Menilik Perkembangan Ekosistem Festival Musik di Indonesia
Beberapa tokoh industri musik berbagi opini tentang perkembangan ekosistem festival musik di Indonesia, mulai dari Sal Priadi hingga Teguh Wicaksono.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Billy Dewanda
Desain: Tiana Olivia
Menghadiri festival musik sudah menjadi kegiatan hiburan yang kian digemari masyarakat, khususnya penikmat musik. Maraknya festival musik di Indonesia pastinya terus berkembang seiring berjalannya waktu dengan kemunculan festival musik baru yang turut menyediakan tempat, baik bagi musisi lokal maupun internasional untuk tampil di hadapan penggemarnya. Tidak hanya menghadirkan musisi bertalenta, tak jarang sebuah festival musik menyajikan pengalaman yang berbeda dalam menikmati festival musik. Dengan keadaan seperti ini, tentu memberikan dampak yang begitu besar bagi industri ini. Melihat kondisi ini, kami berbincang dengan sederet sosok yang berkecimpung dalam industri musik tentang perkembangan festival musik di Indonesia dari tahun ke tahun.
Teguh Wicaksono
Creator of Archipelago Festival and Co-Founder Sounds From the Corner
Dengan kemunculan festival musik baru di setiap tahunnya, bagaimana Anda melihat perkembangan kultur penikmat musik di Indonesia?
Menurut saya, festival musik semakin banyak artinya mereka menargetkan audiens yang berbeda-beda. Ada fase di mana dulu kita hanya punya festival-festival selevel Java Rockin’Land, lalu ada We The Fest untuk acara yang besar. Sekarang, bentuk festival lebih banyak dan bervariasi. Artinya, konten dan musik yang disuguhkan juga berbeda-beda. Jadi, seiring perkembangan festival yang semakin banyak, artinya mereka menarik audiens yang lebih bervariasi lagi. Penikmat musik jadi semakin bisa memilih untuk datang ke festival musik dengan melihat dari segi musik yang dihadirkan, bisa dari tema apa yang diusung, dan bisa juga dari lokasi diadakannya festival musik tersebut. Akhirnya, dampak untuk perkembangan kulturnya jadi banyak market share musik yang diterapkan di festival-festival musik ini.
Musisi internasional tidak jarang diundang sebagai headliner suatu festival musik lokal, boleh ceritakan pengaruh langsung hal ini terhadap band-band lokal yang tampil di acara yang sama?
Pengaruh kalau dari artisnya gak ada sih. Kalau dari consumer dan musisinya, sudah bukan zamannya lagi buat dibeda-bedakan sih. Musisi lokal punya daya tawar yang cukup besar dan berbeda dengan musisi internasional. Band lokal Indonesia punya value-nya sendiri. Kayaknya, dari festival musiknya sendiri sudah established kalau mereka sudah bisa melihat bobot dari musisi lokal, kita bukan lagi mental band internasional. Treatment band lokal dan internasional juga berbeda dari segi festival organizer-nya. Tapi menurut saya sekarang sudah tidak begitu, dengan adanya akses dan orang-orang udah mulai familiar sama band Indonesia, akhirnya persepsi dari consumer dan musisi seharusnya tidak perlu dibedakan lagi. Beda ceritanya pada waktu itu contohnya Metallica yang dibuka sama Seringai, itu hal yang berbeda.
Sekarang sudah banyak promotor musik bermunculan, mulai dari yang berskala komunitas hingga besar. Apakah hal ini menunjukkan ketatnya persaingan di antara para promotor, dan apa dampaknya bagi ekosistem festival musik di Indonesia?
Menurut saya, kita sekarang masih dalam masa euforia aja sih, apalagi Jakarta. Kalau pada segmen lifestyle, di Indonesia memang ada bubble-nya yang burst karena orang lihat tren, lihat opportunity, lihat antusiasme juga dari orang-orang. Dengan adanya promotor-promotor ini sederhana karena lagi banyak yang riding to ways, artinya ini sama seperti zamannya orang jadi promotor band internasional waktu 2010, ibaratnya mereka melihat kesempatan aja.
