Anak-Anak Kafir dari Kompleks Kotak
Submisi open column dari Edira Putri tentang pengalaman masa kecilnya sebagai seorang outsider dan bagaimana cara berdamai dengan keadaan.
Words by Whiteboard Journal
Salah satu hal paling kuingat tentang pola asuh Mama adalah kebiasaannya menyuruh kami main di luar. Saat usiaku sekitar 7 tahun dan adik lelakiku 5 tahun, televisi adalah sebuah kemewahan, bukan karena kami tak mampu beli, tapi karena ibu selalu membatasi pemakaiannya. Kami juga punya Xbox yang boleh digunakan seminggu dua kali setelah mengerjakan PR dan mandi sore.
Maka, hari-hari lainnya terpaksa kuhabiskan dengan main di luar. Kami tak pernah paham betul apa yang dimaksud “main di luar” —main apa? di luar mana? bagaimana? dengan siapa?— tapi kami tak pernah bertanya. Saat Mama berkata demikian, kami tak punya banyak pilihan selain langsung bangun dari duduk atau rebahan, ganti baju jika perlu, lalu keluar saja dulu dari rumah.
Kami tinggal di kompleks perumahan kecil, di mana rumah-rumah sederhana di dalamnya berbatasan dinding satu sama lain. Di daerah jalanku, rumah kami berjejer membentuk empat sisi mengelilingi sebuah lapangan persegi yang cukup luas, sehingga formasi rumah kami berbentuk kotak dengan jalan ke luar di dua sudutnya.
Pada suatu waktu, kira-kira di tahun ke-5 kami menempati rumah di Kompleks Kotak, para tetangga memutuskan untuk mendirikan sebuah masjid kecil yang asri di salah satu sudut lapangan yang berjauhan dengan kami.
Untuk waktu yang cukup panjang, lapangan persegi dan rumah-rumah di sekelilingnya adalah seluruh dunia kami. Kami punya teman di setiap sisinya. Seorang anak perempuan seusiaku tinggal di sisi kiri lapangan. Ada anak lelaki sebaya adik di sisi yang berseberangan dengan rumah kami. Di rumah pojok antara sisiku dengan sisi kanan lapangan ada dua anak lelaki bersaudara. Dan banyak lagi tetangga datang dan pergi seiring berjalannya tahun-tahun.
Hampir setiap hari, kami bermain dengan berbagai kombinasi sembarang dari anak-anak kompleks. Tergantung siapa yang sedang luang dan ingin main bersama. Kadang kami bergantian saling memanggil ke depan pagar rumah, namun lebih sering muncul saja ke depan lapangan. Tak lama pasti ada saja yang menyusul, karena di manapun anak-anak berkumpul di lapangan itu pasti terlihat dari rumah manapun yang berjejer di keempat sisinya.
“Diraaaaaa, main yuk!” panggilan khas itu selalu diucapkan dengan sebuah nada seru yang mengajak, hampir-hampir seperti lagu atau yel. Kadang dibarengi dengan ketukan berkelontang antara gembok dan pagar.
Entah sudah berapa lama tak kudengar seruan itu di depan rumah. Aku pun sudah mulai enggan melantunkannya seperti radio rusak di depan rumah teman-temanku yang sekarang jarang menjawab.
Aku tak tahu kenapa tak ada lagi yang datang menyusul ke lapangan kotak. Aku tak punya tebakan kenapa panggilan di depan pagar rumah sering tak berjawab. Tak juga terlalu kuambil pusing ketika yang muncul adalah ibu masing-masing untuk bilang anaknya sibuk mengerjakan PR.
Akhirnya aku terbiasa tinggal saja di rumah. Mungkin juga dalam rangka umur yang semakin bertambah. Mama mulai membiarkan kami leluasa menggunakan perangkat komputer di rumah. Aku pun tak keberatan hanya duduk-duduk membaca atau bertukar pesan teks dengan teman-teman sekolah dan kenalan-kenalan aneh dari internet.
—
Hal lainnya yang kuingat dari pola asuh Mama adalah pesannya untuk selalu bertanggungjawab terhadap diri dan hidup sendiri. Lama kemudian, di salah satu kuliah Psikologi aku mempelajari konstruk ini sebagai locus of control, yaitu bagaimana seseorang memahami faktor atau penyebab hal-hal yang terjadi di kehidupannya. Mama punya internal locus of control yang kuat, artinya beliau percaya bahwa apapun yang terjadi, kita sendiri lah yang paling punya andil untuk menentukan hasilnya, meskipun banyak faktor eksternal lain yang memengaruhi.
Dalam rumah tangga kami, misalnya, perkelahian fisik selalu diganjar maksimal. Dan yang mengemban kesalahan terbesar adalah selalu ia yang memukul duluan.
“Tapi adik duluan yang ngatain aku!” sering aku lontarkan alasan itu. Habis, apa aku seharusnya diam saja saat adik mengeluarkan ujaran yang membuatku kesal? Sementara aku terlalu lelah adu mulut. Menghatam adik rasanya lebih sesuai untuk melampiaskan kekesalanku.
“Ya, tapi kakak kan tau, Mama selalu bilang jangan mukul. Itu aturannya. Apapun yang dilakukan adik, selalu ada pilihan untuk nggak mukul.”
