Memahami Profesi Kurator Melalui Perspektif Grace Samboh
Sore hari sebelum pembukaan pameran “Ulah Tanah”, di RUCI Art Space, kami berbincang seputar ekosistem seni, penelitian, hingga bagaimana seniman bertahan hidup.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Gernas Geraldi
Foto: Ardi Widja
Di antara sederet kurator seni di industri ini, Grace Samboh merupakan salah satu yang aktif menggelar pameran di beberapa galeri kecil maupun besar di Indonesia juga negara-negara lainnya. Karir kuratorialnya bermula dari kerja-kerja pengorganisasian, penulisan dan penelitian (2006-2007). Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dan sempat ikut membidani lahirnya Langgeng Art Foundation (2010-2012). Pada 2011, ia bersama rekan-rekannya membentuk Hyphen, sebuah platform yang mewadahi penggalan-penggalan sejarah seni rupa Indonesia. Kami berkesempatan menemuinya di tengah pameran yang ia kuratori, “Ulah Tanah” karya Julian Abraham “Togar”.
OK Video Militia 2007 bisa dibilang sebagai langkah awal Anda untuk memulai karir sebagai kurator. Sebenarnya apa yang menjadi titik awal ketertarikan Anda untuk jadi kurator?
Sebenarnya di OK Video Militia 2007 saya terlibat sebagai Venue Coordinator, di bawah kepiawaian manajerial Indra “Ameng”. Jadi, itu bukan pekerjaan pertama saya sebagai kurator. Ketika itu, saya sudah sekitar dua tahun sering mondar-mandir dan main di ruangrupa. Mungkin, subconsciously, saya capek dan bosan sama kuliah dan magang periklanan. Awalnya saya itu suka street-art. Rumah saya itu di Cipete, kalau mau ke Pondok Indah Mall, lewat Terogong, nah, dulu, di sana banyak grafitinya. Saya jadi penasaran dan melihat banyak seperti pada waktu jamannya Tembok Bomber dan Artcoholic. Setelah itu, saya cari-cari di koran-koran dan majalah-majalah lama. Ketemulah yang namanya “Jak Art 2001”, semacam festival street-art, yang bukan cuma ada grafiti dan mural, tapi juga ada performance art dan karya-karya interaktif di ruang publik. Salah satu penyelenggaranya adalah ruangrupa. Saya penasaran bagaimana mereka bisa membuat hal yang keren seperti itu. Lalu saya mendatangi mereka, awalnya untuk wawancara, eh, belakangan malah nyangkut… Ikut-ikutan kerja ini dan itu di ruangrupa. Dari niatan wawancara saja, obrolan waktu itu malah berakhir jadi pameran street art di Museum Bank Mandiri (2007), judulnya [re]volusi 300cc.
Pertama kali kerja saya dianggap sebagai semacam kerja kuratorial itu dalam sebuah proyek pameran Electric Palm Tree di Stedelijk Museum Bureau Amsterdam (SMBA), Belanda, 2009. Awalnya, posisi saya adalah koordinator program lalu, karena saya kayaknya rewel dan banyak komentar ini-itu, saya diminta memformulasikan komentar saya dalam satu ruangan di pameran tersebut dan di katalognya. Mungkin supaya konkret. Nah, karena akhirnya saya mengisi ruangan itu dengan beberapa karya dan proyek teman-teman saya, baik perupa, musisi, maupun proyek daring, akhirnya jadi dianggap semacam intervensi kuratorial dalam konteks pamerannya. Terkadang saya bingung juga, cukup lama juga saya menerimanya sebagai profesi. Awalnya saya berpikir bahwa yang saya kerjakan itu untuk teman-teman. Tapi, bagaimanapun juga harus bisa diterima bahwa seni rupa itu industri. Jadi harus mengerti bahwa posisinya bisa dibilang sama seperti buruh, bedanya kami buruh lepas saja. Sebenarnya sama saja seperti TKI, kerja di luar negeri karena gajinya lebih banyak. Bukan semata soal duit, tapi gaji yang lebih banyak itu memberikan kesempatan untuk menabung. Tabungan buat apa? Ya, untuk membiayai kerjaan, proyek, pameran, atau penelitian yang dibuat-buat sendiri di “rumah” atau di lingkungan hidup sehari-hari saya. Terkadang sesederhana itu. Subsidi silang, gitu, kali ya. Jadi, saya sering bingung dengan orang yang menganggap kerja atau pameran di luar negeri itu prestige… Kalau buat saya, lebih sering alasannya pragmatis saja.