Tapi balik lagi hanya kepada orang-orang konsisten saja. Bicara persaingan pasti ada dan ada beberapa elemen juga yang lumayan tricky, misalkan ada orang yang punya power yang besar, akhirnya mereka berani bawa band A, B, atau C dari luar Indonesia mereka mainnya mahal-mahalan. Itu akan ada impact juga ke komunikasi di antara promotor-promotor ini. Artinya dengan banyaknya promotor ini, marketnya sehat, mereka tetap bisa membuat sesuatu yang ada demandnya.
Saat melihat line up dari festival musik kebanyakan, terdapat formula yang dapat disimpulkan, yakni adanya musisi penguasa charts, talenta baru, dan pembawa nostalgia. Apakah formula ini satu-satunya hal yang menentukan sukses atau tidaknya suatu festival?
Menurut saya, semua formula itu akan bekerja kalau memang membuat ini jadi ajang bisnis. Memang tidak bisa dipungkiri, festival musik memang angle bisnisnya yang besar. Mulai dari festival saya mau didatangkan orang yang banyak dan memang ada formula-formula tersebut yang terbukti ampuh untuk membuat orang datang. Tapi menurut saya, itu bukan satu-satunya faktor sebuah festival itu berkualitas atau tidak. Menurut saya, festival musik berkualitas itu harus punya karakter, artinya mereka tahu apa yang mau mereka jual. Kalau mereka memang menjual nostalgia ya tidak apa-apa. Sekarang line up itu menurut saya sesuatu yang krusial buat festival. Tapi saya tidak melihat ada turnover yang cepat. Karena festival itu salah satu momen kala audiens bertemu musisi-musisi, seperti mereka lihat musisi baru dan dikasih exposure.
Ibaratnya, dari tiga tahun lalu sampai sekarang yang ada di line up paling tinggi festival itu band-band yang sama. Menurut saya, festival musik itu tidak berkontribusi terhadap industrinya. Artinya, mereka tidak punya attitude untuk me-recycle acts atau performer yang baik untuk scene itu. Tapi di saat yang sama, saya bisa berpikir bahwa dari itung-itungan bisnis itu masih masuk akal. Misalkan saya datangkan Coldplay, bayar 10M tapi nanti orang yang datang ada 20 juta orang, lalu saya dapat 12M jadi untung 2M. Jadi saya tidak sepakat kalau itu adalah satu-satunya formula untuk menentukan festival itu berhasil atau tidak.
Siapa musisi impian yang ingin Anda tonton?
Saya akan nonton The Cure di Fuji Rock, tapi saya menunggu Radiohead deh main di Jakarta.
Argia Adhidhanendra
Co-Founder Noisewhore
Dengan kemunculan festival musik baru di setiap tahunnya, bagaimana Anda melihat perkembangan kultur penikmat musik di Indonesia?
Tentunya lebih terbuka di satu sisi. Kita bisa menjadi lebih receptive terhadap musik yang disajikan oleh festival-festival yang sedang melambung frekuensinya. Tapi dari apa yang saya lihat, kita hanya terbuka oleh satu jenis musik saja. Meningkatnya jumlah festival, menurut saya, tidak diimbangi dengan perkembangan gelaran dalam jenis lain, atau bahkan festival jenis lain di sini. Semua orang berlomba-lomba membuat festival, dan semua orang berlomba-lomba datang ke festival. Sebenarnya sah-sah saja andaikan festival disini tidak terlalu homogen, terutama di Jakarta.
Musisi internasional tidak jarang diundang sebagai headliner suatu festival musik lokal, boleh ceritakan pengaruh langsung hal ini terhadap band-band lokal yang tampil di acara yang sama?
