Bicara Konservatisme dan Aktivisme Melalui Komedi Bersama Sakdiyah Ma’ruf
Berbincang dengan Sakdiyah Ma’ruf soal awal pengenalannya dengan komedi, keresahannya soal konservatisme, dan posisi perempuan dalam lanskap komedi yang male-dominated.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Avicena Farkhan Dharma
Dalam lanskap komedi tunggal di Indonesia, nama Sakdiyah Ma’ruf dikenal sebagai salah satu yang paling vokal menyuarakan isu-isu seputar konservatisme dan kekerasan terhadap perempuan. Lahir dan besar di komunitas keturunan Arab di Kota Pekalongan, Sakdiyah tumbuh di lingkungan yang terbilang fundamentalis. Normalisasi kekerasan dalam rumah tangga dan musnahnya cita-cita anak perempuan karena budaya kawin paksa adalah beberapa hal yang kerap terjadi di komunitasnya. Pengalaman tersebut pun menimbulkan keresahan dalam dirinya, kian mendesak untuk lekas disuarakan. Dalam proses pencarian wadah aspirasi tersebut, Sakdiyah menemukan komedi sebagai safe space untuk memperbincangkan kegelisahannya soal konservatisme, ekstremisme, dan kekerasan terhadap perempuan. Dari andilnya dalam menyuarakan beberapa isu tersebut, Sakdiyah Ma’ruf pun terpilih dalam daftar BBC 100 Women Award pada tahun 2019, disebutkan sebagai “the first female Muslim stand-up comedian”. Pada interview kali ini, kami berbincang dengan Sakdiyah perihal keresahannya soal konservatisme dan ekstremisme, lanskap komedi Indonesia yang sangat male-dominated, serta berbagai hal yang membentuk seorang Sakdiyah Ma’ruf hari ini.
Bisa diceritakan soal awal ketertarikan Anda di dunia komedi?
Awal mengenal komedi sudah lama sekali, karena sejak kecil sebenarnya sudah familiar. Jadi waktu kecil itu ada dua, yang pertama nonton traditional comedy seperti “Srimulat” dan ludruk, terus dulu di TVRI Jogja yang siarannya sampai ke Pekalongan itu “Guyon Maton” sama “Bangun Deso”. Jadi, komedi yang sangat-sangat Jawa, tapi di sisi lain juga sangat terekspos dengan komedi Amerika. Pada masa itu, Orde Baru kan stasiun televisinya TVRI saja dan kita pasti terbayangnya tidak bisa melihat apapun karena pemerintah yang otoriter.
Komedi menemukan dan menyelamatkan saya.
Interestingly, banyak sekali komedi Amerika yang diimpor oleh TVRI. “Full House”, “Roseanne”, itu ada di TVRI, dan dari situ pertama kali kenal komedi. Kemudian ada juga yang lebih urban seperti Warkop DKI. Warkop DKI itu tradisi keluarga. Bukan hanya seperti sekarang nonton di TV, tapi ke bioskop ramai-ramai sekeluarga, abah, mamah, saya, dan adik. Salah satu yang saya sangat ingat itu nonton “Ramadhan dan Ramona”. “Ramadhan dan Ramona” itu film komedi Indonesia pemenang Piala Citra. Tahunnya lupa, tapi saya ingat semua scene dan pemerannya. Pemerannya itu Lydia Kandou sama Jamal Mirdad. Kemudian waktu itu ada komedian namanya Amak Baldjun. Amak Baldjun itu keturunan Arab, dan orang tua saya pada waktu itu memperkenalkan. Itu film dewasa sesungguhnya (tertawa). Maksudnya bukan dewasa ada banyak adegan seks atau apa, tidak sih, tapi maksudnya bukan untuk tontonan anak-anak. Jadi, cukup banyak terekspos [dengan komedi].
Kalau awal karier sebagai comedian, waktu SMP pernah ikut lomba lawak. Karena tidak punya skill lain sih sebenarnya (tertawa). Jadi kan lomba antar kelas, sementara teman-teman itu lombanya bola voli, basket, musik. Saya tidak punya skill apapun, terus I signed up buat lomba lawak, lumayan juara dua dari tiga peserta.
Bentuk lomba lawaknya seperti apa?
