Gerak-Gerik Intoleran di Sekitar Kita
Para kontributor “Whiteboard Journal Open Column” membagikan pengalaman mereka tentang perilaku intoleran Indonesia, serta respon terhadap kejadian-kejadian intoleran di sekitar.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Gernas Geraldi
Ilustrasi: Tiana Olivia
Indonesia adalah negara multikultural dengan beragam budaya, agama, ras, bahkan bahasa. Tentunya dalam menghadapi keberagaman tersebut dibutuhkan sikap toleran yang baik. Namun, belakangan ini intoleransi telah menjadi salah satu topik paling sering dibicarakan di Indonesia. Hal ini terlihat dari meningkatnya konflik yang disebabkan tidak adanya sikap toleran dalam masyarakat sehingga membuat banyak munculnya ekstrimis dan radikalisme yang dilandasi oleh pemahaman ajaran keliru. Kami membahas hal tersebut bersama para kontributor buku pertama kami berjudul “Whiteboard Journal Open Column” yang bertema tentang kesetaraan dan keberagaman. Mereka membagikan pengalaman serta pandangan mereka tentang perilaku intoleran di Indonesia.
Rivanlee Anandar
Apakah ada pengalaman personal atau berinteraksi dengan kejadian/peristiwa intoleran? Apa yang dipelajari dari pengalaman itu?
Pengalaman personal sejauh ini tidak ada, tapi pendampingan kasus cukup sering, seperti kasus persekusi Komunitas Ahmadiyah di Lombok Timur, penyerangan terhadap warga Papua di Papua dan di luar Papua. Kedua kasus itu adalah sedikit dari sekian banyak peristiwa intoleran yang terjadi berulang.
Dari dua kasus itu saja yang terus berulang, saya menyadari kalau toleransi di Indonesia tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya jaminan dari negara. Kenapa negara jadi penting? Karena ada penegakan hukum di situ terhadap aktor-aktor yang melakukan tindakan intoleran.
Selama ketegasan atas praktik intoleran hanya bersifat normatif, kebijakan diskriminatif yang “didiamkan” tidak akan membawa Indonesia menjadi negara yang menghargai kemajemukan.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa generasi muda kita, terutama di kampus, cenderung terpengaruh ajaran intoleran, bagaimana kalian melihat perkembangan intoleransi di anak muda?
Loh, saya justru merasa kampus lebih terpapar feodalisme daripada radikalisme. Kalau begitu kemungkinan besar mahasiswa sekarang lebih sering mengangguk ketimbang menggeleng di kampus karena kesulitan untuk membedakan antara ruang kelas dan ruang ibadah. Mungkin satu hal yang menyebabkan kecenderungan terpengaruh ajaran intoleran karena tidak ada diskursus yang dibangun secara ilmiah.
Hal yang perlu diketahui oleh publik ialah, toleransi tidak melulu perihal agama. Toleransi merupakan bentuk rasa hormat dan penghargaan terhadap ragam budaya dunia yang kaya, bentuk ekspresi kita dan cara menjadi manusia. Toleransi mengakui hak asasi manusia universal dan kebebasan mendasar orang lain. Hanya toleransi yang dapat menjamin kelangsungan hidup heterogen di setiap wilayah di dunia. Toleransi tidak hanya sebagai kewajiban moral, tetapi juga sebagai persyaratan politik dan hukum bagi individu, kelompok, dan bahkan negara.
Untuk melihat situasi toleransi, sekurang-kurangnya bisa berangkat dari dua isu, yaitu, pertama, kebebasan berekspresi, berkumpul, dan menyampaikan pendapat; kedua, kebebasan beribadah, beragama, dan berkeyakinan. Kedua isu tersebut merupakan ukuran sederhana yang dapat melihat situasi toleransi di Indonesia sebab keduanya merupakan hak fundamental warga negara. Toleransi merupakan atribut pada individu, ia menyangkut hak asasi manusia.
Apa sebenarnya yang dibutuhkan oleh anak muda untuk memahami bahayanya paham intoleransi?
Anak muda perlu mendapatkan pemahaman kondisi sosial, ekonomi, historis, dan hak asasi manusia yang memadai sehingga memiliki gambar yang jelas tentang fenomena sebuah negara. Semestinya anak muda dengan kreativitas dan inisiatif tidak bisa begitu saja disesatkan ke ajaran menjurus pada tindakan intoleran. Mereka harus lebih peka atas suatu tindakan serta dampaknya. Selain itu, jangan mudah tunduk pada “penokohan” berbasis pilihan politik karena akan berakibat akan terbawa arus sebab kata “toleransi” rentan sekali digunakan untuk kepentingan semata.
Yustinus Edvan Apriliawan
Apakah ada pengalaman personal atau berinteraksi dengan kejadian/peristiwa intoleran? Apa yang dipelajari dari pengalaman itu?
Saya lahir dari keluarga yang menganut Katolik, sejak saya lahir dan mulai sekolah di taman kanak-kanak ayah dan ibu saya menitipkan saya pada nenek saya, dikarenakan situasi di Jakarta yang kurang kondusif kala krismon (krisis moneter) pada waktu itu. Saya bersekolah sampai duduk di kelas 3 pada sekolah dasar di Yogyakarta pada waktu itu krismon sudah selesai dan keadaan mulai membaik maka pindahlah saya ke rumah orang tua saya di Jakarta dan melanjutkan sekolah saya di sana. Kasus intoleran terjadi di sini, semua bermula ketika ada mata pelajaran agama dan teman-teman baru saya tahu kalau saya beragama katolik, hampir setiap pelajaran agama berlangsung saya merasakan apa yang disebut sebagai intoleran.
