluarga hingga lingkungan. Apa yang telah dipelajari dari sederet gelaran ini?
Pada awalnya, kami ke tempat-tempat yang kami adakan Bom Benang itu tidak langsung masuk begitu saja. Kami ada teman-teman yang memang benar-benar suportif ke kegiatan kami dari tahun ke tahun. Kebetulan kami punya teman pengacara yang sering menangani kasus perempuan dan anak, lalu mereka itu semacam mengusulkan ide atau kadang-kadang saat kami mengobrol terus ada yang memberi tahu letak daerah yang patut diintervensi. Jadi sebelum masuk ke suatu daerah, kami memiliki data terlebih dahulu, ada riset dan hal-hal yang diperlukan sebelum masuk ke tempat yang kita pikir perlu diadakan intervensi. Ada persoalan jaringan juga. Jadi kalau kita tidak punya jaringan, kemungkinan besar yang kami kerjakan agak ribet dan tidak lancar. Tapi karena kami punya jaringan dan punya data, hal tersebut cukup untuk menjadi modal awal untuk masuk satu tempat.
Yang kami dipelajari dari deretan Bom Benang yang pernah digelar itu banyak, tapi yang paling mencolok itu cara kerja warga, cara kerja kekeluargaan. Sebenarnya warga itu bukan tidak berdaya seperti yang kebanyakan diduga. Namun mereka itu hanya membutuhkan pemicu atau wadah yang bisa memfasilitasi mereka mencapai harapan-harapan mereka. Sebagai fasilitator, Quiqui itu membantu mengarahkan fokus mereka agar bisa melihat lebih jernih apa yang tengah dihadapi bersama. Jadi kami itu tidak lagi hanya memberikan pengetahuan baru, tapi mengingatkan pengetahuan lama yang sudah pernah mereka miliki lalu kemudian mengajak mereka memanfaatkannya. Lalu, fasilitator seperti Quiqui itu membantu menyesuaikan pengetahuan yang sudah ada, yang mereka punya, itu dengan keadaan yang sedang mereka hadapi.
Mereka itu hanya membutuhkan pemicu atau wadah yang bisa memfasilitasi mereka mencapai harapan-harapan mereka.
Kita sebenarnya bukan datang membawa solusi atau datang sebagai guru yang memberi pengetahuan baru. Kita menggunakan merajut itu sebagai alat untuk mereka mengenal kembali lingkungan mereka, mengenali apa yang mereka punya di sekitar mereka, terus memberdayakan modal yang mereka punya. Kami bukan menjadi pahlawan yang datang untuk menyelesaikan masalah, karena mereka kan nanti akan bergantung, menunggu pahlawannya terus agar mereka bisa maju. Modelnya tidak seperti itu. Istilahnya kami itu seniman yang mau membuat karya, kemudian mengubah keadaan dari kami ini yang sudah tertolong dengan cara yang kami kerjakan, lalu kami berupaya untuk membuat warga bisa merasakan hal yang sama. Mereka itu menjadi senimannya, membuat karya, sehingga menjadi berdaya kemudian menyadari bahwa mereka sebenarnya punya banyak potensi di tempat mereka yang serba terbatas.
Seperti kemarin kami mengadakannya di Kampung Nelayan, di mana tingkat kekerasan dalam rumah tangga di kampung itu cukup tinggi. Mereka punya musim kekerasan. Misalnya setiap musim barat tiba, nelayan itu pasti pada di rumah karena mereka tidak bisa melaut. Di situ tingkat kekerasan tinggi sekali karena kebutuhan keluarganya terus ada, harus bayar uang sekolah, dapur harus terus mengepul, sementara nelayan tidak bisa dapat uang. Jadi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka hanya bisa bergantung sama itu. Kami datang dengan memberi pilihan yang sebenarnya mereka sudah punya dari dulu, nenek-nenek kita kan dulu sebenarnya sudah bisa merajut. Ada juga yang waktu kita tanya, mereka bilang sudah pernah merajut sebelumnya tapi bosan karena benang yang ada cuma itu-itu saja, alat yang ada juga cuma itu-itu saja, dan desain yang ada juga gitu-gitu doang. Kemudian karena kami memperlihatkan “gini lho”, lalu mereka sadar kalau artinya tinggal bikin yang lucu-lucu saja agar bisa dijual juga nantinya. Terus mereka akhirnya bisa menerima pesanan souvenir pengantin. Jadi bisa menambahkan pemasukan rumah tangga.
