Industri Kreatif di Tengah Pandemi bersama Chatib Basri
Sebagai bagian dari #WFromHome, kami berbincang dengan ahli ekonomi Chatib Basri mengenai apa yang bisa dilakukan para pelaku industri kreatif untuk bisa bertahan di tengah pandemi ini.
Words by Ghina Sabrina
Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Pernah menjabat sebagai Menteri Keuangan Indonesia di tahun 2013-2014, Muhamad Chatib Basri merupakan ekonom dan akademisi yang aktif mengemukakan opini mengenai isu-isu terkini lewat media sosial. Seorang ahli di bidang perdagangan internasional, ekonomi makro dan ekonomi politik, Dosen Senior di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEBUI) ini sekarang aktif memberikan perspektif menarik soal bagaimana kita bisa menyikapi dampak COVID-19 yang kini sudah menjadi pandemi. Kami berbincang dengan Chatib Basri tentang posisi industri kreatif di tengah ancaman pandemi serta peluang apa yang akan datang di masa depan.
Sebagai seorang ekonom, Anda terbilang aktif di Twitter untuk merespon peristiwa terkini lewat sudut pandang ekonomi. Mengapa Anda memilih Twitter sebagai salah satu platform utama?
Cara berkomunikasi itu sekarang sangat penting. Waktu generasi saya, substansinya saja yang penting. Padahal kalau zaman dulu kita mau menyampaikan pesan, yang kita lakukan itu adalah melalui pengumuman atau menulis di koran. Tapi karena sekarang zaman sudah berubah, cara seperti itu tidak lagi diikuti orang karena memang tidak efektif.
Bahkan kalau saya menulis kolom di Kompas, yang akan saya lakukan adalah men-screenshot artikelnya kemudian saya share di media sosial saya sambil juga memberikan link-nya. Saya menggunakan social media karena itu impact-nya jauh lebih signifikan.
Berikut artikel saya “Stimulus di Tengah Korona” di Kompas, 19 Maret 2020. Mudah2an berguna https://t.co/0YFP7mW0eI pic.twitter.com/mwKNB6Hv23
— M. Chatib Basri (@ChatibBasri) March 18, 2020
Ada juga cara lain, misalnya dengan podcast. Saya sendiri tidak menyangka, waktu itu saya diwawancara dengan Asumsi dan yang mendengar podcast itu begitu banyak. Saya baru menyadari bahwa orang sekarang, khususnya anak-anak muda sekarang, bisa mendengarkan podcast sambil commuting dengan TransJakarta, MRT atau bahkan sambil berolahraga. Jadi karena itu, penting untuk kita mencari media yang tepat untuk menyampaikan pesan yang ingin disampaikan.
Anda pernah bilang bahwa “Industri kreatif akan memegang peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi kedepan.” Lalu bagaimana dampak langsung COVID-19 pada industri kreatif? Terlebih jika periode waktu wabah ini masih tidak bisa dipastikan?
Kita harus melihat issue ini dalam beberapa stages. Jika melihat situasi kita sekarang, pemerintah sedang menjalankan yang disebut sebagai social distancing. Kalau mengimplementasikan social distancing, maka itu implikasinya adalah kita akan menghindari keramaian, jadi aktivitas-aktivitas yang sifatnya interaksi langsung pasti akan berkurang. Kemudian ketika membicarakan soal industri kreatif yang cakupannya meliputi performance hingga digital technology, saya bisa membayangkan dengan social distancing, akan banyak performance offline yang dibatalkan. Contohnya besok ada satu konser musisi yang sudah diputuskan untuk dibatalkan dan kemungkinan sampai bulan Juni pun masih banyak yang canceled. Namun, kalau aktivitasnya itu melalui online, tentu masih bisa berjalan. Jadi implikasi yang pertama dari social distancing adalah semua aktivitas industri kreatif yang membutuhkan interaksi fisik itu akan batal atau berkurang, dan akan berpindah menjadi online.
