Fenomena Burnout dan Ajakan Untuk Sembuhkan Diri bersama Reza Gunawan
Berbincang tentang self healing, self diagnose, hingga toxic relationship bersama praktisi mindfulness, Reza Gunawan.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Wintang Warastri
Foto: Reza Gunawan
Ajakan self-healing, atau penyembuhan diri secara mandiri sedang menjamur di dunia. Di Indonesia, bahasan topik ini tidak bisa lepas dari Reza Gunawan, seorang praktisi dan pengajar metode penyembuhan diri secara sadar dan mandiri. Tekun malang melintang selama 17 tahun demi mempopulerkan metode ini di dalam negeri, bukan berarti Reza berambisi mengajak seluruh orang untuk mempraktikkan metodenya. Pikiran yang terbuka untuk belajar harus muncul dari diri sendiri adalah salah satu bentuknya mempersilahkan siapapun untuk belajar self-healing. Obrolan lebih lanjut tentang kesadaran diri, mitos-mitos penyembuhan dan cara hidup seimbang pun mengalir, serta dituangkan sebagai berikut.
Istilah self-healing mengindikasikan bahwa ada yang sakit dan perlu disembuhkan. Bagaimana agar tahu bahwa diri sendiri punya kebutuhan ini?
Jadi self-healing ini sebenarnya merupakan sebuah metode mandiri untuk merawat kesehatan lahir batin. Lahir batin itu artinya tidak hanya fisik, tapi juga mental dan juga emosi. Di level fisik, tentunya kebutuhan untuk melakukan healing bila sudah ada penyakit atau gejala penyakit, tapi kalau kita rajin latihan, kita menjadi lebih peka, maka kita bisa mengidentifikasi yang namanya bakal penyakit. Itu adalah gejala-gejala yang sebenarnya belum terlalu mengganggu, tetapi sebenarnya kalau kita biarkan bisa menjadi penyakit, misalnya kelelahan, kurang tidur, rasa masuk angin, atau sumeng, seperti demam tanggung yang sebenarnya sudah merupakan indikator bahwa tubuh sedang mengarah pada kondisi yang tidak harmonis, dan bilamana ini terjadi adalah waktu yang tepat untuk berlatih self-healing.
Saya mengukur kesehatan mental dan emosi berdasarkan kondisi kalau kita merasa jernih, lega dan tenang.
Sementara secara mental dan emosi, bagaimana kita tahu kita perlu self-healing? Mudah sekali. Saya mengukur kesehatan mental dan emosi berdasarkan kondisi kalau kita merasa jernih, lega dan tenang. Basically, [kalau] kita kehilangan rasa jernih, lega dan tenang maka kesehatan mental dan emosi kita sedang butuh penyembuhan. Kapan dia terjadi? Kalau sedang stres, bagaimana kita tahu bahwa kita sedang stres? Ada empat ciri, namanya EBIT. Singkatan darI E, “Emotions” yaitu suatu perasaan hati yang tidak enak, B, “Body sensations” atau gejala di badan yang rasanya tidak enak, I, “Image” atau bayangan batin yang kita bayang-bayangkan yang sifatnya tidak enak atau menjadi beban buat kita. Dan T adalah “Thoughts” atau pikiran, yaitu buah pikiran, komentar, celoteh otak kita yang rasanya tidak nyaman untuk dipikirkan, tapi entah bagaimana kita tak sanggup untuk berhenti memikirkannya. Jadi dari ketidaknyamanan ini, dari mulai yang sederhana seperti kelelahan sampai kepada stres, maupun munculnya gejala-gejala penyakit adalah indikasi bahwa kita butuh untuk self-healing.
Selain itu, self-healing juga dilakukan secara rutin sebagai bagian daripada preventif, jadi mencegah penyakit dan merawat kesehatan, sama seperti kita mandi dan makan untuk merawat kesehatan, maka latihan self-healing kita lakukan tidak hanya pada saat indikator-indikator yang saya sebutkan sebelumnya muncul. Dengan cara ini, kita mudah untuk merawat kesehatan lahir dan batin, tidak harus tahu persis kapan ada gejala atau penyakit, kalau kita rajin berlatih otomatis kita lebih jarang sakit secara fisik maupun secara mental dan emosi.
Self-healing juga terdengar mirip dengan kemampuan penyembuhan mandiri. Adakah resiko dari self-diagnosis terutama pada prakteknya yang tidak melibatkan tenaga medis profesional?
Cara kerja self-healing bukan melalui proses diagnosa atau analisa otak kita.
