Seni sebagai Jembatan dalam Bermasyarakat bersama Mella Jaarsma
Bersama Mella Jaarsma, seniman dan salah satu pendiri Cemeti for Arts and Society, kami membahas soal perkembangan kolektif seni di Indonesia hingga peran seni dalam kehidupan masyarakat.
Words by Hana A. Devarianti
In partnership with British Council - DICE (Developing Inclusive Creative Economy)
Foto: SEA Focus
Nama Mella Jaarsma sudah tidak asing lagi bagi dunia seni Indonesia. Kiprahnya di dunia seni Indonesia tak hanya lewat karya-karyanya yang kerap kali berbicara soal isu-isu sosial politik di Indonesia, tapi juga lewat perannya sebagai salah satu pendiri Cemeti for Arts and Society (sebelumnya Cemeti Gallery, lalu Cemeti Art House), sebuah platform seni kontemporer tertua di Indonesia. Pada kesempatan kali ini, Whiteboard Journal berbincang dengan Mella Jaarsma. Tentang karya-karyanya yang khas dengan seni penutup tubuh bermaterial tak biasa, peran seni sebagai sebuah jembatan dalam membuka perspektif masyarakat, hingga fenomena selfie dan media sosial yang kini mempengaruhi cara seseorang menikmati sebuah karya.
Anda lahir dan besar di Belanda. Apa yang kemudian membuat Anda memutuskan untuk pindah dan menetap di Indonesia?
M: Awal mulanya saya tidak berencana untuk menetap di Indonesia. Saya pertama kali ke Indonesia sebagai turis sewaktu ayah saya masih bekerja di Indonesia, waktu itu saya mengunjungi beliau saat liburan sekolah. Kemudian, saya tertarik dengan Indonesia terutama dengan wayang karena sebelumnya, saat di Belanda, saya banyak bekerja dengan yang berhubungan dengan shadow atau bayangan. Di Indonesia saya menemukan kalau bayangan jadi hal yang penting, yang terlihat dari wayang dan bagaimana bayangan ada sesuatu di antara: antara bayek/materi dan non-material. Saya ingin mencari tahu kenapa hal tersebut begitu di Indonesia.
Setelah lulus dari Minerva’ Academy, Groningen, saya kemudian mencari beasiswa untuk bisa melanjutkan sekolah di Indonesia. Lalu, akhirnya saya sekolah di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) di Jakarta selama setahun, sebelum akhirnya pindah ke Yogyakarta menyelesaikan sekolah di Institut Seni Indonesia (ISI). Saat di ISI saya sudah bertemu dengan suami saya Nindityo Adipurnomo [tertawa], tapi waktu itu saya kembali dulu ke Belanda. Setelah menikah, saya dan Nindityo akhirnya pindah ke Indonesia dan menetap di Yogyakarta.
Anda kerap kali menyuarakan isu sosial di Indonesia dalam karya Anda, juga kerap kali me-confront audiens untuk revisit identitas sosialnya. Apa yang kemudian membuat Anda memutuskan untuk menjadikan seni sebagai medium untuk menyuarakan pendapat untuk memercik diskusi?
M: Saya rasa memang seni punya peranan itu. Dalam budaya Indonesia, seni sudah menjadi bagian dari masyarakat, seperti sudah tidak ada jarak dan tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, saya melihat bahwa seni bisa menjadi sebuah jembatan, sebuah alat untuk komunikasi, untuk mempertanyakan hal hal penting dalam kehidupan. Mungkin seni tidak langsung bisa mengubah masyarakat, saya memang tidak melihat seni seperti itu. Tapi, dalam berkarya, saya selalu memandang seni sebagai sebuah jembatan untuk membuka diskusi.
Apakah Anda pernah mengalami resistance dari skena seni di Indonesia karena kerap mengangkat tema isu sosial dan politik di Indonesia, tapi Anda sendiri bukan orang Indonesia?
M: Saya tidak pernah mengalami hal itu dalam berkarier ya. Mungkin karena waktu saya sudah mulai mengangkat isu sosial dan politik di Indonesia, saya sudah lumayan lama tinggal di Indonesia. Mungkin juga karena saya tidak mengangkat Indonesia sebagai eksotismenya saja. Bukannya saya anti-eksotisme loh ya, menurut saya hal itu juga bisa jadi sebuah karya yang menarik ketika memperlihatkan eksotisme. Tapi memang saya tidak melihat Indonesia dari sisi eksotismenya saja. Jadi, mungkin itu pula yang membuat saya tidak mengalami adanya sinisme atau hal yang lainnya selama berkarier di Indonesia. Saya merasa skena seni di Indonesia sangat terbuka kepada saya, dari sejak awal saya berkarya di Indonesia.