Pertanyaannya adalah seberapa besar interaksi online ini bisa mengkompensasi aktivitas yang secara fisik harus interaktif? Kalau bisa fully compensated, maka industri kreatif tidak akan affected. Masalahnya, ada beberapa yang kita tidak mungkin lakukan. Misalnya, kenapa orang masih datang ke bioskop? Karena efek psikologis dari menonton di Netflix dengan di bioskop itu berbeda. Dulu orang selalu bilang bahwa dengan adanya video, bioskop akan mati. Namun faktanya tidak seperti itu. Orang akan tetap datang ke bioskop karena memang ada segmentasi pasar di situ, mungkin lewat social interaction atau viewing experience yang berbeda, jadi itu tidak bisa sepenuhnya diganti.
Dalam situasi seperti sekarang, saya melihat kalau industri kreatif yang berhubungan dengan performance itu mungkin akan less affected karena bisa diubah menjadi digital. Walaupun mungkin tingkat kepuasannya untuk audience tidak akan sama. Seperti misalnya saya nonton konser Sting melalui YouTube, ‘kan beda dengan nonton langsung. Feel-nya berbeda. Jadi memang bisa di-substitute, tapi tidak perfect. Jadi kalau di industri kreatif, apalagi yang menyangkut soal performance, saya kira akan sedikit berkurang, tetapi tidak secara total. Tapi kalau industri media, yang sudah banyak versi digital, pasti tidak akan affected. Beda misalnya dengan industri pariwisata, apalagi ketika ada himbauan social distancing orang-orang pasti tidak akan berpikiran ke sana, maka industri pariwisata itu pasti mati.
Di beberapa kota di dunia, industri kreatif menjadi sumber pendorong perekonomian. Sebagai contoh dengan ditiadakannya SXSW di Austin, Texas beberapa bisnis lokal di kota tersebut terancam tidak mendapatkan penghasilan. Melihat hal ini, apa yang bisa disimpulkan dari cara kerja industri kreatif saat ini? Apakah memang bentuk industri kreatif saat ini tidak dipersiapkan dan rentan akan perubahan global yang drastis, seperti adanya wabah pandemi?
Kita tentu tidak bisa adjust business model dengan sesuatu yang terjadinya seratus tahun sekali.
Kita harus melihat bahwa pandemi ini bukan fenomena yang terjadi di setiap hari. Kita tentu tidak bisa adjust business model dengan sesuatu yang terjadinya seratus tahun sekali. The last pandemic was the Spanish Flu in 1918, sekitar seratus tahun lalu. Sebelumnya itu waktu gunung Tambora meletus yang menimbulkan penyakit kolera, sekitar dua ratus tahun yang lalu. Tentu industri kreatif tidak bisa menggunakan kondisi COVID-19 sekarang sebagai basisnya, ini outlier, bukan sesuatu yang normal. Saya melihat bahwa kondisi seperti ini temporary, jadi seharusnya tetap saja berjalan dengan business model yang biasa karena ini suatu kejadian yang mungkin terjadi hanya seratus tahun sekali dalam sejarah. But one thing that we can learn from this experience adalah kita harus punya contingency plan karena pandemi itu bisa terjadi at any time. Di dalam contingency plan ini harus dipikirkan, misalnya dalam kondisi seperti sekarang, apa implikasinya? Misalnya, saya kasih contoh, di dalam tiga puluh tahun terakhir, Cina menjadi begitu penting di dalam semua aktivitas. Hampir semua instrumen digital itu Huawei. Kalau berbicara soal MacBook, komponennya dibuat oleh Foxconn yang pabriknya terletak di Guangdong, Cina. Jadi Cina itu sudah menjadi 20% dari value chain dalam production network, jadi seandainya Cina itu kena, maka dunia juga akan kena.