Dulu saya nggak terlalu ambil pusing ya sama istilah, label, jabatan. Di kemudian hari, saya cenderung menganggap istilah itu, atau jabatan itu, cukup problematik buat saya. Maksudnya, dalam konteks praktek artistik di Indonesia, saya pikir lingkungan sekitar sayalah yang menjadikan saya kurator. It was never my ‘cita-cita’ to be a curator dan rasanya kebanyakan orang, setidaknya yang seangkatan dengan saya, juga mirip situasinya. Suka kesenian, aktif dalam medan seni rupa, sering membantu ini-itu, bisa menulis, nggak bikin karya atau objek seni. Jadi, apa ya jabatannya? Ya, kurator aja deh!
Jadi, menjadi kurator itu sebenarnya semacam terpaksa, haha. Atau, mungkin bukan terpaksa, tapi lebih agar bisa menemukan fungsi dalam konstelasi lingkungan dan praktik seni yang ada di sekitar saya. Jadi, awalnya, saya selalu diberi peran itu, baik oleh teman perupa maupun oleh pemilik ruang pamer atau lembaga kesenian lainnya. Nah, untuk memenuhi itu, maka saya harus belajar dong? Pendidikan kuratorial itu baru muncul beberapa tahun belakangan ini di ISI dan ITB. Itupun agak lucu, menurut saya, karena dia masuknya dalam jurusan manajemen seni. Benar sih, perlu kemampuan manajerial juga dalam kerja kuratorial. Tapi, saya rasa, dia lebih cocok berada dalam jurusan penciptaan yang selalu menempel dengan pengkajian (hanya dibedakan kerja studio dan tugas akhirnya saja). Anyway, daripada protes soal lembaga orang, saya lebih suka bekerja saja. Karena peran yang diberikan pada saya itu, sebagai kurator, saya jadi harus belajar. Awalnya, saya mempelajari kebutuhan teman-teman atas peran tersebut. Seperti contohnya, ada teman saya “Eh, gue ada project ini nih, lo jadi kurator ya.” Misalnya, kerja bersama IVAA dan Biennale Jogja (2009), bersama Bambang “Toko” Witjaksono (2010), dan bersama Maryanto (2011). Kami mulai dengan mempercakapkan dan mendefinisikan apa yang jadi cakupan kerja kuratorial dan bagaimana ekspektasi ini-itunya. Sehingga, pelajaran kuratorial saya yang paling mendasar adalah negosiasi dan keterbukaan dengan semua orang yang terlibat dalam satu pekerjaan menuju pameran tersebut. Baru pada 2013, saya mulai coba posisi baru, yaitu ikut mengundang perupa untuk berpameran. Bukan lagi semata karena saya diajak, diundang, atau dikasih peran. Saya mulai ikut mendistribusikan peran, mendekonstruksi posisi-posisi aman, stagnan, mapan dalam kerja pembuatan pameran.
Selain bukan cita-cita saya, saya juga tidak mengidentifikasi pekerjaan saya sebatas pekerjaan kuratorial semata. Misalnya dalam konteks Hyphen yang kami kerjakan sebenarnya lebih ingin membuat orang menjadi lebih penasaran, jadi lebih rajin membuat penelitian untuk kebutuhan artistik, bukan semata untuk kebutuhan akademik.
