Menantang Konsep Komedi Bersama Majelis Lucu Indonesia
Kami berbincang dengan Tretan Muslim dan Coki Pardede untuk membahas skena komedi lokal dan tren konten YouTube yang penuh gimmick.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Stefano W. Abbas
Foto: Ardi Widja
Jika berbicara soal iklim industri komedi di Indonesia saat ini, Majelis Lucu Indonesia (MLI) merupakan salah satu dari kebanyakan yang semakin terlihat akibat konten maupun acara-acaranya yang menarik perhatian. Dimulai sebagai entitas yang menilai kelucuan di ranah media sosial hingga menjadi kelompok komedian yang mulai mempopulerkan format komedi roasting, mereka tidak luput dari kontroversi karena berani menyinggung hal-hal berbau sensitif dalam konten mereka. Tretan Muslim dan Coki Pardede adalah dua komedian dari MLI yang sama-sama dikenal lewat materi dark comedy. Hampir selalu menuai kontroversi, mereka pun seringkali diserang oleh content creator lainnya maupun para fundamentalis agama. Kami bertemu dengan mereka untuk membahas soal tren konten YouTube yang penuh gimmick, posisi MLI di skena komedi lokal dan iklim komedi di Indonesia yang semakin kritis.
Awalnya, Majelis Lucu Indonesia muncul di media sosial sebagai akun yang merespon jokes atau meme yang beredar di internet. Kemudian Majelis Lucu Indonesia menggelar banyak acara, membuat video viral di Youtube dan bahkan ‘mengundang’ banyak masalah. Dengan begitu banyak kegiatan yang dilakukan, sebenarnya apa itu Majelis Lucu Indonesia?
M: Majelis Lucu Indonesia itu awalnya memang akun yang menilai kelucuan. Saat semua orang membuat sesuatu yang lucu, kami muncul sebagai yang menilai lucu itu. Bukan kami cari perhatian, tetapi karena kami merasa, “Aduh apaan sih humor-humor seperti ini?” Reaksi orang-orang kemudian setuju bahwa hal-hal tersebut tidak lucu. Awalnya di Twitter dan di Instagram seperti itu. Saat itu kami juga merasa sebagai yang paling lucu. Apa indikatornya? Tidak ada. Kami saja sok-sokan bahwa kami yang paling lucu. Pusat galaksi kelucuan. Istilahnya begitu dulu. Setelah itu di YouTube juga kami menilai joke orang lain, kemudian masuk ke roasting. Roasting memang acara pertama yang saat kami buat berbarengan dengan launching apa itu Majelis Lucu Indonesia.
Apa yang di-launch saat itu?
Sebenarnya Majelis Lucu itu adalah keresahan beberapa stand-up comedian tentang humor pada umumnya yang cenderung homogenic.
M: Launching sekumpulan orang saja sih. Waktu itu belum (berbentuk) perusahaan, hanya sekumpulan orang-orang, makanya kami menyebutnya dulu sebagai ‘Hakim’. Ada Hakim Kelucuan, Hakim Mulut Sampah, itu karena kami hanya orang-orang yang membuat sebuah pergerakan yang dinamakan Majelis Lucu yang pada saat itu kerjanya hanya menentukan sesuatu itu lucu atau tidak. Dan kami merasa menjadi referensi baru dalam dunia komedi. Roasting mungkin sebelumnya sudah ada namun kami memperkenalkannya menjadi lebih luas. Selain roasting, kami juga memperkenalkan komedi yang ‘keras’ apakah itu SARA atau dark. Itulah awal kemunculan Majelis Lucu yaitu sebagai kemunculan komedi alternatif.
C: Sebenarnya Majelis Lucu itu adalah keresahan beberapa stand-up comedian tentang humor pada umumnya yang cenderung homogenic. Maksudnya, humor yang populer pada saat itu kebanyakan adalah humor di Instagram, humor di televisi, yang tipikalnya seperti itu. Dan itu tidak salah sebenarnya dan punya peminat. Tetapi maksud saya, ada beberapa orang tertentu yang hasrat humornya tidak tersampaikan oleh humor yang sudah ada. Sehingga banyak orang pada saat itu merasa humor di Indonesia genrenya homogenic, tidak ada variasi. Ketika ingin mencari referensi, kebanyakan menonton stand up di luar negeri atau acara-acara luar negeri. Padahal kenyataannya adalah bukan karena di Indonesia tidak ada. Di sini ada komedi-komedi underground tetapi tidak pernah mendapat panggung. Karena selain peminatnya sedikit, berbahaya juga. Sehingga orang lebih prefer untuk ‘main aman’ dengan membahas jomblo, dan lain-lain. Majelis Lucu saat itu muncul untuk memberi tahu kepada orang banyak, “Guys, kalau lo bosen sama komedi yang lo liat di televisi dan Instagram dan ingin cari komedi yang lebih keras, sarkastik, roasting, kita ada.”
Nah, untuk muncul, kami harus tampil dengan sesuatu yang menggebrak dan kontroversial. Bagaimana caranya pada saat itu untuk di-notice semua orang? Kami datang sebagai orang yang paling lucu saja. Banyak yang bertanya apa validasi kami merasa orang paling lucu pada saat itu. Menurut saya, setiap orang berhak merasa dirinya paling lucu karena komedi itu adalah subjektivitas. Selucu-lucunya Warkop, tetap ada orang yang menganggap itu tidak lucu. Dan sebaliknya, selucu-lucunya Komeng; yang menurut saya personal dia sangat lucu, tetap ada orang yang merasa dia tidak lucu. Jadi yang harus kita pahami bersama dari komedi adalah subjektivitas. Sehingga tidak salah kalau tiba-tiba orang datang lalu bilang, “Saya yang paling lucu.” Ya tidak apa-apa, itu kan menurut dia. Kami datang dengan kontroversi seperti itu dan ternyata works. Tetapi hal tersebut berbanding lurus dengan masalah juga…
M: (Tertawa)
Banyak content creator yang tidak terima pada saat karyanya kami bilang tidak lucu.