Ini kembali lagi ke basic principle of finance, “Don’t put all your eggs in one basket”. Karena sekali itu basketnya rusak, seluruh telur kita rusak. Jadi yang mesti dilakukan adalah, you have to diversify, put your eggs in some baskets. Sama juga, jadi kedepannya kita harus diversify dengan tidak bergantung pada satu negara, termasuk dalam sektor digital dan hal lainnya. Walaupun di Cina perlu ada, tapi di negara lain juga perlu ada. Dari sini, saya melihat sebetulnya oportunis karena nanti dunia itu akan mulai menyadari bahwa they cannot entirely rely on China so they would start looking elsewhere. Ketika kita membicarakan fashion misalnya, mereka kan sekarang sedang mengejar market di Shanghai, kalau kemudian Shanghai kena, mati lah produk mereka. So they have to diversify, produknya tidak hanya di Shanghai, tapi di beberapa kota di Asia. Sehingga saya bisa membayangkan kalau kemudian investment mereka dalam desain atau fashion akan masuk ke berbagai negara untuk mendiversifikasi resikonya. Tapi ini hanya akan terjadi nanti mungkin setelah situasi kembali normal. Di dalam business model, untuk industri kreatif tidak akan berubah, tapi mereka perlu prepare contingency plan dengan cara diversifying their portfolio ke banyak tempat sehingga kalau terjadi shock semacam ini, efeknya akan limited.
Melihat pengalaman Anda bekerja di pemerintahan, kebijakan atau insentif seperti apa yang seharusnya diterapkan oleh pemerintah untuk mengurangi dampak dari pandemi ini?
Saya adalah orang yang bilang bahwa yang mesti dilakukan pemerintah saat ini hanya dua hal. Satu adalah mitigating the COVID-19, semua itu fokus mengurus itu saja dengan social distancing. Yang penting growth penularannya menurun. Jadi yang mesti dilakukan adalah relocate funding to support hospitals dan lain sebagainya. Tapi ini less to do with the creative industry. Mungkin yang bisa dilakukan industri kreatif adalah dengan memberi dukungan lewat membuat iklan layanan masyarakat supaya orang itu bisa mengerti alasan di balik social distancing. Kan kemarin orang complain sama Gubernur Jakarta, kenapa MRT itu di-limit waktu operasinya. Itu kan kebijakan yang akan bekerja dengan asumsi bahwa kantor itu diliburkan. Tapi kalau kantornya tidak libur ya pastinya tidak bisa. Jadi ada prerequisite-nya tentang itu. Itu mungkin satu, industri kreatif bisa bantu dengan iklan layanan masyarakat atau bisa spread out informasi tentang pentingnya social distancing dan bagaimana hal tersebut dapat membantu kita mengatasi pandemi ini. Ini semua berkaitan dengan policy bagaimana kita bisa mitigate COVID-19.
It’s easier to be said than done, but be creative.
Yang kedua, ini berkaitan dengan apa yang bisa dilakukan. Menurut saya, karena orang itu pasti akan affected, jam kerja akan berkurang, bahkan mungkin ada beberapa orang kehilangan pekerjaan, maka di dalam short-term, government should provide cash transfer. Cash transfer itu orang dikasih uang bulanan. Masalahnya, uang kita limited. Kalau di Hong Kong itu dikasih HKD 1000 untuk citizens yang umurnya di atas 18 tahun. Kalau di Indonesia mungkin kita tidak bisa memberikan itu, tapi kompensasi seperti itu perlu diberikan oleh pemerintah. Jadi daripada anggarannya dipakai untuk discount airfare dan hotel padahal tidak ada orang yang pergi, uangnya lebih baik dipakai untuk memberikan cash transfer. When I was in the government, I did the same di tahun 2013 dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT). We gave money to the poor people, middle-lower, in order to ensure that they have money for their basic needs. Jadi pekerja industri kreatif mungkin bisa dibantu terutama yang berkaitan dengan yang lower level. Tentu kalau middle-upper, tidak mungkin pemerintah bisa bantu.