Pada 2011, Anda membuat diskusi tertutup bernama Hyphen bersama dengan Pitra Hutomo dan Ratna Mufida. Lalu, pada tahun 2013 Hyphen berubah fungsi menjadi sebuah website. Apa yang mendasari perubahan tersebut?
Hm, Anda menyingkat dari profil kami di situs daring, ya? Hehe. Kelompok diskusi tertutup itu sebenarnya istilah keren dari kami bertiga yang suka kebanyakan ngobrol… Saking seringnya ngobrol seputar seni rupa, kami jadi mengumpulkan beberapa bahan supaya obrolannya tidak mengulang. Misalnya, yang saya paling ingat, salah satu obrolan kami itu soal kecenderungan ketertarikan praktik berkelompok —istilah trendy-nya komunitas, kolektif, dan seterusnya. Kalau menelusuri pemikiran yang tercatat, paling yang dibicarakan Taring Padi, Apotik Komik, ruangrupa, House of Natural Fiber, common room, dan seterusnya. Cukup banyak yang rujukan masa lalunya sanggar dan metode turba yang dulu dilaksanakan oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat. Pada waktu itu, saat obrolan ini kami mulai, sekitar akhir 2011 atau awal 2012, saya juga sedang menyelesaikan penulisan untuk katalog pameran Kelompok Seni Rupa Jendela (KSR Jendela) dalam rangka ulang tahun mereka yang ke-17. Saya heran kenapa dalam kerja-kerja berkelompok seperti KSR Jendela tidak pernah muncul dalam tema-tema komunitas dan kolektif. Kalau ditelusuri lagi, jenis komunitas dan kolektif yang kerap diperbincangkan waktu itu memang hampir sama seleranya. Jadi, semacam masuk akal juga kalau KSR Jendela, Sanggar Dewata Indonesia, dan Kelompok Sakato, misalnya, tidak dianggap “kolektif” atau “komunitas”. Betapapun banyaknya anggota mereka dan tuanya usia kelompok mereka. Obrolan kami jadi membahas kenapa yang disebut kolektif atau komunitas itu terbatas pada jenis-jenis praktik artistik yang tertentu? Nggak ada sih naskah komprehensif yang kami hasilkan dari obrolan ini, tapi kalau mau melihat situs daring kami sebagai catatan pinggir dari obrolan-obrolan ini, ada juga kumpulan polemik yang membicarakan KSR Jendela ketika mereka baru berdiri.
Awalnya, Hyphen inginnya membuat penerbitan buku khusus seni rupa, tapi perlu modal yang luar biasa besar. Jelas, kami nggak ada yang punya! Kami punyanya imajinasi dan ambisi yang luar biasa besar. Hehe. Misalnya, salah satu penelitian awal kami, tentang Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia yang biasa disederhanakan orang jadi GSRBI atau Seni Rupa Baru itu. Kalau Anda telusuri, unggahan pertama kami mengenai penelitian ini adalah Maret 2013! Sampai sekarang, bukunya masih dalam proses finalisasi desain. Artinya, sudah berapa tahun? Nyaris tujuh tahun! Bukunya baru akan selesai Januari 2020. Itu juga masih “semoga”. Kenapa bisa lama sekali? Apa sedemikian sulitnya? Nggak juga, sih. Sebenarnya jadi lama karena nyaris nggak ada yang mau mendukung kerja penelitian secara finansial. Jadi, kami mengerjakannya di waktu luang kami. Atau, seperti yang saya jelaskan sebelumnya, ya, sistemnya subsidi silang sama pekerjaan yang lain—pada umumnya yang bergaji USD atau EUR. Misalnya, untuk pemindaian arsip kami dapat sedikit bantuan dari beberapa galeri dan museum dari Singapura, untuk penerjemahan arsip kami dapat bantuan dari museum dan universitas dari Jepang, untuk keliling wawancara setiap eksponen Seni Rupa Baru kami sempatkan pada saat kami ada pekerjaan lain di kota-kota di mana orang-orang ini tinggal. Kerja serabutan ini sudah berlangsung selama tiga tahun, baru kami akhirnya dapat dukungan pendanaan dari Dana SAM. Nah, karena akhirnya betul-betul punya uang tunai, segeralah kami meminta sejumlah rekan akademisi, sejarawan, dan kurator yang kerap bekerja dalam konteks regional dan internasional untuk menulis esai baru berdasarkan kerja pengarsipan kami. Setahun kemudian, kami jadi punya sepuluh naskah baru. Perlahan, kami mengerjakan penerjemahan sekaligus penyuntingan. Sepuluh naskah baru ini modal kami untuk membuat buku. Tapi, ini bukan segalanya. Masih ada proses penyuntingan gambar supaya layak terbit, masih ada proses pengecekan penulisan nama dan judul karya, dan lain sebagainya. Nah, kerja-kerja yang ‘nggak kelihatan’ seperti itu yang nggak ada anggarannya, atau tepatnya nggak ada sumber dananya. Hehe.
