Membahas Skema Streetball di Indonesia Bersama Rizky Julian
Membicarakan skema streetball di Indonesia mulai dari awal munculnya tren tersebut, kompetisi, hingga perkembangan komunitas basket dan potensi pemain lokal.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Gernas Geraldi
Foto: Ardi Widja
Streetball atau bola basket jalanan merupakan subkultur dari olahraga bola basket dan merupakan tempat kreasi bagi para pemain olahraga bola basket. Di Indonesia sendiri, sosok Rizky Julian a.k.a ‘Boski’ sudah dikenal dalam kalangan komunitas basket lokal. Kecintaannya terhadap streetball ini membuatnya terus konsisten mengikuti arus perkembangan skema streetball Indonesia mulai dari tahun 2007 hingga sekarang. Selain menjadi streetball enthusiast, ia juga merupakan salah satu dari pendiri komunitas basket terbesar di Indonesia, yaitu Glorius yang berbasis di Jakarta. Pada kesempatan kali ini, kami membahas perkembangan skema streetball, komunitas basket di Indonesia, hingga perjalanan Glorius.
Kenapa memilih basket daripada badminton atau sepakbola?
Karena, menurut saya basket itu olahraganya lebih segmented. Kalau sepakbola kan luas gitu. Jadi kalau dari yang saya lihat, dulu basket itu olahraga buat kalangan tertentu yang highclass lah gitu. Lebih seperti itu sih dulu milihnya.
Hal yang membuat mencolok kalau di streetball adalah, dulu kalau melakukan trick dapat poin, melakukan dunk juga dapat poin tiga.
Olahraga basket masuk ke Indonesia pada awalnya hanya menjadi pertandingan fundamental biasa. Namun, kemudian muncul streetball yang menjadi wadah kreasi sport. Apa hal yang menarik dari streetball hingga Anda ingin menekuninya?
Kalau dulu streetball itu unik, jadi ada identitasnya sendiri. Karena seperti melakukan trick itu dapat poin dan punya kompetisinya sendiri. Hal yang membuat mencolok kalau di streetball adalah, dulu kalau melakukan trick dapat poin, melakukan dunk juga dapat poin tiga. Jadi begitu awalnya, waktu di L.A Streetball.
Setelah menjamurnya komunitas streetball di Indonesia, kemudian lahir kompetisi-kompetisi streetball. Menurut Anda, dengan adanya kompetisi tersebut apakah membawa perubahan bagi budaya basket di Indonesia?
Sebetulnya, kompetisi streetball itu sendiri sudah stop dari 2014. Pihak L.A Streetball sendiri mengganti kompetisinya menjadi Challenge The World. Jadi perbedaannya, kita mencari scouting talent lalu kita ikuti di training camp, lalu kita berangkatkan ke luar negeri. Dulu, ending-nya cuma di national championship saja, lalu selesai. Nah, sekarang-sekarang ini yang sedang banyak bikin kompetisi streetball itu seperti Pick Up Games tapi streetball-nya sudah tidak melakukan trick lagi. Menggunakan trick silahkan, tetapi tidak dapat poin. Sekadar itu saja.
Untuk kaitannya dengan perkembangan basket di Indonesia, justru lebih bisa memunculkan pemain-pemain yang tadinya kita tidak tahu, jadi kita ketahui. Contoh, misalnya ada satu pemain di Jakarta Barat yang orang-orang sama sekali tidak tahu. Kemudian, dia mengikuti Challenge The World dan dia bisa konsisten dari 2015, 2016, 2017, hingga 2018. Nah itu adalah salah satu contoh yang bagus.
Permainan streetball dulu sering menggunakan berbagai macam trik menghibur atau yang biasa disebut dengan point breaker – namun, kini trik tersebut tak lagi jadi highlight. Menurut Anda, apa yang membuat perubahan permainan streetball dulu dan sekarang?
Awal mula berubahnya adalah, 2014 pada saat itu Ballaholic dari Jepang dan Street China dari Cina datang ke Indonesia. Mereka tidak di brief tentang peraturan streetball kita. Ballaholic main melawan Medan. Di game pertama Ballaholic unggul 8-0. Tiba-tiba pemain Medan, Lana a.k.a Moneyman melakukan trick beberapa kali. Kalau tidak salah, dia melakukan trick satu kali dapat poin 2, lay-up satu kali dapat poin 2, plus poin 1 continuity namanya.
Tapi, pada akhirnya yang buat permainan berubah adalah, Ballaholic itu bisa juara tanpa melakukan trick di 2014
Ballaholic kaget kok poinnya 8-5? Mereka protes kalau ini bukan streetball yang benar nih. Lalu akhirnya, diberi tahu kalau streetball di Indonesia seperti ini. Tapi, pada akhirnya yang buat permainan berubah adalah, Ballaholic itu bisa juara tanpa melakukan trick di 2014 dan dia mengalahkan Bandung waktu itu. Skor paling dekat itu, adalah saat mereka melawan Jakarta, sama tim saya yang pada saat itu paling bisa mengimbangi Ballaholic. Nah, karena itulah pihak panitia kompetisi ingin merubah peraturan.