Skit seperti “Srimulat” gitu, bentuknya grup tiga orang. Jadi ada saya, yang tidak punya skill apa-apa. Ada satu teman, saya masih ingat banget namanya Sudarmaji. Dia itu most bullied child in class, seriously! Memang datang dari keluarga kurang mampu waktu itu dan juga kurang pandai. Pokoknya most bullied deh. Nah ada hal yang sangat berkesan dari kerja sama saya dengan Sudarmaji. Kalau “Srimulat” itu act-nya kan sudah paten ya, ada yang jadi pembantu, ada yang jadi majikan, terus tektokan-nya antara pembantu dan majikan gitu lah kira-kira. Nah saya ingat waktu itu saya yang organize the group, terus saya cast Sudarmaji jadi asisten rumah tangganya, dan saya masih ingat sekali perasaan saya pada waktu itu. Perasaan anak SMP yang masih saya ingat sampai sekarang, betapa bersalahnya saya menempatkan Sudarmaji di posisi yang diinjak-injak padahal sehari-harinya dia sudah diinjak-injak. Jadi saya ingat sekali, perasaannya sangat kuat. Bahkan saya tidak ingat ceritanya skit-nya apa, saya tidak ingat sama sekali hari itu apa kejadiannya. Saya hanya ingat dua hal, saya juara dua dan saya bersalah sama Sudarmaji. Itu saya kira salah satu titik mula yang membuat saya menyadari relasi kuasa. Orang yang powerful dan orang yang ditindas itu seperti apa. Ya, dalam imajinasi dan perasaan anak SMP ya.
Anda memiliki passion di bidang bahasa dan berkuliah jurusan Sastra Inggris. Apakah hal tersebut mempengaruhi penulisan komedi Anda hingga hari ini?
Sastra Inggris sangat mengubah hidup. Saya ingat satu kutipan dari film “Liberal Arts”, penulis dan sutradaranya itu yang main “How I Met Your Mother”, Josh Radnor. Dia bilang “Saya ini major in english dan minor in history, which makes me completely unemployable”, dan memang demikian adanya. Dosen saya pernah bercerita begini, kalau ditanya, “Kamu ini dapat apa sih sekolah di Sastra Inggris?” dosen saya bilang dapat wawasan. Dapat wawasan bahwa kita ini hidup bergelimang stories. Belajar sastra, belajar budaya, dan tidak banyak belajar practical skill yang bermanfaat di dunia kerja sebenarnya. Tetapi, ada satu yang sesungguhnya bermanfaat dalam pekerjaan apapun, dan pada akhirnya menurut saya, amat sangat membantu dalam proses kreatif saya hari ini, yaitu to read between the lines.
Saya merasa bahwa kita semua ini at some point menjadi orang-orang yang tidak diterima, tapi perlu berbicara.
Pada dasarnya, analisis sastra dan puisi yang diajarkan pada level basic di Sastra Inggris itu kan urusannya read between the lines. Itu skill yang sudah makin menghilang dari masyarakat kita hari ini, makanya semua berita dipercaya aja (tertawa). Jadi di Sastra Inggris saya mengenal cerita juga storytelling dan saya mengenal manusia dan kemanusiaan. Saya selalu dapat A di mata kuliah puisi! Kalau yang di drama sama sastra tidak terlalu (tertawa).
Memang senang sama puisi?
Sangat suka, sangat suka. Pertama kali saya menginjakkan kaki di Sastra Inggris, I headed to the library dan jatuh cinta dengan Emily Dickinson. Itu buku puisi yang pertama saya baca. Lines-nya yang paling menggugah sampai hari ini, ”This is my letter to the world that never wrote to me”. It was so inspiring, it was so touching, dan saya merasa bahwa kita semua ini at some point menjadi orang-orang yang tidak diterima, tapi perlu berbicara.
Anda seringkali mengangkat isu-isu perlawanan dalam materi komedi Anda. Apa titik balik yang membuat Anda ingin menggunakan komedi untuk mengkomunikasikan hal tersebut?