Dari penelitian Seni Rupa Baru tersebut, ada serangkaian program publik terkait kerja pengarsipan ini yang sudah kami laksanakan; mulai dari pameran arsip sebanyak dua kali (di Mori Art Museum, Tokyo, dan Ruang Mes 56, Yogyakarta) sampai dengan sejumlah seminar, mulai dari yang tertutup sampai dengan yang terbuka, termasuk yang kami organisasi sendiri maupun yang kami diundang sebagai pembicara (UC UGM, Yogyakarta, 2013; Sydney Myer Asia Center, Melbourne University, Australia, 2016; Mori Art Museum, Tokyo, 2016; NUS Museum, Singapura, 2017; Hamburger Bahnhof, Berlin, 2018). Jadi situs daring perannya mengumpulkan penggalan-penggalan obrolan dan ketertarikan kami. Secara langsung, maupun tidak, cara kami mengumpulkan dan mengunggah sejumlah dokumen yang mengungkap fakta masa lalu ini. Hampir semua pameran yang saya terlibat, pasti ada presentasi arsipnya. Tentunya itu juga sudah menjadi praktik saya juga. Bukan untuk saya pribadi, tapi agar orang tahu bahwa seni rupa kita itu berkembang. Contohnya, pada tahun itu pernah membuat apa, dengan alasan yang dibuat pada saat itu, dan sekarang karya orangnya berbeda lagi. Bentuknya mungkin mirip seperti yang pernah dibuat sebelumnya, namun karena waktunya berbeda, mungkin alasannya juga berbeda.
Anyway, website Hyphen itu isinya terbagi dua. Pertama, pengumuman apa yang kami kerjakan bersama. Kedua, semacam ‘catatan pinggir’ praktik seni rupa di sekitar kita. Atau apa ya istilahnya? Namanya agak menjelaskan sih. Hyphen(ation) itu kan tanda baca dalam penulisan ya. Dia fungsinya untuk memasukkan informasi yang penting-penting-nggak-penting dalam kalimat itu. Kami suka melihat kerjaan kami posisinya seperti itu. Penting-penting-nggak penting.
Jatiwangi art Factory berfokus pada kajian kehidupan lokal pedesaan. Bisa dijelaskan sedikit bagaimana Anda terpikir untuk membuat dan menggerakkan kolektif ini?
JaF itu sebuah kelompok yang berisikan perupa, musisi, warga, kepala desa, kepala kecamatan, pekerja pabrik genteng, dan beberapa orang lainnya. Jadi, sebenarnya JaF adalah citizen initiative yang sesungguhnya. Seturut namanya, JaF berada di Jatiwangi. JaF terbentuk pada 2005. Saya pertama kali ke Jatiwangi itu pada 2014. Tentu saja sebelumnya saya sudah mendengar reputasi mereka, juga sudah beberapa kali bertemu di forum diskusi, simposium dan seminar. Kalau di Jakarta, Bandung, dan beberapa kota besar lainnya, seni itu terjadinya di ruang seni. Tapi, di Jatiwangi, seni terjadi dalam kehidupan sehari-hari mereka dan tidak penting ruangnya dimana. Justru saya ke sana karena penasaran bagaimana mereka menjalaninya selama sembilan tahun. Awalnya saya hanya penasaran, lalu datang kesana, main, ngobrol, nongkrong.