Ternyata streetball di luar itu tidak seperti di Indonesia, hanya di Indonesia yang streetball-nya melakukan trick untuk poin. Lalu itu jadi identitas kita yang pada akhirnya membuat banyak pemain-pemain “circus”, jadi cuma datang, banyak gaya, pakai celana “gombrong”, dan segala macam, tapi tidak ada niat untuk poin ke basket. Itu sih yang membuat permainan berubah.
Menurut Anda, apakah dengan background streetball akan membuat para pemain mempunyai poin plus atau bahkan sebaliknya & apakah ada pemain profesional di Indonesia yang memiliki background streetball?
Kalau di Indonesia, pemain-pemain dengan background streetball itu justru hanya bisa melakukan trick saja. Tidak banyak yang mematangkan fundamentalnya terlebih dahulu baru streetball. Karena di Indonesia kebanyakan streetball dulu, main menggunakan trick setelah itu baru fundamentalnya, nah itu salah, yang benar adalah fundamentalnya dulu dilatih dengan baik baru latihan menguasai trick nya.
Nah, kalau di luar negeri sudah pasti fundamentalnya dulu yang dilatih dengan baik. Contoh, Vince Carter dia besar di lapangan streetball. Tapi bagi mereka, trick itu hanya bagian dari basketnya, bukan untuk mendapatkan poin.
Di tengah tren streetball, banyak orang yang menganggap streetball bukan hanya olahraga, melainkan juga merupakan sebuah lifestyle. Bagaimana tanggapan Anda tentang hal ini?
Sebenarnya yang pertama membuat streetball jadi lifestyle adalah And1, mereka membentuk konsep marketing yang “gila” sampai mereka itu mengatakan “streetball is my job”. Memang benar kalau “streetball is my job” tapi, bagi orang-orang yang memiliki kontrak dengan And1. Karena mereka dapat segala macam di And1. Sayangnya, And1 sempat selama beberapa dekade hilang. Tapi sekarang sudah muncul kembali, walaupun sudah tidak sebagus dulu. Kalau dulu mereka sampai membuat Mixtape Tour. Sekarang sudah tidak ada. Jadi, kalo ada yang mengatakan “streetball itu udah jadi lifestyle”, menurut saya itu berasal dari And1.
Selain menjadi bagian dari kompetisi streetball di Indonesia, Anda juga termasuk bagian dari Glorius.id. Bisa diceritakan secara singkat bagaimana Glorius.id bisa terbentuk?
Akhirnya waktu itu saya membuka kamus dan kata pertama di huruf G yang saya lihat adalah glorious yang artinya adalah kemenangan.
Glorius itu berdiri sejak tahun 2007 pada bulan September. Jadi pada waktu itu, saya bersama tiga teman saya ikut 3on3 di MENPORA. Nah, pada saat itu kompetisi tersebut memiliki hadiah terbesar di Indonesia yaitu sebesar lima juta rupiah sedangkan pendaftarannya hanya dua puluh lima ribu rupiah. Pada waktu itu saya membuat sebuah komunitas bernama G1. Lalu ditanya “kok lo ga namain aja G ini sebagai salah satu apa gitu?”. Akhirnya waktu itu saya membuka kamus dan kata pertama di huruf G yang saya lihat adalah glorious yang artinya adalah kemenangan.
Sebenarnya tidak ada masalah dengan kata tersebut, tapi saya ingin kata tersebut bukan glorious tapi “glorius” sehingga lebih mudah diucapkan oleh orang Indonesia. Tapi tetap memiliki arti yang sama yaitu kemenangan. Pada waktu itu, 2007, 2008, hingga 2009 kami selalu ikut 3on3 di MENPORA. Prestasi terbaik kami pada waktu itu adalah juara 2 karena kalah dengan SMA 3 Jakarta. Setelah itu, Glorius ikut L.A Streetball di tahun 2009 dan seterusnya.
Glorius dulu ke mana-mana mencari uang lewat 3on3 dan istilahnya dimana ada kompetisi di situ kami ikut. Sampai pada akhirnya kami dibenci.
Bersama Glorius, Anda menciptakan acara bernama “9/11 pick-up games” yang menjadi wadah bagi komunitas-komunitas basket untuk unjuk gigi. Parameter apa yang Anda buat untuk melatih komunitas basket ini?
Sebenarnya ketika Glorius membuat campaign “9/11 pick-up games” adalah, Glorius dulu ke mana-mana mencari uang lewat 3on3 dan istilahnya dimana ada kompetisi di situ kami ikut. Sampai pada akhirnya kami dibenci. Kami di banned di Untar karena sebanyak 7 kali berturut-turut tidak pernah kalah, selalu juara. Jadi begitu ada nama Glorius, sudah pasti tidak boleh main, ada pemain yang tidak boleh main, bahkan ada saya pasti tidak boleh main. Jadi sudah sampai segitunya. Akhirnya, tahun 2016 setelah pulang CTW (Challenge The World) dari Jepang, saya buat movement namanya “9/11 pick-up games” yang artinya mulai dari jam 9 malam selesai jam 11 malam. Waktu itu saya buatnya di lapangan ABC, Senayan.