Biasanya aku akan membantah beberapa kali lagi, tapi aku mengerti bahwa ada hal-hal yang mutlak tak boleh kulakukan. Ada batasan yang tidak boleh dilanggar apapun alasannya. Ini bukan tentang apa yang orang lain lakukan, ini tentang prinsip diri sendiri sebagai individu. Saat aku memukul adik, apapun alasannya, kejadian itu sepenuhnya tanggung jawabku. Fakta bahwa ia mengatakan hal-hal yang memancing murkaku tak mengubah kenyataan bahwa adalah tanganku yang kuangkat dan kuarahkan ke adik. Ini internal locus of control.
Maka saat Mama memintaku duduk di teras sore itu, mungkin beberapa bulan sejak kali terakhir aku bermain dengan anak-anak Kompleks Kotak, prinsip itu pula yang kurang lebih diteruskannya padaku.
“Kak, sekarang kalau main di rumah aja. Sepedaan atau muter-muter nggak apa-apa, tapi kalau nyamperin temen nggak usah dulu,” kira-kira seperti itu tutur Mama.
Saat itu aku tak banyak bertanya. Aku tak tahu darimana Mama tahu, atau bahkan kalau semua itu benar. Tapi pada akhirnya aku menyadari bahwa kadang anak perempuan ujung kiri masih main bersama tetangga di pojok kanan. Mereka saling mendatangi rumah satu sama lain diam diam, tanpa panggilan panjang yang dilagukan, dan kemudian main di dalam rumah. Dan kadang anak lelaki di sisi seberang bersepeda lewat rumah kami buru-buru dan tanpa sapa. Mungkin benar, teman-teman kompleksku tak lagi mau bermain dengan kafir.
Mungkin juga tidak. Saat itu beberapa dari anak-anak Kompleks Kotak memang sudah mulai sibuk ujian kelulusan, termasuk aku sendiri. Lagipula semua terjadi begitu saja, kami tak pernah berkelahi di luar yang biasanya dilakukan anak-anak. Aku dan adik pun sadar betul untuk tidak berbuat hal-hal di luar kebiasaan orang-orang kompleks. Orang-orang kompleks, sebaliknya, selalu menghargai kami dan tidak pernah memperlakukan kami berbeda.
Apapun itu, sore itu Mama melanjutkan. “Kita harus lebih baik lagi. Jangan berharap orang akan selalu baik sama kita. Lakukan saja bagian kita sebaik-baiknya.”
Lebih dari persoalan suku, ras, dan agama, sore itu Mama mengajarkanku bahwa kita selalu punya pilihan untuk saling berteman. Bahwa selalu ada hal yang bisa dilakukan dari sisi kita sendiri untuk mencapai suatu tujuan.
—
Tahun itu, Mama memasak ayam goreng, chicken nugget, dan menyediakan banyak soda untuk ulang tahun adikku. Terdengar sederhana, tapi ini adalah kemewahan bagi kami anak-anaknya yang selalu dipaksa makan lebih banyak sayuran dan hanya boleh minum soda kadang-kadang di akhir pekan.
Mama mengundang anak-anak Kompleks Kotak dan menggelar semua makanan di teras rumah. Setengah jam sesudah waktu yang tertera di undangan, satu anak laki-laki datang. Kemudian satu lagi, ditemani ayahnya. Ibu mengobrol sedikit-sedikit dengan tetangga kami sambil anak-anak makan banyak ayam goreng.
Kami tinggal di kompleks kotak sampai sekitar tujuh tahun lagi. Saat aku sudah kuliah, kami pindah ke kompleks perumahan yang sedikit lebih jauh dari pusat kota. Saat Idul Fitri pertama di rumah baru, seorang mantan tetangga kami di Kompleks Kotak datang untuk silaturahmi. Ia adalah seorang penjual pigura keturunan Arab dengan sepasang anak, kakak laki-laki dan adik perempuan. Istrinya selalu memakai cadar berwarna hitam dan berbicara pelan-pelan. Sore itu keluarganya tidak ikut, tapi ia duduk di ruang tamu sambil makan kue kering dan bercengkrama cukup lama dengan Papa.
Sekian belas tahun berlalu sejak sore itu saat aku belajar arti kata kafir dari Mama. Aku diberkati dengan satu adik lagi yang terpaut usia sebelas tahun denganku. Hari itu ulang tahun adik bungsu, mulai memasuki umur remaja. Kami duduk-duduk di rumah kami di pinggiran kota sehabis makan kue cokelat kesukaannya. “Aku selalu dapat ucapan ulang tahun dari Anis,” kata adik bungsu sambil mengetuk-ngetuk layar handphone. Anis adalah anak perempuan yang cukup lama berteman dengannya di Kompleks Kotak.
“Balas, dong!” sambar Mama segera. “Temenan di Facebook, jangan lupa kirim pesan juga setiap ulang tahunnya!”
“Iya.. Iya..” Adik menggumam sambil terus melihat layar di genggamannya.
Tak seperti adik bungsu, aku tak pernah lagi bertemu atau bertukar kabar dengan teman-teman masa kecil di Kompleks Kotak. Aku harap mereka semua sejahtera dan baik-baik saja, dan semoga kita bisa jumpa lagi nanti saat main di luar.
Memang kita harus lebih baik lagi.