Melihat Geliat Art Fair Sebagai Representasi Perkembangan Seni Indonesia
Bagaimana art fair menjadi platform bagi galeri dan seniman lokal untuk merepresentasikan ekosistem serta industri seni Indonesia di dunia.
Words by Whiteboard Journal
Desain: Dila Fauzia
Salah satu elemen yang bisa dijadikan representasi tumbuh kembang negara dalam pemetaan global adalah seni. Dalam seni, keberadaan ekosistem, pasar, kolektor, pelaku, serta penikmat memiliki peran tersendiri, dan bukti ketika sebuah negara memiliki ekosistem seni menjanjikan adalah aktifnya art fair. Di Indonesia sendiri, kemunculan art fair tak hanya mampu memetakan galeri lokal dalam konteks Asia namun juga tingkat dunia. Jika sebelumnya seni disegani dan berjarak, kini semua orang antusias untuk memahami dan mengapresiasi seni dengan cara tersendiri, termasuk selfie. Tapi apakah art fair yang digelar di Indonesia mampu merepresentasikan perkembangan ekosistem seni lokal atau sekadar pasar seni yang menjawab demand para kolektor dan institusi? Kami membahas topik ini dengan sederet seniman, konsultan seni hingga kurator dan gallerist, mulai dari Syagini Ratna Wulan hingga Ignatia Nilu.
Ruth Marbun
Seniman
Galeri dan seniman lokal beberapa tahun belakangan terus berpartisipasi dalam art fair di Indonesia maupun luar negeri. Menurut Anda, bagaimana representasi seni Indonesia di art fair yang pernah diikuti?
Tidak mungkin merepresentasikan seni Indonesia dalam satu booth. Terlalu luas dan kaya cakupannya. Tergantung membicarakan seni apa dan itupun bisa dipecah-pecah lagi. Setiap art fair dan galeri, dalam perspektif seni rupa, biasanya sudah fokus dengan pendekatan dan seleranya masing-masing. Mungkin dengan semakin banyak yang ikutan, semakin bisa memberikan gambaran.
Bicara seni yang dipamerkan di Indonesia, kini tidak luput dari tren selfie. Apakah ini jadi the new normal dan jadi pertimbangan galeri dalam memilih karya yang ditampilkan pada art fair?
Saya sih hanya berharap kecenderungan berswafoto dapat diikuti dengan keingintahuan akan karyanya sehingga tidak berhenti menjadi properti saja tetapi sebuah ‘jendela’ baru. Setidaknya menjadi imbang, toh perkembangan teknologi tidak dapat kita hindari. Kalau dari segi galeri, rasa-rasanya menjadi fotogenik tidak berbanding lurus dengan selera pasar dalam konteks art fair, dalam sepengetahuan saya. Karya yang baik akan berbicara dengan sendirinya dan karya yang baik sendiri definisinya selalu dapat diperdebatkan.
Menurut Anda, apakah art fair secara tidak langsung ‘mendikte’ seniman untuk mengikuti tren demi menjawab demand?
Itu hanya bisa menjadi “dikte” kalau si seniman memperbolehkannya dan kemungkinan besar nafasnya tidak akan panjang, karena akan selalu berganti. Kalau kebetulan bersinggungan dengan tren, ya anggap saja bonus. Menjawab demand juga tidak selalu salah, itu keputusan politis masing-masing seniman. Pada dasarnya itu semua pilihan, dengan keuntungan dan konsekuensinya masing-masing. Ruang berkarya sendiri tidak terbatas pada art fair saja.
Bagaimana potensi Indonesia untuk punya art fair yang jadi agenda internasional seperti Art Basel, atau yang lain art fair lainnya?
Saya belum terlalu paham kalau membicarakan infrastruktur dan kepentingan art fair, karena itu sudah masuk dalam bahasan yang luas sebagai industri. Tapi saya percaya dengan konsistensi, kalau seluruh ekosistemnya saling mengupayakan dan terus berusaha menjadi lebih baik, pasti akan memajukan semua pelaku di dalamnya.
Benedicto Audi Jericho
Direktur Galeri Srisasanti Syndicate & Kohesi Initiatives
Galeri dan seniman lokal beberapa tahun belakangan terus berpartisipasi dalam art fair di Indonesia maupun luar negeri. Menurut Anda, bagaimana representasi seni Indonesia di art fair yang pernah diikuti?
Bicara terkait art fair di Indonesia tentunya justru banyak didominasi oleh seniman-galeri lokal. Untuk art fair di luar negeri pun (terutama di regional Asia), baik yang diikuti oleh galeri saya maupun yang tidak, bisa saya lihat partisipasi dari seniman-galeri Indonesia cukuplah lazim dan konsisten dalam beberapa tahun ke belakang ini.
Bicara seni yang dipamerkan di Indonesia, kini tidak luput dari tren selfie. Apakah ini jadi the new normal dan jadi pertimbangan galeri dalam memilih karya yang ditampilkan pada art fair?
