Relevansi dan Makna Hari Kartini di Era Pandemi
Berbincang dengan beberapa sosok perempuan, mulai dari aktivis, komisioner Komnas Perempuan sampai akademisi tentang peran perempuan di masa pandemi, makna menjadi seorang perempuan di era modern sampai cara-cara membantu mereka yang terjebak dalam situasi rumah tangga yang toxic.
Words by Emma Primastiwi
Pergerakan feminisme di Indonesia telah berkembang pesat beberapa tahun terakhir ini. Melihat banyaknya anak muda yang antusias dalam memperkenalkan retorik feminisme modern pada budaya tradisional, kiranya pikiran masyarakat Indonesia sudah mulai terbuka. Memetakan relevansi Hari Kartini yang merepresentasikan perempuan tradisional Indonesia dalam era modern cukup sulit dilakukan, apalagi jika digabung dengan pandemi yang kini sedang mewabah. Untuk membicarakan makna dan relevansi Hari Kartini, sekaligus mempertanyakan arti menjadi perempuan di era modern ini, kami berbincang dengan beberapa sosok perempuan. Mulai dari aktivis, akademisi sampai komisioner komisi nasional, kami mencoba memetakan posisi perempuan dalam masa-masa ini sampai cara-cara membantu mereka yang terjebak dalam situasi rumah tangga yang toxic selama pandemi.
Alimatul Qibtiyah
Komisioner Komnas Perempuan
Menurut Anda, apakah arti menjadi seorang perempuan bagi kita yang merayakan Hari Kartini di era modern ini?
Perempuan saat ini harus merasa percaya diri bahwa dirinya mempunyai status dan kemampuan yang setara dengan laki-laki, bahkan harus memahami bahwa dirinya dengan tugas kodratnya mempunyai hak yang lebih daripada laki-laki. Karena itu di era modern ini tidak ada sesuatu yang mustahil untuk dapat dilakukan oleh perempuan.
Bagaimana Anda melihat relevansi Hari Kartini di era pandemi ini?
Salah satu karakter Kartini adalah ketekunannya dalam melakukan perubahan. Para perempuan dengan konsep sisterhood juga dapat melakukan banyak hal yang positif untuk mengatasi pandemi ini. Modalitas sisterhood, bekerja dengan hati serta profesional, sebagaimana dicontohkan oleh komunitas atau organisasi perempuan yang ada di Nusantara ini akan membantu menghadang COVID-19 ini secara signifikan. Hal ini sejalan dengan teori perbedaan (maximaser) yang menjelaskan bahwa laki-laki dan perempuan itu mempunyai keunikan sendiri-sendiri yang saling melengkapi, perempuan itu bekerja dengan hati, mempunyai jiwa keibuan yang selalu ingin melindungi anaknya, memberikan kehangatan pada anak-anaknya, dekat dengan alam, kelekatan dalam sisterhood, dan karakter positif lainnya yang berbeda dengan laki-laki. Namun demikian, akan sangat baik juga bila dapat bekerja sama dengan laki-laki untuk mengatasi ini, karena pada dasarnya laki-laki dan perempuan itu juga mempunyai nilai kepedulian dan kemanusiaan yang sama (teori persamaan-minimaxer).
Dari segi ekonomi, perempuan muda yang bergaji rendah paling terdampak oleh pandemi, bagaimana kita sebagai komunitas bisa mendukung perempuan-perempuan tersebut?
Kita dapat membangun kesadaran untuk menolongnya yang lebih bersifat strategis, misalnya dengan mengembangkan potensi yang dimiliki. Kita perlu data modalitas keahlian yang dimiliki, mendata keahlian baru apa yang ingin dikembangkan, lalu mengembangkannya dengan berbagai fasilitas yang ada baik secara online maupun offline terbatas sampai ada kegiatan ekonomi baru yang dapat membantu mereka.
Dari awal imbauan untuk work from home selama pandemi, kita banyak melihat perempuan yang memainkan banyak peran, mulai dari ibu, istri, wanita karir sampai pengurus rumah tangga. Melihat banyak perempuan yang kewalahan menjalankan peran-peran tersebut, apakah semakin perlu bagi kita untuk mengangkat percakapan tentang equality dalam rumah tangga?
Sangat perlu, saya merindukan kapan media-media besar itu mulai membicangkan persoalan ini. Penting bicara dampak kesehatan, tetapi ada banyak dampak sosial yang juga membutuhkan penanganan segera. Kampanye persoalan domestik dan pengasuhan adalah tanggung jawab bersama, antara suami-istri dan anggota keluarga di keluarga sangat dibutuhkan.
Di sisi lain, banyak sekali perempuan yang terjebak dalam situasi rumah tangga yang toxic selama masa karantina ini, cara apa saja yang bisa kita lakukan untuk membantu mereka?