C: Karena ternyata selain dari masalah-masalah serius seperti SARA, banyak content creator yang tidak terima pada saat karyanya kami bilang tidak lucu.
M: Beberapa berantem sama kami. Sampai telepon-teleponan minta di-takedown dan jangan ngatain mereka. Dan itu (content creator) di Instagram yang followers-nya sudah ratusan ribu bukan yang kecil. Mereka tidak terima karena kami menilai kelucuan orang.
Padahal kalau mereka hanya ingin karyanya dipuji, jangan di-upload di public place. Taruh saja di Google Drive lalu tonton sendiri dan puji sendiri karyanya.
C: Padahal stance kami kenapa menilai kelucuan orang, karena menurut kami humor itu subjektif. Kami menilai dia tidak lucu menurut kami. Ada orang yang setuju silahkan, ada yang tidak setuju tidak apa-apa. Kalian bilang kami tidak lucu juga it’s okay. Selanjutnya, kami ingin memberitahu bahwa ada yang namanya freedom of speech. Ketika Anda sudah membuat sebuah karya dan karya tersebut Anda lempar di public place, komentar orang tentang karya Anda itu sudah di luar kontrol Anda. Kebanyakan content creator Indonesia merasa komentar orang terhadap karya mereka juga bisa mereka kontrol. Padahal kalau mereka hanya ingin karyanya dipuji, jangan di-upload di public place. Taruh saja di Google Drive lalu tonton sendiri dan puji sendiri karyanya.
M: Dan jika kami menilai negatif, dikira hate. Misalnya kami bilang, “Ini tidak lucu, sampah!” Itu bukan kami benci personalnya. Karyanya saja. Namun mungkin content creator tadi kaget. “Kok selama ini aku dipuji-puji, kenapa tiba-tiba ada yang menyadari seperti ini?”
C: Iya, dan ada beberapa lagi yang bilang, “Mungkin tidak lucu, tetapi hargai waktu kami dalam membuat konten ini. Kami sudah mencurahkan waktu untuk membuat konten.” Menurut saya itu dua hal berbeda. Antara kualitas dan effort yang dicurahkan. Ini kan konten komedi, yang dinilai kelucuannya. Ini bukan konten kerja keras. Kalau ini konten kerja keras baru dipuji. Anda mau membuat konten sampai malam, sampai berkeringat darah juga, kami pasti tidak menilai itu. Kalau sudah dilempar ke publik ya harus diterima.
Untuk sekarang, Majelis Lucu Indonesia ingin menjadi (seperti) Comedy Central, namun kami memang munculnya dengan menawarkan komedi yang keras. Tetapi di Majelis Lucu sendiri tidak melulu sarkasme dan hal seperti itu. Talent kami juga ada yang komedinya aman. Majelis Lucu yang sekarang tidak se-kontroversial dulu. Karena orang juga sudah mengerti dan banyak yang sudah kami tawarkan. Kami menawarkan comedy consultant, talent, ada event juga, dan yang lain-lain.
Anda bisa menjadi orang yang secara berkesenian jago tetapi itu tidak berbanding lurus dengan apakah Anda akan menjadi terkenal. Itu dua hal berbeda.
Jadi itu apa namanya? Agency?
C: Yang jelas perusahaan. Perusahaan yang bergerak di bidang komedi.
M: Di situ ada talent agency juga.
C: Kami juga punya merchandise. Pokoknya kalau Anda punya segala sesuatu yang berkaitan dengan komedi dan butuh consultant untuk mengerjakan itu, bisa hubungi Majelis Lucu Indonesia.
M: Seperti waktu itu Syahrini ingin menggelar show lalu ingin ada komedinya, dia ajak kerja sama. Jadi tidak terbatas harus di stand up terus.
C: Atau misalnya ingin membuat script film dan merasa sepertinya bisa ditambahkan unsur komedi bisa menghubungi kami. Permasalahan stand-up comedian itu sampai sekarang, kenapa yang terkenal biasanya Radit lagi, Radit lagi. Pandji lagi, Pandji lagi. Ernest lagi, Ernest lagi. Di Indonesia yang lucu banyak, tetapi yang punya sistem itu sedikit. Kenapa semua job kembali ke nama-nama besar itu? Selain memang mereka layak dan berbakat, mereka sudah lebih siap menghadapi sistem ini. Mereka punya manajemen, punya perusahaan, mereka punya orang yang mengatur. Stand-up comedian lain cenderung sporadis. Being funny dan being a professional businessman itu dua hal berbeda. Anda bisa menjadi orang yang secara berkesenian jago tetapi itu tidak berbanding lurus dengan apakah Anda akan menjadi terkenal. Itu dua hal berbeda.
Majelis Lucu punya talent eksklusif, namun jika ada klien yang butuh talent dengan requirement tertentu dan tidak ada di daftar talent Majelis Lucu, kami bisa carikan. Karena kami punya akses ke komunitas untuk mencari orang-orang yang dibutuhkan klien. Kami sebenarnya adalah orang di tengah yang memenuhi kebutuhan klien apapun tentang komedi. Jadi jembatan. Kata yang lebih tepatnya begitu.
Duo Coki – Muslim sudah menjadi nama ikonik dalam komedi Indonesia hari ini. Mengapa Anda berdua awalnya memutuskan untuk menjadi pasangan komedi?
M: Awalnya Coki itu alumni SUCI (Stand Up Comedy Indonesia) Kompas TV season 4 tahun 2014 dan saya season 3 tahun 2013. Di situ kami tidak saling kenal.
C: Cuma tahu.
M: Iya, tahu oh ini Coki. Tapi saya tahu dia aneh banget stand up-nya. Absurd banget materinya suka tertawa sendiri. Kami belum kenal, biasa saja. Tahun 2016 kami menjadi mentor di SUCI dan sering bareng, kami akhirnya mulai nyambung dan tahu kami berdua sama-sama tidak bermoral. Dia suka bercanda yang pedih dan dark, sementara saya juga suka bercanda tentang hal-hal yang berbau agama dan yang mungkin kalau dibawa keluar akan berbahaya. Kami bercanda di bawah saja. Kemudian dari situ mulai didengar teman-teman yang menurut saya sih di lingkungan teman-teman stand up sudah ada candaan seperti itu tetapi sepertinya, kalau menurut perasaan saya, kalau kami yang bercanda rasanya beda. Seperti punya yang khas kalau di tongkrongan.