Saya rasa betul adanya apabila tren ini disebut sebagai hal yang sudah lazim. Dari sisi apresiator, apresiasi dalam bentuk selfie inipun menurut saya bukanlah fenomena yang begitu negatif ya (selama tidak ada karya seni yang menjadi rusak karenanya). Kalau menjadi pertimbangan galeri saya dalam kurasi karya untuk program di art fair, tidak sama sekali. Pemilihan karya selalu mengikuti preferensi pemilik/direktur galeri, dengan mempertimbangkan tema dan konteks program terkait. Saya rasa hal ini juga berlaku untuk kebanyakan galeri lainnya.
Menurut Anda, apakah art fair secara tidak langsung ‘mendikte’ seniman untuk mengikuti tren demi menjawab demand?
Saya justru merasa hubungan kausal antara tren dan demand di industri seni tidaklah sekuat itu. Apalagi bila demand yang dimaksud di sini adalah permintaan yang harus diikuti dengan realisasi dalam bentuk penjualan karya. Setiap karya seni dari berbagai periode (atau gerakan) memiliki penggemar (dan pasar) tersendiri. Mungkin di industri lain, ketika ada tren untuk warna hitam, semua harus hitam untuk bisa menarik permintaan mayoritas dan akhirnya berjualan. Tapi di industri seni akan selalu ada yang membeli hitam, ketika ada sekelompok lain yang mengoleksi hijau dan kelompok lainnya di saat bersamaan tetap memiliki preferensi di merah. Dan berbeda dengan pelaku kreatif dalam disiplin lain, saya yakin cukup sulit bagi seorang seniman untuk bisa berubah total begitu saja demi mengikuti tren. Hal inipun, apabila terjadi, pasti akan menimbulkan banyak pertanyaan dari sisi apresiator.
Bagaimana potensi Indonesia untuk punya art fair yang jadi agenda internasional seperti Art Basel, atau yang lain art fair lainnya?
Menilik apa yang sudah diusahakan oleh seniman-seniman serta pelaku lain dalam industri seni kita, tentu potensi ini ada. Tetapi potensi ini menurut saya justru dinihilkan oleh hal-hal yang seringkali bersifat teknis. Satu contoh problem adalah pengiriman karya seni dari luar negeri untuk masuk ke Indonesia. Bicara art fair berkualitas, tentu partisipannya bukan hanya galeri-galeri dan seniman-seniman lokal. Harus ada banyak nama-nama besar dari berbagai negara yang bergabung ke dalam suatu art fair agar bisa dikatakan berkualitas. Namun ada saja pihak-pihak yang mengurungkan niat untuk berpartisipasi dalam art fair di Indonesia, hanya karena was-was karya yang mereka kirimkan tertahan di customs.
Saya rasa usaha terbesar selama ini selalu dari pihak swasta, dan saya yakin pemerintah belum melihat sepenuhnya potensi yang dimiliki oleh industri seni kita. Apakah dimungkinkan, semisal, untuk dibebaskan bea masuk bagi pengiriman karya seni? Karena bila kita bisa memiliki art fair berkelas, dampak positifnya pasti tidak hanya dirasakan oleh pihak-pihak yang berkecimpung di dalam industri seni saja. Bayangkan dampak kolektif yang didapatkan oleh industri lain ketika semakin banyak seniman, galeri dan kolektor internasional yang bisa berpartisipasi serta tentunya hadir di Indonesia. Sesederhana dari sisi tindak konsumsi yang mereka lakukan saja, pasti sudah ada dampak positif. Di negara lain yang memiliki art fair yang maju, pemerintahnya masing-masing hampir selalu memberikan berbagai insentif/benefits untuk mendukung keberlangsungan dan keberhasilan art fair (serta partisipan art fair) tersebut.
Nurrachmat “Mas Ito” Widyasena
Seniman
Galeri dan seniman lokal beberapa tahun belakangan terus berpartisipasi dalam art fair di Indonesia maupun luar negeri. Menurut Anda, bagaimana representasi seni Indonesia di art fair yang pernah diikuti?
Sejauh yang saya alami dan lihat, apresiasi galeri dan seniman Indonesia cukup baik. Untuk di Asia Tenggara sendiri, saya melihat seniman-seniman Indonesia cukup bertaring dan gigih dalam berkarya. Kekaryaan seniman-seniman kita cukup berkembang dibandingkan dengan negara-negara tetangga kita di Asia Tenggara. Hanya saja hal ini tidak terlalu terdukung oleh pemerintah kita walaupun kita sudah melihat adanya peningkatan sejak didirikannya Bekraf.
Bicara seni yang dipamerkan di Indonesia, kini tidak luput dari tren selfie. Apakah ini jadi the new normal dan jadi pertimbangan galeri dalam memilih karya yang ditampilkan pada art fair?
Apabila melihat dari sudut pandang galeri, saya sendiri tidak dapat menjawab secara pasti, karena setiap galeri memiliki cara pandang dan pasarnya masing-masing. Tetapi bagi saya sendiri, apabila dalam sebuah pameran dimana komposisi karya-karyanya terdapat beberapa yang fotogenik, itu merupakan hal yang sangat lumrah dan baik.
