Yang Sebenarnya Kita Bela Saat Membela Lingkungan
Submisi open column dari Dudin Rahman, mempertanyakan motif manusia saat berjuang membela lingkungan.
Words by Whiteboard Journal
Prolog
Beberapa hari yang lalu saya berkesempatan untuk mengikuti diskusi ke 16 yang diselenggarakan oleh Kolektif Agora dengan tajuk “Cericau Label Hijau.” Yang memperbincangkan seputar tren label produk ramah lingkungan yang semakin marak dalam kehidupan konsumsi kita.
Pada sesi pertama Dwi Sasetyaningtyas, pendiri Sustaination dan pebisnis produk-produk ramah lingkungan memaparkan mengenai dinamika dan realita dibalik label ramah lingkungan. Yang sebenarnya dapat ditilik dari dua sisi, sisi konsumen dan sisi produsen. Para konsumen saat ini diharapkan untuk dapat lebih cermat dalam memaknai aspek keberlanjutan dalam kehidupan konsumsinya. Karena bisa jadi membeli barang baru yang berlabel ramah lingkungan justru lebih berpotensi mencemari lingkungan jika tidak dipikirkan dengan matang. Pun halnya dengan para produsen. Tidak sedikit kita temukan produsen yang memasarkan produk produk berlabel hijau mereka sebagai sekedar gimmick belaka. Tanpa diiringi aksi nyata yang lebih substantif.
Sesi selanjutnya Giovanny Dessy Austriningrum, peneliti isu lingkungan dan pelaku di koperasi karya Sanggaré, membahas mengenai dinamika dan tantangan isu lingkungan secara lebih makro. Bahwa wacana mengenai lingkungan tidak berhenti pada sedotan apa yang kita gunakan, tapi lebih luas bertautan erat dengan aspek sosial, politik dan ekonomi. Seperti Isu keadilan lingkungan di beberapa daerah yang sepi publikasi, strategi pergerakan para aktivis lingkungan, hingga prioritas program kerja pemerintah yang sedikit banyak akan menentukan keputusan terhadap persoalan terkait. Selain tentu karena kerusakan lingkungan nyatanya lebih banyak terjadi di luar wilayah urban.
Pembelaan Terhadap Alam
Berbicara mengenai isu lingkungan serta kaitannya dengan kehidupan kita secara garis besar, dan kehidupan konsumsi kita secara lebih spesifik, ada dua pandangan yang menurut saya baik untuk dijadikan bahan refleksi bersama. Pandangan pertama dari Slavoj Zizek, seorang filsuf Slovenia. Dan pandangan kedua dari buku karangan Michael Braungart dan William McDonough, “Cradle to Cradle”.
Dalam salah satu wawancaranya, saat ditanya soal isu lingkungan, Zizek menegaskan bahwa alam sejatinya tidak membutuhkan pembelaan dari siapapun. Alam telah ada sebelum manusia dan selalu berjalan sesuai dengan logika/hukumnya sendiri. Baik dengan maupun tanpa campur tangan manusia. Sepanjang sejarahnya alam tidak pernah membutuhkan pembelaan siapapun.
Kita hanya mulai peduli terhadap alam dan lingkungan manakala kepentingan kita terhadapnya mulai terganggu. Kita mulai peduli saat ikan yang biasa menjadi pasokan makanan kita semakin sulit didapat. Kita baru peduli saat cuaca semakin panas menyengat sehingga menghambat produktifitas. Kita beranjak beraksi saat polusi yang dihasilkan oleh mesin artifisial kita mulai mencemari lingkungan kita sendiri. Kepedulian kita terhadap alam hanya sejauh kepentingan kita terhadapnya.
Dan mungkin sejatinya memang seperti itu. Karena kita tidak tahu apa yang terbaik bagi alam. Bahkan bisa jadi yang baik untuk alam justru buruk bagi eksistensi kita sendiri. Pemusnahan besar besaran populasi manusia tentu buruk bagi nurani kemanusiaan kita, lain halnya bila kita melihatnya dari sisi kepentingan alam. Pengurangan jumlah predator puncak tentu merupakan kabar baik bagi siklus rantai makanan di bawahnya.