Saya yang tumbuh dahulu di lingkungan yang lugu kini harus terpaksa merasakan pedihnya bullying terhadap kepercayaan. Semua berjalan hingga saya dewasa, kalau para pembaca Whiteboard Journal pernah menonton film “Taxi Driver” yang disutradarai oleh Martin Scorsese dan dibintangi oleh aktor bernama Robert De Niro maka pengalaman saya persis seperti karakter utama dalam film ini. Tokoh utama dalam film ini bernama Travis Bickle seorang mantan angkatan darat perang Vietnam yang pensiun dan ingin bekerja sebagai seorang supir taksi, namun alasannya Travis mengambil pekerjaan ini adalah karena dia seseorang yang kesepian Hingga sampai pada satu adegan dimana Travis mengucapkan kata-kata paling lirih di jagad dunia perfilman begini ucapnya,
“Loneliness has followed me my whole life, everywhere. In bars, in cars, sidewalks, stores, everywhere. There’s no escape. I’m God’s lonely man.”
Begitu pedihnya kata-kata itu terucap olehnya, maka saya yang juga merasakan pedihnya intoleran pun pada satu hari yang pedih mengucapkan satu monolog persis seperti Travis bickle dan versi saya adalah seperti ini,
Intoleran telah mengikuti saya sepanjang hidup saya, pada setiap tempat, di bar, di warung kopi, di dalam mobil, di pinggir jalan, di gang-gang, di toko-toko, di mini market, di tiap-tiap inci tempat saya hidup, di sini di dalam hidup saya tidak akan pernah ada jalan untuk kabur juga keluar, saya adalah makhluk Tuhan yang tercipta untuk mencicipi kutukan intoleran.
Tapi pada satu ketika Tuhan memperlihatkan saya pada adegan hidup paling menyentuh hati saya, ketika itu pada waktu hari libur saya yang masih duduk di bangku SMA, kedatangan seorang tamu yang datang untuk singgah ke rumah. Tamu tersebut ternyata adalah seorang marbot di masjid dekat rumah saya, ibu saya datang ke ruang tamu untuk menjamu tamu tadi setelah beberapa lama mulailah obrolan seperti ini,
Marbot : “Ibu, saya datang kemari ingin bertanya beberapa hal atas kegelisahan yang ada pada saya, yaitu perihal tidak damainya hati saya pada situasi saat ini bisa dibilang saya sedang dalam masa krisis iman, saya sedih melihat penganut agama saya sering sekali bertengkar dan membenci sana-sini, saya lelah dan ingin sekali lari dari ini semua.”
Ibu : “Maksud bapak apa yah?”
Marbot: “Saya ingin lari dari ini semua bu, Saya ingin pindah agama!”
Ibu : “Pak, bila bapak sedang krisis iman itu wajar karena kita hanyalah manusia biasa yang tak luput dari beban, tapi pindah agama adalah satu hal yang lain. Dia tidak bisa disembarangkan. Mungkin yang bapak lihat hanya mereka yang sedang saling benci tapi percaya dan yakin pak, ada mereka yang lebih banyak menyebarkan indahnya perdamaian. Jadi bapak sekarang berdoalah agar kita semua bisa saling memaafkan dan tidak saling membenci, karena sejatinya setiap agama itu baik.”
Marbot tadi langsung tidak meneruskan niatnya, ia pergi dengan wajah riang.
Saya yang melihat adegan tersebut, terkesima bagaimana Ibu saya menyapu kebencian di hati saya dengan kata-kata yang penuh akan cinta kasih. Saya mungkin korban intoleransi tapi bukan berarti saya harus membalasnya dengan intoleransi juga. Saya tetap mengingat adegan ibu saya itu sampai sekarang.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa generasi muda kita, terutama di kampus, cenderung terpengaruh ajaran intoleran, bagaimana kalian melihat perkembangan intoleransi di anak muda?
Gejala berkembangnya intoleransi adalah gejala yang terjadi di mana-mana mulai dari sekolah dasar hingga jenjang perguruan tinggi. Ini semua juga tidak luput yang ada di dalam social media, anak muda sudah terlanjur ada pada pusaran ini semua melalui tontonan televisi yang homogen (sama semua) lihatlah dan hitung acara sinetron mana yang memasukan tokoh beragama minoritas ke dalamnya? Sehingga membuat semua lupa bahwa ada agama lain yang tinggal di Indonesia.
Situs-situs seperti candi dan pura semuanya dilabeli sebagai tempat hiburan sehingga semua lupa bahwa candi dan pura adalah tempat ibadah. Pemerintah masih tidak ambil bagian dalam mencegah ini semua, lalu mereka yang terdidik juga hanya diam dan melihat seolah-olah ini semua tidak pernah terjadi bahkan mereka cenderung denial.
Apa sebenarnya yang dibutuhkan oleh anak muda untuk memahami bahayanya paham intoleransi?
Sebelum saya mengakhiri tulisan ini saya ingin mengutip satu lagu yang cocok akan kasus intoleransi yang terjadi saat ini.
What if God was one of us?
Just a slob like one of us
Just a stranger on the bus
Tryin’ to make his way home?
Just tryin’ to make his way home
Like a holy rolling stone
Back up to heaven all alone
Just tryin’ to make his way home
Nobody callin’ on the phone
‘Cept for the Pope maybe in Rome
Lagu ini berjudul “One of Us” lagu yang dinyanyikan oleh Joan Osborne, bagaimana lagu ini dengan bijaknya menjabarkan keberadaan Tuhan dengan menyentuh dan sangat manusiawi sekali.
Sudah seberapakah kita mengenal Tuhan?
Sudah seberapa kita saling mengenal manusia?
Semoga kita bisa saling mengenal kembali dengan polosnya seperti anak-anak.
Daud Sihombing
Apakah ada pengalaman personal atau berinteraksi dengan kejadian/peristiwa intoleran? Apa yang dipelajari dari pengalaman itu?
Sejauh ini saya belum pernah bersinggungan langsung dengan hal tersebut. Justru sebaliknya, saya dibesarkan dari keluarga yang cukup heterogen. Di sisi lain, ketika saya melanjutkan studi S2 di jurusan Agama dan Lintas Budaya, saya banyak mempelajari peristiwa atau studi kasus yang terkait dengan intoleransi. Dari teori yang dipelajari dari kasus itu justru pemantiknya adalah hal-hal yang bersifat di luar teologis.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa generasi muda kita, terutama di kampus, cenderung terpengaruh ajaran intoleran, bagaimana kalian melihat perkembangan intoleransi di anak muda?