Di sana, saya diajak untuk membuat sesuatu. Saya bingung. Apa ya? Masa pameran sih? Gitu lagi, gitu lagi, dong! Akhirnya, saya menantang diri saya sendiri. Eksperimen saya sederhana sih. Selaku pekerja seni, jika saya berpindah tempat tinggal, apakah saya masih dapat berfungsi ditempat tinggal baru saya dengan tatanan sosial kehidupan bermasyarakat yang ada di sana? Kalau di galeri, pada umumnya, itu kan mudah, ya. Maksudnya, mau di Jakarta atau di Berlin, ya, galeri atau ruang pamer itu sama saja sifatnya. Dalam konteks galeri seni rupa, saya akan segera dikenali sebagai kurator atau peneliti. Tugas dan tanggung jawab saya segera menjadi jelas. Tapi, di Jatiwangi, dalam kehidupan sosial yang sama sekali baru buat saya, kira-kira akan menjadi apa? Apakah ada hal yang bisa saya lakukan dalam ruang hidup yang berbeda sama sekali? Apakah yang saya lakukan itu masih jadi “seni”? Perlu nggak apapun yang saya kerjakan jadi “seni”?
Apakah seni bisa berfungsi atau tidak di dalam kehidupan sosial yang nyata seperti itu? Sebenarnya hanya penasaran. Bukan maksudnya untuk semacam aktivisme, apalagi pemberdayaan. Malah alergi saya sama istilah “pemberdayaan” itu. Tinggal di Jatiwangi setahun, pada 2015 itu, buat saya sesederhana untuk menguji coba apakah kesenian yang saya kenal dapat menciptakan hubungan manusia yang berbeda? Apakah seni dapat membuat orang melihat permasalahan dengan cara pandang yang berbeda? Kira-kira seperti itu. Jadi, pada saat tinggal satu tahun di sana, saya bersama JaF membuat sebuah pelantar yang namanya “Tahun Tanah 2015”. Hasil uji cobanya sudah kami bukukan, judulnya Paririmbon Jatiwangi. Segala macam kajian akademik yang membahas tentang Jatiwangi, saya kumpulkan dengan tujuan agar tidak mengulang apa yang sudah pernah dibahas oleh orang lain, lalu itu menjadi latar belakang untuk macam-macam perhelatan, karya, dan program kami bersama. Dalam setahun, ada sekitar ada 10 project disana dan 4 di kota-kota lain, yaitu Bangalore, Yogyakarta, Bandung, dan Surabaya.
Bicara seni kini tak lepas dari pasar. Dalam mengkuratori sebuah pameran, bagaimana Anda memposisikan karya seni? Apakah sebagai subjek analisis atau mengangkat nilainya sebagai komoditi?
Secara sadar, jelas yang saya lakukan bukan semata untuk meningkatkan harga. Sudah pasti bukan itu. Lagipula, bagaimana justifikasinya? Siapa yang bisa mengukur? Tapi, bagaimanapun juga, sebagai efek, itu kan tidak terhindarkan. Misalnya, ketika orang melihat apa yang saya kerjakan menganggap reputasi saya “A B C D E”. Itu kan anggapan mereka, ya? Bukan pernyataan saya dan, bahkan, bisa jadi tidak ada hubungannya dengan kenyataan praktik saya. Karena “A B C D E” itu, maka nilainya otomatis dianggap naik, lebih, dan seterusnya. Tapi bukankah hal tersebut tidak nyata? Menurut saya, itu social capital. Seni rupa kontemporer itu industri yang mapan di seluruh dunia, jadi, ya, cari saja ukuran-ukuran ekonomisnya. Sudah banyak juga bukunya.