C: Sampai akhirnya pada saat itu waktu kami berdua sedang syuting sebuah film, saya bilang ke Muslim, “Kita kan suka bercanda dark comedy yang bersinggungan dengan batas, gimana kalau kita open mic?”
M: Oh iya, kami ingin stand up berdua karena pertama, materinya terlalu kejam kalau sendiri. Lalu, kalau materinya terlalu pedih ada yang menetralkan. Tidak mungkin kami membawa joke lalu dinetralkan sendiri.
C: Bisa, tapi sangat susah.
M: Alasan lain, karena waktu itu pemikirannya masih sendiri-sendiri. Kalau digabung baru oke. Misalnya dia punya jalan sendiri, saya juga punya jalan sendiri, kalau digabung itu sepertinya lebih cocok. Dia kan khusus dark joke, saya yang soal agama, kalau kami naik itu menjadi kombinasi yang menurut kami waktu itu oke. Sebelum kami tampil berdua, kami pernah menggelar acara namanya “Religion Issue“. Jadi ada komika penganut beberapa agama tampil menceritakan agamanya masing-masing. Di situlah makin menguatkan bahwa saya dan Coki ini memang tidak ada nuraninya. Tetapi belum tampil berdua waktu itu, jauh sebelum ada MLI. Akhirnya kami coba open mic, dan menjadi kombo yang pas. Dari sambutannya bagus, akhirnya tampil perdana di acara “Stand Up Gunung” 2017 di Jogja. Menurut saya itu pertama kalinya genre dark comedy ditampilkan. Setidaknya menurut referensi kami berdua. Mungkin di antara materi orang lain ada bagian yang dark comedy, tetapi waktu itu kami mengkhususkan penampilan itu dark. Itu deg-degan sekali. Kami merasa waktu itu sambutannya luar biasa. Orang kaget dan berkesan sekali.
Selama ini orang punya keresahan yang tidak tersampaikan atau tidak terwakili oleh komedi pada umumnya.
C: Di situ saya percaya bahwa sebenarnya selama ini orang punya keresahan yang tidak tersampaikan atau tidak terwakili oleh komedi pada umumnya.
M: Kenapa salah satunya dark comedy? Orang itu sebenarnya munafik. Menurut saya Bolot itu bercandain orang budeg. Tetapi kalau kami bilang secara eksplisit, malah jadi jahat. Lalu di acara lawak ada yang bisa pura-pura tidak ada tangan, atau Azis Gagap, dia menurut kami difabel. Kok kalian menertawakan hal itu?
Saya percaya bahwa dark comedy akan selalu punya tempat. Manusia dasarnya jahat.
C: Jadi double standard. Saya percaya bahwa dark comedy akan selalu punya tempat. Manusia dasarnya jahat. Tetapi karena norma-norma, kita agak menahan diri untuk menahan perasaan kita yang sebenarnya. Saya buktikan kenapa kita menikmati penderitaan orang lain. Pada saat orang terpeleset kulit pisang, kita tertawa sebenarnya. Hati nurani kita tertawa. Baru kita tolong. Komedi yang hakikinya itu adalah pada saat ada orang lain yang lebih menderita daripada kita. Itu sebenarnya komedi. Makanya Anda ketika melihat orang jelek, ketawa. Kenapa? Karena Anda merasa beruntung merasa tidak sejelek itu. Sebenarnya dark comedy itu memberikan guilty pleasure untuk suara-suara jahat yang ada di dalam hati kita yang selama ini tidak berani kita keluarkan. Pada saat ada orang yang berani bicarakan itu, kita tertawa karena merasa itu benar tapi kita tidak berani bicara tentang itu. Kenapa kita tertawa? Karena resikonya lebih besar di pembawa komedi daripada yang menikmati. Selama ini banyak orang tidak mau tertawa karena takut resikonya, kan? Kalau ada orang yang membawakan joke itu dia sudah aman untuk tertawa. Itu makanya dark comedy akan selalu lucu.
M: Kira-kira begitu asal-usul kami memilih komedi berdua. Kami merasa komedinya saling melengkapi. Terutama dia kan suka ngobrol set-up. Kalau di stand up dia ngobrol panjang mengantar orang sampai ketika saya kasih punchline menjadi lebih lucu.
Anda berdua membuat video “Debat Kusir” di YouTube dan menjadi heboh karena menyinggung beberapa figur dan video di YouTube. Melihat tren konten YouTube Indonesia dengan clickbait, judul bombastis, penuh gimmick dan tidak lebih dari TV karena sama-sama mengejar rating, subscribers, dan views, bagaimana pandangan Anda terhadap para content creator yang ada di YouTube saat ini?
C: Buat saya tidak bisa disalahkan juga. Karena tujuan orang untuk berkarya itu banyak. Ada yang tujuannya untuk menuangkan passion-nya dalam karya. Ada yang tujuannya untuk gain something dari situ. Ada pula yang tujuannya untuk menjadi kaya saja. Dulu, sebelum saya masuk ke industri ini lebih dalam, saya masih naif dimana saya merasa kami bisa menjadi sangat idealis tetapi at the same time kami bisa sangat kaya. Apakah itu mungkin? Mungkin. Tapi kemungkinannya sangat kecil. Anda harus bisa menjadi seseorang yang jenius di antara orang-orang jenius untuk bisa menjadi seperti itu.
Mungkin awalnya mereka datang dengan passion ingin mengubah industri. Tetapi kalau miskin? Ubah dulu diri Anda baru ubah orang-orang lain.