Saya pikir ini praktik yang lumrah. Toh, tujuan festival memang mengundang orang sebanyak mungkin ke suatu gelaran, sehingga line up-nya pun harus disukai secara universal oleh target market festival tersebut. Mungkin untuk penampil lokal kelas atas hingga menengah ini bukan masalah besar, saya rasa ada atau tiadanya musisi internasional tidak akan merubah jumlah panggung maupun perhatian audiens mereka secara signifikan. Mungkin masalahnya lebih ke band-band showcase atau submission yang diadu untuk slot main di festival bersangkutan. Sebenarnya sah-sah saja sih toh bandnya sendiri yang mengajukan diri, cuma menurut saya dari pihak festival dan bahkan bandnya sendiri seharusnya sadar bahwa komodifikasi seperti ini hanya menguntungkan satu pihak. Setidaknya, pihak festival harus menghargai jerih payah band-band submission yang terkadang harus sampai diadu ini, jangan ditaruh pagi sekali. Mereka dibayar sekian persen dari band-band lain, kadang tidak dibayar, dan perjuangannya juga jauh lebih sulit dibanding band lain. Saya rasa harus ada perbaikan di sana.
Sekarang sudah banyak promotor musik bermunculan, mulai dari yang berskala komunitas hingga besar. Apakah hal ini menunjukkan ketatnya persaingan di antara para promotor, dan apa dampaknya bagi ekosistem festival musik di Indonesia?
Jelas. Dari 2017, saya merasakan sendiri bagaimana banyak promotor bermunculan. Saya rasa dampaknya dua arah. Bagi audiens, ini merupakan hal yang baik, dalam jangka pendek. Kita sekarang kedatangan artis luar sebulan sekali, baik dalam kapasitas headline show maupun festival. Namun bagi pelaku industri, banyak praktek yang harus diperbaiki nantinya. Persaingan cutthroat seperti ini membuat pasar kita (Indonesia) memiliki gelembung tersendiri, promotor-promotor yang reckless bisa menawar suatu artis 2-3 kali harga pasar Asia. Tentu, ini merupakan konsekuensi bisnis. Namun, dalam industri yang tidak stabil seperti industri musik ini, kita tidak bisa menerapkan asumsi pasar seperti ini dalam face value, konsekuensinya bisa berlipat ganda.
Saat melihat line up dari festival musik kebanyakan, terdapat formula yang dapat disimpulkan, yakni adanya musisi penguasa charts, talenta baru, dan pembawa nostalgia. Apakah formula ini satu-satunya hal yang menentukan sukses atau tidaknya suatu festival?
Itu mungkin formula besar yang diikuti hampir semua festival populer hari ini dan terbukti ampuh untuk meraup massa dan dana yang diperlukan. Namun saya percaya itu bukan satu-satunya cara untuk “sukses”, mungkin sukses secara finansial iya. Festival dalam kurasi genre yang kohesif juga menarik. Nusasonic contohnya. Barometer sukses dalam suatu festival sangat luas, namun bagi saya, festival yang sukses adalah festival yang dapat melahirkan audiens-audiens baru bagi band-band yang tampil di sana. Festival memiliki keunikan tersendiri di mana audiens yang datang sangat masif, untuk berbagai alasan, bisa untuk artis headliner, bisa untuk berkumpul saja dengan teman-teman atau alasan lainnya. Saat festival tersebut bisa mengekspos pendatang-pendatang ini terhadap musik baru yang disajikan dalam festival ini, maka festival itu bisa saya katakan sukses. Banyak musisi yang saya ketahui dari datang ke festival-festival musik.
Siapa musisi impian yang ingin Anda tonton?
IDLES, Savages, Daniel Johnston.
Sal Priadi
Musisi
Dengan kemunculan festival musik baru di setiap tahunnya, bagaimana Anda melihat perkembangan kultur penikmat musik di Indonesia?
Kalau melihat kemunculan festival musik baru setiap tahun, sepertinya sekarang semakin beragam festival musik yang mengedepankan experience sebenarnya. Maksudnya tidak hanya pagelaran musik, tapi ada juga exhibition part di dalamnya misalkan attraction lain ada yang pake dresscode. Akhirnya penikmat musik di Indonesia jadi punya yang mereka cari adalah experience dengan konsep berbeda-beda. Jadi bukan sekadar menikmati musik, tapi lebih menikmati experience, pengalaman dan sensasi barunya ketika mereka masuk ke festival musik dari festival musik ke festival musik lainnya.