Tidak. Karena di dalam self-healing – minimal versi yang saya ajarkan – tidak ada prosedur untuk melakukan diagnosa pada diri. Jadi, ketika salah satu indikator kebutuhan healing sebagaimana yang tadi muncul, maka artinya kalau biasanya kita latihan self-healing hanya untuk pemeliharaan kesehatan atau mencegah penyakit, ketika muncul gejala otomatis dosis latihannya ditingkatkan, dan kita bisa berlatih tanpa kita tahu penyakitnya apa. Karena, cara kerja self-healing bukan melalui proses diagnosa atau analisa otak kita.
Jadi self-healing tidak berusaha untuk menghilangkan profesi-profesi ini, tapi menjadi mandiri kurang lebih sebanyak 70 – 75 persen.
Contoh, ketika jatuh sakit, Anda istirahat. Mungkin Anda sakit karena flu, mungkin karena keracunan makanan, kurang tidur, lembur di kantor. Tapi dengan beristirahat dengan baik, maka apapun penyakitnya, tubuh akan dengan cerdas dan alamiah menyembuhkan diri sendiri. Jadi tanpa Anda tahu penyakitnya apa, dalam 70 persen kasus Anda tetap bisa menyehatkan diri sendiri tanpa perlu diagnosis. Sementara itu dalam 30 persen kasus, kita tetap butuh bantuan profesional, baik profesional dari kalangan medis maupun terapis penyembuhan alamiah, mungkin juga psikolog, psikiater, konselor, dan sebagainya. Jadi self-healing tidak berusaha untuk menghilangkan profesi-profesi ini, tapi menjadi mandiri kurang lebih sebanyak 70 – 75 persen.
Setidaknya ada dua pendekatan dalam menghadapi isu kesehatan di dunia medis, yaitu preventif dan kuratif. Apa peran yang dimiliki self-healing dalam hal ini?
Self-healing jauh lebih aplikatif terutama dalam aspek preventif karena pada umumnya kita tidak punya acuan yang spesifik atau sistematis dalam merawat kesehatan dan mencegah penyakit.
Self-healing bisa bermanfaat baik sebagai tindakan preventif dan kuratif, dan menurut saya, self-healing jauh lebih aplikatif terutama dalam aspek preventif karena pada umumnya kita tidak punya acuan yang spesifik atau sistematis dalam merawat kesehatan dan mencegah penyakit. Ilmu kesehatan yang ada di luar sana pada umumnya lebih membahas mengenai cara menyembuhkan penyakit secara spesifik – artinya kuratif – atau saran-saran preventif yang terlalu umum, seperti olahraga, istirahat cukup, dan makan yang baik. Sementara dalam self-healing, bagaimana mekanisme tubuh, energi dan batin kita berdinamika di dalam diri dan kehidupan kita pelajari lebih spesifik dan diberikan teknik-teknik latihan yang bersifat praktis dan aplikatif.
Dunia medis juga ada istilah pertolongan pertama. Adakah langkah-langkah sejenis/tips sederhana yang bisa dipraktikkan dalam dunia self-healing?
Tentu ada, bilamana kebutuhan untuk P3K ini bersifat mental dan emosional, self-healing punya keunggulan yang jauh lebih baik daripada dunia medis, tapi kalau P3K yang bersifat fisik, yang dimana misalnya terjadi luka terbuka atau pendarahan, kami tetap selalu menyarankan pada peserta self-healing untuk datang ke tenaga medis. Tapi sambil menunggu tenaga medis datang, atau masih mengantri dokter misalnya, ada juga latihan-latihan P3K yang bisa dilakukan untuk mencegah dia memburuk atau mempercepat penyembuhan.
Berbicara tentang self-healing tidak bisa dilepaskan dari hubungan antar manusia. Bagaimana metode tersebut dapat diterapkan untuk menghadapi situasi toxic relationship?
Benar sekali bahwa yang namanya kesehatan itu bukan sekadar perihal apa yang kita makan dan minum, atau bagaimana kita beristirahat dan berolahraga. Tapi ada dua akar lain yaitu kualitas relasi dan hubungan antar manusia dalam hidup kita, dan kualitas kesehatan pola kita dalam bekerja. Jadi dalam self-healing, latihan-latihan yang sama yang kita pakai untuk kesehatan lahir batin, bisa dipakai untuk meningkatkan produktivitas, kreativitas, fokus dalam pekerjaan, serta terutama bagian self-healing yang untuk mental dan emosi, sangat bisa dipakai untuk menyembuhkan stres dan emosi terkait dengan konflik dalam hubungan antar manusia, luka batin akibat peristiwa yang terjadi dalam relasi, dan sebagainya.
Kalau di sebagian aspek kehidupan kita semuanya sudah terlalu tergesa, kewalahan dan terlalu cepat, maka di sisi aspek kehidupan yang lainnya kita perlu letakkan elemen penyeimbang
Kultur gaya hidup masyarakat perkotaan saat ini kadang terlihat kontradiktif, ada ajakan yang sama kuatnya baik dari sisi gaya hidup hustling maupun slow living. Bagaimana sebaiknya menyikapi dua
sisi tersebut?
