Tentang Pandemi dan Kestabilan Mental Kita
Berbincang dengan beberapa figur, mulai dari psikiater sampai kolektif kesadaran mental tentang dampak pandemi terhadap kesehatan mental, informasi yang berlebihan sampai cara-cara menjaga stabilitas mental kita.
Words by Emma Primastiwi
Pemerintah sudah mengimbau masyarakat Indonesia untuk melakukan physical distancing dari tiga minggu yang lalu. Jika melihat keadaan sekarang yang masih begitu ngeri, sepertinya imbauan ini akan bertahan lebih lama lagi. Sebisa mungkin masyarakat Indonesia mengunggulkan kesehatan fisik untuk dapat menjaga ketahanan tubuh terhadap situasi pandemi ini, tetapi kadang malah melupakan pentingnya untuk menjaga kesehatan mental. Walau kondisi fisik tentu penting untuk dijaga, dampak mental dari sebuah pandemi bisa berjangka lebih lama. Oleh karena itu, kami berbincang dengan beberapa figur, dari psikiater, survivor, sampai kolektif kesadaran mental tentang dampak pandemi terhadap kesehatan mental, memproses informasi yang berlebihan di kala situasi yang tak pasti seperti saat ini sampai cara-cara menjaga stabilitas mental kita.
Narasumber:
dr. Andreas Kurniawan, Sp.Kj – Psikiater
Ade Binarko – Survivor & Co-Founder Sehat Mental Indonesia
Emily Jasmine – Co-Founder Ubah Stigma
Setiap hari kita diserbu dengan informasi yang berlebihan soal COVID-19, bagaimana kita bisa menjaga stabilitas mental kita dan tidak panik saat mendengar berita keadaan yang terlihat semakin memburuk?
Andreas Kurniawan (A): Satu hal yang perlu kita ingat: kita tidak bisa mengendalikan informasi yang ada di sekitar kita. Yang bisa kita kendalikan adalah memilih mau informasi seperti apa yang kita santap. Ada satu konsep yang saya cukup sering sarankan, yaitu diet informasi. Bayangkan bahwa informasi di media itu seperti kita datang ke restoran all-you-can-eat dengan berbagai jenis makanan. Kita tidak bisa memilih makanan seperti apa yang disajikan, tapi kita bisa memilih mau makan apa dan tidak makan apa.
Kalau kita memilih makanan yang mengandung kolesterol tinggi, maka kadar kolesterol kita akan tinggi juga. Nah, kalau kita membaca berita tentang kondisi wabah COVID-19 yang isinya hanya menakut-nakuti, apalagi yang kebenarannya belum jelas, wajar kan kalau kadar kecemasan kita juga lebih tinggi? Jadi, pilihlah informasi yang mau kita baca.
Ade Binarko – Sehat Mental Indonesia (AB): Pada awal-awal memang sebenarnya saya panik, dan banyak teman-teman dari komunitas juga merasakan hal yang sama. Tapi saya ingatkan juga, dan akhirnya kita memfilter, bahwa sebaiknya kita membaca berita dari media yang kredibel dan terpercaya. Jadi kita tetap optimis bahwa badai pasti berlalu dan bagi teman-teman yang punya gangguan mental, termasuk saya sebagai survivor kita sudah merasakan fase-fase terburuk, dan ini adalah fase terburuk. Namun tetap kita bisa filter itu dengan baik. Kita konsumsi sesuai dengan validasinya.
Emily Jasmine – (E): Secara biologis, otak kita cenderung lebih fokus kepada hal-hal yang negatif. Untuk otak kita, informasi negatif bisa diartikan sebagai ancaman atau sesuatu yang berbahaya.
Kecenderungan ini membuat kita lebih memperhatikan berita di media yang menakutkan dan memiliki headline yang negatif. Saran dari kami untuk mengurangkan kepanikan tersebut adalah:
Beristirahat dari media sosial. Media sosial memang bisa menjadi sarana informasi dan membantu mengalihkan pikiran kita, tetapi mereka bisa juga menjadi sumber stres. Dengan keadaan saat ini, salah satu yang sering kita lakukan adalah untuk selalu mencari tahu berita terkini. Namun, karena berita-berita saat ini cenderung lebih banyak mengandung konten negatif, hal ini bisa meningkatkan rasa takut dan khawatir, sehingga bisa menjadi racun untuk kesehatan mental kita. Apabila membaca berita melalui media sosial mengakibatkan stres, kita harus membatasi waktu kita membuka media sosial. Mengetahui berita terbaru soal perkembangan situasi itu penting, namun memiliki kapasitas untuk mencerna informasi dengan bijak juga sangat amat penting.