Musisi internasional tidak jarang diundang sebagai headliner suatu festival musik lokal, boleh ceritakan pengaruh langsung hal ini terhadap band-band lokal yang tampil di acara yang sama?
Kalau kedatangan international artist di festival lokal, yang paling berasa berimbas ke performer lokalnya ya bisa merambah audiens lebih luas. Tapi yang seru kalau akhirnya di balik panggung bisa ngobrol, bisa kenalan langsung sama manajemennya, sama tim produksinya, kenalan sama artisnya langsung. Belum pernah mengalami itu, tapi dengar cerita dari adik; adik saya DJ, dia beberapa kali main dengan DJ internasional. Kata dia, yang paling penting itu menurutnya bukan audiensnya, justru ketika bisa networking sesama performer.
Sekarang sudah banyak promotor musik bermunculan, mulai dari yang berskala komunitas hingga besar. Apakah hal ini menunjukkan ketatnya persaingan di antara para promotor, dan apa dampaknya bagi ekosistem festival musik di Indonesia?
Kalau saya sih dari sudut pandang penikmat ya, dari sudut pandang orang yang datang ke festival musik. Kalau persaingan pasti ada, tapi yang lebih terasa berat tuh yang promotor-promotor kelas atas yang mendatangkan international artist dengan modal milyaran, let say gitu. Tapi kalau skalanya komunitas sepertinya jadi seru ya. Banyak artis-artis independen yang punya fanbase cukup besar di sini, namun secara popularitas tidak sebesar Justin Bieber atau international artist lainnya. Itu bisa terjamah sama promotor-promotor baru. Semakin banyak promotor, semakin banyak experience rasanya yang ditawarkan, karena dari sisi kreatif tidak mungkin bertahan dengan ide yang itu-itu saja. Nah, kita sebagai penikmat akhirnya bisa menikmati banyak experience dari festival-festival musik yang mereka buat.
Saat melihat line up dari festival musik kebanyakan, terdapat formula yang dapat disimpulkan, yakni adanya musisi penguasa charts, talenta baru, dan pembawa nostalgia. Apakah formula ini satu-satunya hal yang menentukan sukses atau tidaknya suatu festival?
Untuk formula line up kayaknya memang selalu begitu ya, ada penguasa charts, ada talenta baru, ada nostalgia. Tapi kami semua tahu bahwa di dalam sebuah festival musik, banyak hal perintilan-perintilan lainnya yang tidak kalah penting dari hanya menciptakan line up yang keren. Let’s say promosi, branding, production team yang kuat, budgeting yang benar-benar ketat dan terhitung. Nah hal-hal yang seperti itu kan yang tidak bisa diprediksi, line up sudah keren tapi sisi lainnya tidak bekerja dengan baik, akhirnya juga festival musiknya tidak gerak sih.
Siapa musisi impian yang ingin Anda tonton?
Mau banget nonton Sting. Stevie Wonder juga belum pernah nonton. Jacob Collier kali ya yang mungkin bisa dihadirkan di sini. Ya semuanya mungkin sih, ya mudah-mudahan lah segera bisa nonton mereka-mereka itu.
Coldiac
Band
Dengan kemunculan festival musik baru di setiap tahunnya, bagaimana Anda melihat perkembangan kultur penikmat musik di Indonesia?
Kalau menurut kami penikmat musik sekarang jadi lebih konsumtif, itu juga karena semakin mudahnya akses informasi untuk bisa menikmati musik-musik baru, baik sengaja atau tidak sengaja. Nah dengan banyaknya festival yang muncul mungkin ini bisa jadi salah satu tempat di mana para penikmat musik bisa mencari musisi baru favorit mereka. Intinya, saat ini musik dan penikmat musik mulai kehilangan temboknya, semua punya kesempatan untuk saling bersentuhan.
Musisi internasional tidak jarang diundang sebagai headliner suatu festival musik lokal, boleh ceritakan pengaruh langsung hal ini terhadap band-band lokal yang tampil di acara yang sama?