Kalau menurut saya, kuncinya adalah balance. Kalau di sebagian aspek kehidupan kita semuanya sudah terlalu tergesa, kewalahan dan terlalu cepat, maka di sisi aspek kehidupan yang lainnya kita perlu letakkan elemen penyeimbang, yaitu hidup yang lebih lambat, sadar dan cermat. Sebaliknya bilamana sebagian besar aspek kehidupan kita terlalu lamban, terlalu perlahan, terlalu sepi, maka aspek penyeimbang yang cocok adalah sesuatu yang sifatnya lebih exciting, seru, petualangan, dan eksploratif. Jadi bagi kacamata self-healing, isunya bukan pelan atau cepat, bukan penuh atau jarang, tapi balance atau keseimbangan.
Gaya hidup perkotaan tersebut juga memicu fenomena burnout, salah satu akar dari bermacam isu kesehatan mental maupun fisik. Bagaimana self-healing dapat berperan di sini?
Self-healing mengasah kesadaran agar kita jadi tahu dan sadar.
Self-healing memberi kita kemandirian untuk bisa bertanggung jawab dalam merawat dan memulihkan diri.
Self-healing dapat berperan dalam minimal tiga pilar. Pilar pertama adalah awareness, dengan berlatih self-healing kita jadi lebih sadar bi
lamana kita sudah masuk ke dalam zona burnout, atau sudah menuju batas burn-out. Tanpa adanya kesadaran, segala teknik, segala tips, segala ilmu tidak bisa berjalan. Jadi pertama, self-healing mengasah kesadaran agar kita jadi tahu dan sadar. Pilar kedua, self-healing meletakkan tanggung jawab atas nasib dan kesehatan kita lebih banyak pada diri sendiri, bukan menyalahkan atau menyerahkan kepada orang lain. Jadi ketika mungkin kita belum bisa mendapatkan bantuan profesional atau menemukan teman curhat yang biasanya kita lakukan, self-healing memberi kita kemandirian untuk bisa bertanggung jawab dalam merawat dan memulihkan diri. Pilar yang ketiga sifatnya lebih spesifik dan teknis, yaitu self-healing memberikan tekniknya, bagaimana caranya kita bisa menata hati, mengelola emosi, merawat energi, dan mengharmoniskan, memulihkan, dan menyembuhkan badan kita. Sehingga, fenomena burnout yang identik dengan kehidupan modern yang serba cepat atau gaya hidup urban di perkotaan bisa dicegah dan bahkan dihentikan.
Tidak seluruh hal yang negatif seperti burnout juga sepenuhnya negatif, karena hanya dengan cukup banyak orang yang mengalami stres dan burnout, kesadaran untuk hidup lebih baik ini akan timbul.
Praktik hidup holistik terlebih beragam medianya terlihat sedang populer saat ini, seperti meditasi dan earthing. Adakah popularitas tersebut mereduksi makna, dan bagaimana Anda menyikapinya?
Sebenarnya saya adalah salah satu yang ikut mempopulerkan meditasi dan earthing. Bahkan setahu saya, riset tentang earthing pertama kali yang bicara di Indonesia adalah saya. Jadi saya merasa, ketika saya mulai melakukan profesi ini 17 tahun yang lalu, kesadaran dan minat orang secara umum masih jauh lebih tipis daripada sekarang. Sekarang kita lihat bahwa semakin banyak orang yang mulai kembali ke alam, belajar gaya hidup alami, mengerti bahwa well-being dan keseimbangan hidup adalah penting, sehingga kemudian muncul banyak ilmu, banyak guru, dan banyak murid tentunya.
Nah menurut saya, popularitas ini adalah sesuatu hal yang positif, meskipun tidak semua hal yang positif sepenuhnya positif, karena kalau orang tahunya setengah-setengah atau salah mengerti dia juga bisa dirugikan karenanya. Tapi sebaliknya, tidak seluruh hal yang negatif seperti burnout juga sepenuhnya negatif, karena hanya dengan cukup banyak orang yang mengalami stres dan burnout, kesadaran untuk hidup lebih baik ini akan timbul. Jadi menurut saya tidak ada makna yang direduksi, selama setiap kita ada rasa ingin tahu dan belajar pada sumber yang jernih dan akurat.
Mitos-mitos apa saja yang kerap dipercayai masyarakat berkaitan dengan self-healing dan koneksi antara kondisi fisik dan mental, dan bagaimana Anda menyikapinya?
Saya menemukan orang-orang dengan luka batin yang sudah bukan satu atau dua tahun, tapi 30, 40, 50 tahun.