Mengapa? Karena bagi saya sendiri, apresiasi yang paling mudah adalah dengan memotret karya tersebut dan mengunggahnya di media sosial. Secara langsung maupun tidak, hal tersebut menyebarluaskan karya seniman tersebut dan membuka peluang-peluang lain untuk karya dan seniman tersebut.
Hanya saja yang menjadi masalah disini adalah tindak laku dari yang melakukan selfie tersebut. Dimana terkadang karya tersebut sekadar dijadikan background dan tidak disebut nama seniman yang membuatnya.
Menurut Anda, apakah art fair secara tidak langsung ‘mendikte’ seniman untuk mengikuti tren demi menjawab demand?
Art fair merupakan infrastruktur seni yang bersifat pasar, dimana seni dipandang sebagai sebuah komoditas. Ibarat galeri adalah sebuah toko, maka seniman dan karyanya adalah produk yang diperjualbelikan. Apabila sebuah toko ingin bertahan dan meraih keuntungan, tentunya toko ini harus mengatur produk-produk yang didagangkan dan menjawab kebutuhan konsumen.
Berangkat dari hal tersebut, menurut saya pribadi, tidak dapat dipungkiri seorang seniman yang menjadikan seni sebagai mata pencaharian utamanya harus bisa membaca tren. Walaupun dengan tren tersebut, kita harus bisa mengolah kembali sesuai dengan gaya khas kekaryaan kita masing-masing. Tidak serta merta mengikuti tren yang sedang berkembang.
Sulit bagi seniman untuk bertahan tanpa bisa menjawab kebutuhan demand pasar. Hal ini dikarenakan infrastruktur akademis yang terfokus pada seni-seni non komersil tetapi penting bagi wacana seni rupa seperti museum, lembaga seni, dan pemerintah belum begitu kuat di Indonesia. Untuk saat ini barometer karya yang baik atau penting hanyalah art fair dan galeri.
Bagaimana potensi Indonesia untuk punya art fair yang jadi agenda internasional seperti Art Basel, atau yang lain art fair lainnya?
Seperti yang kita dengar sejak jaman sekolah SD, SMP, SMA. Indonesia itu memiliki potensi yang SANGAT BESAR, mulai dari sumber daya, jumlah penduduk, luas negara, dan lain sebagainya. Hal ini pun berlaku di dunia seni rupa Indonesia. Kita memiliki seniman-seniman hebat, manajemen seni yang sudah tahan banting, dan orang-orang yang sangat passionate dengan seni rupa itu sendiri.
Tetapi untuk mencapai art fair dengan skala internasional seperti Art Basel dsb, hal yang saya sebutkan tadi tidaklah cukup. Kita perlu memiliki infrastruktur yang lengkap dan kuat, didukung penuh oleh pemerintah. Dan saya rasa hal ini akan sedikit sulit untuk dicapai dalam waktu dekat. Karena seni merupakan kebutuhan tersier, dan pemerintah kita sendiri masih sibuk memenuhi kebutuhan primer seperti sandang, pangan, papan, dan pendidikan untuk negara kita.
Syagini Ratna Wulan
Seniman
Galeri dan seniman lokal beberapa tahun belakangan terus berpartisipasi dalam art fair di Indonesia maupun luar negeri. Menurut Anda, bagaimana representasi seni Indonesia di art fair yang pernah diikuti?
Dalam membangun jenjangnya (untuk galeri maupun seniman) berpartisipasi di art fair adalah salah satu ajang tumpuan yang harus dipertimbangkan selain juga kehadiran karya dan wacana seni di museum, biennale dan group show di luar negeri. Keduanya sendiri saling melengkapi dan menjadi bagian dari keutuhan dunia seni rupa yang sama. Representasi Indonesia di art fair internasional cukup kuat, namun masih belum berimbang dengan warisan pengetahuan dan keberagaman praktiknya, yang pada sisi lain juga memerlukan dukungan dan cakupan kuantitas
Bicara seni yang dipamerkan di Indonesia, kini tidak luput dari tren selfie. Apakah ini jadi the new normal dan jadi pertimbangan galeri dalam memilih karya yang ditampilkan pada art fair?
Budaya selfie memang meramaikan acara, seperti halnya dekorasi bunga rampai. Namun kita harus melihatnya dalam spektrum yang lebih luas, juga berlapis jenjangnya. Dan menurut pendapat saya, perihal selfie sendiri saja bukan menjadi dasar atau tumpuan tunggal dalam memilih karya yang ditampilkan di art fair. Tentu paparan dan pengalaman khalayak adalah hal yang penting, tapi penilaian dan pemilihan karya semestinya tetap punya kaidah karya terbaik secara teknis juga dalam pendalaman konsepnya.
Menurut Anda, apakah art fair secara tidak langsung ‘mendikte’ seniman untuk mengikuti tren demi menjawab demand?