Kalau jamnya bersamaan tapi beda stage jadi jiper kali ya? (Tertawa) bercanda. Tapi yang jelas ya senang lah ya bisa main bareng di satu festival bareng banyak musisi-musisi lain. Pengaruhnya justru positif untuk bandnya sendiri, jadi terpacu untuk bikin performance-nya lebih menarik lagi. Dan band lokal bisa denger band internasional dan band internasional bisa dengar juga band lokal. Kalau bagi Coldiac, kami percaya semua punya tempat masing-masing di hati pendengar.
Sekarang sudah banyak promotor musik bermunculan, mulai dari yang berskala komunitas hingga besar. Apakah hal ini menunjukkan ketatnya persaingan di antara para promotor, dan apa dampaknya bagi ekosistem festival musik di Indonesia?
Ketat bisa jadi, makin banyak pelakunya, pasti akan jadi trigger juga untuk akan adanya sesuatu yang lebih besar, menarik dan punya manfaat bagi ekosistem festival musik di Indonesia, semoga alam juga bekerja untuk musik Indonesia lebih berkembang lagi (tertawa).
Saat melihat line up dari festival musik kebanyakan, terdapat formula yang dapat disimpulkan, yakni adanya musisi penguasa charts, talenta baru, dan pembawa nostalgia. Apakah formula ini satu-satunya hal yang menentukan sukses atau tidaknya suatu festival?
Kalau salah satu formula bisa jadi ya, dengan adanya banyak musisi dengan background yang beragam pasti akan mendatangkan pendengar yang beragam. Akhirnya para pendengar juga bisa explore musik musik baru atau performance yang selama ini menarik tapi belum sampai aja ke telinga dan mata para pendengar
Siapa musisi impian yang ingin Anda tonton?
Radiohead, Tyler The Creator, Jamiroquai, Toe, Spice Girls, Roxette.
Hasief Ardiasyah
Jurnalis
Dengan kemunculan festival musik baru di setiap tahunnya, bagaimana Anda melihat perkembangan kultur penikmat musik di Indonesia?
Tiap ada desas-desus akan ada festival musik baru, para penikmat musik terutama warganet akan menyampaikan aspirasinya seputar artis-artis yang diharapkan akan dibawa. Lalu ketika nama-nama artis yang akan tampil dan harga tiket diumumkan, mereka akan merengek dan bahkan memaki di media sosial karena artis kesukaan mereka tidak dibawa (padahal memang tak pernah ada indikasi akan dibawa) dan merasa harga tiket kemahalan. Lalu mereka akan berusaha mencari tiket dengan harga miring atau bahkan gratis karena tidak ingin ketinggalan. Lalu mereka akan hadir, dan setelah acara selesai mereka akan mencari hal lain untuk dikeluhkan.
Singkat kata, tak jauh beda dengan kultur penikmat musik di luar Indonesia. Mungkin sedikit lebih berisik.
Musisi internasional tidak jarang diundang sebagai headliner suatu festival musik lokal, boleh ceritakan pengaruh langsung hal ini terhadap band-band lokal yang tampil di acara yang sama?
Artis internasional akan selalu lebih diprioritaskan dalam segala hal. Itu wajar saja karena promotor sudah bayar mahal untuk mendatangkan mereka ke Indonesia, dan mereka pula yang seharusnya akan membuat festival itu menjadi ramai ditonton. Jadi promotor akan melakukan semua yang perlu dilakukan agar para headliner dapat tampil dengan maksimal.
Tentu saja diharapkan artis internasionalnya ramah dan kooperatif, tapi ada-ada saja cerita-cerita kurang mengenakkan yang dialami band lokal, seperti jatah waktu soundcheck mereka jadi terpotong sebelum waktu yang sebelumnya disepakati, atau volume suara saat mereka tampil dibatasi dan tidak boleh melebihi volume headliner. Tapi suka tidak suka, memang ada hirarki yang tak bisa dihindari. Lebih fatal bagi promotor jika artis internasionalnya tidak puas di momen itu. Jika artis lokalnya tidak puas dan berkoar di media sosial, itu akan ramai untuk beberapa saat (“Tolak perlakuan diskriminatif terhadap musisi lokal!”) lalu terlupakan karena tergeser oleh meme bodoh terbaru di hari itu.