Ada dua hal. Kalau ditanya saya bersuara untuk apa dan untuk siapa, [jawabannya] perempuan. Yang bisa saya jawab itu, dan memang itu adalah inspirasi utama saya. Saya lahir dan dibesarkan di komunitas keturunan Arab di Pekalongan, dan di sana kondisinya pernikahan anak itu masih dipraktikkan, kekerasan dalam rumah tangga juga masih dipraktikkan. Saya ingat obrolan saya dengan sahabat sepupu saya yang tiga atau empat tahun lebih muda dari saya. Kami bertemu di satu Idul Fitri, kemudian kita saling bertukar cerita lagi apa dan sebagainya. Pada saat itu saya sedang proses menyelesaikan S2. Kalimatnya yang masih saya ingat sampai hari ini adalah, “Kamu enak ya bisa sekolah”. Anak perempuan ini adalah anak yang sangat pandai, straight A student. Sangat pandai. Kemudian dia dinikahkan oleh orang tuanya di usia yang sangat muda, sampai harus memohon-mohon pada keluarganya agar diizinkan untuk mengikuti ujian akhir SMA. Akhirnya ikut ujian akhir, tidak tahu ijazahnya sampai diambil atau tidak. Persis setelah ujian akhir dia menikah.
Kalau ditanya saya bersuara untuk apa dan untuk siapa, [jawabannya] perempuan.
Pada saat kami bertemu itu, dia sudah menikah dengan dua anak.Saat ini dia sudah bercerai dengan tiga anak. Bukan cerita yang membahagiakan, dan bukan hanya satu ini yang terjadi di komunitas saya. Kehidupan pribadi yang saya saksikan ya normalisasi kekerasan. Saya hidup dengan pengalaman kekerasan dalam rumah tangga, sampai on stage saya pernah bercerita begini: “Saya ini ahli soal bantal. Karena setiap kali bersembunyi dari suara berisik di rumah kan saya pakai bantal. Perbantalan itu kan banyak, ada yang pakai kapas, ada yang pakai kapuk. Anda tahu, bantal apa yang paling efektif untuk menyaring suara? Bantal bulu angsa. Kenapa bantal bulu angsa? Karena bantal bulu angsa hanya ada di hotel bintang lima, dan kalau saya bisa mengakses itu, berarti saya tidak di rumah”. Ya, hal-hal yang semacam itu. Belum banyak yang bisa saya explore dari raw experience di rumah dan di komunitas, karena most of the time masih painful to remember. Tapi those are where my inspirations come from.
Ketika saya diizinkan oleh orang tua untuk kuliah, saya melihat bahwa praktik-praktik itu kok malah semakin meluas. Salah satu yang saya ingat itu ketika saya di pengajian mahasiswa Sastra Inggris. Di pengajian itu ada yang bilang, “Kamu tidak boleh baca buku-buku ini, ini semuanya penulis Barat.” Saya bilang, ”Lah kita sekolah Sastra Inggris, ini mau lulus gimana kalau gitu?” (tertawa). Nanti kalau [kuliah] Sastra Jawa, penulis Jawa dibilang klenik, sama aja seperti itu.
What I remember the most adalah ketika memasuki ruangan yang ada pembatas gordennya antara laki-laki dan perempuan. Saya mengerti kalau itu untuk sholat, tapi, kalau untuk sholat juga tidak sebenarnya, di masjid juga dipisah saja. Saat itu saya masuk ke ruang sekretariat untuk rapat kegiatan mahasiswa, and then I thought, “Kok begini?”, saya belum pernah lihat yang seperti ini. Kemudian dari balik tirai ada mahasiswa laki-laki bicara, “Ini ada usulan apa nih?”. Terus saya punya usulan dong, saya buka [tirainya], “Jadi gini mas”. Wah bener-bener teriak semua yang di situ, padahal semuanya pada berpakaian rapi dan tertutup dari ujung rambut sampai ujung kaki. So it’s when I realize, begitu banyak ironi di balik semua itu. Lalu ada juga teman laki-laki yang kalau bicara itu nunduk saja gitu, katanya melihat perempuan langsung di matanya itu tidak boleh. And then I joke on stage, “Why do you keep your head down all the time? You are avoiding sin by staring at my breast? Are you kidding me?” (tertawa).
So I’m inspired by those absurdities of how muslims see themselves and how muslims practice their religion, including myself. Ada one of my jokes yang bicara betapa buruknya saya sebagai seorang muslim, karena kalau cari barang-barang hilang itu ketemunya kalau pas sholat (tertawa). Harusnya fokus kan ya. That is sad, itu menurut saya sesuatu yang harus saya perbaiki, tapi saya juga tidak segan mengakuinya. Saya bukan all the best muslim in the world kemudian criticizing other muslims, not at all. Saya bicara soal pengalaman saya berjilbab, pernah pakai jilbab, pernah lepas jilbab, dan segala macam. Itu adalah bagian dari apa yang saat ini saya anggap penting untuk direfleksikan sebagai kelemahan diri saya.