Lalu kemudian, di industri kreatif itu banyak sekali start-up company. Jadi ada resiko gagal bayar kalau ada yang pinjam dari bank, karena tidak ada client, mereka jadi tidak bisa bayar hutang. Maka dari itu, mesti dilakukan relaksasi dari kredit yang mereka pinjam. Dan sebetulnya bagi small and medium enterprises (SMEs), jangan stop kasih financing ke mereka. Karena kalau diberhentikan, mereka akan tutup. Jadi semua kebijakan ini bukan sesuatu yang normal, tapi idenya adalah to ensure that in this kind of situation, companies or activities in the creative industry can survive.
Selain kebijakan atau insentif dari pemerintah, menurut Anda apa yang saat ini bisa dilakukan oleh para pelaku industri kreatif untuk mempertahankan keberadaan industri di tengah pandemi?
Kalau menurut saya, industri kreatif paling ready karena kalian yang paling bisa go digital. Kalau sudah bisa online, efeknya ke industri akan less. Saya kasih contoh misalnya dalam pendidikan, efeknya tidak terlalu banyak bagi kita. Saya bisa mengajar melalui Skype, Zoom atau Microsoft Teams. Kalau misalnya program atau aktivitas di dalam industri kreatif bisa diarahkan ke sana, itu saya kira akan sangat berguna dan bisa memitigasi pengaruh dari kondisi sekarang. Terus terang saya tidak terlalu khawatir dengan creative industry karena menurut saya you are one of the industries that is the most ready to go digital. Meanwhile, kalau industri pariwisata itu tidak mungkin fully go digital, perhotelan itu tidak mungkin. Misalnya kalau kita mau ke laut, tidak bisa sepenuhnya diganti dengan pengalaman virtual saja, itu kan tidak cukup.
“Self-isolate or get paid?” merupakan pilihan yang harus dihadapi oleh para tenaga kerja yang termasuk dalam industri gig economy. Apa yang bisa disimpulkan dari kondisi kerja mereka, terlebih jika diposisikan dalam situasi seperti sekarang?
Jadi itu yang saya bilang tadi, peran dari cash transfer jadi penting. Kepada mereka lah yang namanya pedagang keliling sampai driver ojol, cash transfer difokuskan. Jadi selama mereka kehilangan pekerjaan, ada semacam unemployment insurance jadi mereka bisa stay di rumah. At least, mereka bisa mendapatkan basic needs, misalnya untuk makan sehari-hari. Tentu mereka tidak bisa expect bahwa mereka kemudian dapat uang terus bisa leha-leha, tapi yang penting perihal makan sehari-hari tidak terganggu. Kemudian yang paling penting adalah memastikan availability dari makanan, karena kalau nanti makanan itu tidak ada dan harganya naik, mereka pasti akan terpukul.
Industri kreatif paling ready karena kalian yang paling bisa go digital.
Mungkin sama seperti sekarang di mana beberapa bahan pangan sulit untuk didapatkan.
Itu betul. Sebetulnya kalau di dalam digital, ada satu yang bisa dibantu yaitu dengan sharing information. Kadang-kadang bisa terjadi kenaikan harga barang karena kita tidak tahu informasi mendetail mengenai barang tersebut. Tapi kalau kita tahu di mana letak barangnya, harganya pun akan berkurang. Terkadang kita tidak tahu tempat bahan makanan yang available ada di mana, jadi semua orang numpuk misalnya di pasar Cipinang, makanya harganya naik. Tapi kita juga punya banyak sekali pasar di seluruh Indonesia, dan tidak mungkin kita mengecek dan menelpon masing-masing tempat untuk tahu bahan tersebut ada di mana. Nah, kalau anak-anak start-up bisa membuat satu platform yang bisa menunjukkan supply bahan pangan dengan mudah, harganya pun tidak akan naik. Harga itu naik karena informasinya tidak simetris.
Ketika membicarakan soal cash transfer sebagai bentuk bantuan pemerintah, melihat pandemi yang jangka waktunya tidak fixed, sampai kapan metode itu layak untuk diberikan oleh pemerintah?
