Saatnya Membicarakan Kebijakan Desain di Indonesia
Submisi kolum dari Wulan Pusponegoro, Direktur Edukasi ADGI untuk memulai perbincangan akan pentingnya kebijakan desain di Indonesia
Words by Whiteboard Journal
(1)
Desain dan kebijakan, mungkin bukan dua kata yang umum bersandingan, atau malah dianggap oposisi. Desain yang kreatif itu bisa bersifat fluid, dalam bayangan desainer agak sulit untuk diatur-atur dengan kebijakan yang mengikat dan rigid. Dalam dunia desain, aturan yang ada hanya berupa kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip desain yang sering pula dengan sengaja dilanggar oleh para desainer.
Tapi kebijakan desain (yang baik) bukanlah seperangkat norma tertulis yang mengatur bagaimana desainer harus menciptakan karya mereka, melainkan bagaimana para pencipta dapat didukung semaksimal mungkin melalui dan oleh jalur-jalur formal pemerintahan. Menurut peneliti dari Inggris, kebijakan desain adalah bagaimana pemerintah menerjemahkan visi politik menjadi program dan aksi untuk mengembangkan sumber daya desain nasional dan mendorong penggunaan sumber daya tersebut secara efektif (Raulik-Murphy, Cawood, 2009). Atau secara sederhana, arahan bagaimana pemerintah menggunakan desain untuk mendorong perekonomian negara. Negara-negara yang pertumbuhannya stabil cenderung mempunyai kebijakan dan pendanaan untuk inovasi desain yang ditujukan pada sektor publik.
(2)
Di Inggris, desain dikalkulasi telah berkontribusi sebesar 7.2% terhadap National Gross Value Added (Nilai Tambah Bruto) dan mempekerjakan 1.6 juta orang. Karena begitu besar pengaruh desain dalam perekonomian, pemerintah Inggris mengeluarkan kebijakan Design in Innovation Strategy 2015 – 2019. Strategi ini menitikberatkan desain sebagai metodologi yang dapat diaplikasikan untuk penciptaan produk fisik maupun digital, jasa, proses dan model bisnis yang lebih baik. Design as methodology; jadi bukan desain sebagai end product. Inggris adalah salah satu contoh negara yang mempunyai konsep sangat maju tentang desain dan industri kreatif.
Sebagai negara adidaya, Amerika Serikat juga memikirkan design policy mereka. Pada tahun 2009 terjadi pertemuan penting antara beberapa asosiasi desain dan industri kreatif dengan pemerintah A.S. untuk memberikan proposal kebijakan desain nasional. Seperti yang kita semua tahu, di setiap produk Apple tertulis Designed by Apple in California, assembled in China. Kekuatan desain Amerika sebagai competitive edge sangat jelas, namun sayangnya pemerintah A.S. tidak melihat desain sebagai industri besar dan dianggap sangat sulit dihitung kontribusinya terhadap PDB. Untungnya kebanyakan bisnis di Amerika menyadari bahwa inovasi desain penting bagi pertumbuhan usaha. Sampai sekarang A.S. belum memiliki kebijakan desain nasional, namun banyak pihak terus menyerukan pentingnya pemerintah untuk segera membuatnya.
Di Korea Selatan, kebijakan desain nasional didorong oleh rencana 5 tahunan yang dirancang oleh Kementerian Perdagangan, Industri dan Energi dan dilaksanakan oleh Korea Institute of Design Promotion (KIDP). Korea berhasil mencanangkan revolusi desain yang bertahap dibangun untuk mendukung perekonomian. Samsung, LG, Hyundai sukses sebagai motor besar industri dengan pengintegrasian desain dalam bisnis mereka. Booming-nya Korean Wave pun akibat pemerintah yang memberikan banyak subsidi untuk menyokong industri kreatif dan start-up. Korea bahkan mempunyai gol untuk menjadi eksportir kultural terbesar di dunia bersama dengan Jepang dan Amerika.