Komedi mengajak audiens untuk tertawa, apapun temanya, dan tak jarang aktivisme jadi dasar atau secara implisit hadir dalam tema yang dibahas. Menurut Anda, apa yang membuat komedi menjadi wadah tepat untuk aktivisme?
Sejujurnya, karena segalanya juga sudah saya coba. Maksudnya begini, saya menyadari diri saya sebagai orang yang selalu mencari jalan untuk berbicara. Hidup dalam pengalaman kekerasan membuat saya menjadi anak yang serba takut. Meskipun kelihatannya over percaya diri di luarnya, tetapi saya adalah orang yang serba takut. Sampai hari inipun, ketakutan-ketakutan itu masih ada dan masih membekas. Sehingga, ketika berbicara soal media aspirasi atau media untuk berbicara, itu hampir selalu mencari yang kira-kira tidak konfrontatif. Kalaupun akan konfrontatif, saya biasanya sembunyi-sembunyi akhirnya. Jadi dari dulu ikut kegiatan sekolah seperti ekskul dan segala macam itu sembunyi-sembunyi.
Bagi saya komedi itu sangat berarti karena I truly believe in the medium, I truly believe in the power of laughter untuk banyak hal.
Saat kuliah, hampir semua kegiatan mulai dari demo mahasiswa, publishing newsletter, organizing community, organizing seminars, segala macam media aspirasi itu saya coba, most of the time tanpa sepengetahuan orang tua. Kemudian sampai pada suatu hari, saya menulis artikel rangkuman diskusi dan saya kirim ke situs islamlib.com. Dulu belum ramai media online, itu salah satu media online yang paling ramai tuh traffic-nya, bagian dari Jaringan Islam Liberal. Itu responnya luar biasa. Kalau sekarang kan respon di social media, kalau dulu responnya nyata dong. Keluarga menelepon, ”Kamu ikut Islam liberal? Mama nggak mau ya!” (tertawa). Sepupuku juga texting, “Kamu berteman dengan Islam liberal?”, dan sebagainya. So that’s another thing yang memotivasi saya untuk mencari cara bersembunyi lagi.
But, pada tahun 2009, saya nonton DVD “Robin Williams Live on Broadway”, thanks to industri DVD bajakan Indonesia tentu saja. Selama nonton itu rasanya seperti “aha moment” gitu. Part of a turning point juga, jadi everything starts to make sense. Seperti my whole life is crossing before my eyes. Artinya komedi yang sudah menjadi bagian yang sedemikian besar dalam hidup saya muncul kembali. Jadi ada unsur komedi, ada unsur aspirasi, ada unsur keindahan bahasa. Komedi itu sebenarnya tidak jauh berbeda dengan puisi, in a different medium saja, different medium, different delivery. Misalnya soal efektivitas kalimat, hanya dengan dua tiga kalimat bisa bicara tentang isu yang sedemikian penting. Ketika nonton Robin Williams Live on Broadway itu, keseluruhan hidup saya menjadi terkumpul dan terkulminasi jadi satu. Keseluruhan hidup saya dalam arti exposure tentang komedi dari kecil, pengalaman kekerasan dan keinginan untuk menyampaikan aspirasi, pencarian medium aspirasi yang cocok, dan the beauty of the language. Pada saat itu ya saya berpikir, I have to try aja, I just have to. One thing leads to another, dari situ sih sampai sekarang. Bagi saya komedi itu sangat berarti karena I truly believe in the medium, I truly believe in the power of laughter untuk banyak hal. It sort of something yang bisa represent who I am, both my aspiration and my creative side.
Berarti memang sebelumnya punya kegelisahan dan sesuatu untuk disuarakan, kemudian baru menemukan komedi sebagai medium?
Betul, atau lebih tepatnya komedi menemukan dan menyelamatkan saya.
Elemen dunia hiburan butuh itu. Seniman, penonton, dan kritikus.
Bicara latar belakang, Anda terlahir di komunitas konservatif namun sering membawakan isu-isu tersebut dalam materi komedi. Apa yang ingin disampaikan lewat pendekatan komedi ini?