Ada beberapa mitos yang paling sering saya bahas dalam pelatihan-pelatihan kami. Pertama, mitos bahwa time will heal everything, waktu akan menyembuhkan segalanya. Saya tidak setuju, karena dalam praktik penyembuhan dan klinis saya, saya menemukan orang-orang dengan luka batin yang sudah bukan satu atau dua tahun, tapi 30, 40, 50 tahun. Bilamana waktu sungguh-sungguh menyembuhkan, harusnya luka batin tersebut sudah tidak ada lagi. Menurut saya, waktu adalah fasilitator untuk kita lupa, dimana sebuah luka atau sakit hati menjadi terpendam di bawah sadar. Tapi terpendam dan sulit diingat bukanlah penyembuhan. Jadi, waktu saja tidak cukup untuk memicu terjadinya penyembuhan, harus ada proses kesadaran, mengolah dan mendaur ulang stres, emosi dan luka batin.
Mitos kedua yang juga populer adalah tentang positive thinking. Semua orang menganjurkan kita untuk berpikir positif, jangan sampai kurang bersyukur dan sebagainya. Ini bagi saya adalah sebuah mitos, karena menurut saya, kalau kita sedang merasa dan berpikir positif maka kita tidak perlu melakukan usaha ekstra untuk berpikir positif. Sementara kalau kita sedang merasa dan berpikir negatif, memaksakan diri untuk berpikir positif seringkali adalah membohongi diri sendiri dan tidak benar-benar mengelola, menetralisir dan menyembuhkan negativitasnya. Sehingga akhirnya [positive thinking] menjadi semacam pelarian palsu yang toxic atau beracun. Lebih bagus kita belajar bagaimana menghadapi dan mengelola negativitas, sehingga hasilnya jadi positif, daripada memaksakan diri untuk mengalihkan perhatian ke hal yang positif.
Percaya pada the law of attraction semata tanpa melihat realita yang lebih besar adalah sebuah mitos yang membuat hidup kita semakin tidak seimbang.
Mitos ketiga yang saya sering dengar, berkaitan dengan the law of attraction. Kalau kita percaya sesuatu yang positif, maka semua hal yang positif akan datang ke hidup kita, kalau kita berpikir yang negatif kita akan mengundang hal-hal yang sial dan buruk. Menurut saya ini mitos, karena kita semua pernah mengalami minimal empat jenis kuadran pengalaman hidup. Kuadran pertama, berpikir positif dan hasilnya positif, tentu itu pernah terjadi. Kuadran kedua, berpikir negatif dan hasilnya benar negatif, tentu itu juga terjadi. Tapi banyak diantara kita, kalau jujur, pernah mengalami berpikir negatif tapi ternyata hasilnya tidak seburuk itu, bahkan positif. Ini juga terjadi dalam realita. Kuadran keempat, kita berpikir sudah positif, hasilnya negatif juga. Itu pun merupakan sebuah realita. Bagi saya, percaya pada the law of attraction semata tanpa melihat realita yang lebih besar adalah sebuah mitos yang membuat hidup kita semakin tidak seimbang.
Kepada mereka yang skeptis akan praktik self-healing dan gaya hidup holistik, adakah yang ingin disampaikan?
Buat saya kalau skeptis, tidak harus mencoba. Self-healing tidak harus dan tidak wajib untuk semua orang. Anda boleh ragu, tidak percaya, itu sangat-sangat sah, tapi kalau Anda masih cukup terbuka untuk mencoba dan mengalami, dan kemudian dari pengalaman tersebut belajar lebih lanjut dan menelaah aspek logika maupun ilmiah dari self-healing, mungkin Anda akan berubah pikiran. Mungkin juga tidak, tidak ada masalah. Saya tidak pernah berambisi untuk meyakinkan mereka yang skeptis, dan selalu membuka pintu untuk mereka yang ingin mencoba. Bahkan mereka tidak perlu percaya, selama ingin mencoba, silahkan mengalami sendiri langsung.
Hidup yang sehat dan seimbang dimulai dari kesadaran, dan kemudian diikuti dengan pilihan-pilihan yang mendukung tujuan untuk hidup sehat dan seimbang.
Menurut seorang Reza Gunawan, apa definisi dari hidup sehat dan seimbang?
Menurut saya, dia dipimpin oleh kesadaran yang jernih akan diri kita, akan peran kita, akan panggilan hidup kita, akan relasi kita dengan orang-orang terdekat. Kesadaran ini akan memimpin bagaimana kita memilih gaya hidup, pekerjaan, jadwal kerja, cara berelasi, derajat kejujuran dan keterbukaan, pola makan, minum, istirahat, olahraga. Jadi hidup yang sehat dan seimbang dimulai dari kesadaran, dan kemudian diikuti dengan pilihan-pilihan yang mendukung tujuan untuk hidup sehat dan seimbang.