(3)
Di Indonesia ranah desain masuk dalam 3 sub-sektor ekonomi kreatif yaitu Desain Komunikasi Visual, Desain Interior, Desain Produk; tapi subsektor kreatif lainnya masih bersinggungan erat dengan desain. UU Ekonomi Kreatif sendiri telah disahkan pada September 2019 lalu. RUU-nya sempat melewati masa kontroversi karena mengandung pasal-pasal karet; terutama pasal 6 yang tadinya berbunyi Pelaku Ekonomi Kreatif berkewajiban menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan budaya bangsa dalam kegiatan ekonomi kreatif. Mirip-mirip RUU Permusikan pasal 4 yang bersifat multitafsir, sangat subjektif dan berpotensi mengekang kebebasan berekspresi.
Setelah diprotes keras oleh berbagai kalangan, untungnya DPR mendengarkan dan menghapus pasal tersebut, walaupun masih dimasukkan di pasal 3 bahwa pelaksanaan ekonomi kreatif harus berasaskan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Memang tampak jelas ada tekanan dari unsur tertentu untuk membawa embel-embel agama dalam UU ini.
Setelah disahkan pun UU Ekraf juga masih mendapat kritikan. Menurut Hafez Gumay dari Koalisi Seni Indonesia, UU ini tak bergigi karena tidak mempunyai sifat pengaturan tegas. Sementara pada saat penjelasan tertutup Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) mengatakan bahwa UU ini memang bersifat cair agar dapat mempermudah implementasi oleh Kementerian / Lembaga dan pelaku ekraf terkait. Namun yang menjadi pertanyaan, apakah sekarang UU tersebut bisa efektif, mengingat Bekraf sudah dibubarkan dan melebur dalam Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Otomatis sebuah kementerian tidak lagi memiliki fleksibilitas dan keleluasaan bergerak seperti sebuah badan.
Sebelum Bekraf berdiri, Kementerian Perdagangan di bawah Ibu Marie Elka Pangestu pernah menerbitkan arahan Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Desain Nasional 2015-2019. Dalam buku perencanaan ekonomi kreatif ini, sangat jelas visinya adalah industri desain yang terfokus, terintegrasi, berkualitas, dan berdaya saing sebagai landasan yang kuat untuk pengembangan ekonomi kreatif Indonesia.
Tentu sebuah tantangan berat bagi pemerintah untuk berfokus dan mengintegrasikan desain dalam industri. Bahkan negara sekelas Finlandia dan Denmark yang ranah desainnya sangat progresif merasa bahwa salah satu tantangan dalam mengintegrasikan desain adalah pemerintah dan masyarakat yang kurang memahami fungsi dan nilai penting desain. Padahal sebuah studi dari Denmark menunjukkan perusahaan yang berinvestasi di desain memperoleh peningkatan pendapatan kotor 250% lebih tinggi dibandingkan perusahaan yang tidak mementingkan desain. (Whicher, Raulik-Murphy, Cawood, 2011. Hal 48.). Denmark sendiri menerapkan tangga tahapan perkembangan desain yaitu 1) Tidak ada desain, 2) Desain sebagai style, 3) Desain sebagai proses dan 4) Desain sebagai strategi. Denmark, seperti juga Inggris sudah berkonsep sangat maju tentang desain.
Lanjutan dari buku karya Marie tadi adalah Peraturan Presiden Nomor 142 Tahun 2018 tentang Rencana Induk Pengembangan Ekonomi Kreatif Nasional 2018-2025 (Perpres Rindekraf). Prepres ini mempunyai visi yang lebih berat lagi, yaitu ekonomi kreatif sebagai penggerak utama pertumbuhan ekonomi nasional. Memang presiden kita sedang menaruh harapan besar di pundak kaum muda, terutama dengan maraknya start-up dan unicorns mereka yang masuk dalam jajaran sub-sektor Ekraf. Padahal sektor unggulan kita masih industri pengolahan (20,93%); Pertanian, Kehutanan dan Perikanan (12,38%), konstruksi (10,2%) dan perdagangan (Buku Outlook Perkonomian Indonesia 2019). Ekraf sendiri dikatakan baru berkontribusi sebesar 7,44% (Hasil Survei Khusus Ekonomi Kreatif – Bekraf 2016).