Pertumbuhan intoleransi menurut saya ada kaitannya dengan semangat eksklusivitas yang digencarkan pada tiap komunitas akhir-akhir ini. Secara teori, ada yang dinamakan religious revivalism/resurgence, dimana agama punya tempat lagi di publik dan justru punya peran signifikan.
Apa sebenarnya yang dibutuhkan oleh anak muda untuk memahami bahayanya paham intoleransi?
Dibanding jargon-jargon kebhinekaan, cara yang menurut saya efektif justru dengan mengalami perbedaan itu sendiri. Misalnya, berkenalan dengan orang dari komunitas lain atau mengunjungi tempat-tempat yang berafiliasi dengan komunitas lain.
Anastasya Lavenia
Apakah ada pengalaman personal atau berinteraksi dengan kejadian/peristiwa intoleran? Apa yang dipelajari dari pengalaman itu?
Ada. Kejadiannya sudah lama sebenarnya, ketika saya masih kelas 3 SD, tapi masih membekas hingga sekarang. Waktu itu saya sedang main ke rumah teman saya, dan kebetulan hanya saya yang memiliki wajah Jawa di antara teman-teman saya yang beretnis Tionghoa. Sebenarnya saya sendiri juga campuran Tionghoa-Jawa, tapi memang gen ibu saya yang keturunan Jawa lebih kental dalam diri saya. Nah pada waktu itu, ketika saya masuk ke kamar teman saya, oma dari teman saya mengeluarkan sebuah kalimat “Eh, itu mba-nya tunggu di luar aja”. Pada waktu itu, sebagaimana anak umur 9 tahun yang belum bisa berpikir jauh, saya memahaminya sebagai kejadian lucu dan kesalahpahaman belaka. Apalagi alasan yang digunakan pada waktu itu adalah, mereka mengira saya adalah asisten rumah tangga karena badan saya yang tinggi dan bongsor. Ketika menginjak usia remaja, barulah saya menyadari kejadian tersebut tidak hanya disebabkan oleh badan saya yang tinggi dan bongsor, tapi juga karena wajah saya yang berbeda dari teman-teman saya yang lain.
Pelajaran atau mungkin dampak dari pengalaman tersebut adalah kesadaran bahwa bentuk-bentuk interaksi antara saya dengan orang lain sangat berpotensi untuk diintervensi oleh intoleransi dan sentimen antaretnis. Dan dari kesadaran tersebut, muncul juga kegelisahan bahwa identitas saya akan selalu dipermasalahkan ketika berada di lingkungan yang intoleran.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa generasi muda kita, terutama di kampus, cenderung terpengaruh ajaran intoleran, bagaimana kalian melihat perkembangan intoleransi di anak muda?
Saya melihat bahwa sekarang ini, wacana mengenai perbedaan baik dari segi agama, etnis, ataupun pandangan politik, seringkali digunakan untuk kepentingan pihak-pihak yang ingin memperoleh kekuasaan. Dan dari kontestasi itulah, anak muda ikut terseret di dalamnya. Di samping itu, saya rasa keluarga juga berperan besar dalam mempengaruhi cara pandang anak muda mengenai perbedaan, apalagi di era sekarang di mana akses informasi, baik yang benar maupun keliru, ada di mana-mana.
Apa sebenarnya yang dibutuhkan oleh anak muda untuk memahami bahayanya paham intoleransi?
Kita harus membuka ruang diskusi mengenai pluralisme, baik di lingkungan pendidikan, lingkungan kerja, lingkungan pertemanan, hingga keluarga. Ketika isu perbedaan dan identitas bisa dibicarakan secara fluid, ada harapan agar paham intoleransi itu bisa memudar dengan sendirinya. Penting sekali untuk memiliki pengalaman interaksi atau diskusi dengan orang yang kita anggap berbeda dari kita.
Faiz Putra Syanel
Apakah ada pengalaman personal atau berinteraksi dengan kejadian/peristiwa intoleran? Apa yang dipelajari dari pengalaman itu?
Pernah. Intoleran secara ideologi/keyakinan politik. Biasanya dipicu melalui provokasi. Dari kontroversial televisi hingga seruan/ajakan grup WhatsApp keluarga. Menurut saya, pelaku dan korban intoleran merupakan korban. Tidak ada yang bisa disalahkan, kecuali yang melakukan tindakan. Siapa dia? Tidak ada yang tahu. Dalam negara hukum, klaim/tuduhan bisa dilakukan, namun setelah terdapatnya putusan peradilan yang menetapkan. Jangan saling menyerang akibat perbedaan, jangan mau dipermainkan. Stop being subject, just be object, of and for our self. And help each other.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa generasi muda kita, terutama di kampus, cenderung terpengaruh ajaran intoleran, bagaimana kalian melihat perkembangan intoleransi di anak muda?
Intoleransi pada anak muda berkembang sangat pesat; menurut saya, berkembang tanpa mereka sadari. Pada dasarnya, praktik intoleran tidak bertindak atas kesadaran. Kesadaran yang saya maksud adalah paham. Minimnya artikulasi tentang batas hak dan kewajiban, serta dampak dari tindakan mereka menjadi salah satu alasannya. Padahal toleransi adalah kebutuhan, kebutuhan yang proporsional. Ibarat tubuh manusia, apabila kita kekurangan makan, maka kelaparan. Jika kelebihan, bisa muntah. Seperti itu perandaian akan toleransi. Jika bisa saling mengerti, kenapa harus saling membenci? Jika tidak tahu, bertanyalah. Jika tidak setuju, bermufakatlah.
Apa sebenarnya yang dibutuhkan oleh anak muda untuk memahami bahayanya paham intoleransi?
Menurut saya, penting adanya ajaran yang mendasar mengenai apapun. Paham bagaimana metode melihat permasalahan, dari metodologi pencarian masalah hingga problem solve. Kerendah-hatian juga perlu untuk menyeimbangi intelektualitas, agar tidak bersikap oposisi biner atau menolak pemahaman selain apa yang mereka pahami. Perbanyak ruang diskusi secara masif untuk membahas hal-hal yang dianggap tabu, mengajarkan bagaimana cara melihat persoalan, hingga menyikapinya. Kita terlalu banyak melihat dari satu sumber, lalu kita kultuskan. Akhirnya kita cuma terjebak atas penafsiran orang lain, bukan penafsiran otentik. Sehingga kesalahpahaman rentan timbul dari pemahaman yang tidak otentik.