Kenyataan yang kami hadapi adalah, at some point dalam karir, untuk bisa tetap relevan atau tetap eksis kami harus kompromi. Kompromi dengan pasar atau apapun itu. Kalau saya lihat, ujung-ujungnya YouTuber membuat clickbait dan segala macam, sekarang saya tidak bisa menyalahkan mereka juga karena bisa jadi itu bukan keinginan mereka. Namun mereka sudah bertaruh terlalu banyak di scene ini untuk tidak mendapatkan apa-apa in return. Mungkin awalnya mereka datang dengan passion ingin mengubah industri. Tetapi kalau miskin? Ubah dulu diri Anda baru ubah orang-orang lain. Akhirnya dia harus ikut.
Ada orang berkarya di YouTube, yang sebenarnya dia sudah cukup kaya sehingga tidak perlu mengkompromikan karyanya untuk mendapat sesuatu dari situ. Contoh, Kapten Vincent, dia pilot, sudah kaya menurut saya. Dia tidak perlu membuat acara alay karena tanpa adsense YouTube dia sudah kaya. Namun kita tidak bisa judge semua orang dalam posisi itu. Let’s say, ada orang yang saat memulai berkarya di YouTube dia berhutang untuk beli kamera. Kalau dia idealis, ya dikejar-kejar debt collector tidak bisa bayar kameranya. Jadi kalau melihat kondisi sekarang, itulah way of the world. Ujung-ujungnya akan seperti itu. Mungkin yang bisa saya dan Muslim lakukan adalah kami harus mencari garis tengahnya di mana kami komprominya tidak parah tetapi kami juga masih mendapatkan kesenangan kami sendiri.
Saya yakin Atta Halilintar hatinya yang paling kecil sadar yang dia lakukan alay.
Itu juga bukan kesalahan content creator-nya. Itu salah penikmatnya. Karena konten itu tidak akan pernah ada kalau penikmatnya tidak ada. Saya yakin Atta Halilintar hatinya yang paling kecil sadar yang dia lakukan alay. Namun dia harus melakukan itu untuk please orang-orang yang ada. Maksud saya, dia tidak salah juga. Makanya, daripada kita cepat-cepat bicara content creator sekarang sampah dan tidak bermutu, kita harus sadar kalau mereka ini ada karena Anda juga dong!
M: Bicara konten-konten itu saya tidak kesal, tidak benci. Tetapi memang yang membuat kesal itu artis-artis yang ke YouTube. Seperti Baim-Paula, Shireen Sungkar, yang hanya menceritakan hidup mereka. Shireen Sungkar cerita anaknya saja lho, bisa trending. Itu tidak salah, itu hak mereka. Tapi, mereka kan orang TV, konten bersahabat. Masuk ke scene YouTube. Sedangkan YouTuber tidak bisa ke TV. Kita di YouTube berkarya karena bebas. Di sini tidak ada KPI, tidak ada yang melarang-larang, jadi kita sikat-sikat saja. Senang sebebas-bebasnya. No filter. Tapi begitu kita bersaing dengan konten-konten aman, konten keluarga, jujur saja kita bisa dibilang iri juga. Mereka cuma begitu saja bisa trending, sedangkan kita tidak bisa trending di TV. Kita tidak bisa bolak-balik ke TV dan YouTube. Kalau mereka bisa di TV bisa di YouTube.
C: Sebenarnya artis-artis yang menjadi YouTuber itu tidak salah, itu hak mereka, bebas. Masalahnya mereka membawa pasar baru ke YouTube yaitu penonton TV. Sehingga trending yang ada di 10 besar YouTube itu harus berbau TV. Sebenarnya kan YouTube itu adalah asylum buat orang-orang yang tidak bisa tampil di TV untuk bisa berkarya supaya karyanya bisa dinikmati oleh orang yang sudah jenuh dengan TV. Dengan artis masuk ke YouTube, akhirnya setara juga formulanya.
Ini contohnya, Chandra Liow, YouTuber yang benar-benar YouTuber, tidak pernah trending nomor 1. Padahal video yang dia buat itu adalah definisi dari content creator. 10 besar itu isinya bantu orang miskin, yang berbau religi, beli ikan cupang, jadi apa bedanya dengan TV? Jovi & Dovi (Skinny Indonesian 24), itu pernah trending nomor 1 untuk video “Rap Battle”. Itu effortnya besar. Itu pun setahun sekali. Bahkan bisa 5 tahun sekali. Akhirnya spotlight-nya tidak pernah bisa didapat. Belum lagi TV melempar kontennya ke YouTube. Itu sebenarnya sangat dibenci oleh content creator. “Indonesia Lawyers Club” (ILC), sudah ada episodenya, dipotong-potong dan dilempar ke YouTube. Viewers-nya 6 juta, 7 juta. Anda tidak eneg melihat wajahnya Rocky Gerung di trending?
Menurut saya, fungsi YouTube yang sebenarnya adalah di mana orang bisa menjadi bintang dengan panggungnya sendiri tanpa mengkompromikan nilai-nilai yang dipercayai. Misalnya Anda ingin ke TV tapi tidak bisa karena terlalu eksplisit, tapi karena tidak ingin kompromi memutuskan membuat YouTube dan mendapat pasar sendiri. Sekarang itu tidak bisa karena mereka yang dari TV dan penontonnya pindah ke YouTube juga. Orang-orang indie masih bisa membuat video, tetapi spotlight jadi susah didapat.
M: Dan yang berbahaya ketika penonton TV ke YouTube adalah orang yang ngomel-ngomel terhadap konten kami. Mereka biasanya nonton TV, begitu melihat kami malah marah. Itu salah kamar. Bukan kami yang salah.
C: Itu adalah masalah yang content creator YouTube harus temukan caranya bagaimana ‘merebut kembali’ trending dari hal-hal yang bisa ditemukan di TV.
Melalui acara roasting yang digelar MLI, format komedi seperti itu kemudian menjadi sebuah bentuk komedi yang digemari publik di Indonesia. Meskipun sebenarnya sebelum itu publik belum terlalu mengenal apa itu roasting. Bagaimana pandangan Anda mengenai roasting di stand-up comedy Indonesia saat ini?