Ada dua hal. Dari kehadiran saya di panggung, saya harap bisa membawa pesan bahwa perempuan bisa bercerita. Tetapi bukan hanya perempuan bisa bercerita, perempuan berhak atas their own narrative. Jadi our story, our voice. Kisah cerita kita, dari mulut kita sendiri. Narasi kita yang kita sampaikan sendiri, so our own version. Kemudian yang kedua, sebenarnya tidak muluk-muluk. Saya tidak ingin bicara soal membawa perubahan atau melawan atau apa. Sebenarnya ketika perempuan menceritakan cerita hidupnya, itu saja sudah suatu perlawanan, karena selama ini sangat sedikit ruang bagi perempuan untuk memiliki narasinya sendiri. Dari isi komedinya sendiri, yang saya harapkan hanya untuk start conversation saja. Start conversation dan dialogues. Dan untuk membantu kita menyadari bahwa what is interesting and beautiful about comedy adalah, first it facilitates dialogues, second its sparks conversations. Kenapa? Karena komedi menyoroti hal-hal yang mungkin orang lain missing out. Komedi memberikan kaca pembesar kepada hal-hal yang mungkin dilewatkan orang, dan memberikan perspektif terhadap issues, terhadap stories, terhadap topics.
Kemudian yang kedua, komedi memperkenalkan kita terhadap kompleksitas dengan cara yang amat sederhana. Kemarin saya baru nonton satu bit Dave Chappelle, satu bit aja sebenarnya, hanya enam menit. Dari situ, saya bisa mendapatkan pengalaman masa kecil orang kulit hitam di lingkungan orang kulit putih, pengalaman masa kecil orang kulit hitam di lingkungan kulit hitam, pengalaman keluarga kulit putih yang mormon, pengalaman diskriminasi rasial, dan pengalaman diskriminasi berbasis kelas dalam enam menit doang. Atau kalau yang lokal, “Arisan”-nya Nia Dinata. You have everything, dan itu komedi. “Arisan” itu kan lucu banget. Anda dapat isu kelas, Anda dapat isu gender, Anda dapat isu sexuality, Anda dapat isu perempuan secara umum. Ya istri selingkuh, diceraikan, istri tidak bisa hamil dan segala macam in two hours of fun and laughter. Menunjukkan bahwa human are complex. Di dunia yang divided dan polarized seperti ini, kita dipaksa untuk menjadi A atau B. Nah, harus ada medium-medium yang mengajak kita untuk ngobrol bahwa kita ini kompleks, we are not A and B. Kalau kita A and B jadinya seperti ini. Jadi kitanya berantem, yang di sana rangkul-rangkulan. Yang tadinya lawan, sekarang Menteri. Kan gitu, capek (tertawa).
Kalau kita bicara soal konservatisme, itu sebenarnya not necessarily konservatisme per se gitu ya, karena saya pun konservatif. Artinya, saya ya berjilbab, sholat ya sholat, artinya kan dalam hal beragama juga konservatif. Tapi yang ingin saya bicarakan, bukan saya lawan deh ya, dengan kita semua sebenarnya bukan hanya sesama muslim tapi saudara sebangsa dan bahkan in a global world adalah sikap-sikap yang formalistik dan eksklusif. Sikap-sikap yang menutup diri, yang membuat orang itu either you are with us or you are with them, us vs them. Yang tidak melihat kompleksitas. Singkatnya begini, yang ingin saya bawakan atau bicarakan dengan sebanyak-banyaknya orang adalah sikap-sikap yang eksklusif dan menyangkal kompleksitas kemanusiaan, itu loh. Jadi “Kamu kalau Islam ya Islam, mestinya Islam itu begini, sudah ada versinya”, No. Manusia itu kompleks, challenges-nya banyak, preferensinya banyak, pengalamannya banyak, dan sebagainya, yang membentuk dia menjadi orang yang kaya. Dan kekayaan itu justru yang membuat dia distinct dan unique as a human, kenapa mesti di kotak-kotakkan?
Identitas, profesi pilihan serta sudut pandang Anda bisa disimpulkan sebagai sebuah antitesis. Melihat hal ini, menurut Anda apakah agama dan progresivitas dapat berjalan beriringan dengan memberdayakan satu sama lain?
Banyak belajar, banyak referensi, dan juga belajar tentang apa yang terjadi di comedy scene di manapun di seluruh dunia.