Ferdin Maulana Ichsan
Apakah ada pengalaman personal atau berinteraksi dengan kejadian/peristiwa intoleran? Apa yang dipelajari dari pengalaman itu?
Intoleransi merupakan basic human experience yang tak dapat luput dari kehidupan sehari-hari dalam masyarakat. Intoleransi bahkan kerap terjadi di ruang lingkup yang paling intim, yaitu keluarga. Saya beragama Islam dan berkuliah di Universitas Katolik, saya pernah hampir diberhentikan kuliah oleh orang tua saya karena dianggap pikiran saya sudah dimanipulasi pemahaman liberal Barat. Dari situ saya belajar bahwa manusia lebih nyaman bergantung dengan kepercayaan yang sudah terkonstruksi sejak lama, misalnya lewat agama, dibanding rasionalitas dan fakta empirik.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa generasi muda kita, terutama di kampus, cenderung terpengaruh ajaran intoleran, bagaimana kalian melihat perkembangan intoleransi di anak muda?
Kampus merupakan lingkungan yang rentan akibat doktrin paradigma yang ditanam sejak masa orientasi mahasiswa baru, baik dari pihak kampus maupun organisasi eksternal (HMI, KAMI, GMNI, dsb). Intoleransi bagi saya adalah warisan dari orang-orang sebelumnya. Sikap ignorant, krisis identitas dan ingin segala hal serba mudah lah yang membuat anak muda rentan terjerumus pemahaman intoleransi. Oleh karena itu tugas kita sebagai generasi muda untuk mulai kritis terhadap suatu ajaran yang kita terima dibanding menelannya mentah-mentah.
Apa sebenarnya yang dibutuhkan oleh anak muda untuk memahami bahayanya paham intoleransi?
Anak muda perlu meningkatkan literasi serta menambah referensinya. Selain membaca buku, hal tersebut bisa dilakukan salah satunya dengan cara menciptakan ruang komunikasi/diskusi dimana ada proses dialektika demi membangun dan menjaga moralitas yang rasional atau cara pandang kolektif lebih moderat.
Geta Virucha
Apakah ada pengalaman personal atau berinteraksi dengan kejadian/peristiwa intoleran? Apa yang dipelajari dari pengalaman itu?
Ada banyak kejadian intoleransi yang terjadi hampir di setiap lingkungan hidup. Dari hal sepele sampai hal serius. Salah satunya yang sering bersinggungan di lingkungan saya adalah intoleransi yang dilakukan beberapa ‘eksekutif’ (di bidangnya) terhadap semisal ‘kolektif’ (indie) lokal.
Yang dapat saya pelajari adalah tingginya ilmu yang telah dimiliki seseorang (di bidangnya) ternyata masih belum cukup menjadi bekal untuk seseorang tersebut mempunyai kemampuan mengakui, menghormati, dan memandang sederajat orang lain atas perbedaan yang ada. Di ‘sekolah’, banyak ‘murid’ sibuk menghebatkan diri untuk ‘naik kelas’. Tetapi tidak sedikit yang lupa cara bersikap kepada ‘murid’ di ‘kelas’ sendiri terlebih di ‘kelas’ lain.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa generasi muda kita, terutama di kampus, cenderung terpengaruh ajaran intoleran, bagaimana kalian melihat perkembangan intoleransi di anak muda?
Saya mempelajari bahwa toleransi seseorang terlebih di usia muda berkaitan dengan dua hal, yang pertama adalah diri sendiri di sini saya artikan sebagai kemampuan/daya tahan orang tersebut melawan perasaan, keinginan, dan kecenderungan terhadap dirinya sendiri dalam menyikapi perbedaan yang ada di lingkungannya.
Yang kedua, lingkungan budaya berpengaruh besar terhadap pembentukan tingkat toleransi seseorang. Hans Georg Fritzsche (pejabat senior Nazi) pernah menyinggung tentang ‘Memori Kolektif’ terkait paham intoleransi. Saya melihat tidak sedikit anak muda yang secara tidak langsung tertanam ‘memori kolektif’ ini pada dirinya.
Apa sebenarnya yang dibutuhkan oleh anak muda untuk memahami bahayanya paham intoleransi?
Menurut saya paham intoleransi ini lebih condong ke masalah individual. Meskipun kita tidak bisa menyingkirkan begitu saja faktor-faktor lain terkait lingkup hidup seperti pergaulan, sosial, budaya, dan lain-lain. Tetapi, ada tiga hal dasar yang menurut saya dibutuhkan anak muda untuk memahami bahayanya paham intoleransi.
Yang pertama, rasa harga diri, perasaan, dan pandangan seseorang terhadap dirinya sendiri sedikit banyak dapat mempengaruhi bagaimana orang itu memandang dan menilai orang lain. Semakin stabil dan tenang diri seseorang, semakin meningkat pula kemampuan seseorang untuk menyikapi perbedaan dan melawan kecenderungan atau keinginan terhadap dirinya.
Selanjutnya, open minded adalah konsep berpikir yang menurut saya jika diterapkan dengan benar akan sangat mempengaruhi pandangan seseorang dalam menyikapi masalah di lingkup hidup, termasuk paham intoleransi ini. Ada tiga hal yang berusaha untuk selalu saya ingat dan terapkan. Dan menurut saya hal ini sangat sederhana tetapi berpengaruh besar dalam keseharian, yaitu tahu diri, tahan diri, dan harga diri.
Yang terakhir, seperti yang dikatakan Einstein yang sangat sering kita kutip tentang peran keseimbangan di dalam kehidupan. “To keep your balance, you must keep moving”. Kita harus selalu bergerak, beradaptasi dengan keadaan. Menurut saya, salah satu hal penting yang mempengaruhi cara adaptasi kita adalah dengan meninggikan jam terbang. Dengan cara apa? Sekolah tinggi. Sekolah formal dan berjenjang memang sangat bagus untuk mengisi keilmuan kita.