C: Tidak semua orang siap dengan komedi roasting. Karena kemungkinan yang akan terjadi kalau kita melakukan roasting di Indonesia, pertama adalah semua baik-baik saja. Saya roast orangnya, dia tidak masalah, penontonnya senang, selesai. Kedua, saya roast orangnya, dia tidak masalah, tetapi penonton yang masalah. Atau ketiga, saya roast orang, dia menjadikan masalah, penontonnya tidak masalah. Juga sebaliknya.
Jadi sebenarnya, sebelum kita menikmati komedi roasting, yang diperlukan adalah kedewasaan. Anda dewasa dulu secara pribadi, kemudian bisa menikmati komedi roasting. Kalau Anda belum dewasa secara pribadi, walaupun orang yang di-roasting tidak masalah, Anda bisa masalah. Itulah yang biasanya terjadi pada kasus-kasus kontroversi yang ada selama ini. Orang yang di acaranya ketawa, yang di-roasting tidak masalah, yang masalah adalah yang menonton dari pelosok-pelosok sana dan tidak mengerti konsep acaranya. Roasting yang makin ramai di mana-mana, adalah pedang bermata dua. Di satu sisi bagus, orang semakin banyak yang tahu roasting, tetapi di satu sisi juga bisa menjadi masalah karena tidak semua orang siap menikmati roasting. Misalnya saya roast Muslim, aturannya saya akan tanya apa yang dia tidak ingin saya bahas tentang dirinya, kalau sudah clear, saya tidak akan sentuh apa yang tidak ingin dia bahas, sisanya saya hajar.
Kalau kalian ingin melihat roasting di TV tidak apa-apa, tapi itu adalah versi terlembut yang bisa dinikmati dari komedi genre roasting. Kalau ingin menonton roasting yang sebenarnya, cari acara-acara underground, off-air, dimana tiketnya agak mahal, aksesnya susah, di situ baru bisa dinikmati. Karena sebelum bisa ketawa, harus dewasa dulu. Itu dulu saja. Kalau tidak, bercanda itu jadi susah.
Di Indonesia, yang paling banyak mendapat privilege itu orang goblok.
Pembawaan materi komedi secara eksplisit adalah salah satu alasan mengapa pertunjukkan atau video MLI menjadi kontroversial dan menarik perhatian banyak orang. Bagaimana sebenarnya keputusan mengenai sensor terhadap konten yang kalian buat?
M: Si bangsat ini (menunjukn Coki) bebas-bebas saja. Dia aman terus. Biasanya filter terakhir adalah Patrick Effendy. Selain karena dia petinggi MLI, dia orang yang lebih berpengalaman di industri dan lebih lebih bisa menurunkan ego. Bisa melihat mana yang cocok dengan pasar. Terkadang konten yang tidak berbahaya pun disensor sama dia biar orang penasaran. Itu strategi marketing yang bagus. Meskipun dari kami, sebagai performer merasa itu lucu. Namun, efek itu disensor orang kesal dan penasaran.
C: Sistem sensor paling ideal itu sebenarnya tidak boleh talent-nya menentukan mana yang disensor dan mana yang tidak. Karena kami memiliki ego performer. Harus orang lain yang melihat dari kacamata 180 derajat berbeda. Misalnya saya dan Muslim ketika melawak, kami sudah punya mindset berbeda dari orang lain sehingga hampir semuanya tidak masalah buat kami. Namun permasalahannya orang lain tidak sama seperti itu. Makanya untuk sensor harus orang lain yang bukan performer. Memang menyebalkan. Kenapa? Ujung-ujungnya terkadang ketika harus menentukan sensor, kami harus memikirkan orang-orang yang goblok.
M: Kadang yang tidak terkesan bermasalah perlu dipertimbangkan double meaning yang ada. Bagi kalangan tertentu yang mengerti, itu bisa menjadi lucu tetapi ada orang goblok yang tidak mengerti.
C: Itu keresahan kami. Di Indonesia, yang paling banyak mendapat privilege itu orang goblok. Karena orang goblok di sini dimanja, kontennya disesuaikan. Orang-orang pintar yang stres. Keresahan saya makanya kenapa goblok dan hati Anda menjadi tanggung jawab kami? Itu yang saya sebal. Tapi itulah kenyataannya. Kami tidak bisa apa-apa.
M: Censorship juga selain Patrick Effendy yang paling sering. Dulu pada saat roasting, Patrick yang edit karena kami belum percaya dengan editor lain. Karena data-data MLI itu data rahasia negara. Kalau kami hire editor siapa tahu dia orang bagian dari sana yang akan membocorkan. Selain itu dan timing komedinya belum pas, dulu Patrick yang edit. Setelah itu dilempar ke grup, cari masalahnya, dan itu harus beberapa orang yang cari dan komentar. Keputusan final tetap pada Patrick Effendy atau saya. Karena kalau Coki ini dia semuanya aman. Babi dan kurma juga aman.
Komedi Indonesia sebelumnya masih dipenuhi dengan komedi slapstick dan jokes ‘kodian’ sebelum bentuk komedi tunggal seperti stand up comedy Indonesia masuk. Dengan berbagai keresahannya, pelaku stand-up comedy mengeluarkan kritik dalam bentuk joke tentang situasi dan kondisi sosial sekitarnya. Menurut kalian, apakah saat ini iklim komedi di Indonesia memang perlu dibawa ke arah yang lebih kritis seperti itu?
Saya tidak pernah merasa stand up lebih superior dibanding jenis komedi lain
C: Saya tidak pernah merasa stand up lebih superior dibanding jenis komedi lain. Saya tidak pernah merasa itu. Saya menghormati setiap jenis komedi terlepas dari apakah itu selera saya atau tidak. Karena genre komedi lain juga perlu kecerdasan dan perlu talent untuk bisa melakukannya. Mereka belum tentu bisa seperti kami, dan sebaliknya. Apakah iklim komedi perlu dibawa ke arah stand up? Tidak juga. Biarkanlah setiap orang menikmati genre komedinya masing-masing. Kalau suka slapstick silahkan nikmati itu. Kalau suka monolog, silahkan nikmati itu. Kalau suka dark comedy silahkan nikmati itu. Kalau memang suka satu dan tidak suka yang lain, jangan protes komedi lain karena itu dua jenis komedi berbeda. Kita harus paham bahwa di dunia ini jenis komedi banyak dan Anda tidak bisa memaksakan semua orang harus satu seragam dengan jenis komedi Anda. Yang saya lihat sekarang, ada orang komentar gaya komedi kami dan menyarankan untuk contohi Sule atau Andre karena mereka bisa melawak tanpa membuat orang tersinggung. Itu sebenarnya tidak masuk akal, karena genrenya saja sudah beda. Itu sama dengan Anda ngomong ke Jason Ranti tentang lagunya dan menyarankan dia mencontohi Matta Band. Itu kan dari genre sudah beda. Jadi, nikmatilah genre komedi sesuai kesukaan Anda masing-masing dan jangan kritik komedi yang dari awal Anda tidak suka.