Kalau kena sakit dibawa ke rumah sakit, lalu kalau mendapatkan kekerasan dibawa kemana? Karena itu layanan aduan KDRT/KTP harus tetap ada, dan negara harus hadir untuk mengupayakan itu, sehingga hak-hak perempuan untuk terhindar dari kekerasan terpenuhi.
Dewasa ini, menurut Anda seperti apa pemberdayaan perempuan yang harus dicapai dalam kehidupan bermasyarakat?
Pemberdayaan harus dapat memenuhi kebutuhan praktis dan strategis perempuan. Pemberdayaan perempuan saat ini tetap memperhatikan kebutuhan praktis perempuan, yaitu berupa kebutuhan mendesak yang karena kodrati perempuan tidak dapat menolaknya (tugas-tugas reproduksi) dan karena budaya yang mana perempuan masih terkungkung oleh gender stereotip yang ada. Salah satu kebutuhan praktis perempuan di era modern ini masih minimnya kemampuan di bidang teknologi. Karena itu memaksimalkan upaya pemberdayaan dengan memanfaatkan teknologi dengan cara kerja sama generasi lama yang punya pengalaman dan konsep matang tentang pemberdayaan perempuan, dengan generasi milenial yang mempunyai kemampuan IT menjadi pilihan untuk memaksimalkan strategi.
Kebutuhan strategis dilakukan dengan melakukan pemberdayaan perempuan yang melibatkan laki-laki di semua level, baik eksekutif, yudikatif maupun legislatif dan juga di level civil society. Hal ini penting jika kesadaran keadilan gender itu hanya datang dari pihak perempuan, maka masalah-masalah perempuan tidak mudah tertangani. Selain itu perubahan mindset dari patriarki ke pemikiran egaliter itu harus terjadi di semua lapisan dan semua profesi termasuk para tokoh agama. Di banyak kalangan pemahaman agama sangat berpengaruh dalam menentukan nasib perempuan. Mendorong pemahaman agama yang moderat progresif sangat penting dalam membicangkan pemberdayaan perempuan di semua lini kehidupan. Hal penting untuk pemenuhan kebutuhan strategis perempuan adalah adanya perangkat hukum yang melindungi hak-hak perempuan dan kelompok rentan. Karena itu upaya pengesahan aturan yang melindungai hak-hak perempuan misalnya RUU PKS harus tetap menjadi perhatian dalam aspek pemberdayaan.
Tunggal Pawestri
Aktivis
Menurut Anda, apakah arti menjadi seorang perempuan bagi kita yang merayakan Hari Kartini di era modern ini?
Bahwa menjadi seorang perempuan yang memiliki hak-hak yang setara tanpa mengalami diskriminasi gender itu bukan hal mudah, butuh perjuangan keras dan panjang hingga sampai pada titik ini.
Bagaimana Anda melihat relevansi Hari Kartini di era pandemi ini?
Tidak usah menunggu Hari Kartini untuk memastikan keterlibatan perempuan dalam memitigasi, menangani dan mengambil kebijakan terkait pandemi.
Dari segi ekonomi, perempuan muda yang bergaji rendah paling terdampak oleh pandemi, bagaimana kita sebagai komunitas bisa mendukung perempuan-perempuan tersebut?
Banyak juga perempuan yang berupah rendah akhirnya kehilangan pekerjaan karena dampak pandemi. Solidaritas memang harus diperkuat namun memastikan pemerintah tidak luput dan dapat memberikan jaminan ekonomi dan sosial kepada mereka juga penting. Pemerintah bisa mulai mengidentifikasi inisiatif komunitas dan memberikan dukungan yang kongkrit.
Dari awal imbauan untuk work from home selama pandemi, kita banyak melihat perempuan yang memainkan banyak peran, mulai dari ibu, istri, wanita karir sampai pengurus rumah tangga. Melihat banyak perempuan yang kewalahan menjalankan peran-peran tersebut, apakah semakin perlu bagi kita untuk mengangkat percakapan tentang equality dalam rumah tangga?
Kita, sebagai warga, atau bagian dari komunitas tentu harus dan memang sudah terus menerus mengangkat soal ini. Tapi daya ‘kita’ kan terbatas. Pemerintahlah yang memiliki alat untuk menyerukan dan membuat kampanye-kampanye soal keadilan gender dalam berbagai ranah, yang dalam situasi seperti ini harus bekerja aktif.
Di sisi lain, banyak sekali perempuan yang terjebak dalam situasi rumah tangga yang toxic selama masa karantina ini, cara apa saja yang bisa kita lakukan untuk membantu mereka?
Kalau sebagai warga negara, kita bisa membantu untuk menyuarakan dan mendorong teman-teman korban untuk melaporkan. Memberikan dukungan kepada korban. Namun lagi-lagi, pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bekerja sama dengan Kominfo dan Polri misalnya membuat sosialisasi publik tentang pencegahan tindak kekerasan dalam rumah tangga serta mengabarkan seluas-luasnya lewat media massa apa yang harus dilakukan bagi korban jika mengalami kekerasan serta memberikan perlindungan yang penuh.