Sebetulnya ada diskrepansi besar antara visi dan realitas saat ini. Di satu sisi pemerintah melihat peluang besar dalam ekonomi kreatif, termasuk desain di dalamnya; di sisi lain masyarakat secara luas jarang sekali bersentuhan dengan dunia desain sehingga dianggap benda asing. Bahkan banyak aparat pemerintahan yang juga tidak mengerti fungsi desain selain hanya persoalan façade atau tampilan yang keren, yang seringkali dinilai rendah. Jika merujuk pada tangga tahapan desain dari Denmark, maka kebanyakan output desain di Indonesia masih pada tanggal ke-2; yaitu desain sebagai style.
Ini adalah tantangan bagi para desainer Indonesia, bagaimana menyikapi kebijakan dan arahan yang sudah disiapkan pemerintah, yang siap untuk menyokong industri kreatif secara keseluruhan. Ranah kebijakan tidak seseram atau serumit yang dibayangkan; atau kalau pun memang rumit maka sudah saatnya kita memahami kerumitan itu dan mengurainya dengan perspektif desain. Desember ini BPS (Badan Pusat Statistik) bersama Bekraf mengadakan FGD mengenai KBLI (Kode Baku Lapangan Usaha Indonesia) untuk sektor desain. Artinya para pemerintah (ahli statistika) juga sudah mau memahami kompleksitas desain – sebuah permulaan yang baik.
Tantangan lainnya adalah pola pikir para desainer dan pelaku ekonomi kreatif sendiri. Design thinking saja (yang berasa sudah agak basi di Eropa dan A.S.), di Indonesia masih jarang diterapkan. Para desainer sendiri kadang tidak dapat (atau tidak mau) keluar dari bubble estetika dan kekerenan yang mendulang puja-puji dari desainer-desainer lain. Fokus pada estetika dan bentuk saja tentu tidak bisa menjadi jalan kedepan untuk sebuah bangsa yang maju. Desain sebagai competitive advantage sebuah produk atau jasa pun rasanya belum holistik.
Desainer Indonesia perlu pemikir-pemikir jenis baru, yang berani menunjukkan desain bukan hanya tentang gaya, desain adalah solusi, inovasi dan bahkan strategi. Para desainer juga harus dapat keluar dari comfort zone dengan sesama desainer atau pekerja kreatif dan mulai berkolaborasi interdisipliner dengan profesional bidang lain – ekonomi, antropologi, teknik, agrikultur dan sebagainya sehingga desain dapat mengubah hidup orang banyak, desainer menjadi agen perubahan, bukan hanya sebagai pemberi jasa industri.
Sebuah contoh konkrit mengenai peraturan desain yang membawa perubahan, pada 2018 pemerintah Swedia mengeluarkan Stamped Living Environment Bill – sebuah peraturan yang menargetkan keberlanjutan/sustainability dan kualitas menjadi bagian integral desain dan arsitektur. Peraturan ini diterima dengan sangat baik oleh komunitas desain dan arsitektur Swedia dan dirasakan sebagai hal positif yang dapat memberi dampak langsung pada kehidupan.
Di era informasi ini pekerja kreatif tidak bisa lagi malas untuk berinteraksi dengan pembuat kebijakan atau lembaga pemerintah yang mendorongnya. Baik atau buruk sebuah kebijakan, penting bagi kita sebagai stakeholders untuk bersuara dan mengutarakan opini, agar dapat membentuk ekosistem desain dan ekonomi kreatif yang lebih baik dan benar-benar berfungsi sebagai pendorong perekonomian Indonesia. Seiring dengan kemajuan ekonomi siapa tahu suatu saat nanti masyarakat Indonesia dapat pula berada di tangga ke-4 tahapan desain.