Baik peradaban manusia dan alam sampai titik ini bergulir dan berkembang sesuai dengan kepentingan dan logikanya masing masing. Yang bisa kita lakukan hanyalah meminimalisir gesekan antar keduanya, dan membantu mereka yang paling rentan menerima konsekuensi dari gesekan ini. Atau bahkan mencegah sebagian untuk mengambil keuntungan dari tumbuhnya kesadaran terhadap gesekan ini tanpa intensi untuk melahirkan perubahan berarti.
Menghargai Material
Tumbuhnya kesadaran atas isu lingkungan yang berkembang pada saat ini pada gilirannya juga memunculkan sentimen publik terhadap material tertentu. Beberapa material industrial seperti plastik saat ini umum dipandang sebagai material “jahat” yang harus kita minimalisir atau bahkan kita tinggalkan dalam keseharian kita.
Buku “Cradle to Cradle” secara garis besar membahas mengenai siklus hidup (life cycle) material yang banyak digunakan oleh industri. Baik plastik, metal dan lain sebagainya. Selain memaparkan tentang karakteristik dan sifat dari material industrial tersebut, dijelaskan pula mengenai proses produksi serta treatment nya di akhir masa pakai.
Yang menjadi catatan penting adalah penjelasan mengenai permasalahan utama dalam produksi dan pengelolaan material di industri industri. Secara garis besar kita dapat membagi jenis material yang ada saat ini pada dua kategori. Material organik dan material artifisial. yang masing masing memiliki keunggulan dan kelemahan masing masing.
Berbeda dengan material organik yang cenderung lebih mudah terurai, material artifisial, meskipun lebih unggul dalam memenuhi fungsi modern yang spesifik, lebih susah untuk terurai. Hal ini sebenarnya dapat diatasi dengan cara memisahkan kedua jenis material ini. Dan meminimalisir pencampuran atas keduanya dalam proses produksi, sehingga memudahkan proses daur ulangnya. Dimana material organik bisa kita biarkan untuk terurai dengan sendirinya, sedangkan material artifisial kita leburkan dan kita olah lagi sebagai bahan baku yang baru.
Untuk itu segala persepsi buruk yang sering disematkan pada plastik tidak selamanya dapat dibenarkan. Karena plastik bila digunakan dan diolah dengan tepat, sangat efektif untuk menjawab kebutuhan keseharian kita. Karena justru material artifisial seperti plastik, bila digunakan dan diolah dengan tepat, sehingga memiliki masa pakai yang tak terbatas dan lebih mudah direkayasa sesuai dengan kebutuhan, dapat lebih unggul ketimbang material organik. baik secara fungsi praktis maupun secara lingkungan.
Terlepas dari tantangan seperti masalah pemisahan unsur organik dan artifisial dalam pengelolaan sampah serta keharusan integrasi strategi manajemen material ini dalam skala yang lebih luas hingga produksi dan distribusi, setidaknya kita harus lebih kritis dalam memandang isu mengenai lingkungan ini. Lebih lebih pada narasinya dalam kehidupan konsumsi urban seperti dalam bentuk label hijau. sehingga nantinya kita tidak terjebak pada potensi fetisisme komoditas baru dibalik produk produk berlabel hijau tersebut.
Kehidupan modern kontemporer menyajikan pada kita pilihan pilihan tak terbatas atas pola hidup dan pola konsumsi sehari hari. Yang menjadikan setiap orang rentan terhadap kepanikan akibat ketiadaan navigasi pribadi pada samudera pilihan ini. Karena meskipun konsumsi hanya sekedar strategi untuk mendukung kehidupan kita, nyatanya makna dan pemaknaan kehidupan kita sendiri dapat tercermin pada apa apa yang kita putuskan untuk kita konsumsi.