Balik ke soal reputasi tadi, misalnya, orang yang usianya sama dan tingkat karirnya sama dengan saya, mungkin nilai yang—katakanlah memang ada atau bisa— ditambahkan orang lain terhadap benda seni itu berbeda. Secara sadar, itu bukan tujuan saya, tapi juga secara sadar saya menerima kemungkinan tersebut sebagai konsekuensi. Bagaimanapun juga, perupa butuh hidup. Menurut saya, mereka selayaknya dapat hidup melalui karya seninya, bukan dengan uang dari pekerjaan di bidang lain atau berjudi untuk dapat pendanaan dari lembaga-lembaga asing. Bukannya anti asing. Tapi, lagi-lagi, ini soalnya kesadaran saja. Sadarkah kalau lembaga pendonor A dari Belanda, agendanya katakanlah dekolonialisasi, berarti kalau kamu selaku warga negara Indonesia menerima uang tersebut, kamu adalah salah satu bukti bahwa mereka telah berupaya melakukan dekolonisasi? Atau, lembaga pendonor B dari Australia, agendanya katakanlah pemberdayaan perempuan untuk kepemimpinan, berarti kalau kamu menerima sokongan dana mereka, kamu akan menjadi salah satu bukti keberhasilan mereka memberdayakan perempuan. Dan seterusnya lah ya… Sekali lagi, bukan anti asing. Hanya perkara sadar atau nggak saja dengan konstelasi politik pendanaannya dan agency kita.
Pekerjaan-pekerjaan yang saya lakukan sangat bergantung di mana, untuk apa, dan dengan siapa saya bekerja. Ekosistem kerjanya kan kecil jadi setiap kali saya memilih bekerja dengan orang itu karena kepedulian, karena cocok ideologinya baik pikiran maupun bentuk, juga karena saling setuju dengan etika kerja masing-masing. Jadi, kepeduliannya bukan hanya pada barang, karya, atau proyek, tetapi juga kepada orangnya dan masa depan masing-masing. Seperti sekarang, dalam konteks pameran “Ulah Tanah” ini, saya bekerja bersama Julian Abraham “Togar”, sebelumnya bekerja bersama Julia Sarisetiati untuk pameran “Choreographed Knowledges”, tentu saja saya ikut memikirkan riset artistik, pendekatan visual, dan apa-apa saja yang akan dipamerkan. Selain itu, saya juga ikut memikirkan ongkos produksi, bagaimana mencarinya melalui kerja-kerja kesenian bersama, dan seterusnya. Tidak ada galeri yang membayar saya untuk memikirkan hal-hal tersebut. Kerja-kerja kuratorial saya memang selalu ingin memahami perupa dari tingkat karir yang berbeda-beda, latar belakang yang berbeda, dan model praktik yang berbeda. Saya selalu memikirkan hal-hal seperti bagaimana cara mereka untuk bertahan hidup? Apakah praktik mereka bisa membawa mereka ke tingkat yang lebih dari sekedar bertahan hidup? Dalam konteks yang berbeda, pameran tunggal M. Irfan, “Nirkias”, yang mesti ikut dipikirkan lain lagi. Praktik artistik dia sudah lebih panjang dan dikenal orang dibanding Togar dan Sari. Categorically, orang bilang dia established artist. Konsekuensi dari establishment itu adalah semacam ekspektasi bahwa karyanya akan seperti bagaimana orang sudah mengenalnya. Padahal, dalam “Nirkias”, seluruhnya yang dipamerkan adalah bentuk yang sama sekali baru—bukan di muka bumi ini ya—dalam khasanah bentuknya sendiri. Artinya, yang ikut mesti dipikirkan adalah bagaimana mengenalkan kebaruan bentuk ini kepada publik seni yang sudah kenal karya dia sebelumnya. Bagaimana menjustifikasi bahwa perubahan bentuk ini perlu dalam praktiknya? Dan seterusnya.