Itu mengapa saya tidak mengerti misalnya orang-orang yang benci Young Lex. Saya tidak suka lagunya dia, dan solusi bagi saya adalah untuk tidak menonton channel YouTube dia. Selesai, hidup saya tenang. Kalau di YouTube, algoritmanya bekerja misalnya jika Anda suka menonton video dangdut, suggestion videonya akan berhubungan dengan dangdut. Kalau menyukai komedi keras, suggestion dari YouTube akan mengeluarkan video komedi yang keras. Logikanya, kalau Anda tidak suka komedi seperti saya dan Muslim, harusnya di suggestion Anda tidak akan muncul video kami. Kalau sampai Anda nyasar ke kanal kami berarti ada effort dari Anda yang dari awal tidak Anda sukai.
Menurut saya, apakah semua harus stand up? Tidak. Nikmatilah genre komedi sesuai selera masing-masing. Dan tidak usah judge setiap genre kalau tidak sesuai selera. Kalau itu jadi bertolak belakang dengan apa yang MLI lakukan di awal, sebenarnya tidak juga. Karena kami di awal datang dengan menjadi parodi dan arogan. Itu sebenarnya juga bentuk komedi yang sebenarnya kalau tidak suka ya tidak usah dinikmati.
M: Memang komedinya tidak harus berubah. Yang harus berubah itu otak manusia. Benar kata Coki. Orang marah-marah karena tidak suka komedi kami. Dan yang sering saya temui orang yang membandingkan kami dengan Komeng atau Tukul yang aman. Kalau suka Tukul ya nonton Tukul. Kenapa kami harus jadi Tukul atau Komeng? Anda salah kamar lagi.
Stand-up comedy sempat menjadi fenomena di ranah hiburan Indonesia yang kemudian menjadi industri sendiri dan membuat banyak film yang menghadirkan komika. Industri perfilman sudah menjadi begitu familiar dengan para komika, baik di belakang layar maupun dalam daftar pemain. Bagaimana pendapat Anda mengenai perkembangan ke ranah perfilman itu?
C: Menurut saya itu sudah terbaca. Karena di Amerika Serikat pun, aktor-aktor banyak yang basic-nya sebagai stand-up comedian. Jim Carrey, Robin Williams, Jamie Foxx, banyak sekali. Kenapa arahnya ke sana? Karena di stand-up comedy kita tidak hanya belajar melucu tapi juga belajar banyak hal. Pertama, belajar public speaking. Kedua, belajar akting. Karena ketika tampil, menggunakan mimik, menggunakan gestur. Ketiga belajar menjadi MC. Itulah kenapa banyak pekerjaan bisa diambil oleh stand-up comedian. Model doang yang tidak bisa. Kecuali Anda lahir dengan fisik di atas rata-rata. Dari hal-hal tadi, biasanya batu loncatan seseorang untuk menjadi sesuatu itu harus stand-up comedian.
M: Kalau comic di film biasanya perannya yang saya tahu adalah karakternya yang asli. Misalnya Rigen, ya biasanya dia mendapat peran yang marah-marah. Atau Arafah, Dodit, punya peran yang begitu. Kenapa itu menambah kelucuan? Kalau menurut saya karena saat Dodit atau Arafah muncul, orang sudah tahu dia mau melakukan apa. Daripada menggunakan cameo atau casting, image komedian sudah tertanam pada publik. Penonton sudah tahu apa yang akan terjadi. Bahkan sudah ada komika seperti Ernest, sudah bermain film atau menjadi sutradara.
C: Memang di stand-up comedy ini Anda tidak mendapat lucunya pun, Anda dapat ilmu yang lain. Jadi, hal itu bukan sesuatu yang mengejutkan. Sepertinya sampai ke depan nanti itu akan menjadi tren yang cukup oke karena komika cukup bisa akting, cukup lucu, tidak dibayar semahal aktor sebenarnya, tapi bisa versatile mendapatkan apa yang diinginkan sutradara. Plus, punya fanbase yang cukup kuat. Selalu menang. Contoh, Anda hire Tio Pakusadewo. Beliau sangat jago aktingnya. Lalu ada satu lagi komika lumayan bisa akting, lumayan lucu. Om Tio bisa lucu tapi butuh effort. Tapi, kalau dilihat jelas lebih untung yang komika. Anda bisa lebih banyak menemukannya, mereka punya fanbase, kalau filmnya tayang bisa dipromosikan, dan lebih relatable ke penonton muda. Sebenarnya ini menjadi win-win secara bisnis. Itu juga kenapa ada orang yang kesal dengan komika karena semuanya bisa diambil.
Usai menghadapi kasus tuduhan bahwa kalian melakukan penistaan agama, kalian kembali menggelar sebuah show rahasia di mana hanya penonton yang tahu mengenai informasi lengkapnya. Apakah masalah tersebut membuat kalian merasa ancamannya se-berbahaya itu? Dan bagaimana show seperti itu bisa dilaksanakan mengingat kalian sudah punya nama yang besar?
Lebih baik kami punya sekelompok penonton dengan jumlah tidak terlalu banyak tapi selalu datang, daripada banyak tetapi nyebelin.
