Merantau Ke Malang, Menemukan Rumah
Di esai open column-nya, Avicena Farkhan Dharma, partisipan program internship Whiteboard Journal bercerita tentang pengalamannya merantau saat kuliah, mempelajari pendewasaan.
Words by Whiteboard Journal
Sepertinya kegelisahan akan selalu menyertai kita menjelang fase-fase kehidupan baru. Biasanya terlihat sepele, seperti malam sebelum hari pertama sekolah atau bisa juga saat pertaruhannya lebih besar, seperti masa-masa menjelang masa perantauan panjang. Di saat-saat seperti itu, gelisah mengakrabi. Namun, saya percaya bahwa rentetan kegelisahan tersebut adalah sebuah kepastian yang mau tak mau akan kita lalui dalam proses pendewasaan.
Sependek pengalaman hidup saya, belum ada yang lebih merubah hidup daripada keputusan untuk menempa pendidikan di luar kota kelahiran. Jika lazimnya banyak orang merantau ke kota untuk peraduan nasib, bagi saya malah sebaliknya. Saya dilahirkan dengan privilege sebagai orang Jakarta, orang Ibukota. Usai diterima di salah satu Universitas negeri di sana, rasa syukur dan bahagia tentu menghampiri. Sebelum tak lama, kegelisahan tak kunjung henti sampai hari pertama menginjakkan kaki di kota perantauan. Kekhawatiran dan kegelisahan itu datang melalui segudang pertanyaan yang belum saya miliki jawabannya. “Bagaimana jika nanti begini?”, “Bagaimana jika nanti begitu?”.
Tak banyak yang saya ketahui soal Malang kala itu, selain pengetahuan terbatas soal makanan Jawa Timuran favorit dan hawanya yang terkenal sejuk. Hidup di kota yang baru, tanpa mengenal siapapun, untuk pertama kalinya seumur hidup tentu sedikit menyeramkan. Saat itu, hanya membayangkan tanggung jawab yang harus saya pikul sendiri saja sudah agak membuat getir. Mulai dari komitmen besar untuk menuntaskan kuliah dan membayar kepercayaan orang tua, sampai hal remeh temeh seperti mengurus iuran kebersihan komplek dan membayar tagihan listrik serta air.
Sebenarnya saya bukan orang yang suka menunjukkan emosi, baik itu kesedihan, kebahagiaan, atau kemarahan sekalipun. Memang sejak kecil paling tidak suka dengan konfrontasi, jadi lebih suka memendam perasaan apapun dalam-dalam. Namun itu semua seperti tidak berlaku lagi di hari keberangkatan ke Malang. Saat berpamitan dengan ibu, bapak, dan kakak, saya menangis cengeng seperti seorang bocah yang mainan kesayangannya disita oleh orang tua. Drama itu berlangsung sebentar saja, beberapa jam berselang pun saya sudah menginjakkan kaki di kota yang akan menjadi tempat tinggal selama (setidaknya) empat tahun mendatang.
Seperti semua proses adaptasi, kita membutuhkan peran lingkungan untuk membantu meredakan kegelisahan yang ditimbulkan. Salah satu hal yang cukup mengejutkan ketika saya mulai beradaptasi adalah betapa banyaknya perantau asal Jabodetabek yang memenuhi kota Malang. Pada jurusan yang saya ambil, misalnya, bisa dibilang bahwa jumlah perantau dari Jabodetabek sudah hampir sama banyaknya dengan penduduk asli Malang. Kenyamanan di kota perantauan saya dapatkan melalui lingkaran pertemanan yang didasari atas kesamaan nasib sebagai perantau. Bersama mereka, saya sadar bahwa saya tidak sendirian. Seiring waktu, perbedaan budaya yang cukup lebar antara Jakarta dan Malang pun menemukan jalan tengahnya. Walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa hegemoni budaya ‘kejakarta-jakartaan’ memang masih terlewat kental. Melihat kembali, sepertinya kita-kita yang dari Jabodetabek seharusnya lebih mawas diri dan aware atas posisi kami sebagai perantau. Harusnya kita yang menyesuaikan diri dengan budaya setempat, bukan malah sebaliknya. Toh, kita tak lebih keren hanya karena kebetulan tinggal di sekitaran kantor presiden. Atau karena bicara dengan gue-elo. Beberapa kali saya membatin dan mempertanyakan kembali andil kami di kota ini selain hanya menambah macet jalan-jalan sekitar kampus, sampai sekarang jawaban itu belum saya temukan.
Semakin lama, menyebut Malang sebagai ‘rumah kedua’ terasa seperti sebuah understatement ketika Jakarta hanya sempat disambangi setiap liburan antar semester. Selain pada momen-momen tertentu yang membuat saya merindukan kehangatan rumah dan keluarga, keinginan untuk pulang ke Jakarta terbilang jarang menghampiri. Ketika di Jakarta pun, rasanya ingin cepat-cepat kembali pulang ke Malang. Makna dari istilah “pulang” pun menjadi sesuatu yang kabur. Jika “rumah” didefinisikan secara luas sebagai tempat di mana kita bisa mendapatkan kenyamanan, sepertinya empat setengah tahun terakhir rumah tersebut telah berpindah ke tanah perantauan.
Empat setengah tahun berselang, kegelisahan itu kembali menghampiri. Di samping skripsi yang tak kunjung rampung, membayangkan hari di mana saya harus meninggalkan Malang selalu menimbulkan ngeri. Kausalitasnya juga merupakan tanda tanya besar. Namun setelah beberapa kerabat terdekat menyelesaikan kuliah dan kembali ke kota asal, saya mulai memahami sumber kegusaran ini. Kegilaan ini tidak timbul karena kecintaan berlebih saya pada Kota Malang, bukan juga karena kenangan manis yang terpatri di dalamnya. Saya bukan mengkhawatirkan hari di mana saya akan meninggalkan Malang, tetapi apa yang akan menyambut setelah itu. Yaitu sebuah fase menyeramkan di mana saya akan mengambil kendali penuh atas perjalanan hidup sendiri, nasib saya sendiri. Kalau dipikir-pikir, semua pelajaran dan pengalaman selama sekolah, kuliah dan perantauan merupakan perbekalan untuk menyambut fase ini. Itu penyebab ketakutan tak jelas ini. Ada yang mengatakan bahwa kegelisahan adalah tanda bahwa kita akan menyambut sesuatu yang baik. Untuk saat ini, saya hanya bisa berharap agar ucapan tersebut benar adanya, dan semua kegusaran ini tidak berujung sia-sia.
Dari pengalaman ini, saya menyadari satu hal, bahwa perjalanan kehidupan hanyalah sekumpulan pilihan-pilihan. Beberapa pilihan berujung baik, beberapa yang lain mungkin tak serupa. Ketidaktahuan kita atas hasil dari pilihan itu akan menimbulkan pertanyaan — menimbulkan kegelisahan. Menyenangkan atau tidak, sepertinya kegelisahan itu adalah proses natural kita untuk mempersiapkan diri dalam menyambut perubahan. Kita selalu gelisah dengan apa yang akan datang besok, hanya untuk menyadari bahwa lusa akan ada kegelisahan baru yang datang menyambut. Tahapan-tahapan itu adalah sebuah keniscayaan. Sekarang tinggal bagaimana kita bisa merayakan kegelisahan-kegelisahan itu sebagai bakti kita atas kehidupan.