Evaluasi ulang informasi yang kita dapatkan dari berbagai media. Tidak semua berita itu fakta, dan kita sebaiknya hanya mengikuti berita yang sudah pasti kredibilitasnya. Salah satu cara paling mudah untuk mengetahui kebenaran sebuah berita adalah jika informasi tersebut berasal dari pihak lembaga resmi, seperti WHO atau kementerian.
Self-isolation dan social distancing merupakan masa yang cukup menantang bagi mereka yang mengidap penyakit-penyakit mental seperti depresi atau anxiety disorder. Aktivitas apa saja yang bisa dilakukan untuk tidak memperburuk kondisi-kondisi tersebut?
A; Ada alasan mengapa kita mengubah istilah ‘social distancing‘ menjadi ‘physical distancing‘. Walau kita membatasi pertemuan atau kontak fisik, bukan berarti interaksi sosial kita terbatas. Betul sekali, pada pasien depresi dan cemas, kondisi saat ini bisa berpotensi memperburuk kondisi mereka. Beberapa pasien depresi atau gangguan cemas terbantu dengan adanya human connection atau interaksi sosial yang positif, seperti kumpul dengan teman, bercanda, melakukan aktivitas bersama, bahkan bekerja bersama-sama.
Nah, pada saat seperti ini, bukan berarti interaksi sosial tersebut hilang. Saya biasanya menyarankan pasien untuk tetap mencari human connection dengan bantuan teknologi. Kita bisa tetap melakukan aktivitas harian sambil video call dengan teman. Selama wabah COVID-19 ini, saya mendengar beberapa orang jadi bisa melakukan reuni secara online dengan menggunakan aplikasi, bermain game bersama secara online, bahkan menonton film bersama-sama sambil video call. Human connection tetap ada walaupun jarak memisahkan
AB: Saya tetap olahraga, tetap melakukan hobi-hobi positif, menulis jurnal, menulis artikel atau buat konten. Kebetulan di depan kamar ada lapangan basket kecil jadi saya bisa olahraga di luar. Nonton YouTube buat hiburan, stand up comedy saya tonton semua dan juga update harus dari media-media kredibel, jadi kita mencoba untuk melakukan kegiatan-kegiatan positif. Kalau saya suka meditasi. Kalau tidak zikir, saya yoga di rumah, latihan napas.
E: Memang situasi saat ini bisa menjadi sumber stres yang sangat besar untuk banyak orang,
apalagi untuk mereka yang sudah mempunyai penyakit mental. Self-isolation and social distancing bisa membuat kita kurang termotivasi untuk beraktifitas dan hal itu bisa berdampak besar terhadap mereka yang mempunyai depresi atau anxiety disorder. Maka dari itu, tips dari kami adalah untuk:
Olahraga fisik dan mental secara rutin. Pada saat kita berolahraga, otak kita mengeluarkan endorphins. Endorphins dapat membuat kita merasa lebih berenergi dan bisa meningkatkan mood. Kalian bisa mencoba untuk jalan-jalan pagi di sekitar rumah atau berjemur. Dengan waktu yang banyak ini, terkadang kita jadi bingung harus melakukan apa, dan pikiran kita cenderung kosong atau menjadi overthink. Di saat-saat seperti itulah pikiran negatif kita mudah datang. Cara-cara lain yang kami sarankan untuk menjaga pikiran agar tetap aktif adalah untuk melakukan aktivitas problem solving seperti menyelesaikan puzzle, membaca buku, mengerjakan Sudoku atau teka teki silang, atau menonton video mendidik di Youtube.
Terus jaga hubungan sosial. Walaupun kita disarankan untuk berjauhan secara fisik, kita tetap harus dekat secara emosional dengan keluarga dan teman-teman. Bahkan, situasi ini membuat itu sangat penting–untuk mengingat bahwa kita tidak sendiri, dan kita semua sedang menghadapi masalah ini bersama. Berbicara dengan teman dan keluarga melalui telepon atau chat bisa menjauhkan kita dari rasa kesepian, keputusasaan dan pikiran negatif.
Karena rasa takut yang berlebihan terhadap situasi pandemi, banyak orang mengalami gangguan psikosomatis. Bagaimana kita bisa menghindarinya?
A: Langkah pertama, sadari ketika kita cemas. Kesannya sepele, tapi kita sering tidak sadar ketika kita mengalami cemas atau takut. Padahal, kalau kita tidak menyadari, kita tidak bisa mengatasi hal tersebut. Biasanya saya analogikan seperti ini: kalau kita tidak sadar badan kita bau, kita tidak akan bertindak apa-apa. Ketika kita menyadari kita bau, baru deh kita akan pakai deodoran dan parfum.