Tetapi alangkah lebih baiknya jika kita menambah jam terbang kita dengan sekolah informal seperti sesekali bermain ke perpustakaan untuk membaca berbagai macam buku atau dengan datang langsung ke satu bidang keilmuan lain untuk melihat langsung dan belajar bahwa dunia ini penuh dengan keberagaman. Karena ternyata main jauh di satu bidang saja belum cukup mendefinisikan main jauh. Terkadang kita sesekali harus mengingat dan melihat kembali bahwa kita hidup di antara keberagaman yang seharusnya menjadi andil kita untuk dapat lebih belajar arti sebenar-benarnya dari keseimbangan dan kesetaraan.
Billy M. Jibril
Apakah ada pengalaman personal atau berinteraksi dengan kejadian/peristiwa intoleran? Apa yang dipelajari dari pengalaman itu?
Ada, saya sendiri intoleran dengan olahan susu sapi. Saya harus memilah-milih apa yang mau dikonsumsi, tidak bisa sembarang makan, terutama jenis hidangan keju, atau perut saya akan jadi mulas.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa generasi muda kita, terutama di kampus, cenderung terpengaruh ajaran intoleran, bagaimana kalian melihat perkembangan intoleransi di anak muda?
Setuju, langsung atau tidak, kampus memang mengajarkan intoleransi. Entah lewat dosen, organisasi, dan sesama mahasiswa. Kampus itu tempat ramai, orang-orang saling bangga akan identitas daerah asalnya, akan sekiri apa ideologinya, akan semafhum apa imannya, akan sekece apa outfit-nya. Bangga-banggaan dengan apa yang dipunya itulah yang mendukung perkembangan intoleransi. Dan saya kira tak apa, itulah kesempatan belajar mengetahui apa yang cocok untuk diri kita, juga untuk orang lain.
Apa sebenarnya yang dibutuhkan oleh anak muda untuk memahami bahayanya paham intoleransi?
Alih-alih menganggap intoleransi sebagai bahaya, saya kira lebih bijak memaknainya sebagai hal yang memang begitu adanya. Ya, intoleransi itu ada, tapi orang-orang intoleran tidak mengamini ini.
Seperti sekawanan teman yang belanja di supermarket. Satu beli bir kaleng, satu beli soda botolan, satu beli es kopi, dan satu beli air mineral. Mungkin, seorang dari mereka diabetes, seorang hendak begadang, seorang lain terkena asam lambung, seorang lagi mau melancarkan bicaranya. Jadi, percuma merasa kalau minumannya paling sedap. Meski satu meja, mereka punya alasan menenggak yang berbeda. Kau tak mungkin memaksa temanmu yang terkena asam lambung minum es kopi, kan? Intinya, nikmatilah minumanmu sendiri.
Brian Royce
Apakah ada pengalaman personal atau berinteraksi dengan kejadian/peristiwa intoleran? Apa yang dipelajari dari pengalaman itu?
Pernah sekali waktu ada seorang teman yang memanggil saya dengan sebutan berdasarkan ras dan fisik, saya sadar bahwa hal tersebut tidak patut diucapkan walaupun terkesan agar lebih akrab. Untuk menguji apakah benar tujuannya mengakrabkan, kemudian saya mencoba melakukan hal yang sama kepadanya dengan memanggilnya sesuai kondisi fisiknya, lantas dia kemudian marah dan percekcokan itu berujung pertengkaran. Dari pengalaman itu, saya menarik kesimpulan bahwa dalam keakraban sekalipun kita tidak bisa menyampingkan martabat manusia.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa generasi muda kita, terutama di kampus, cenderung terpengaruh ajaran intoleran, bagaimana kalian melihat perkembangan intoleransi di anak muda?
Budaya tidak turun dari langit, budaya intoleran yang berkembang di ruang-ruang akademik juga tidak datang begitu saja. Hal ini bisa kita runut dari sempitnya cara pandang dosen-dosen dan senior-senior yang cenderung kolot dalam mendidik mahasiswa baru, ospek arogan dan tidak logis, sekte-sekte kaku yang ekslusif, keseluruhan budaya intoleran yang berkembang itulah yang kemudian menggeser keakraban di ruang-ruang akademis. Kekosongan pemahaman tentang etika publik di dalam benak mahasiswa juga membuat mahasiswa hari ini gagal untuk membangun keakraban dalam perbedaan.
Apa sebenarnya yang dibutuhkan oleh anak muda untuk memahami bahayanya paham intoleransi?
Intoleransi bersumber dari cara berpikir yang dogmatis, selalu menggunakan kacamata kuda atau oposisi biner dalam memandang dunia. Jika dalam usia muda namun sudah merasa paling benar dan dogmatis maka orang tersebut layak kita kasihani, namun jika hal itu marak terjadi di Indonesia dan mendominasi ruang publik yang dalam banyak hal tidak akan pernah homogen, maka hal itu patut kita anggap sebagai bahaya. Melepaskan diri dari kondisi realitas Indonesia yang beragam kemudian masuk ke dalam ide-ide dogmatis adalah sebuah kemunduran dalam bentuk delusi massal. Satu-satunya cara untuk keluar dari delusi hitam-putih semacam itu adalah dengan melihat realita yang tidak pernah habis menyuguhkan keragaman.
Indra Purnomo
Apakah ada pengalaman personal atau berinteraksi dengan kejadian/peristiwa intoleran? Apa yang dipelajari dari pengalaman itu?
Selepas Pilpres saya pikir penyebutan cebong dan kampret telah usai, namun tebakan saya salah. Bahkan ia menetap di hati teman-teman saya entah sampai kapan berakhir. Ketika saya berkumpul bersama teman-teman semasa SMK di kafe bilangan Kemanggisan tiba-tiba saya ditodong beberapa pertanyaan oleh teman. “Lu jae kan? ngaku lu? Gue lihat di Twitter” tanya teman saya dengan semangat. Saya sempat bingung “jae” itu apa dan siapa. Belum sempat berbicara teman satu lagi mencoba membantu menjawab. Dan pada saat itu saya baru tahu bahwa jae itu Jokowi. Setelah itu teman saya melontarkan pertanyaan dan pernyataan. “Lu cebong kan? kita di sini kampret” kata dia. Pernyataannya berupa, “Bahwa pendukung Jokowi itu kafir, ia (Jokowi) telah mendiskriminalisasi ulama. Buktinya Habib Rizieq belum pulang ke Indonesia.” Dan teman saya ini juga benci dengan orang Cina. Padahal ia bekerja di perusahaan yang mana pendirinya adalah orang Cina.
