Who, What, Why: Adrian Jonathan
Penggiat film di balik Cinema Poetica yang mengusung literasi sebagai bentuk apresiasi karya film.
Teks: Annisa Nadia Harsa
Foto: Adrian Jonathan
WHO
Adrian Jonathan adalah salah satu pendiri dari Cinema Poetica, sebuah kolektif yang didirikan oleh kritikus, jurnalis, peneliti dan penggiat film yang ingin kembali membawa nilai kebersamaan dalam kultur perfilman di Indonesia. Kebersamaan ini tak hanya terbatas pada perkumpulan orang-orang lalu menonton bersama, namun adanya kesamaan akan tontonan antara satu sama lain sehingga muncul sebuah diskusi. Kolektif Cinema Poetica didirikan oleh Adrian Jonathan bersama Makbul Mubarak, Windu Jusuf, dan Corry Elyda, sekelompok penggiat film yang bekerja di Kinoki, sebuah bioskop alternatif yang sudah gulung tikar. Kolektif ini dimulai sebagai bentuk penyaluran keinginan untuk diskusi dan berbagi resensi. Adrian Jonathan, co-founder yang juga berperan sebagai kurator, penulis, mentor, dan pengelola situs dari kolektif ini awalnya memulai untuk menulis resensi di kartu pos yang kemudian diedarkan di sejumlah kafe. Enggan menggunakan nama asli, ia mengadopsi nama Cinema Poetica, plesetan dari Cinema Politica, yang kemudian dijadikan nama resmi dari kolektif dan situs yang diluncurkan pada tahun 2010 silam.
WHAT
Sebagai kolektif, Cinema Poetica melihat bahwa tantangan paling besar yang ada di industri perfilman Indonesia adalah keterbatasan pengetahuan. Karena hal inilah Cinema Poetica sangat mengedepankan diskusi, penelitian, dan kritik terhadap film sebagai bentuk apresiasi terhadap sinema. Diskusi dari terbitan kolektif ini kerap membahas berbagai progres dan terobosan fundamental dari industri perfilman yang dilihat dari segi budaya, sosial, politik, ekonomi, dan sejarah. Cinema Poetica juga menawarkan beberapa program yang mengedepankan literasi dan penelitian sebagai bentuk apresiasi, salah satunya adalah “Critic Center”. Program klinik kritik dari kolektif ini mengajarkan bahwa pemahaman yang menyeluruh terhadap suatu karya film mencakupi tiga aspek utama, yaitu konten, konsep, dan konteks. Konten merujuk kepada aspek audio visual dari sebuah film, konsep adalah gagasan atau pola yang tersirat, dan konteks merupakan pengaruh-pengaruh eksternal dari pengalaman sebuah film.
Melalui program tersebut, Cinema Poetica ingin menjalankan visi mereka untuk menciptakan network kritikus di berbagai komunitas dan kota di Indonesia. Dalam program ini, Cinema Poetica ingin para penggiat film untuk berbagi pengetahuan dan arsip film pribadi serta bertukar pikiran yang diubah menjadi suatu karya tulis. Network kritikus film ini pernah dibawa ke komunitas-komunitas penggiat film di kota lain seperti Banda Aceh, Malang, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, dan Palu. Namun, sayangnya, adanya COVID-19 menghambat beberapa proyek yang sedang digarap. Untuk sementara waktu, Adrian Jonathan berharap bahwa buku kolaboratif bersama Dewan Kesenian Jakarta yang bertajuk “Antarkota, Antarlayar: Potret Komunitas Film di Indonesia” dapat diluncurkan dalam waktu terdekat dan dibagi secara gratis. Layaknya industri-industri kreatif lain, kolektif ini juga melihat bahwa ada dampak yang sangat terasa dari wabah virus COVID-19 ini, sekalipun konsumsi film semakin kencang sebagai bentuk escapism.
WHY
Kolektif ini percaya bahwa bentuk apresiasi tidak terbatas kepada acara penghargaan, blogging dan grup-grup “sinefil” atau penggiat sinema, tetapi juga mencakup literasi yang kerap masih sangat terbatas. Terlebih lagi, adanya program “Sensor Mandiri” yang didirikan oleh Lembaga Sensor Film yang dilihat sebagai pembatasan akan literasi dan pemahaman secara menyeluruh. Inilah yang menyebabkan fokus terhadap diskusi, kritik, dan arsip sangat dibutuhkan. Di sinilah Cinema Poetica datang, sebagai tanggapan terhadap keterbatasannya diskusi dan pengkajian sinema di Indonesia, seperti pembahasan tentang sinema 1965, sinema kiri, komunitas film di daerah, sinema peranakan era Hindia Belanda, bangkitnya sinema nasional pasca reformasi, dan sebagainya.
Perihal posisi Cinema Poetica di tengah situasi krisis, kolektif yang bergelut di perfilman ini mencemaskan kondisi industri kedepannya, terlebih lagi para pekerja kru dan tim produksi yang harus putus kerja untuk sementara waktu ini. Meski demikian, Adrian Jonathan percaya bahwa film merupakan suatu bentuk escapism yang sangat kuat dan umum. Menurutnya, escapism merupakan hal yang sangat mampu untuk mengangkat morale di saat-saat yang genting ini. Dari tayangan film di berbagai layanan streaming maupun program televisi, menurut Adrian, sinema mampu meringankan sense of crisis yang ada di benak masyarakat.