C: Sebenarnya yang rahasia itu adalah lokasi venue kami beritahukan pada hari-H. Itu hanya masalah me-manage sebuah acara, jadi tidak sulit. Tapi mengapa kami mengadakan acara seperti itu? Karena kami sadar bahwa orang Indonesia ini masih menganggap komedi itu satu genre saja. Sehingga ketika melihat ada genre lain, mereka merasa bahwa komedi tidak seperti itu. Akhirnya, kasus kemarin menegaskan bahwa lebih baik saya dan Tretan Muslim fokus pada orang-orang yang menikmati (komedi) kami saja. Daripada kami yang berubah menjadi komedi aman, lebih safe, mendingan kami yang menyaring penonton. Sehingga sekarang kami lebih pilih-pilih. Lebih baik kami punya sekelompok penonton dengan jumlah tidak terlalu banyak tapi selalu datang, daripada banyak tetapi nyebelin. Begitu saja.
M: Kalau ditanya apakah seberbahaya itu, memang ada kekhawatiran.
C: Tapi memang berbahaya. Waktu itu kami ingin nge-MC di acara Anji. Itu didatangi FPI. Setelah dinego baru akhirnya tidak terjadi apa-apa. Memang masih suka didatangi. Karena kasus seperti itu tidak akan hilang.
M: Waktu itu, kenapa acara kami lakukan dengan cara seperti itu juga selain karena keamanan dipentingkan, kami ingin menciptakan sebuah show yang berbeda experience-nya. Kalau show lain digembar-gemborkan, kalau kami ingin menciptakan sensasi show rahasia, yang underground.
Terkadang di kasus ekstrem tertentu, sebelum kami manggung, materinya disampaikan di depan beberapa ahli hukum.
Untuk acara seperti itu tidak menutup kemungkinan adanya penonton baru. Apakah ada peraturan seperti misalnya tidak membawa handphone ke dalam venue?
M: Waktu itu handphone kami beri stiker lalu dimasukkan ke pouch bag, lalu di-strap.
C: Itu SOP kalau acaranya berbahaya. Kami mencoba pencegahan dengan beberapa tahap. Pertama, orang yang datang biasanya sudah kami miliki informasinya dalam database. Jadi, kami selalu minta data seperti email dan segala macam. Kedua, handphone selalu kami tahan di depan.
M: Maksudnya itu kami antisipasi dengan cara yang kami tentukan.
C: Ketiga, selama show berlangsung selalu ada ahli hukum di situ yang ikut menonton. Terkadang di kasus ekstrem tertentu, sebelum kami manggung, materinya disampaikan di depan beberapa ahli hukum. Jadi memang harus berlapis seperti itu. Itulah harga yang harus kami bayar untuk genre komedi yang tidak terlalu umum. Dan biasanya permasalahannya bukan dari orang yang datang menonton pada saat show-nya digelar. Masalahnya datang dari orang yang menonton apabila konten ini dibawa keluar. Kami juga tidak akan pernah meng-upload video show secara umum. Makanya kadang saya suka bingung kalau ada orang yang menganggap kami tidak seperti dulu lagi, acara roasting sekarang tidak di-upload, sekarang tidak pernah lagi. Itu karena resikonya sudah terlalu parah. Lebih baik kami buat acara rahasia, sekali itu selesai ya sudah. Sejauh ini kami belum pernah kecolongan.
Tidak sedikit pihak yang memberikan pandangan sinis mengenai MLI karena dianggap mementingkan keuntungan finansial semata (contoh: pendaftaran istilah ‘Roasting’’ yang dilakukan pihak MLI) dan dianggap sell-out. Apakah memang itu tujuan MLI?
C: At the end of the day, tujuan kami adalah ingin memakmurkan setiap orang yang bekerja di sini. Itu tujuan akhir kami. Pilihannya sederhana. Jadi, agar kami bisa expand, pasar kami menjadi lebih besar, ada tindakan-tindakan tertentu yang tidak bisa menyenangkan semua orang.
M: Tapi kalau dibilang tujuan kami adalah untuk memancing permusuhan, itu tidak sama sekali.
C: Saat ini Majelis Lucu Indonesia sudah menjadi PT (Perseroan Terbatas). Ketika sudah menjadi PT, itu kan sudah bertanggung jawab atas kepentingan orang banyak. Ada karyawan dan lain-lain. Sudah pasti kebijakannya akan berbeda dengan sebelum menjadi PT. Keputusannya pun sudah pasti tidak akan menyenangkan semua orang. Saya sadar ada beberapa orang yang merasa Majelis Lucu Indonesia menjadi lembek, menjadi mainstream. Namun, pada akhirnya ketika mereka pergi akan ada orang baru lagi yang datang. Yang dapat kami lakukan adalah bagaimana agar kami bisa tetap survive di industri tanpa menjadi sell-out.
Menurut saya itu juga tergantung perspektif masing-masing. Karena untuk saya dan Tretan Muslim ada banyak yang berkomentar bahwa kami sudah tidak se-sarkas dulu lagi. Sebenarnya masih, namun kami memilih tempatnya. Dulu kami sering menjadi seperti itu di acara yang tidak berbayar. Sekarang, kami lebih selektif untuk hanya seperti itu di acara berbayar. Biasanya, orang-orang yang banyak berkomentar, menikmati konten kami yang gratis sehingga pada saat bayar mereka tidak pernah bisa datang dan cuma bisa protes. Begitu sebenarnya. Kalau kami kena masalah, mereka juga tidak melakukan apa-apa.
M: Ya, kami lebih banyak pertimbangan. Tapi kalau ada yang tidak setuju dengan cara jualan kami, mungkin memang berbeda pandangan saja. Karena mungkin memang ada tendensi bahwa ini sangat mementingkan bisnis. Kalau jujur, saya dulu saat baru mengerti sistem ini berseberangan. Jangankan orang luar, saya sendiri saat kami mengadakan lomba stand up dan dijual tiketnya, saya tidak setuju. Namun, setelah dilakukan seperti itu malah ramai. Sistem-sistem seperti itu, jangankan orang luar, bagi saya yang di dalamnya terkadang juga kaget. Kalau ada yang tidak senang, kami menganggap berbeda visi misi atau salah paham.