Menurut saya kekuatan art fair tidak sebesar itu untuk mendikte seniman untuk mengikuti tren. Pada tingkatan tertentu barangkali justru sebaliknya. Banyak ajang-ajang dan gelombang besar lain di internasional arena yg membuat kita patut berpikir ulang tentang kedudukan dan tujuan kesenian kita bagi masa depan.
Bagaimana potensi Indonesia untuk punya art fair yang jadi agenda internasional seperti Art Basel, atau yang lain art fair lainnya?
Ini bergantung pada kesadaran bersama yang dapat kita bangun sebagai medan seni rupa yang besar. Sebagaimana segi wacana dan peredaran karya patutnya saling mengimbangi, hadirnya pekan seni atau art fair yang jadi penting juga harus diseimbangkan lini-lini lain, seperti exhibition making yang progresif, produksi wacana yang berkelanjutan, makin profesionalnya pelaku-pelaku seni, dan lain-lain.
Artati Sirman
Konsultan seni
Galeri dan seniman lokal beberapa tahun belakangan terus berpartisipasi dalam art fair di Indonesia maupun luar negeri. Menurut Anda, bagaimana representasi seni Indonesia di art fair yang pernah diikuti?
The theme, context or subject matter for the artworks in art fairs varies, so I cannot generalize per se, but what I can say is this, whether it be in a solo small to medium sized booth, or part of a group presentation, the representation of an artwork, and by extension, its corresponding artist, would most likely be an interesting one.
And the spectrum of the word “interesting” is quite wide: it could either be a current subject that he or she is exploring, to a never-before-seen piece that has finally resurfaced. It could be of the largest size made, or the teeniest of versions. It could be a work that complements another artist’s work, when displayed together, or one that contrasts other works. It may utilise the crowd, or it may be indifferent to the crowd’s presence.
I am not saying an art fair artwork is more interesting than a gallery one, but I would like to think that whichever work is brought, it will normally be an interesting one, or presented in an interesting manner.
Bicara seni yang dipamerkan di Indonesia, kini tidak luput dari tren selfie. Apakah ini jadi the new normal dan jadi pertimbangan galeri dalam memilih karya yang ditampilkan pada art fair?
I don’t necessarily think the ways of viewing artworks are structured rigidly, and so perhaps “selfie culture” is just another part of viewer’s exploration, in that it could be one of the earliest steps to appreciating works. However, I hardly think it is a core part of a gallery’s consideration in selecting works, for the reason that there are more essential aspects to be attended to.
Art fair is arguably one of the most intense exhibition platforms: there are hundreds/ thousands of artworks with limited area of display, all to be seen by a heavy traffic of visitors within just a few days. As such, each gallery would want to present their artists’ works in a visual and physical manner that is most complementary and effective, be it in terms of a work’s placement, the colour or layout of the booth’s walls, or the viewer’s experience. Some works may be highlighted more prominently, but due other attributes, e.g. the curational importance/ significance of size, not necessarily their selfie-magnet pull (laugh). For example, say, one of Anish Kapoor’s mirror sculptures may be displayed by a gallery, perhaps largely due to the work’s importance in the artist’s oeuvre, not because of its ability to attract viewers to take pictures of their reflections.
Menurut Anda, apakah art fair secara tidak langsung ‘mendikte’ seniman untuk mengikuti tren demi menjawab demand?
I don’t suppose there should be a conscious differentiation to the production of work in relation to where it is intended to be displayed, whether at an art fair or a gallery exhibition, the artist’s intention should remain unaffected by the venue. Nevertheless, they will probably take into consideration the physical limitations of the venue, like the height of area of display, or the access for loading in.
With regards to meeting trends, we have to return to the basic roles of players in an art ecosystem. The artist’s role, when exhibiting with a gallery, is to produce authentic wholesome work, independent from any responsibility of increasing the probability of sales, that is where galleries and dealers come in. And moreover, the latter’s roles is not necessarily to answer the demand of collectors or viewers, but more to promote and communicate the significance of a given artwork, to the point of confirming its sale. As long as this is kept in mind, I don’t think an art fair will dictate the nature of work.
Bagaimana potensi Indonesia untuk punya art fair yang jadi agenda internasional seperti Art Basel, atau yang lain art fair lainnya?
I think we are definitely on our way into establishing a strong regional presence in terms of hosting art fairs, you can see from the existing annual art fairs such as Art Jakarta (previously Harper’s Bazaar Art, now it its 11th year), or the annually themed ArtJog (previously Jogja Art Fair) in its 12th year, that continuously attract both regional galleries and visitors.
A lot of international galleries are also introducing their booths in our fairs, but in order to reach an agenda-level of international art trips, we also need to have our artists increasingly present globally in exhibitions, art fairs, residencies or biennales. Otherwise it’s just a one way street: international galleries coming in, but no international art fair visitors.
Bagus Pandega
Seniman
Galeri dan seniman lokal beberapa tahun belakangan terus berpartisipasi dalam art fair di Indonesia maupun luar negeri. Menurut Anda, bagaimana representasi seni Indonesia di art fair yang pernah diikuti?