Giliran saya yang berpendapat. Saya bilang ke teman saya ini bahwa tuduhan kafir dan Cina itu keliru. Tidak ada yang pantas untuk memberi label kafir kepada siapapun. Bahkan setau saya seorang ulama pun cukup berhati-hati untuk menyebutkan kata kafir. Lagipula jika memang kalian mendapatkan narasi kafir di kitab manapun lantas jangan mencari-cari orang kafir. Menurut saya alangkah baiknya kita merenung, seberapa dekat sih hati “kita” dengan kafir. Jangan mencari-cari. Mungkin pernyataan saya cukup menggurui. Tapi saya percaya apa yang saya sebutkan tadi lebih baik daripada ucapan teman saya. Dan saat ini saya pun sedang mencobanya.
Setelah itu soal Cina, soal agama yang dianutnya. Saya teringat tulisan Rusdi Mathari dalam buku “Laki-Laki yang Tak Berhenti Menangis.” Rusdi mengatakan bahwa Islam adalah agama yang membenarkan ajaran-ajaran Taurat, Zabur, dan Injil. Saya sepakat dengan ini. Bukannya memang lebih seru jika kita hidup dengan tenang tanpa ada pagar tinggi yang malah membuat kita terus bertengkar ya. Namun teman saya ini membalas dengan rasa percaya diri, matanya semakin membesar. Dan pada akhirnya saya mencoba untuk tidak mendorong diri saya ke hal-hal yang tidak diinginkan. Kolot sekali teman saya ini.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa generasi muda kita, terutama di kampus, cenderung terpengaruh ajaran intoleran, bagaimana kalian melihat perkembangan intoleransi di anak muda?
Saya berteman baik dengan teman-teman semasa SMK tapi tidak tahu setelah Pilpres ini. Saya pikir masih baik. Saya sangat merasa ada banyak sekali perbedaan setelah gelaran Pilpres berlangsung. Polarisasinya sangat terasa. Mungkin banyak sekali variabel yang menyebabkan semua ini terjadi. Salah satunya sejarah perkembangan agama. Nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung dari setiap agama secara perlahan luntur dan menyebabkan menipisnya tingkat solidaritas yang seharusnya perlu diamalkan. Saya mengamati ruang lingkup kecil teman-teman saya ketika sedang menggunakan media sosial. Mereka tak segan-segan berbagi berita yang mereka sendiri tidak tahu kebenarannya. Jika tidak ada yang sesuai dengan pilihan politiknya berbondong-bondong ia menyebarkan berita tersebut dengan nada yang menjengkelkan. Padahal tidak jarang berita tersebut berbicara tentang kebohongan. Pada akhirnya kita saling serang menggunakan hak yang kita miliki. Atas tuduhan tak mendasar seseorang dapat dipenjara beberapa tahun kemudian. Hal tersebut dilakukan atas dasar meluapkan nafsu semata saja.
Apa sebenarnya yang dibutuhkan oleh anak muda untuk memahami bahayanya paham intoleransi?
Pada dasarnya semua masyarakat harus memahami bahayanya paham dari intoleransi itu sendiri. Sudah banyak kejadian intoleransi yang mengatasnamakan agama. Mulai dari pembangunan tempat ibadah sampai pembunuhan. Kita perlu waspada untuk tidak menggampangkan segala persoalan. Salah satunya menyikapi tindakan intoleransi. Sikap menahan diri perlu kita tanamkan sejak dini. Entah itu tokoh ulama, tokoh politik, atau warga sipil. Dan kita perlu ingat, bahwa kemanusiaan seharusnya berada di tingkat paling atas, lebih dari apa-apa saja yang ada di dunia ini. Oleh sebab itu kita perlu menanamkan cinta dan kasih kepada sesama. Persoalan ini bukan tanggung jawab satu pihak. Melainkan tanggung jawab bersama.
Jenni Anggita
Apakah ada pengalaman personal atau berinteraksi dengan kejadian/peristiwa intoleran? Apa yang dipelajari dari pengalaman itu?
Barangkali, peristiwa tragedi 98 menjadi memori kolektif yang tidak hanya saya saja, tetapi juga sebagian besar orang Tionghoa yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya. Peristiwa itu meninggalkan trauma berupa ketakutan, meskipun saya dan keluarga selamat dari peristiwa tersebut. Saya ingat berminggu-minggu saya tidak sekolah, jalan-jalan ditutup, ban dibakar, dan pada hari kejadian, saya dan mama menunggu kepulangan papa dengan was-was. Dia dapat selamat karena berhasil memilih jalan tikus untuk sampai ke rumah.
Ketika dewasa, saya menyadari betapa sulit menjadi minoritas di negeri ini, entah mengapa perasaan itu seperti muncul dengan sendirinya. Apalagi bukan hanya karena saya Cina, tapi juga karena saya perempuan dan Katolik. Namun, saya menyadari bahwa orang-orang Tionghoa atau para minoritas di negeri ini tidak boleh terus-menerus merasa menjadi korban, meskipun kerap kali dijadikan kambing hitam oleh yang berkuasa. Proses menjadi diri sendiri dan pemahaman bahwa kita hidup dengan penuh keberagaman adalah yang saya pelajari akhirnya, daripada terus merasa kecil. Nyatanya, saya melihat sampai kini, bahwa masih banyak orang-orang yang cinta dan berusaha memperjuangkan keberagaman itu di negeri ini.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa generasi muda kita, terutama di kampus, cenderung terpengaruh ajaran intoleran, bagaimana kalian melihat perkembangan intoleransi di anak muda?