C: Karena begini, sebenarnya industri stand up masih belum disokong dengan sistem yang baik. Pada saat Majelis Lucu mencoba membisniskan seni stand up, sudah pasti tidak bisa menyenangkan semua orang. Dan pasti akan bertentangan dengan beberapa kepentingan. Tapi itu di seni apapun akan terjadi. Jadi kalau ada yang berkomentar kalau kami sell-out atau apapun itu, kembali lagi semua keputusan kami tidak akan menyenangkan semua orang dan yang kami utamakan adalah kemakmuran orang-orang yang bekerja di sini. Untuk apa menjadi keren namun di saat bersamaan gain nothing dari ini. Kembali lagi, Anda mau keren tapi kere atau mau tidak dianggap indie-indie banget tapi tajir. Kami cari jalan tengahnya saja. Kami tidak bisa menyenangkan semua orang, tapi paling tidak senangkanlah diri Anda. Kalau diri Anda juga tidak senang, ya tidak usah kerja di sini mendingan jadi kuli saja. Lebih pragmatis sih kalau saja. Metallica dulu dibilang sell-out ketika lagunya mulai terdengar mellow. Tapi mereka naik Ferrari dan yang bilang sell-out tetap di kamarnya. Metallica juga bodo amat.
Setelah sudah sejauh ini berkarya di industri hiburan terutama komedi, tentu saja Anda sudah bertemu dengan berbagai pengalaman yang bisa dinikmati dan sebaliknya. Saat ini apa makna komedi bagi Anda?
Komedi itu adalah sebuah alat di mana kita dapat menyampaikan keresahan dengan cara yang lebih bisa diterima.
C: Buat saya komedi bukan sekadar gerakan-gerakan lucu atau konsep yang menggelitik orang lain. Bagi saya komedi bukan itu. Komedi itu adalah sebuah alat di mana kita dapat menyampaikan keresahan dengan cara yang lebih bisa diterima. Ada banyak persepsi yang salah di Indonesia. Orang merasa komedi itu tidak bisa membahas yang sensitif. Tidak boleh membahas permasalahan sosial, permasalahan sensitif pokoknya. Makanya selalu ada komentar seperti, “Lo kalau komedi melucu aja, gak usah bahas tentang politik atau agama.” Menurut saya dari asal kata “stand-up comedy”, kalau kita bedah “stand up” itu bukan literally “berdiri” tapi itu artinya adalah bahwa kita memiliki opini yang ingin disampaikan dengan cara komedi. Jadi bagi saya makna komedi adalah sebuah tools di mana kita dapat menyampaikan opini dengan cara komedi entah itu sarkasme atau lainnya.
Di luar negeri komedi dipakai untuk mengkritik pemerintah, mengkritik sosial. Saya menggunakan komedi untuk menyindir permasalahan sosial dan sensitif yang ada di lingkungan kita saat ini yang mana kebanyakan orang tidak merasa bahwa komedi itu tidak seperti itu.
M: Secara garis besar sama dengan Coki. Menurut saya makna komedi adalah cara berdamai dengan diri sendiri atau keadaan apapun. Semua kehidupan ini lucu. Bahkan di titik tergelap, tergetir pun bisa menjadi lucu. Itu adalah cara yang baik untuk bersyukur, menerima keadaan ya lewat komedi. Misalnya putus dengan pasangan lama-kelamaan dibercandain jadi lucu, jadi tertawa, dengan tertawa itu bisa menjadi ikhlas, bisa menjadi damai.
Komedian orang paling sakit, dong. Karena tidak ada yang mau menghibur kita.
Apakah benar bahwa komedian itu sebenarnya orang paling serius?
M: Komedian orang paling sakit, dong. Karena tidak ada yang mau menghibur kita. Siapa yang mau menghibur kita? Harus kita sendiri. Keadaan apapun harus kita bercandain.
Komedi di Indonesia sudah melewati banyak perubahan dan menghasilkan beragam komedian hingga hari ini dengan jenis komedi berbeda, dari Srimulat, Warkop DKI, sampai Raditya Dika. Sementara untuk para komika pun terbagi ke dalam tiap komunitas regional Stand Up Indo atau grup lain. Bagaimana Anda melihat kondisi skena komedi Indonesia saat ini? Apakah dalam skena komedi ada kubu-kubu tertentu?
C: Ada kubu tertentu. Menurut saya pada akhirnya apapun scene-nya, pasti hal seperti itu akan terjadi. Kenapa? Karena motivasi orang untuk masuk ke seni ini berbeda-beda. Akhirnya orang akan berkumpul dengan orang lain yang mempunyai visi misi yang sama. Menurut saya itu hal yang natural.
M: Menurut saya beda-beda tidak apa asal jangan saling menjatuhkan. Karena di bidang seni berbeda saja tidak boleh ngecengin atau menjatuhkan apalagi di sesama stand up. Adanya perbedaan benar apa yang Coki bilang, motivasinya berbeda arahnya juga berbeda. Tidak apa-apa ada perbedaan asal tidak saling menjatuhkan.
C: Malah sehat sih tandanya karena banyak orang yang datang dengan berbagai motivasi. Sisi positifnya adalah mereka merasa salah satu solusi dari apapun yang mereka hadapi saat ini. Menurut saya kalau memilih untuk menjadi komedian harus thick skin. Tidak boleh gampang baper. Karena menurut saya yang namanya saling sindir itu biasa. Itulah cara berkomedi. Kita juga suka menyindir orang. Jadi bagi saya itu masih sampai taraf wajar. Kalau Anda gampang sakit hati dan ada di scene komedi sepertinya harus pindah scene.
M: Kalau saling sindir menurut saya hitungannya tidak dianggap menjatuhkan. Kalau menjatuhkan itu memfitnah perusahaan lain, memfitnah tongkrongan, atau mengumbar rahasia dan aib yang dapat menghancurkan. Kalau hanya menyindir masih wajar, lucu-lucuan. Batasannya juga tidak sama mungkin. Ada yang merasa sudah parah, tapi karena saya dan Coki sudah thick skin, kami merasa tidak ada apa-apa.