Seiring dengan berjalannya waktu, apakah approach Anda dalam berkarya telah mengalami perubahan atau telah berkembang?
M: Pastinya iya ya. Saya rasa itu sesuatu yang pasti terjadi. Awal mula saya berkarya, karya-karya saya lebih antropologis. Waktu di Belanda, saya dididik sebagai pelukis, tapi juga bikin instalasi dan performans. Ketika tragedi tahun ‘98 terjadi, saya baru mulai berkarya lebih political dengan performance “Pribumi-Pribumi”. Dan, saat ini saya banyak berkarya lewat medium kostum –sebagai second skin. Sekarang saya lebih banyak eksplor soal tubuh dalam karya-karya saya.
Ada alasan tertentu mengapa Anda saat ini lebih banyak mengeksplorasi soal tubuh dalam karya-karya Anda?
M: Ya, saya memang tertarik akan hal tersebut. Saya tertarik dengan bagaimana tubuh bersama baju membungkus sebuah persepsi. Saya juga tertarik dengan bagaimana tubuh menjadi cara seseorang menempatkan dirinya karena tubuh kan berhubungan dengan identitas seseorang. Meskipun, identitas saya tidak melihat sebagai sesuatu yang statis. Identitas berlapis-lapis.
Mungkin juga ketertarikan saya pada eksplorasi tubuh karena saya perempuan, jadi secara tidak langsung karya-karya saya akhirnya mengeksplorasi soal tubuh juga. Meskipun dalam berkarya saya tidak secara spesifik membicarakan gender sih. Karya saya lebih kepada manusia pada umumnya. Tapi memang karena saya seorang seniman perempuan, tema seperti tubuh secara tidak langsung mempengaruhi saya dalam berkarya.
Saya melihat bahwa tubuh itu layaknya bangunan yang memiliki fasad dan bagian dalam yang dapat diubah. Pakaian itu adalah “kulit kedua” yang kita kenakan sebagai tempat untuk menunjukkan diri tapi juga bersembunyi. Tidak cuma sebagai pelindung tubuh, tapi juga pelindung spiritual. Jadi, karya-karya saya itu sebenarnya adalah komentar tentang daya tarik manusia untuk “menunjukkan” dan “memamerkan” dirinya.
Anda sering kali memperbolehkan audiens untuk berinteraksi secara langsung dengan karya Anda. Apa yang mendorong Anda melakukan hal ini?
M: Saya memang ingin karya saya bisa langsung terhubung dengan audiens. Buat saya ini menjadi cara yang tepat untuk menjadikan seni sebagai, yang seperti saya katakan tadi, sebuah jembatan. Saya memang ingin batas antara karya dan audiens itu kecil, atau tidak ada batas sama sekali. Bisa berinteraksi langsung adalah bagian dari poin saya dalam berkarya. Saya ingin menciptakan situasi di mana audiens bisa membangun koneksi langsung dengan karya saya, karena ini saya sering berkarya dengan instalasi kostum.
Selain berkarya, Anda juga mendirikan Cemeti Institute for Art and Society. Apa yang melatarbelakangi pendirian kolektif seni ini?