Untuk sebuah komunitas bisa berjalan, juga perlu dukungan dari pemerintah setempat agar dapat menjadi komunitas yang berkelanjutan. Namun upaya seperti apa yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk mendukung sebuah komunitas?
Yang seperti kita tahu, pemerintah itu tidak banyak membantu. Tapi kebanyakan yang dilakukan oleh pemerintah itu sebetulnya menduplikat apa yang dikerjakan oleh komunitas. Kan aneh ya? LSM, komunitas, kolektif, itu semua timbul karena pemerintah tidak menjalankan perannya dengan baik. Jadi timbul lah LSM yang menginisiasi pemberdayaan pada warga, memberikan bantuan, terus komunitas yang ikut membantu dan lain sebagainya. Kita kemudian melakukan itu karena tidak ada inisiatif dari pemerintah. Di saat kita kerjakan, kemudian pemerintah melihat itu menjadi hal yang menarik karena mereka tidak punya ide untuk menjalankan program, lalu diduplikasi lah apa yang kita kerjaan.
Tapi masalahnya, begitu mereka mengajak warga untuk melakukan misalnya workshop kerajinan, itu kemudian warga inisiatifnya sudah berubah. Yang awalnya dari komunitas, warga itu diajak untuk belajar memberdayakan diri, tapi kemudian dengan masuknya pemerintah lagi, menduplikasi apa yang kita kerjakan, warga itu motifnya bukan untuk belajar lagi cuma untuk per diem. Mereka itu mengharapkan ongkos transport dan segala macam. Beberapa kali sudah terjadi. Teman kami kan ada yang bekerja di Dekranasda Makassar juga, dia itu sering memperhatikan suka ada orang yang sama di workshop yang berbeda, itu-itu lagi. Jadi motifnya itu sebenarnya bukan untuk belajar lagi tapi mengharapkan per diem itu. Akhirnya kita menghasilkan warga yang malas. Jadi sebenarnya pemerintah itu tidak perlu menduplikasi, malah kita melakukan ini karena pemerintah tidak mengerjakan apa yang mestinya mereka kerjakan. Tapi yang pemerintah bisa lakukan ya paling mengajak komunitas, kolektif, atau individu untuk meminta saran apa yang sebaiknya dikerjakan bersama. Selain mengajak kita untuk berdialog dan melihat apa yang bisa dikerjakan, pemerintah itu bisa menyediakan apa yang dibutuhkan oleh para kolektif atau komunitas. Misalnya komunitas memproduksi pengrajin, pemerintah semestinya bisa melihat itu sebagai peluang dan bisa menyediakan pasar bagi mereka. Pemerintah itu harus menyediakan iklim positif yang mendukung bagaimana pengrajin ini bisa menyalurkan kerajinan yang telah mereka kerjakan, misalnya membuat pasar atau event yang membuat pengrajin ini terus terpicu untuk membuat karya yang bagus.
Pemerintah itu harus menyediakan iklim positif yang mendukung bagaimana pengrajin ini bisa menyalurkan kerajinan yang telah mereka kerjakan.
Di samping itu, untuk pemerintah yang membantu kolektif atau komunitas, salah satu yang paling penting itu memberi dukungan dalam bentuk mempermudah izin untuk melaksanakan kegiatan. Kebanyakan sih kami agak dipersulit, misalnya ditunda-tunda surat izinnya, diharuskan untuk membayar tempat yang akan kami gunakan, dan lain sebagainya. Sebenarnya kami itu membantu, tapi pemerintah tidak melihatnya sebagai bantuan. Sebenarnya kalau diuangkan itu lumayan besar kalau dihitung, tapi sayangnya pemerintah tidak bisa melihat dari aspek itu.
Menyambung dari pertanyaan sebelumnya, bagaimana kalian melihat dikotomi antara kegiatan kolektif dan komunitas serta dukungan pemerintah di pusat dan daerah?
Dalam kolektif, kita bekerja atas dasar kerelawanan dan ingin berbagi. Paling kemudian yang menjadi dikotomi antara komunitas dan kolektif, ketika kita kerja bareng, cara kerja yang bisa kita gunakan itu biasanya agak tidak begitu sama. Jadi paling itu dibicarakan, lalu kita membuat kesepakatan yang bisa dilakukan bersama.
Menurut Anda, apa saja dampak yang sudah terlihat di lanskap komunitas Makassar akibat pandemi ini?