Sebenarnya, kalau saya dari perspektif Islam, turunnya Islam di jazirah Arab itu kan untuk memerangi yang namanya jahiliyah. Artinya yang pertama kali dilakukan Islam adalah menghapus praktik-praktik penguburan anak perempuan, kemudian memberikan hak waris kepada anak perempuan. Sebelumnya anak perempuan dipertukarkan aja. Kalau suaminya mati, dikembalikan ke bapaknya, [kalau] bapaknya mati, tidak ada suaminya dikasih ke orang lain, dan sebagainya, seperti barang saja gitu. Kemudian memberantas praktik-praktik korupsi dengan mengusung perdagangan yang adil, kemudian zakat, dan lain sebagainya. Artinya semangatnya adalah semangat transformasi. Saya kira turunnya semua agama demikian. Di Judaism misalnya, meyakini sepuluh perintah Allah. Sepuluh perintah Tuhan yang diterima oleh Musa di Gunung Sinai itu semuanya isinya sangat transformatif. Nah yang jadi persoalan adalah nafsu manusia, orang-orang yang kemudian merasa berhak untuk mendominasi tafsir, yang membuat akhirnya agama pada hari ini dipertanyakan kekuatan transformasi sosialnya. Jadi kalau dianggap bisa beriringan atau tidak, ya tujuan awalnya kan itu sesungguhnya. Jadi persoalannya bukan agama, tapi tafsir agama dan sifat, serta nafsu manusia yang mendominasi pemikiran agama.
Pada artikel “Menakar Posisi Dark Comedy dan Political Correctness pada Lanskap Komedi Kita”, Anda menyebutkan bahwa komika harus punya sensitivitas soal konteks dan relasi kuasa dalam sebuah objek komedi. Upaya apa yang perlu dilakukan agar para komika sadar akan pentingnya hal tersebut?
Exposure. Saya yakin bahwa kita semua bertumbuh bareng kok. Makin banyak referensi, mudah-mudahan makin terbuka juga. Artinya begini, komedi di luar negeri misalnya, apalagi setelah Me Too Movement dan jatuhnya Louis CK, saya kira adalah pelajaran bersama. Padahal materinya Louis CK tidak ada yang sexist, gila, sangat dalam dan filosofis. I used to like, sangat mengidolakan dia. Tapi kekerasan seksual yang dilakukan itu membuat apapun yang disampaikan di panggung jadi terasa berbohong gitu. Jadi saya kira, satu, exposure. Banyak belajar, banyak referensi, dan juga belajar tentang apa yang terjadi di comedy scene di manapun di seluruh dunia. Salah satu yang bisa jadi contoh ya jatuhnya Louis CK itu. Padahal Louis CK sudah bertahan begitu lama dan didewakan, tapi ya jatuh karena pelecehan terhadap perempuan, bahkan kekerasan seksual terhadap perempuan.
Kemudian satu hal yang menarik, saya Insya Allah bulan depan akan mengikuti Melbourne International Comedy Festival, dan tidak muluk-muluk deh, di keterangan website saja bilang Melbourne International Comedy Festival adalah comedy festival yang inklusif, respecting diversity, non discriminatory, aksesibel dan lain sebagainya. Itu mereka nyatakan dengan jelas. Bahkan gala opening night dengan top comedians-nya saja untuk fundraising organisasi Oxfam. Kan kita tahu Oxfam NGO internasional untuk berbagai isu kemanusiaan. Artinya, komunitas komedi secara global itu sudah berubah, dan kita mudah-mudahan akan pelan-pelan ke arah demikian.
Sensitivitas itu bukan takut, sensitivitas itu bukan self-censorship, tidak. Freedom of speech itu harus diperjuangkan dan dipraktikkan. Sensitivitas itu responsibility sesungguhnya. Saya sampaikan di wawancara saat itu (artikel “Menakar Posisi Dark Comedy dan Political Correctness pada Lanskap Komedi Kita” bersama Whiteboard Journal), ya ini adalah tanggung jawab kita sebagai orang berkarya. Kalau dibilang Komedi itu bebas sebebas-bebasnya, Louis CK tidak bebas, dia tidak laku lagi sekarang, dianggap tidak relevan. Padahal yang dia bicarakan tidak sexist, tapi ada perilakunya (yang melakukan kekerasan seksual). Artinya, we have to be responsible dan ada consequences of everything that we do and we say. Kemudian yang kedua tanggung jawab penonton juga. Pada akhirnya kan semua seleksi alam.