Saya memperhatikan bagaimana kawan-kawan saya baik senior, yang seangkatan, atau junior ketika masih kuliah (2008-2012) terpengaruh ajaran intoleran. Terkait hal itu, ajaran intoleransi yang ditanamkan pada anak muda, bukan hanya sehari dua hari dilakukan, melainkan sudah TSM (terstruktur, sistematis, dan masif). Apa yang dapat kita lakukan sekarang barangkali salah satunya dengan memperbanyak ruang-ruang untuk berdiskusi dan menyebarluaskan pengetahuan tentang keberagaman itu sendiri.
Apa sebenarnya yang dibutuhkan oleh anak muda untuk memahami bahayanya paham intoleransi?
Menurut saya, pemahaman tentang keberagaman perlu ditanamkan sejak dini. Bagaimana mungkin anak-anak sekarang menyadari bahaya tentang intoleransi kalau mereka tinggal dan hidup ditanamkan dengan ajaran tersebut. Anak muda perlu meninggalkan kaca mata kuda yang mereka pakai. Lebih banyak bergaul dan tidak hanya berdasarkan etnis, golongan, atau agama yang sama dengan diri mereka saja. Perbanyak membaca, membuka wawasan, bergaul, diskusi, dan ikut komunitas yang menjadi hobi mereka tentu diperlukan.
Shuliya Ratanavara
Apakah ada pengalaman personal atau berinteraksi dengan kejadian/peristiwa intoleran? Apa yang dipelajari dari pengalaman itu?
Kalau pengalaman yang keras banget secara langsung mungkin tidak ya, terutama yang menyangkut ras dan agama. Tapi saya etnis Cina, dan itu membuat saya sering banget melihat keluarga sendiri dengan prasangkanya terhadap para pribumi (terutama muslim) yang berbuah intoleransi. Perlakuan mereka juga tidak frontal, tapi lebih ke komentar sinis atau apalah. Pelajaran yang saya ambil sih ya it takes two to tango, begitu pun dengan lingkaran setan prasangka-intoleransi (affect out behaviour) – prasangka saja terus.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa generasi muda kita, terutama di kampus, cenderung terpengaruh ajaran intoleran, bagaimana kalian melihat perkembangan intoleransi di anak muda?
Saya rasa, sekarang anak-anak muda semakin intoleran karena polarisasinya juga semakin gila-gilaan. Kita dihadapkan pada dua pilihan narasi saja, antara negara Islam dan penerapan hukum syariah oleh para fundamentalis dan keberagamaan serta penerapan Pancasila oleh para moderat/libertarian/sosialis Tanah Air. Tapi menurut saya sepertinya pembicaraan goals-nya apa dan bagaimana cara bisa menciptakan kebijakan publik yang bisa mengakomodasi dua sisi ini kok jarang banget. Lalu sekalinya ada, cepat sekali tertutup. Apalagi di media sosial ya. Dan saya rasa juga ajaran intoleran ini goes both ways karena kalau dipikir-pikir budaya “maaf sekadar mengingatkan” dan call out culture juga cuma dua sisi dan koin mata uang yang sama.
Apa sebenarnya yang dibutuhkan oleh anak muda untuk memahami bahayanya paham intoleransi?
As cliche as it is, tapi yang jelas pikiran terbuka penting. Pikiran terbuka ini terlepas dari ideologi Anda. Anda bisa menjadi religius dan berpikiran terbuka, Anda bisa saja terlihat terbuka tapi pikiran Anda tertutup. Soalnya menurut saya pikiran terbuka akan membuat kita cukup rendah hati untuk menyadari kebenaran lain di luar kebenaran yang kita anut dan keduanya bisa saling tidak menegasi. Pikiran terbuka juga menurut saya bisa menumbuhkan rasa empati kita, jadi ketika kita hendak memperlakukan orang saya rasa dengan bersikap empati kita bisa menjadi less intolerant.
Yana Safitri
Apakah ada pengalaman personal atau berinteraksi dengan kejadian/peristiwa intoleran? Apa yang dipelajari dari pengalaman itu?
Sebagai seorang yang memeluk agama mayoritas di Indonesia (Islam) dan mengenakan kerudung sepundak, saya merasa ‘lebih mudah’ untuk diterima hidup di masyarakat. Bukan berarti saya lantas nyaman dengan yang saya dapati. Kegelisahan kerap kali menyergap tatkala ujaran kebencian dan sikap tak menerima pada mereka yang berbeda. Pengalaman tersebut seringkali saya dapati dari ceramah di toa masjid, ujaran kebencian atas suatu golongan tertentu membuat saya gelisah kelak bagaimana jika paham tersebut terus tertanam dalam diri anak-anak, kelak paham intoleransi akan dibawa anak tersebut pulang ke rumah. Semoga orang tuanya dapat mengedukasinya dengan lebih baik.
Kegelisahan juga banyak muncul dari kisah teman yang mengalami intoleransi baik beragama/berbudaya, bahkan ketika scrolling di media sosial, ada saja komentar negatif masyarakat dalam menyikapi perbedaan.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa generasi muda kita, terutama di kampus, cenderung terpengaruh ajaran intoleran, bagaimana kalian melihat perkembangan intoleransi di anak muda?
I feel sorry to those who experience intolerance and feel unsafe. Mungkin selama menjalani kehidupan di kampus, saya berada dalam lingkungan yang mendukung tumbuhnya toleransi keberagaman (agama, budaya, suku). Hal tersebut adalah salah satu hal yang menginspirasi saya untuk menumbuhkan toleransi di lingkungan lain. Tapi, patut disadari bahwa tidak semua orang beruntung memiliki pengalaman sama di kehidupan kampusnya.
Sempat saya berdiskusi dengan seorang kawan dari kampus lain, kebetulan ia seorang Muslim yang memiliki pengalaman intoleransi dari teman kampusnya karena dia tidak mengenakan kerudung, ia lantas di-judge dengan berbagai macam label, seperti ‘perempuan nggak bener’. Itu baru dalam skala muslim sesama muslim. Pada persoalan lainnya adalah bagaimana agama lain terpinggirkan. Ada mereka yang saat natal tak dapat berkumpul dengan keluarga, harus tetap berada di kampus tanpa toleransi dari dosen, sedih bukan?