Art fair dalam dunia seni nasional dan internasional sebagian besar bertitik pada galeri yang ikut berpartisipasi dalam art fair tersebut. Galeri itu yang menentukan siapa seniman yang akan dibawa dan dipromosikan dalam art fair yang diikuti. Selama ini dalam beberapa kesempatan art fair galeri dan seniman Indonesia cukup mendapat respons yang baik.
Bicara seni yang dipamerkan di Indonesia, kini tidak luput dari tren selfie. Apakah ini jadi the new normal dan jadi pertimbangan galeri dalam memilih karya yang ditampilkan pada art fair?
Kalau dari pengalaman saya, tren selfie bukanlah patokan galeri dalam memilih karya. Galeri dan seniman akan lebih menghargai pengunjung yang kritis menanyakan tentang proses dan pemikiran karya dari sang seniman, daripada sekadar menjadi sebuah “latar” selfie untuk pengunjung.
Menurut Anda, apakah art fair secara tidak langsung ‘mendikte’ seniman untuk mengikuti tren demi menjawab demand?
Tidak, semua tergantung dari individu seniman masing-masing. Mau jadi seniman yang bersifat follower sekadar untuk mengikuti pasar, atau seniman yang teguh pada konsep dan idealisme pemikirannya dan memiliki karakteristik yang sangat kuat. Ikut pada tren pasar menurut saya hanya akan membuat seniman tidak berkembang dan tidak memiliki jati diri.
Bagaimana potensi Indonesia untuk punya art fair yang jadi agenda internasional seperti Art Basel, atau yang lain art fair lainnya?
Untuk sekarang potensinya cukup baik ya. Tapi untuk membuat art fair di level Art Basel dibutuhkan sokongan tidak hanya pihak galeri dan organizer. Kita memerlukan art scene yang lebih aktif, dukungan pemerintah untuk menciptakan sistem bea cukai yang mempermudah logistik kegiatan-kegiatan seni, akses transportasi yang bersahabat dan nyaman untuk para pengunjung. Banyak faktor-faktor lainnya yang masih butuh diperhatikan untuk membangun art fair dengan taraf Art Basel.
Angga Cipta
Seniman Cut & Rescue
Galeri dan seniman lokal beberapa tahun belakangan terus berpartisipasi dalam art fair di Indonesia maupun luar negeri. Menurut Anda, bagaimana representasi seni Indonesia di art fair yang pernah diikuti?
Partisipasi seniman Indonesia di berbagai event art fair baik di dalam maupun di luar secara tidak langsung memperlihatkan dominasi Indonesia di Asia Tenggara. Indonesia mempunyai berbagai macam seniman yg aktif di art fair, festival/biennale dan atau keduanya. Hal ini memperlihatkan bagaimana generasi; baik yang muda dan tua, masih aktif berkarya dan terlibat dalam event besar. Praktik kesenian baik yang eksperimental ataupun berlabel proyek seni juga mampu hadir di art fair dan menjadi daya tarik.
Bicara seni yang dipamerkan di Indonesia, kini tidak luput dari tren selfie. Apakah ini jadi the new normal dan jadi pertimbangan galeri dalam memilih karya yang ditampilkan pada art fair?
Saya rasa ini adalah fenomena yang berkembang karena media sosial dan gawai yang semakin hari makin canggih dan memanjakan penggunanya untuk berfoto. Tak hanya di lingkup seni, fenomena selfie ini sebenarnya memang menjadi sebuah bukti eksistensi bagi publik kalau mereka hadir di berbagai event seni seperti art fair. Fenomena ini juga dilihat berbagai galeri untuk menghadirkan karya-karya yang punya daya tarik swafoto besar. Lucunya lagi jika seniman mempertimbangkan faktor selfie ini ke dalam karyanya, tak sedikit juga karya-karya seni menjadi banal hanya karena faktor “Instagrammable”.
Menurut Anda, apakah art fair secara tidak langsung ‘mendikte’ seniman untuk mengikuti tren demi menjawab demand?
Harus saya jawab “iya” ketika seniman bertumpu pada art fair untuk menunjang praktik keseniannya. Sama seperti sektor kesenian lainnya yang sifatnya komersil. Terkadang karya atau proyek seni juga ada yang – semacam – disesuaikan untuk kepentingan display di ajang seperti art fair.
Bagaimana potensi Indonesia untuk punya art fair yang jadi agenda internasional seperti Art Basel, atau yang lain art fair lainnya?
Potensi seperti itu sepertinya tergantung dari andil pemerintah juga yang bisa ikut support sektor pariwisata dan infrastruktur. Maksudnya untuk promosi semacam visit Indonesia dan ketersediaan venue yang layak untuk art fair sangat dibutuhkan untuk menghadirkan event seni se-ambisius itu.
Ignatia Nilu
Kurator
Galeri dan seniman lokal beberapa tahun belakangan terus berpartisipasi dalam art fair di Indonesia maupun luar negeri. Menurut Anda, bagaimana representasi seni Indonesia di art fair yang pernah diikuti?