Setelah menyadari kita mungkin mengalami cemas berlebih, coba untuk sadari juga apa yang biasanya kita lakukan untuk menjadi lebih rileks. Tiap orang memiliki cara berbeda, jadi tidak ada satu hal tertentu yang langsung bisa cocok untuk semua orang. Sama seperti halnya tiap orang takut akan hal yang berbeda, maka tiap orang pun bisa rileks dengan cara yang berbeda.
AB: Karena sudah terbiasa dengan berita-berita seperti ini selama tiga minggu ini, lama-lama seperti imun sih. Menghindarinya ya saya dan beberapa teman tidak banyak baca berita. Menghindari berita-berita lebay atau hoax, itu sangat-sangat bermanfaat bagi kita, apalagi kita survivor. Jadi berita-beritanya, tidak usah setiap saat kita konsumsi. Sehingga kita bisa fokus ke hal-hal positif dan lebih sehat secara mental.
E: Hal yang paling menyeramkan dengan adanya virus COVID-19 ini adalah gejalanya. Karena gejala-gejala COVID-19 sangat mirip gejala flu atau batuk biasa, sangat mudah bagi kita semua untuk merasa paranoid kalau tiba-tiba batuk atau merasa tidak enak badan. Terkadang memang benar kita mungkin demam atau batuk, tetapi terkadang itu hanya akibat dari paranoia dan overthinking kita. Rasa paranoia ini adalah alasan terbesar kenapa banyak orang mengalami psikosomatis akhir-akhir ini.
Beberapa tips yang bisa kami rekomendasikan untuk merubah dan menilai pola pikir dan emosi kita adalah:
Sadar akan pikiran negatif yang kita miliki dan cobalah untuk mengubah pola pikir menjadi sesuatu yang positif. Mengingatkan diri sendiri akan kesehatan kita, kesehatan keluarga kita dan rasa syukur atas kecukupan kita, bisa membantu.
Walaupun rasa cemas akan ketidakpastian masa depan dengan pandemi ini normal, kita secara perlahan harus mulai menerima kondisi kita saat ini. Rutinitas baru dan praktek social distancing ini telah menjadi normal baru. Jika kita bisa menerima hal tersebut, kita bisa beradaptasi dengan lebih mudah secara lebih produktif, sehingga bisa mengurangi stres dan menjaga kesehatan mental kita dengan baik. Mencoba untuk fokus pada hal-hal yang nyata, dan stay in the present. Dengan adanya situasi ini, lebih mudah bagi kita untuk merasa seperti tidak punya kendali karena kita tidak tahu kapan ini semua akan berakhir. Tetapi satu hal yang dapat kita kendalikan adalah kenyataan bahwa kita memiliki peran dalam mengurangi penyebaran pandemi ini, yaitu untuk tinggal di rumah, mempraktikkan kebersihan dan melakukan social distancing. Kita harus menerapkan tanggung jawab kita dan juga mendorong orang lain untuk melakukan yang sama, untuk mempercepat berakhirnya keadaan ini.
Ditengah pandemi COVID-19, kesehatan fisik tentunya diunggulkan. Namun, bagi banyak orang, dampak bagi kesehatan mental mereka bisa berjangka lebih panjang. Bagaimana pemerintah Indonesia bisa membantu isu ini?
A: Sebagai dokter, kami mencoba untuk tidak memisahkan antara kesehatan fisik dan mental. Keduanya adalah hal penting yang membentuk manusia, maka keduanya juga perlu dipenuhi untuk membuat hidup kita bermakna. Saya rasa saya tidak memiliki cukup kompetensi untuk memberikan saran kepada pemerintah tentang apa yang bisa dilakukan untuk menjaga kesehatan fisik dan mental masyarakat. Sudah ada organisasi profesi seperti Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) yang tentunya sudah bergerak untuk memberikan himbauan tersebut.
Yang saya tahu, manusia akan berada dalam kondisi cemas serta bingung ketika tidak ada arahan dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Apabila pemerintah bisa memberikan rencana yang jelas tentang langkah apa yang akan diambil, maka masyarakat mungkin akan lebih tenang karena mereka tahu “ada rencana”. Saat ini, kami sebagai tenaga medis pun kebingungan karena belum ada komando yang terpusat. Tiap rumah sakit atau puskesmas bisa memiliki pendekatan berbeda dalam menangani wabah saat ini, misalnya sampai ada yang membuat alat perlindungan diri (APD) dengan menggunakan jas hujan. Alangkah baiknya apabila ada satu komando, agar kita semua merasa lebih tenang.