Untuk iklim komedi yang lebih sehat di Indonesia, kami semua juga sangat butuh dukungan penonton. Jadi datanglah ke live shows, kalau ada yang kamu tidak suka, ngobrol langsung dengan komediannya. Jadi kamu ngomong, tapi kamu come to live shows, kamu pay tickets, kamu support kita juga sebagai orang yang berkarya. Sebagai bentuk accountability, kami sebagai orang yang berkarya harus memberikan yang terbaik pada kalian. Beri tahu kami juga kalau kalian merasa bahwa yang kami sampaikan itu tidak pas. Bukan menyinggung ya, comedy is all about offending, tetapi materi yang discriminating dan harassing. Simply put, yang pertama, kita sebagai comedian harus belajar terus, dunia berubah, komedi di banyak tempat juga berubah. Artinya jangan jumawa. Jangan kalau ada orang yang memprotes apa yang kita sampaikan malah, “Oh tidak punya selera humor, SJW (social justice warrior) sih!” Padahal, yang Anda bilang sebagai SJW-SJW itu adalah potential audience Anda. Bukan begitu caranya berhadapan dengan penonton kita.
Kalau dari sisi penonton, iklim yang sehat mesti saling mendukung. Penonton bersikaplah kritis, jangan silau dengan nama besar, Louis CK juga namanya besar banget. Bersikaplah kritis, tapi datang. Come to live shows, buy tickets, kalau ada materi yang membuat Anda merasa keberatan, sampaikan. Nah, terakhir yang tidak ada itu kritikus. Elemen dunia hiburan butuh itu. Seniman, penonton, dan kritikus. Saya belum melihat ada jurnalis atau kritikus yang dengan tekun menulis pertunjukan komedi. Di AS ada banyak, sampai ada yang menulis buku berjilid-jilid tentang komedi. Cuma modal dari bos media juga harus besar. Meaning bahwa kritikus itu harus dibayarin ke mana-mana beli tiket, karena tidak semua pertunjukan mengizinkan Anda masuk dengan press card. Masuk gratis dengan press card itu kan berarti yang keluar adalah liputan dan biasanya artikelnya banyak baiknya saja. Orang kan diberi tiket gratis untuk kebutuhan publicity. Artikel publicity ya kalaupun ada kritiknya 25% lah, lalu 75%-nya pujian.
Sensitivitas itu bukan takut, sensitivitas itu bukan self-censorship, tidak. Freedom of speech itu harus diperjuangkan dan dipraktikkan. Sensitivitas itu responsibility sesungguhnya.
Melihat perbandingan jumlah komika laki-laki dan perempuan di Indonesia yang terbilang timpang, bagaimana pandangan Anda soal posisi perempuan dalam lanskap komedi Indonesia hari ini?
Saat ini mulai menggeliat. Memang perbandingannya masih sangat kecil. Seperti kemarin saya ikut Jakarta International Comedy Festival itu ada 100 lebih performer, yang perempuan hanya kurang dari sepuluh. Memang persoalannya kompleks. Perempuan bukan tidak punya bakat. Bakatnya banyak, tapi ruang untuk bicaranya sedikit. Kemudian yang saya rasakan adalah pressure. Peer pressure itu besar sekali. Ada komedian perempuan yang muncul, kemudian akhirnya memaksa diri untuk menggunakan narasi dan bahasa ala laki-laki. Jadi in order to be accepted, you have to anjing-anjing, bangsat-bangsat, tetek memek, apa yang semacam itu. Ada peer pressure ke arah sana. Ya kalau kita bicara patriarki persoalannya banyak ya, mulai dari urusan orang tua, rumah tangga. Generally, perempuan di ruang publik itu tantangannya banyak, apalagi perempuan di ruang publik, berdiri, dan telling people what to do, tidak akan diterima. Betapa sulitnya. Betapa sulit, tapi bukan tidak mungkin. Butuh usaha ekstra dan semangat untuk terus sih.
Apa saran Anda bagi komika perempuan yang tengah mencari tempat di iklim komedi yang didominasi oleh laki-laki?