Harus diakui bahwa art fair adalah salah satu platform yang turut mendukung dan mempromosikan karya seni seniman Indonesia di dunia Internasional. Melalui partisipasi galeri Indonesia maupun galeri internasional yang melibatkan seniman Indonesia, kesempatan para seniman untuk menampilkan karya-karyanya di publik internasional menjadi lebih besar lagi. Dan yang lebih menarik adalah, format presentasinya beragam, dari pameran bersama hingga pameran tunggal. Setidaknya beberapa seniman Indonesia mendapatkan apresiasi positif dalam pameran bersama galeri di dalam format art fair. ROH Project, galeri yang berbasis di Jakarta, adalah salah satu galeri Indonesia yang sangat aktif untuk mempromosikan seniman Indonesia, yang sebagian besar adalah seniman muda.
Bicara seni yang dipamerkan di Indonesia, kini tidak luput dari tren selfie. Apakah ini jadi the new normal dan jadi pertimbangan galeri dalam memilih karya yang ditampilkan pada art fair?
Swafoto/selfie adalah fenomena baru dari bentuk apresiasi seni. Yang menarik adalah, bentuk apresiasi baru ini memanfaatkan fitur industri teknologi internet yakni media sosial. Sehingga dengan kata lain, para apresiannya membangun medianya masing-masing untuk mengapresiasi karya seni yang disukainya dan menurutnya memiliki relasi personal dengan dirinya. Perilaku ‘warganet/netizen’ terhadap karya seni telah menjadi fenomenanya tersendiri dan tidak sedikit yang tetap memiliki jarak dengan realitas karya itu sendiri, seperti keberjarakan atas konteks karya, pengetahuan atas perupanya.
Sekurangnya dalam tujuh tahun belakangan, posisi seni rupa telah mengalami perubahan posisi. Meskipun seni rupa tetap akan memiliki posisinya yang eksklusif, namun di hari-hari ini, Ia telah menjadi sebuah gaya hidup dan kebutuhan baru di dalam masyarakat kita. Dan kemungkinan atas posisi ini, juga memiliki nilai positif, khususnya jika dilihat bahwa konsumsi seni telah terjadi bagi siapa saja, dan tidak hanya di ruang konvensional seperti museum dan galeri saja, tapi bisa di art fair, kafe, di hotel, di ruang publik, di ruang virtual, dan ruang-ruang lainnya. Bagi beberapa perupa, tentunya hal ini menarik untuk dielaborasi menjadi bentuk yang lebih spekulatif dan interaktif.
Menurut Anda, apakah art fair secara tidak langsung ‘mendikte’ seniman untuk mengikuti tren demi menjawab demand?
Sebagai salah satu bentuk dari festival seni, art fair muncul dengan sifat khusus yakni memiliki aspek komersial. Art fair umumnya hadir dengan melibatkan partisipasi galeri dan setiap galeri memiliki otonomi untuk mengkurasi siapa saja seniman yang dilibatkan serta karya seperti apa yang dirasa dapat mewakili presentasi gagasan yang kuat dan memiliki nilai komersial dan transaksi jual beli.
Art fair menjadi ruang bertemunya karya-karya seniman dengan para penggemarnya, penikmatnya yang berada di posisi klien yang kita sebut sebagai kolektor. Salah satu art fair tertua di dunia Art Cologne di tahun 1967 dan Art Basel di tahun 80-an fenomenal dengan kemampuannya mendatangkan ribuan pengunjung dalam waktu singkat (kurang dalam seminggu). Sederet seniman papan atas dan para seniman muda yang terpilih dipamerkan dengan melibatkan peranan dari banyak pihak. Karya-karya top ten yang terjual akan mendapatkan sorotan dunia internasional, baik media, publik seni dan para stakeholders. Formasi ini juga dapat dibaca sebagai agen katalisator bagi seniman muda. Tidak jarang karya-karya yang sangat eksperimental justru terapresiasi dan memiliki eksposur yang lebih ketika dipamerkan di art fair.
Bagaimana potensi Indonesia untuk punya art fair yang jadi agenda internasional seperti Art Basel, atau yang lain art fair lainnya?
Kita semua sangat antusias menyambut Art Jakarta yang akan diselenggarakan di bulan depan di Jakarta. Dengan diikuti oleh sekurang-kurangnya 70 galeri terkemuka dari Indonesia dan internasional. Disertai dengan ragam program mulai dari program eksebisi, edukasi, charity dan masih banyak lagi, tentunya kemungkinan ini sangat ditunjang oleh potensi dan kuantitas dari seniman-seniman asal Indonesia yang berkualitas. Karya-karya seniman kita keren-keren, dan dengan latar budaya yang kita punya, ini merangsang munculnya identitas yang unik dari karya-karya seniman dari Indonesia. Dengan didukung dengan pengelolaan keseluruhan kegiatan yang representatif, kita sangat berpotensi untuk mengundang publik internasional untuk melihat karya-karya seniman Indonesia sekaligus memahami posisi dan konteksnya. Kesatuan ini akan menjadi format yang segar dan pastinya menarik siapapun dari banyak penjuru negara untuk hadir.