Tujuan akhirnya adalah, bukan tentang siapa yang paling hebat di basket, tapi, untuk membangun link.
Nah, parameter buat komunitasnya adalah, sebenarnya event yang saya buat itu untuk individu, bukan untuk komunitas, jadi terbuka untuk siapapun. Karena, supaya semua orang bisa saling kenal di lapangan. Tujuan akhirnya adalah, bukan tentang siapa yang paling hebat di basket, tapi, untuk membangun link. Contoh, misalnya saya jadi “gembel”, terus ada teman saya yang kenal saya di lapangan, dan tau kapasitas saya, akhirnya saya dibantu. Jadi menurut saya, link itulah yang akan menyelamatkan peserta-peserta “9/11 pick-up games” dikemudian hari.
Lewat Glorius, Anda menjaring pemain-pemain dari daerah yang berpotensi untuk terjun ke dunia basket profesional Indonesia. Bagaimana Anda melihat perkembangan potensi pemain lokal sampai hari ini?
Menurut saya salah satu yang dapat diandalkan adalah, diri kita sendiri – bukan orang lain.
Sejauh saya keliling, menurut saya potensinya sangat bagus. Hanya, sangat disayangkan beberapa daerah tidak mendukung pemainnya untuk bisa jadi lebih bagus lagi. Contoh, hal yang paling kecil yaitu bola. Terkadang bolanya itu palsu jadi ketika dipegang grip-nya tidak enak. Ketika main pun tidak enak digunakan. Nah, menurut saya salah satu yang dapat diandalkan adalah, diri kita sendiri – bukan orang lain. Contoh, kita mengandalkan PERBASI misalnya, ya mereka ada birokrasinya, ada urutannya.
Kalau saya, ya saya jalan aja. Semau saya mau ke mana saja, mau ke Aceh, ke Palembang, mau saya ke mana saja tidak ada yang bisa mengatur. PERBASI pun tidak bisa mengatur saya. Toh, event yang saya bikin ini kan buat kebaikan bola basket komunitas. Bukan untuk tingkat profesional. “9/11 pick-up games” ini khusus untuk komunitas. Dulu, saya pernah cari uang bersama komunitas-komunitas seperti ikut kompetisi 3on3 dan kompetisi streetball. Nah, sekarang saya mau kasih feedback untuk komunitas dengan cara bikin campaign ini. Tapi, kalau misalnya ditanya “dapat duit atau tidak?” ya dapat, contohnya dari jualan pre-order jersey Glorius.
Sebagai sosok yang turut andil dalam dunia streetball lokal menurut Anda, seperti apa potensi streetball di Indonesia ke depannya?
Kalau orang-orang streetball yang dulu itu sekarang sudah menua. Generasi bermain dengan trick lah istilahnya. Kalo saya membagi dua generasi yaitu old school yang mementingkan trick serta permainan streetball-nya dan new school itu yang permainannya keras, trash talk, dan segala macam dan itu sekarang sedang kita jalani. Untuk yang old school generasinya masih ada, saya keliling ke mana-mana masih ada, masih sering bermain. Streetball sendiri kan istilahnya bermain basket di lapangan outdoor. Jadi, kalo ditanya streetball masih ada atau tidak, jawabannya masih ada. Hanya, generasi yang sekarang tidak mengenal trick sebagai bagian dari poin. Itu saja sih sebenarnya yang membedakan. Karena, generasi sekarang mengertinya streetball is basketball. Streetball yang harus punya fundamental basket yang bagus. Soalnya, ketika kita ke luar negeri juga, lawan-lawannya yang permainan basketnya fundamental. Tidak mementingkan trick, justru lebih mementingkan poin to basket.
Tapi, beberapa orang melihat Glorius ya suksesnya saja tanpa mengetahui ada banyak kegagalan juga sebenarnya.
Apa misi Anda selanjutnya?
Dari awal Glorius berdiri, misi yang paling utama adalah kami ingin memberi feedback ke komunitas dan ingin memberi tahu bahwa sebenarnya, ternyata di tempat A atau di tempat B ada satu pemain yang bagus lho dan orang banyak yang tidak tahu. Ternyata, melalui Glorius pemain itu jadi “naik” dan itu banyak. Contohnya adalah Rio Disi. Orang-orang mungkin tahunya setelah dia bergabung dengan Glorius dia jadi jago. Sebenarnya itu salah persepsi. Justru, yang bikin jago adalah dirinya sendiri. Kami sebagai Glorius hanya dapat mengantar sampai “depan pintu”-nya saja. Perkara dia mau jago atau mau rusak itu kembali ke urusan masing-masing. Banyak juga kok yang tidak sukses. Tapi, beberapa orang melihat Glorius ya suksesnya saja tanpa mengetahui ada banyak kegagalan juga sebenarnya.