Saya sebenarnya reluctant untuk jawab ini kenapa? Kalau pandemi ini lama sekali, kita akan collapse. Bahkan beberapa kejadian besar di dunia itu awalnya berangkat dari pandemi, termasuk yang kemudian menimbulkan kemiskinan dan kelaparan itu akan lari ke politik. Even the France Revolution somehow was related dengan kejadian yang berkaitan dengan pandemi sebelumnya. Jadi saya berharap bahwa ini tidak lama, dan biasanya kalau melihat dari pengalaman memang butuh beberapa waktu. Tapi saya tidak bisa menjawab ini, mudah-mudahan dengan teknologi bisa cepat. Kalau lama, persoalannya itu akan berat sekali.
Ketika membicarakan soal industri musik, langkah alternatif yang dapat mereka lakukan adalah dengan berpindah ke jalur online streaming. Bagaimana Anda melihat jalur-jalur alternatif seperti online sebagai output alternatif?
Kalau dengan big data, behaviour terkini bisa menjadi pedoman bagi para pelaku industri kreatif
Saya tidak bisa jawab ini karena kalian pasti lebih mengerti daripada saya. Justru anak-anak muda bisa datang dengan sesuatu yang kira-kira orang lebih suka. Saya mungkin bisa kasih ide dasarnya. Behaviour dalam bagaimana seseorang consume industri kreatif sebenarnya bisa diikuti dengan big data. Kalau dengan big data, behaviour terkini bisa menjadi pedoman bagi para pelaku industri kreatif sehingga kalian bisa datang dengan produk atau cara baru yang akan disukai oleh orang lain. Misalnya kalau di gaming industry di Silicon Valley, mereka itu sampai belajar kira-kira behaviour orang saat melihat screen, mata mereka secara dominan melihat ke bagian mana. Ada yang namanya arsitektur dari desain. Jadi mereka tahu kalau mau menaruh kamera itu di bagian mana, taruh buttons di tengah apa di samping, itu mereka belajar berdasarkan dari behaviour. Jadi makanya ada apps yang mudah dipakai dan yang tidak mudah dipakai, bedanya adalah mereka belajar behaviour. Atau mungkin gini, anak sekarang kalau ditanya nomor handphone orang tidak akan ingat, zaman saya dulu, kita harus mengingat nomor handphone orang. Dari mengetik, lalu berkembang jadi fitur save. Itu ada perubahan karena behaviour orang dipelajari. Orang tidak akan mengingat sebanyak itu. Dan mungkin di dalam industri kreatif, kalau kamu punya big data, kalian bisa menerapkan market segmentation dengan baik.
Berikut artikel saya di Kompas, 28 Februari 2020, “ Perekonomian dan Virus Korona” mudah2an berguna https://t.co/pnG4WBmojC pic.twitter.com/OF9Q4IVg50
— M. Chatib Basri (@ChatibBasri) February 27, 2020
Melihat dari sini, business model di industri kreatif pastinya akan berubah ya?
Betul, saya melihat kedepan itu yang akan terjadi. Saya melihat anak saya yang paling kecil, dia bisa spend banyak waktu di depan TV, itu sesuatu yang tidak terjadi di zaman saya. Tapi anak-anak sekarang interaksinya tidak sama seperti saya, mereka bisa bermain bola bersama temannya tapi melalui Playstation. Dengan perubahan behaviour ini saya justru melihat kesempatan dari industri kreatif itu muncul. Saya pernah bilang sama foundernya Grab, mungkin suatu hari mereka harus kerja sama dengan insurance industry. Kenapa? Karena kalau misalnya melalui GrabFood, kita akan tahu orang yang makanan Padang siapa, lengkap detailnya, dan dari situ kita bisa bikin profiling kira-kira orang yang dengan kolesterol tinggi siapa saja. Dari situ kita bisa menentukan premi dari insurance. Siapa yang kira-kira kemungkinan kena sakit jantung dan lain-lain. Ini sesuatu yang tidak bisa dibayangkan. Apa hubungannya Grab dengan insurance? Tapi dengan big data itu bisa terjadi. Bahkan di dalam art atau fashion, kita bisa dengan mudah mengetahui hal-hal yang sebelumnya kita pikir tidak berhubungan, segmentasinya bisa persis.