Dewasa ini, menurut Anda seperti apa pemberdayaan perempuan yang harus dicapai dalam kehidupan bermasyarakat?
Pemberdayaan perempuan itu bukan sebuah hal yang harus dicapai. Kenapa? Karena setiap perempuan memiliki daya yang khas dan unik, berbeda-beda dari satu perempuan dengan perempuan lainnya. Pekerjaan kita adalah bagaimana memaksimalkan potensi para perempuan berdaya ini tanpa mereka mendapatkan halangan berbasis gender dan aman dari kekerasan. Menyelesaikan ketidakadilan gender dan kekerasannya itu dulu yang jadi prioritas.
Kezia Alaia
Penulis
Menurut Anda, apakah arti menjadi seorang perempuan bagi kita yang merayakan Hari Kartini di era modern ini?
Kartini is an orientalist myth, hers is a naive and youthful imagination of a cosmopolitan, “modern woman”. Dalam tulisan-tulisannya, Kartini tergila-gila sama tawaran emansipasi liberalisme Barat, membandingkan kemunduran dan keterkekangan yang dia—dan perempuan-perempuan Hindia Belanda – alami seumur hidup dengan imaji Barat yang “beradab”, bangsa kulit putih yang “giat akan kemajuan”, “tinggi”. Menurut Kartini, dunia yang dia punya in her home country was “gelap” dan pendidikan Barat adalah “terang” yang terbit dan menarik perhatiannya. Kalo pemikiran Barat adalah cahaya, maka Kartini itu laron. She’s alright to me, I think she’s a rebel at heart dari kecil tapi emang baru nemu klik-nya pas ketemu sama pemikiran, pendidikan, dan gerakan perempuan Eropa.
Gue gak ngerayain dan gak sepenuhnya setuju sama pemikiran-pemikiran Kartini. Kayaknya keburu antipati karena perkenalan awal terhadap Kartini bentuknya paksaan-paksaan superfisial – lomba baca puisi, fashion show pake baju kebaya, kondean – yang dilakuin mindlessly sama anak-anak SD dan pegawai kantoran. I feel like that’s a really detached way to celebrate your femininity. Precisely because I think there isn’t any single universal women experience.
Tapi mungkin orang butuh simbol dan kebetulan mitos Kartini berhasil dijadiin compact dan marketable buat memenuhi imajinasi perempuan modern Indonesia. Jadi mungkin gambaran perempuan era modern—kalau basisnya pemikiran Kartini—adalah young women in the Forbes 30 Under 30, jadi filantropis, atau jadi CEO di korporasi multinasional, dan ketiga itu adalah gagasan feminisme kulit putih sempit yang nggak terlalu gue sukai.
Bagaimana Anda melihat relevansi Hari Kartini di era pandemi ini?
If anything makes anyone feel better about themselves in these weird times, I say go for it.
Dari segi ekonomi, perempuan muda yang bergaji rendah paling terdampak oleh pandemi, bagaimana kita sebagai komunitas bisa mendukung perempuan-perempuan tersebut?
Tanya kebutuhan mereka dan bantuin. Beli produk yang mereka jual. Help them get back on their feet tapi jangan mengasumsikan apa yang mereka butuh tanpa nanya dulu.
Dari awal imbauan untuk work from home selama pandemi, kita banyak melihat perempuan yang memainkan banyak peran, mulai dari ibu, istri, wanita karir sampai pengurus rumah tangga. Melihat banyak perempuan yang kewalahan menjalankan peran-peran tersebut, apakah semakin perlu bagi kita untuk mengangkat percakapan tentang equality dalam rumah tangga?
Ada dimensi lain, yaitu kelas, yang perlu diperhatikan dalam percakapan tentang ketertindasan perempuan, terutama dalam konteks peran-peran rumah tangga dan sosial. Pembicaraan tentang work from home dan perempuan harus berbasis interseksionalitas, karena ada banyak dimensi kehidupan yang membentuk identitas seseorang, membangun ketimpangan relasi kuasa, dan menghasilkan privilege. Kita nggak bisa serta merta bilang perempuan tertindas karena menjalankan multi peran selama karantina – perempuan yang mana? Yang bekerja lepas? Yang mempekerjakan Asisten Rumah Tangga (ART)? Yang adalah ART? Perempuan is not a singular concept. Gender adalah satu dari sekian banyak dimensi identitas yang bisa bikin orang tertindas atau baik-baik aja – atau bahkan menindas.
Di sisi lain, banyak sekali perempuan yang terjebak dalam situasi rumah tangga yang toxic selama masa karantina ini, cara apa saja yang bisa kita lakukan untuk membantu mereka?
If you know anyone who is a victim of domestic violence, make sure you check on them often.
Dewasa ini, menurut Anda seperti apa pemberdayaan perempuan yang harus dicapai dalam kehidupan bermasyarakat?
Perempuan nggak lagi jadi anggota kehormatan dalam liga apa pun.