Sebenarnya, saya membayangkan bagaimana praktik yang dilakukan oleh orang-orang yang ada disekitar saya itu bisa sustain dan harusnya bisa terus meningkat lalu berkembang bersama secara pemikiran, finansial, hingga hubungan satu sama lain. Kadang, saya membagikan gaji kerja kuratorial saya untuk produksi karya karena perupanya tidak punya cukup uang tapi idenya saya anggap keren. Biasanya, ketika saya merancang sebuah pameran, saya berpihak pada perupa. Saya selalu ingin mulai bareng dari nol supaya kita sama-sama belajar dan saling mengerti perkembangan pemikiran serta pendekatan masing-masing. Jadi, kalau Anda baca tulisan-tulisan kuratorial saya, tidak ada formula yang pasti. Setiap naskah spesifik untuk setiap perupa. Maksudnya, gaya penulisannya ya bisa jadi begitu-begitu saja, katakanlah gaya saya, namun cara saya menceritakan setiap pameran itu berbeda-beda. Ada yang dalam bentuk cerpen, puisi, atau akademik. Semua tergantung pada kebutuhan perupanya.
Sebagai seseorang yang lahir dan besar di Jakarta, menempuh pendidikan pascasarjana di Yogyakarta, tentunya terpapar nilai budaya beragam. Dengan latar belakang tersebut, apakah mempengaruhi penilaian dalam mengkuratori karya? Dan, Anda juga pernah menjadi kurator pameran di luar Indonesia, dengan pengalaman tersebut, apakah menurut Anda ada perbedaan antara pameran di Indonesia dengan luar negeri? Apakah Indonesia memiliki identitas tersendiri?
Saya menganggap kesenian, praktik seni, itu bagian dari kehidupan sehari-baik manusia. Baik sebagai makhluk sosial, makhluk ekonomi, dan makhluk politik. Jadi, yang selalu menarik sebenarnya membicarakan praktik yang ada disekitar saya. Biasanya, dari awal saya sudah membuat disclaimer untuk tidak mengatakan dari Indonesia. Saya benar-benar tidak suka mengeneralisir Indonesia karena ruang gerak saya terbatas hanya di seputar Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Jatiwangi, Surabaya, Medan dan itu sama sekali tidak bisa dianggap mewakili Indonesia. Apalagi karena di setiap tempat yang saya sebut barusan saja perbedaannya cukup kontras. Jadi, menurut saya, ya sudah pasti tidak bisa digeneralisir. Bahkan, saya paling takut ketika disebut sebagai Indonesian curator. Harusnya curator from Indonesia, not Indonesian curator. Itu berat banget. Saya pribadi ingin keliling Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Tapi kan membutuhkan dana yang banyak dan akan memakan waktu yang lama, sehingga menjadi susah. Baru-baru ini saya berbincang dengan Jurnal LEMBAR seputar ini, bisa juga Anda rujuk dari sini.
Apa saran dari Anda bagi kurator-kurator muda di Indonesia?
Saya pribadi menghabiskan banyak waktu untuk dapat mengerti bahwa ini adalah pekerjaan apa. Saya lebih suka berpikir bahwa saya belum kunjung mengerti juga sampai sekarang. Lebih sering orang-orang saja yang memberikan label itu pada saya, dan saya malas mendebatnya. Kalau bisa memilih—dan ada yang mau membiayai—saya maunya jadi peneliti, penulis, dan penerbit saja. Saran saya, buat yang sejak muda ingin menjadi kurator, jadilah manusia yang penasaran, tidak mudah puas, dan suka menguak cerita. Agar tidak sedikit-sedikit tidak memikirkan apa yang dikerjakan itu baru, pertama, dan belum pernah ada.