Menurut Anda bagaimana skenario recovery path terbaik bagi para pelaku industri kreatif yang kebanyakan tidak padat modal?
Stage yang pertama itu mitigating the pandemic. Fokusnya itu hanya ke kesehatan saja, di sini industri kreatif bisa bantu lewat memberikan informasi layanan masyarakat. Setelah situasinya kembali seperti semula, di mana social distancing itu berkurang, industri-industri yang butuh interaksi fisik bisa berjalan lagi. Di situ baru normal stimulus bisa jalan, misalnya relaksasi pajak. Industri-industri yang tadinya kesulitan, pajaknya bisa mulai di-relieve, kreditnya direlaksasi, jadi saat mereka gagal bayar bisa di-restructure dan diperpanjang. Once mereka balik ke situasi yang normal, baru kemudian bisa kerja dengan pola normal. Saya bayangkan makanya stimulus ini mungkin dibutuhkan dalam enam bulan. Dulu waktu 2013 saya melakukan stimulus fiskal itu bahkan sampai sembilan bulan. Jadi kita mesti lihat dalam stages, dalam situasi yang parah, mulai normal kemudian kembali normal.
Langkah-langkah apa yang harus diambil oleh para pelaku industri kreatif guna mengantisipasi dampak berkelanjutan COVID-19 di masa depan?
It’s easier to be said than done, but be creative. Saya justru percaya bahwa di dalam situasi ini akan bisa datang ide-ide yang luar biasa. Sekarang kan sudah ada mapnya orang ada di mana, itu nanti sesuatu yang mungkin akan banyak digunakan orang. Ada resiko bahwa food supply tidak tersedia, tapi kalau ada apps yang bisa mendeteksi supply makanan, itu sangat memungkinkan. Atau, bisa tidak ada acara konser yang dilakukan secara online? Selama ini, konser online kan dianggap sebagai sideline karena orang masih harus datang ke venue. Kalau misalnya Sting mengadakan konser yang purely streaming, orang pasti mau nonton, apalagi kalau mereka cuma bisa stay di rumah. Itu sangat bisa terjadi.
Apa kira-kira peluang yang akan hadir di saat pandemi ini selesai?
Yang tadi saya bilang, yang pertama, orang akan melihat bahwa Cina tidak bisa lagi diposisikan sebagai center dari production network karena beresiko tinggi. Tidak boleh ada satu negara yang menjadi begitu dominan karena sekali dia kena, semua akan kena. Jadi saya melihat di situ kesempatan datangnya market dan investment, termasuk ke Indonesia. Bisa dalam start-up hingga creative industry, misalnya dalam fashion design mereka tidak bisa rely only on Shanghai atau negara tertentu. Tapi mereka harus diversify. Dalam konteks ini, cara untuk mengurangi resiko adalah dengan mereka masuk dalam format yang lebih kecil. Sehingga di sini, justru ada chance dari perusahaan rintisan untuk jalan karena yang dibutuhkan nanti adalah a well organised ecosystem.
Melihat dari hal tersebut, apakah ada kemungkinan kalau demand untuk produk domestik akan meningkat?
Justru saya lihat itu. Misalnya sekarang ada barang dari Cina, karena dia tidak bisa kirim barang akibat COVID-19, dia akan pasti mesti mencari alternatif lain. Karena tidak ada pilihan lain, maka dia mau tidak mau harus beli barang domestik yang tadinya tidak dibeli orang. Kalau permintaan terhadap produk domestik naik, kan kita juga bisa improve quality produk kita.
Do you have anything more to say that I haven’t asked?
Yang saya mau bilang sebetulnya dalam situasi seperti ini, karena sebagian besar nanti aktivitasnya akan ada dalam online, justru millennials, your generation itu bisa lebih banyak memiliki solusi. Ketimbang generasi saya yang terbiasa dengan interaksi fisik, padahal sekarang konsepnya sudah tidak seperti itu lagi.