Stay true to your voice, jujur sama suara kita sendiri, genuine, dan original. Jangan merasa tertekan harus membawakan materi-materi seperti komedian laki-laki, yang menyumpah-nyumpah dan sebagainya. If it’s you and your identity, that’s fine. If its peer pressure, you have to fight it. Karena kekuatan perempuan justru di story telling pengalaman personal mereka. Artinya, women have a lot of potentials dan jangan ragu untuk kolaborasi di luar lingkungan komedi. Teman-teman organisasi perempuan sesungguhnya banyak, mereka banyak membuka ruang, dan kita bisa mulai dari situ. Itu pengalaman saya juga, selama ini saya juga banyak dibesarkan oleh gig NGO sebenarnya, bukan gig festival-festival komedi yang sangat male-dominated. Pasar itu luas kok, dan kita tidak di sini untuk bersaing dengan laki-laki. Kita di sini untuk menyampaikan our story. Itu aja yang jadi pegangan, supaya kita juga tidak tertekan.
Siapa komika yang paling mempengaruhi gaya komedi Anda?
If it’s you and your identity, that’s fine. If its peer pressure, you have to fight it. Karena kekuatan perempuan justru di story telling pengalaman personal mereka.
Kalau dalam negeri pasti Warkop dan Srimulat:Basuki. Ya Allah, Basuki tuh masuk ruangan aja lucu gitu, tidak usah ngomong apapun (tertawa). Kemudian stand-up comedian yang paling memengaruhi saya pasti trio “Full House” ya, Ayah, Uncle Jesse, dan Uncle Joey karena itu yang pertama kali banget saya tonton. Tiga orang itu kan comedian semua ya, “Full House”, tua banget. Terus Jerry Seinfeld, of course. Louis CK very very influential sebenarnya, damn! His comedy is so deep, tapi sekarang it all feels like a lie (tertawa). Ellen DeGeneres, Tig Notaro has a very strong influence on me as well. Rita Rudner, itu comedian kuno banget tahun 80-an, sekarang dia udah umur 60-an lebih dan masih manggung Gila! Rita Rudner is also very good, very observational. Dave Chappelle, Chris Rock, Nunung. I love Nunung.
Nia Dinata is also highly influential, film-filmnya mengajarkan bahwa sesungguhnya tidak ada isu yang tidak bisa dibahas. Kemudian Marjane Satrapi, graphic novelist Iran. Bukunya yang “Persepolis” itu sangat relatable buat saya. Karena dia hidup di antara masa tergulingnya Reza Shah dan masa revolusi Islam Iran, waktu ada peraturan wajib jilbab dan segala macam. Relatable banget. Juga bukunya dia “Embroideries” yang menceritakan ibu-ibu minum teh bareng, gosip dari ujung ke ujung, very, very, very, funny. Lalu Pramoedya dan bukunya “Bumi Manusia” itu wajib banget sih untuk bicara soal personal struggle, kaitannya dengan identity, Jawanisme, dan kolonialisme.
Kalau ditanya influence saya komedi itu siapa, sebenarnya bukan comedian. Influence komedi saya itu musician. Misalnya semua yang tergabung di Lilith Fair Tour. Lilith Fair Tour itu all-female musician, pimpinannya Sarah McLachlan. So if I have to mention siapa yang sangat mempengaruhi saya, Lisa Loeb for sure. Saya hafal lagu “Stay”-nya Lisa Loeb itu dari kelas enam SD. Lisa Loeb, Sheryl Crow, Meredith Brooks. Meredith Brooks “Bitch” itu my anthem. Female musician, mostly. Saya dari kecil sangat banyak mengakses komedi, tapi kalau dipikir-pikir jauh lebih banyak mengakses musician, meskipun tidak jadi musician. Oh! Alanis Morissette’s “Jagged Little Pill”, best album ever, ever! All genre, all musicians. Dan Jewel’s first album.
Siapa komika up and coming yang paling menarik perhatian Anda? Dan mengapa?
Hannah Gadsby. Yang Indonesia I love Kiki Saputri, I thought she’s brave and fun, meskipun dengan video-video mencium hottest Indonesian actors dan sebagainya. I thought perempuan kalau mau seperti itu ya tidak apa-apa, tidak boleh ada moral police yang menghakimi juga. Priska, I have to give a shoutout to Priska. Priska itu comedian Katolik yang bercerita soal pengalaman dia kerja di toko hijab, so Priska is brilliant. Ada komedian di Jogja tuh aku suka banget, dia lucu banget, tapi belum dapat big break-nya dia, namanya Gigih Adiguna. Gigih, I love Gigih, he’s so funny. Siapa lagi ya up and coming, oh! Coki Pardede boleh deh (tertawa).
Apa rencana Sakdiyah Ma’ruf untuk tahun 2020 ini?
Rencana tahun ini Insya Allah Melbourne International Comedy Festival dan roadshow.