Yang paling kelihatan itu event-event memang benar-benar sudah berkurang dan bahkan tidak ada. Jadi semua orang cuma bisa online. Kalau dari Komunitas Quiqui sendiri, seperti yang kebanyakan orang kerjakan, kami cuma bisa online. Mengobrol, memberikan gagasan baru itu juga dilakukan lewat WhatsApp group. Paling kami juga mendorong semua orang untuk menggunakan masker, saya melindungi dan kamu melindungi saya.
Yang kemudian menjadi kekhawatiran saya pribadi dan seperti apa yang diusung oleh Quiqui, adalah sampah masker ini kemudian akan menjadi masalah dan itu ternyata terbukti. Ada berita yang memberitakan kalau di laut itu muncul banyak sekali sampah baru berupa masker dan sarung tangan sekali pakai. Sebelum berita itu muncul kami pun sudah mendorong orang-orang untuk menggunakan bahan yang tersedia di rumah. Jangan membeli masker baru karena secara bersamaan seluruh dunia membeli kain katun 100%. Membeli katun dan karet untuk membuat masker. Sekarang mencari bahan katun dan karet itu sudah sesusah mencari narkoba, langka banget dan harus sembunyi-sembunyi.
Makanya saya pikir, sudah tidak benar ini. Maksudnya, emang harus beli? Kalau mau bikin masker itu kan bisa, jahit tangan itu kan mudah, tutorial melimpah di YouTube. Sebenarnya kita bisa memberdayakan apa yang ada di rumah. Kalau susah beli, ya memang karena sekarang darurat, surgical mask dan N95 itu harus dipakai oleh tenaga medis kita karena memang mereka yang membutuhkan. Mereka di frontline. Kita sebagai warga yang tidak begitu sering terpapar, kita bisa memanfaatkan yang ada saja dan jangan mengada-ada dengan selalu membeli. Di saat ini kita di dalam keadaan sudah harus hemat dan harus bisa memanfaatkan semua yang ada.
Dorongan dari kami sebagai komunitas itu ya menggunakan bahan apa saja yang ada di rumah seperti seprei, sarung bantal, sarung, bekas jilbab, baju, daster, itu semua bisa dibuat menjadi masker sebenarnya. Dan tidak usah memakai karet, bisa memakai tali apa saja. Intinya adalah fungsi, bukan gayanya. Minimal memberikan penyadaran kepada warga dan teman-teman kita bahwa kita tidak perlu memakai masker yang bagus saat ini karena kita di rumah. Kita ini sudah tahu masalah yang terjadi ini masalah lingkungan karena tidak ada aturan etis soal bagaimana kita menjaga lingkungan. Kami mendorong untuk penyadaran-penyadaran sederhana yang bisa dilakukan di rumah, walaupun kita cuma diam di rumah kita bisa tetap berkontribusi untuk tidak menambah lebih parah keadaannya.
Apa yang bisa dilakukan oleh para komunitas maupun individu untuk memberikan kontribusi bagi yang terdampak?
Sebenarnya, awal-awal pandemi ini muncul kami berinisiatif ingin bikin masker. Kami mengajak semua orang yang bisa menjahit membuat satu-dua masker setiap hari. Jadi meluangkan 1-2 jam waktunya untuk membuat masker dan diberikan kepada orang yang rentan di sekitar kita. Misalnya, yang paling dekat kan keluarga, ada nenek, kakek, orang tua, mereka itu dibuatkan satu per satu. Lalu ada tukang sampah, tukang ojek, hingga warga-warga yang rentan di sekitar kita.
Apakah Komunitas Quiqui sedang merencanakan proyek maupun aktivitas baru untuk kedepannya?
Rencana sih ada. Proyek yang kami kerjakan itu proyek serat berbasis bahan natural, jadi kami sangat mengupayakan dan sedang research kecil-kecilan mencari bahan alami yang bisa digunakan sebagai material untuk membuat karya. Minimal kita tidak berkontribusi lagi untuk kerusakan lingkungan yang lebih parah. Seluruh dunia merasakan buah dari apa yang kita kerjakan, kan?
–
Artikel ini adalah bagian dari proyek kolaborasi British Council – DICE dengan Whiteboard Journal yang berfokus pada Creative Hubs di Indonesia. Berjudul “Direktori” kolaborasi ini akan menceritakan profil komunitas dan kolektif lokal, mulai dari video series, interview hingga buku. Tunggu rangkaian kontennya di website kami.