Agung “Agugn” Prabowo
Seniman
Galeri dan seniman lokal beberapa tahun belakangan terus berpartisipasi dalam art fair di Indonesia maupun luar negeri. Menurut Anda, bagaimana representasi seni Indonesia di art fair yang pernah diikuti?
Bagi saya, peran art fair yang merepresentasikan seni rupa kontemporer Indonesia semakin beragam, sebagai bagian dari infrastruktur dunia seni rupa, art fair telah menjalankan porsinya yaitu platform berjualan.
Bicara seni yang dipamerkan di Indonesia, kini tidak luput dari tren selfie. Apakah ini jadi the new normal dan jadi pertimbangan galeri dalam memilih karya yang ditampilkan pada art fair?
Iya kedua hal tersebut benar adanya. Meski tidak semua galeri bertolak ukur pada tren selfie sebagai pertimbangan pemilihan karya yang akan ditampilkan, tren selfie ini tetap memiliki kekuatan untuk menyebarluaskan imej secara efisien ketika disuguhkan di media sosial.
Menurut Anda, apakah art fair secara tidak langsung ‘mendikte’ seniman untuk mengikuti tren demi menjawab demand?
Ya sebagai wadah berjualan, apapun yang akan ditampilkan sebaiknya terjual. Setiap galeri memiliki kacamata dan pendekatan yang berbeda untuk menyajikan karya seni sebagaimana keragaman pasar (demand) yang ada atau bisa dibuat. Namun hal ‘mendikte’ ini tidak selalu terjadi. Baik langsung ataupun tidak, seorang seniman memiliki hak penuh atas capaian karyanya. Ikuti demand atau tren sebaiknya bukan menjadi dorongan tunggal penciptaan sebuah karya seni. Dorongan dominannya seharusnya tetap dari hati dan jiwa sang seniman untuk menjawab keresahannya.
Bagaimana potensi Indonesia untuk punya art fair yang jadi agenda internasional seperti Art Basel, atau yang lain art fair lainnya?
Kelihatannya sangat berpotensi, dan saya yakin banyak pihak yang sudah memiliki visi ini dan banyak juga yang sudah melaksanakannya.
Ady Nugeraha
Kurator
Galeri dan seniman lokal beberapa tahun belakangan terus berpartisipasi dalam art fair di Indonesia maupun luar negeri. Menurut Anda, bagaimana representasi seni Indonesia di art fair yang pernah diikuti?
Saya rasa representasi seni rupa Indonesia dalam art fair terus meningkat, terutama sejak akhir 2000-an. Kalau di art fair lokal, sudah pasti sebagian besar yang ditampilkan seniman Indonesia. Beberapa galeri di level regional (Singapura, Filipina, Hong Kong) juga sudah mulai merepresentasikan seniman Indonesia di art fair kawasan Asia, misalnya di Art Stage Singapore, Art Basel Hong Kong, Art Manila, dan Art Taipei. Di Asia Tenggara, Indonesia masih menjadi salah satu pasar terbesar, dengan potensi seniman sangat beragam.
Bicara seni yang dipamerkan di Indonesia, kini tidak luput dari tren selfie. Apakah ini jadi the new normal dan jadi pertimbangan galeri dalam memilih karya yang ditampilkan pada art fair?
Sebenarnya tren selfie bukan hanya di Indonesia, tetapi di seluruh dunia sih. Saya rasa tren ini tidak perlu ditanggapi dengan preseden buruk. Tren ini kan salah satu dampak dari semakin tingginya penetrasi media sosial, yang sebenarnya tidak terhindarkan. Selfie itu kan salah satu cara publik untuk mengapresiasi karya seni, walaupun bisa dibilang dalam level sangat permukaan. Tetapi selfie bisa jadi pintu masuk bagi publik yang lebih luas untuk mulai mengapresiasi karya seni dan juga marketing tools yang ‘affordable’ buat para galeri dan seniman.
Soal apakah tren selfie jadi pertimbangan galeri untuk memilih karya, saya rasa itu bukan faktor yang dominan. Dalam konteks art fair, tentu saja pertimbangan utama para galeri adalah profit. Kalau ternyata akhir-akhir ini lebih banyak karya-karya dalam art fair yang ternyata ‘Instagrammable’, menurut saya lebih karena belakangan ini karya-karya seni kontemporer seperti instalasi, yang sifatnya masif atau interaktif sudah jauh lebih bisa diterima pasar dan publik. Nah karya-karya semacam itu kan tentu lebih menarik buat dijadikan bahan selfie dibanding lukisan.
Menurut Anda, apakah art fair secara tidak langsung ‘mendikte’ seniman untuk mengikuti tren demi menjawab demand?