M: Sebenarnya Cemeti itu bukan kolektif seni ya. Kalau kolektif kan seperti para seniman berkumpul dan bekerjasamanya dengan satu ideologi begitu ya. Kami tidak. Sejak awal kami sudah punya tugas masing-masing di Cemeti. Jadi Cemeti ini lebih sebagai sebuah platform, ruang, buat kawan-kawan seniman untuk memamerkan karyanya dan membangun wacana. Sebagai ruang pameran begitulah bisa dibilang, makanya waktu itu namanya Cemeti Gallery. Waktu itu kan ketika zaman 80-an dan 90-an belum ada galeri seni seperti sekarang. Ketika itu kan cuma ada Bentara Budaya dan Taman Budaya. Rata-rata durasi pemeran juga cuma sebentar dan kalau pameran selesai, hubungan sama penyelenggara juga selesai. Seniman tidak dipromosikan seterusnya. Kalau di Cemeti kami memamerkan karya lebih lama dan kami selektif dalam menyeleksi senimannya. Jadi, pernah ada dosen kami yang mau pameran di Cemeti, tapi kami tidak bisa pilih karena menurut kami karya beliau tidak bagus. Ya seperti itulah Cemeti awal mulanya. Bahkan, saat kata “kurasi” belum ada di Indonesia, kami sudah gunakan ketika akan memamerkan karya! [tertawa]
Seiring berjalannya waktu Cemeti pastinya berkembang juga ya. Selain memamerkan karya seniman Yogyakarta dan Indonesia, kami membawa seniman-seniman internasional juga. Kemudian, lahir juga program residensi untuk seniman-seniman dari berbagai belahan di Indonesia, ada workshop, research, dan beberapa yang lain juga. Cemeti kemudian tidak hanya jadi platform buat seniman, tetapi juga buat penulis, kurator, aktivis, dan komunitas-komunitas. Kami juga sempat berganti nama menjadi Cemeti Art House, karena kami telah berkembang lebih dari sekadar galeri saja. Sekarang, Cemeti sudah menjadi berganti nama lagi menjadi Cemeti Institute for Arts and Society. Saya dan Nindityo sendiri tepat dipergantian nama ini pada tahun 2017, sudah tidak tergabung lagi di Cemeti. Kami sebenarnya sudah lama ingin keluar, tapi belum bisa direalisasikan pada waktu itu karena alasan finansial. Baru akhirnya tahun 2017 itu kami dapat mundur dari Cemeti.
Mengapa akhirnya memutuskan untuk keluar dari Cemeti?
M: Sederhana sebenarnya, karena kami merasa sudah saatnya kami keluar. Rasanya memang sudah perlu regenerasi, karena zaman sudah berubah dan pastinya generasi yang lebih muda akan lebih relevan daripada kami. Memang penting sih regenerasi itu, karena kalau tidak ada regenerasi pastinya tidak akan bertahan. Saya rasa ini juga menjadi hal penting dalam mempertahankan sebuah kolektif, galeri, institusi, atau apapun itu dalam dunia seni. Memang harus ada regenerasi agar bisa sustain dan berkembang.
Selain karena memang keperluan regenerasi karena saya dan Nindityo merasa sudah tua [tertawa], kami juga ingin fokus untuk berkarya. Mengurus Cemeti itu sebenarnya sudah memakan 80% dari waktu kami. Jadi, memang sulit sekali membagi waktu untuk diri kami sendiri. Kami sedari awal juga mengurus Cemeti itu secara sukarela, kami selama ini tidak dibayar [tertawa]. Sudah saatnya kami memberikan kesempatan kepada generasi lebih muda untuk mengembangkan Cemeti, dan memberikan waktu kepada diri kami sendiri untuk lebih banyak berkarya lagi.
Terkait dengan pergantian nama, apakah Anda masih turut serta ketika akhirnya Cemeti menambahkan Institute for Arts and Society?
M: Sebenarnya untuk penambahan kata Arts and Society” berangkat dari saat saya dan Nindityo masih di Cemeti. Ini berangkat juga dari bagaimana kami melihat seni bisa membuka ruang diskusi tentang hal-hal yang terjadi di masyarakat. Karena, seperti yang tadi saya katakan, seni itu kan di Indonesia sangat dekat hubungannya dengan kehidupan bermasyarakat. Namun, memang oleh tim yang saat ini dipertajam lagi. Sehingga, Cemeti sekarang telah bertransformasi juga sebagai ruang untuk praktik artistik yang terlibat dengan aksi sosial dan politik.
Lalu, bagaimana Anda melihat perkembangan kolektif seni di Indonesia saat ini? Terutama dengan munculnya kolektif seni di daerah-daerah, bukan hanya di kota besar?
M: Tentunya itu sesuatu yang bagus ya. Apalagi ketika ada kolektif seni yang muncul di daerah-daerah. Beberapa juga ada yang lahir dari inisiatif generasi muda. Keberadaan kolektif seni, atau apapun yang bisa menjadi ruang di mana seni bisa tumbuh dan berkembang, bisa membawa pengaruh yang baik bagi perkembangan seni secara keseluruhan. Mungkin masih ada beberapa yang kurang baik dalam pelaksanaannya, tapi saya rasa itu merupakan bagian dari proses.