Jangankan di kampus, dinding sekolah menjadi saksi bagaimana mereka yang berbeda dari mayoritas pada beberapa kesempatan akan ditarik untuk menjadi sama, mulai dari hari Jumat mengenakan seragam panjang jika tak mengenakan akan mendapat sanksi. Tapi ada juga kasus mahasiswa yang dilarang pakai cadar ke kampus, jadi intoleransi ini memang ga punya agama, budaya, suku, mungkin dia memang ingin kita senantiasa berkonflik. Jadi, mari perangi bersama.
Kampus sebagai tempat tumbuhnya intelektualitas harusnya dapat mengedepankan paham kemajemukan dan tidak menyuburkan hal-hal yang justru memadamkan cahaya kebhinekaan. Sudah selayaknya di kampus dapat melahirkan pemikiran, ide, gagasan baru bukan melulu mengurusi orang berpakaian atau menumbuhkan ketakutan-ketakutan yang menciptakan intoleransi.
Melihat perkembangan intoleransi menurut saya dengan kemudahan berkomunikasi dan berinteraksi secara online, anak muda sekarang tentunya dapat dengan mudah melihat perbedaan-perbedaan yang ada, agama, pandangan politik, budaya dan perbedaan lain. Ada mereka yang sudah menempel dengan postingan-postingan intoleransi dikonsumsi, dibawa hingga tidur. Baik ini akan jadi doa saya yang kedua di sini, semoga ada rekannya yang segera membuatnya tobat.
Tapi keoptimisan akan toleransi anak muda masih banyak juga stoknya, masih ada mereka yang dengan terbuka menerima perbedaan. Masih ada yang saling bergandengan untuk membentuk gerakan dalam berbagai platform untuk menyuarakan toleransi, saya pernah menemukan satu akun Instagram dengan nama @kawanbhinneka.
Apa sebenarnya yang dibutuhkan oleh anak muda untuk memahami bahayanya paham intoleransi?
Jika paham intoleransi terus dikembangbiakan, maka yang terjadi adalah konflik jariyah. Saya akan coba memberi penawaran untuk menumbuhkan paham toleransi yang seharusnya sanggup mereduksi bahkan melenyapkan intoleransi. Dalam memerangi intoleransi yang pertama perlu kita sadari adalah ini bukan perihal siapa melawan siapa, tapi bagaimana kita melawan sikap intoleransi tersebut bahkan sejak dalam pikiran.
Kedua, mengejawantahkan kebhinekaan yang sejatinya kita miliki dan hendaknya pula kita teladani dalam menjalankan kehidupan sosial.
Ketiga, menumbuhkan rasa empati kepada sesama, mengapa? Dalam proses berempati kita akan senantiasa saling turut merasakan betapa menyedihkannya untuk tak dihargai ketika berbeda. Tak perlu menunggu punya pengalaman pahit dengan intoleransi, untuk mulai menumbuhkan toleransi.
Hamada Adzani
Apakah ada pengalaman personal atau berinteraksi dengan kejadian/peristiwa intoleran? Apa yang dipelajari dari pengalaman itu?
Ya, pernah mengalami. Terutama karena saya dari Asia dan badan saya tidak cukup besar, waktu itu saya disela saat antri check in di bandara. Pelajaran? Berani untuk menyatakan bahwa kita keberatan.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa generasi muda kita, terutama di kampus, cenderung terpengaruh ajaran intoleran, bagaimana kalian melihat perkembangan intoleransi di anak muda?
Gelombang ini ada dan bertambah banyak jumlahnya. Sikap saya sebetulnya terserah, dan kembali pada individu masing-masing untuk bagaimana bersikap dan menyikapi. Tapi jika saya bertemu kembali dengan anak-anak muda yang bersikap intoleran, saya akan mengutarakan ketidaksetujuan dan kontra argumen
Apa sebenarnya yang dibutuhkan oleh anak muda untuk memahami bahayanya paham intoleransi?
Yang dibutuhkan adalah pendidikan dasar-perguruan tinggi yang terus mengajarkan semangat keberagaman.
Lily Elserisa
Apakah ada pengalaman personal atau berinteraksi dengan kejadian/peristiwa intoleran? Apa yang dipelajari dari pengalaman itu?
Ada. Saat tidak boleh membaca buku lain pada saat pembacaan Surat Yasin serempak di sekolah menggunakan speaker. Saya disuruh ikut berdoa, padahal saya Kristen dan tidak bisa berdoa dengan tenang bersama-sama dengan mereka. Yang saya pelajari waktu itu adalah bahwa praktik kesetaraan dan toleransi lembaga pendidikan harus diakui masih utopis karena tidak dimulai dari perjuangan pengajarnya.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa generasi muda kita, terutama di kampus, cenderung terpengaruh ajaran intoleran, bagaimana kalian melihat perkembangan intoleransi di anak muda?
Makin mengkhawatirkan karena kampus tidak hanya tentang mahasiswa saja. Tapi berbagai stakeholder yang ada di dalam institusinya. Gampangnya, saat tenaga pengajar dan organisasi intra kampus yang intoleran diberikan kuasa untuk memberikan ruang intoleran bagi mahasiswa, maka mudah sekali mahasiswa terpengaruh paham dan ajaran intoleran. Maka sama seperti prinsip di lembaga sekolah perkembangan anak muda terhadap toleransi tidak akan bertambah baik jika tidak diimbangi dengan ruang toleran di lembaga pendidikannya.
Apa sebenarnya yang dibutuhkan oleh anak muda untuk memahami bahayanya paham intoleransi?
Ruang pertemuan dengan yang berbeda dengan latar belakangnya. Untuk berdialektika, berdialog, bahkan membagi hidup.
–
Kesetaraan dan keberagaman merupakan topik yang pastinya dialami oleh semua orang. Temukan kumpulan tulisan berisi perspektif berbeda mengenai topik tersebut di “Whiteboard Journal Open Column”. Buku cetak pertama kami dapat dibeli di sini.