Art fair, sebagai sebuah ajang pameran besar dan tempat berkumpulnya para seniman, galeri, kolektor, media, kurator, dll tentu saja bisa jadi sebuah parameter perkembangan seni rupa di sebuah kawasan. Kalau kita perhatikan, sejak 2000-an banyak art fair yang mulai berevolusi, tidak sekadar jadi ajang jual-beli karya, tapi juga menampilkan gagasan-gagasan artistik baru. Beberapa art fair mulai memasukkan kerja kuratorial dan membuat berbagai program presentasi khusus atau program publik seperti diskusi panel. Contoh paling gamblang ya ArtJog, ia tidak pakai sistem art fair konvensional dimana pesertanya adalah galeri. ArtJog sejak awal menggunakan format seperti ‘biennial’ di mana karya-karya yang ditampilkan dipilih oleh kurator berdasarkan kerangka kuratorial yang dia buat.
Nah soal apakah art fair ‘mendikte’ seniman, kita harus kembali lagi ke definisi art fair. Pada hakikatnya, art fair itu adalah bursa jual-beli karya seni. Jadi pasti selalu ada mekanisme pasar seperti supply & demand di dalamnya. Tentu saja karena art fair konteksnya adalah pameran komersial, seniman akan memamerkan karya yang sifatnya lebih komersial, dan itu sah-sah saja. Karena menurut saya seniman yang bagus adalah seniman yang bisa menyesuaikan dengan konteks dimana karyanya dipamerkan, siapa publiknya, dan apa tujuan pamerannya.
Bagaimana potensi Indonesia untuk punya art fair yang jadi agenda internasional seperti Art Basel, atau yang lain art fair lainnya?
Art fair di Indonesia sudah jauh berkembang sejak 10 tahun terakhir. Sekarang di Indonesia ada ArtJog, Art Jakarta (dulunya Bazaar Art Jakarta), Art Moments, beberapa tahun lalu Art Stage sempat diadakan sekali, dan sejak tahun lalu ada Art Bali. Seluruh art fair tersebut sekarang sudah bisa dibilang internasional, dalam artian setiap edisinya selalu berhasil mendatangkan kolektor, seniman, atau galeri dari luar negeri, terutama di wilayah Asia Tenggara, Tiongkok, Hong Kong, Jepang, dan Taiwan.
Ya kalau dibandingkan dengan Art Basel, yang umurnya sudah hampir 50 tahun, tentu saja masih panjang perjalanannya. Tapi saya rasa kalau infrastruktur dan jejaring para pelaku seni di Indonesia terus membaik, sangat mungkin untuk art fair di Indonesia untuk berkembang menjadi lebih besar lagi, terutama mengingat bahwa Indonesia merupakan salah satu pasar seni rupa terbesar di Asia Tenggara.
Melin Merrill
Founder Project Mei
Galeri dan seniman lokal beberapa tahun belakangan terus berpartisipasi dalam art fair di Indonesia maupun luar negeri. Menurut Anda, bagaimana representasi seni Indonesia di art fair yang pernah diikuti?
If we look at the facts, that there are only a handful of Indonesian galleries that are actively participating in international art fairs bringing the works of Indonesian artists, we can assume that, the representation of Indonesian art does not represent a large breadth of artists that exist. Because each gallery could bring only a few selected artists to showcase. However, there are many Indonesian artists whose work are represented by international galleries in these art fairs.
If we look at the participation of Indonesian galleries in local art fairs, we can notice a healthy participation. These local galleries normally showcase the works of Indonesian artists. Therefore, I think that locally, the works of Indonesian artists are represented better in local art fairs, in comparison to international art fairs, by the sheer amount of Indonesian galleries that participate in international art fairs.
Bicara seni yang dipamerkan di Indonesia, kini tidak luput dari tren selfie. Apakah ini jadi the new normal dan jadi pertimbangan galeri dalam memilih karya yang ditampilkan pada art fair?
The type of artwork that a gallery decides to showcase in a fair, depends on the main agenda why the gallery is participating, and it depends on the type of fair it is in. Of course, everyone wants to sell during any show. However, sometimes other considerations comes into play whether, the main focus is to market and brand the artist/gallery, mainly to sell artworks or, to equally focus on both? It is becoming more apparent, at least in Indonesia, that if an artwork receives a lot of social media attention through selfies, it helps extend the promotion of the artwork and the artist. However, I don’t think an artwork is ever chosen merely for the selfie appeal, it is an added bonus.
Menurut Anda, apakah art fair secara tidak langsung ‘mendikte’ seniman untuk mengikuti tren demi menjawab demand?
At the end of the day, it depends on how individual the artist and the gallery is. While art fair informs the market’s taste, some artists are very aware of not wanting their work to be influenced by the trend, because it has nothing to do with their work. Other artists may be more receptive to market trends, and perhaps would respond to them in their work.
Bagaimana potensi Indonesia untuk punya art fair yang jadi agenda internasional seperti Art Basel, atau yang lain art fair lainnya?
If we are talking about potential, the potential is there. I am no expert, but to make an international art fair that is comparable to Art Basel, requires a lot of things to come together. Aside from a strong art fair program, a city must have a thriving art community that is supportive of each other.