Bagaimana dengan perkembangan seni di Indonesia? Anda sendiri sudah melewati beberapa dekade dari perkembangan seni di tanah air
M: Saya rasa sulit untuk mengatakan bagaimana perkembangan seni di Indonesia saat ini [tertawa]. Saya rasa tiap generasi punya gerakannya masing-masing. Misalnya saat zaman Suharto, seniman-seniman yang lebih berani untuk bereksperimen dan berekspresi. Berbeda dengan yang sekarang, di mana pasar seni punya peran penting. Tapi, beberapa masih kuat mengangkat masalah sosial dan politik atau lingkungan, di mana karya menjadikan ruang untuk membuka diskusi isu-isu. Tapi, ada juga yang sudah tidak lagi melakukan hal itu.
Memang tiap generasi saya rasa berbeda-beda ya dan tidak bisa dogmatis dalam melihat perkembangannya. Setiap generasi punya cara mereka sendiri dalam berkarya, dalam cara memandang dan mengaplikasikan seni. Saya pribadi masih lebih suka untuk membahas isu-isu sosial dalam berkarya. Sampai saat ini saya masih lebih menyukai karya-karya yang bisa berbicara tentang hal-hal yang terjadi di masyarakat. Karena, kembali lagi pada apa yang saya katakan sebelumnya, saya melihat seni sebagai sebuah jembatan untuk membuka ruang diskusi, seni salah satu alat dimana kita boleh bertanya dan melihat perspektif yang berbeda. Ini mungkin juga dipengaruhi karena saya berada di generasi yang memang aktif menyuarakan isu-isu sosial.
Akhir-akhir ini sepertinya sudah banyak masyarakat Indonesia yang meramaikan galeri dan pameran seni. Namun, bisa dibilang kebanyakan datang untuk eksistensi di media sosial. Bagaimana Anda melihat hal ini?
M: Saya sebenarnya memandang ini bukan sesuatu yang buruk. Senang loh rasanya waktu saya datang ke ArtJog dan melihatnya ramai dengan pengunjung yang berselfie. Beberapa mungkin ada yang melihat ini sebagai sebuah hal yang tidak baik, karena orang datang hanya untuk foto-foto. Tapi, saya malah melihat ini sebagai sebuah permulaan yang baik, untuk masyarakat bisa lebih aktif lagi mengunjungi pameran. Kan semakin sering orang datang ke pameran, pada akhirnya akan memperbanyak referensi. Ini kemudian membuat mereka semakin terbuka untuk bentuk kesenian lainnya.
Dan, itu tadi tiap generasi kan memang punya cara tersendiri dalam berkesenian. Tidak cuma dari senimannya saja, tapi juga dari audiensnya juga. Mungkin memang ini adalah cara generasi yang sekarang untuk mengapresiasi seni. Tidak masalah menurut saya sih. Karena, sekarang memang seperti itu zamannya. Media sosial tidak bisa terpisahkan dari kehidupan sehari-hari generasi saat ini. Dan seniman juga harus memanfaatkan ini.
Kalau menurut Anda, selain menjadi sebuah jembatan, apakah seni memiliki peran untuk mengubah masyarakat?
M: Mungkin tidak secara literal. Kalau mengatakan seni bisa mengubah masyarakat, rasanya terlampau muluk juga [tertawa]. Tapi, yang jelas seni bisa mengangkat sebuah perspektif yang mungkin tidak bisa diungkapkan lewat medium lain. Seni bisa mengangkat dan menyampaikan hal-hal yang terkadang “terlewat” dan membangun tata kritis, dan membuka pertanyaan. Jadi, memang ada lapisan-lapisan yang memang hanya bisa diangkat melalui artistik dari seni. Kesenian salah satu cara untuk membuka ruang diskusi itu tadi. Tapi, untuk mengatakan seni bisa mengubah masyarakat secara langsung, saya lebih melihat seperti seni memperkaya kehidupan kita dan bisa memberi lebih banyak perseptif tentang kehidupan kita sendiri.
Peran seni mungkin lebih kepada menyampaikan hal-hal yang sering kali tidak disadari oleh masyarakat. Soal apakah seni pada akhirnya mampu mengubah masyarakat atau tidak, itu akan kembali ke masyarakat itu sendiri.