Bukan berarti berbagi panggung dengan artis internasional pasti akan serba buruk. Banyak hal positif yang bisa didapat dari pengalaman itu yang dapat berguna di kemudian hari, tergantung dari jeli tidaknya sang artis lokal dalam membaca situasi.
Sekarang sudah banyak promotor musik bermunculan, mulai dari yang berskala komunitas hingga besar. Apakah hal ini menunjukkan ketatnya persaingan di antara para promotor, dan apa dampaknya bagi ekosistem festival musik di Indonesia?
Itu hanya menunjukkan bahwa semakin banyak orang berani terjun ke dunia promotor. Persaingan biasanya sebatas mencari sponsor, mengincar artis yang sama untuk dibawa ke Indonesia, serta menggencarkan promosi di saat ada acara lain di tanggal yang berdekatan atau bahkan bersamaan. Tapi itu bukan berarti Studiorama dan Noisewhore bersaingan dengan Java Festival Production dan Ismaya Live, misalnya, karena apa yang mereka lakukan berada di skala yang berbeda-beda. Yang rela menabung untuk beli tiket We The Fest pun belum tentu mau keluar uang untuk datang ke Java Jazz (tapi kalau dikasih tiket gratis lain soal).
Kalau berbicara dampak terhadap ekosistem festival musik Indonesia, dengan semakin banyaknya festival, semakin besar pula tantangan bagi penyelenggara untuk menyajikan pengalaman yang menarik. Namun di sisi lain, dalam upayanya untuk menawarkan sesuatu yang unik, jangan sampai para promotor mengabaikan hal sesimpel kenyamanan penonton. Untuk apa juga mengadakan festival di tengah hutan kalau akses, transportasi dan hal-hal logistik kurang memadai, dan penonton sulit menikmati karena tiket yang terjual melebihi kapasitas untuk bisa menonton dengan nyaman. Jangan sampai maunya seperti Fuji Rock tapi jadinya malah seperti Fyre Festival. Apalagi kalau urusannya dengan artis internasional; sangat mungkin ada artis yang menolak datang ke Indonesia hanya karena mendengar cerita horor dari artis lain yang diakibatkan promotor yang tidak kompeten.
Saya yakin tidak ada promotor lama maupun baru yang sengaja ingin mengadakan acara yang buruk. Semua pasti ingin membuat acara yang bagus. Tapi bukan berarti mereka semua sanggup. Menjadi promotor baik itu lebih dari sekadar sanggup bayar mahal untuk membawa artis A ke Indonesia.
Saat melihat line up dari festival musik kebanyakan, terdapat formula yang dapat disimpulkan, yakni adanya musisi penguasa charts, talenta baru, dan pembawa nostalgia. Apakah formula ini satu-satunya hal yang menentukan sukses atau tidaknya suatu festival?
Tergantung dari definisi sukses, dan siapa yang memberi definisi itu. Kalau sukses yang dimaksud adalah penonton ramai dan untung secara finansial, tentu saja sebaiknya promotor menghadirkan artis-artis yang diperkirakan bisa mewujudkan itu dengan menarik massa yang segmentasinya seluas mungkin dan juga sanggup membeli tiket. Di sisi lain, ada juga acara seperti Archipelago Festival yang tidak menampilkan artis-artis besar, karena memang bukan itu yang mereka tawarkan. Tapi saya yakin mereka juga ingin acaranya ramai dengan cara dan standarnya sendiri.
Mungkin sebuah festival bisa dibilang sukses secara umum jika dinilai layak untuk diadakan lagi di tahun berikutnya. Apalagi jika punya sponsor yang berani memberi komitmen jangka panjang, sehingga tak apa-apa jika tidak ramai dan tidak balik modal di tahun pertama.
Siapa musisi impian yang ingin Anda tonton?
Tidak ada. Alhamdulillah sudah sempat menonton semua musisi favorit yang masih mungkin ditonton, dan bahkan sempat mewawancara beberapa dari mereka. Memang banyak yang masih ingin ditonton jika ada kesempatan, tapi kalau tidak kesampaian, ya tak apa-apa juga