AB: Harapannya, awareness lebih ditingkatkan lagi. PDSKJI menghimbau harus tetap tenang dan pemerintah sudah bagus melakukan social distancing dan stay at home, harusnya manusianya ini yang harus bisa mengontrol diri. Pemerintah sudah handle sebisa mungkin, tetapi untuk kesadaran mental health masih harus digencarkan lagi.
E: Konsensus umum di kalangan kita saat ini adalah menjaga kesehatan fisik untuk mencegah penyebaran virus COVID-19 sebagai fokus utama, dan pemikiran tersebut sangat wajar dan tidak salah. Namun, seperti yang Ubah Stigma selalu tegaskan, kesehatan fisik berkaitan dengan kesehatan mental. Kalau kita sehat secara fisik namun tidak sehat secara mental, kita akan tetap rentan sakit karena kesehatan mental dapat mempengaruhi sistem kekebalan tubuh kita. Demikian pula jika kita sedang dalam proses penyembuhan, kesehatan mental bisa mempengaruhi proses pemulihan kita. Maka dari itu, pemerintah Indonesia harus menekankan pentingnya menjaga kesehatan mental selama pandemi ini kepada masyarakat.
Kedua, pemerintah juga bisa mengambil tindakan untuk menjaga kesehatan mental masyarakat. Salah satu hal yang telah mereka lakukan untuk ini adalah penyaringan informasi hoaks melalui Kemenkominfo, yang sangat membantu meredakan kecemasan dan ketakutan masyarakat. Hal lainnya yang bisa pemerintah lakukan adalah membuka akses dan menganjurkan masyarakat untuk merawat kesehatan mental mereka, seperti melalui layanan online counselling gratis.
Terakhir, masyarakat Indonesia melihat pemerintah sebagai badan organisasi yang bisa menyediakan solusi terbaik untuk masa yang sulit ini. Maka dari itu, pemerintah Indonesia harus menciptakan rasa aman kepada masyarakat dan membuktikan bahwa mereka melakukan yang terbaik yang dapat mereka lakukan untuk menangani pandemi ini. Situasi pandemi ini sudah bukan lagi semata-mata tentang penyebaran virus, tetapi juga berkaitan dengan masa depan yang penuh ketidakpastian. Wabah COVID-19 juga secara tidak langsung memiliki dampak yang besar terhadap kesehatan mental masyarakat, seperti orang-orang yang kehilangan pekerjaan mereka akibat pembatasan interaksi sosial. Karena meskipun mereka tidak terkena coronavirus, tetapi setelah isolasi ini usai, mereka yang kehilangan pekerjaan tetap tidak bisa mendapatkan kehidupan seperti yang dulu. Kepedulian pemerintah terhadap teman-teman kami yang tidak mendapatkan keistimewaan untuk tetap bekerja dari rumah sangatlah penting.
Hal-hal apa saja yang bisa kita lakukan untuk menjaga stabilitas mental kita ditengah buruknya pandemi?
A: Kita punya harapan bahwa seberat apapun kondisi ini, pasti akan berlalu. Yang kita perlu adalah mencoba untuk menjalani hari demi hari. Kejenuhan mungkin terjadi, sehingga perlu ada variasi dalam hidup kita. Mungkin melakukan hal berbeda, memasak resep baru, membaca hal baru, atau menghubungi teman-teman yang sudah lama tidak kita dengar kabarnya. Adanya variasi dalam aktivitas kita akan membuat otak kita tetap terstimulasi. Sebaliknya, apabila kita melakukan hal yang sama setiap hari, makan hal yang sama, bicara dengan orang yang sama, maka kita akan cenderung mudah merasa jenuh.
AB: Olahraga, meditasi, berdoa, baca-baca informasi tentang kesehatan mental, buku-buku apapun itu yang cukup positif dan memandu kita. Nonton video edukatif tentang bagaimana menghindari stres, antisipasi secara preventif dan kuratif seperti apa sehingga kita tahu gejala-gejalanya apa saja, itu yang paling penting untuk kita.
E: Tips dari kami untuk menjaga kesehatan mental kita di tengah-tengah pandemi adalah untuk:
Menerapkan jadwal dan rutinitas. Membuat rutinitas dapat membantu mengurangkan rasa kecemasan atas ketidakpastian situasi saat ini dengan memberikan kita kendali pada hari-hari kita
Berolahraga dan tidur yang cukup. Menggerakan tubuhmu dapat membuatmu merasa lebih berenergi dan memperbaiki mood. Tidur yang cukup setiap malam juga membantu menyeimbangkan hormon, mood dan produktivitas.
Meditasi dan melakukan teknik bernafas. Aktivitas ini dapat membantu menenangkan sistem-sistem saraf kita dari informasi dan stress yang kita dapatkan sepanjang hari.