Memahami Feminisme Bersama Inisiator Magdalene, Devi Asmarani
Mendedah konsep feminisme dan solusinya bersama penulis, Devi Asmarani.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Wintang Warastri
Pada esensinya, feminisme berbicara tentang kesetaraan gender dalam seluruh aspek kehidupan. Sebuah pesan sederhana yang sewajarnya bisa dimaknai dengan mudah. Namun kini menjadi salah satu topik kontroversial di tengah meningkatnya konservatisme di keseharian. Tidak bisa tinggal diam melihat ketimpangan yang terjadi, Devi Asmarani berupaya mengajak masyarakat untuk memahami sepak terjang feminisme. Pernah malang-melintang di The Jakarta Post dan The Straits Times, Devi kini membangun Magdalene, sebuah media online yang berfokus pada gerakan feminisme dan perannya dalam membangun masyarakat yang setara. Kami berbincang dengan Devi untuk menggali jejaknya lebih lanjut.
Anda sudah masuk di dunia jurnalisme sejak dari bangku kuliah. Apakah dari awal memang ingin mengangkat topik/menggunakan kacamata feminisme dalam media?
Oh, tidak sama sekali. Awalnya seperti orang lain yang ingin jadi jurnalis saja. Sebenarnya cita-citanya ingin jadi penulis, tapi kan kita tahu bahwa susah sekali untuk berpenghasilan dari menulis, jadi saya menemukan bahwa kita bisa jadi jurnalis dan jurnalis itu sama saja penulis, begitu. Jadi saya masuk ke jurnalisme, tapi sama sekali belum punya kesadaran gender, apalagi lagi itu kan tahun 90-an ya, jadi meskipun di Amerika pada saat itu tapi saya sendiri juga agak tercerabut dari the whole discourse tentang itu. Tidak seperti sekarang, saat ini.
Berarti awal ketertarikan ke isu feminisme sendiri, dari mana dan kapan?
Jadi sebenarnya, saya merasa bahwa saya feminis dari kecil. Mungkin sebelum saya tahu kata feminisme pun, saya sudah menyadari bahwa I wasn’t like other people. Saya tidak percaya dengan yang orang-orang lain percayai when it comes to relasi dengan laki-laki, begitu. Sejak remaja, saya selalu berpikir bahwa apa yang laki-laki bisa lakukan, saya juga bisa lakukan. Itu mulai dari hal yang baik sampai yang buruk juga ya (tertawa). Jadi saya bilang, kalau yang lelaki bisa bandel, saya juga harusnya bisa, begitu.
Tapi saya sendiri memang bukan berasal dari lingkungan aktivisme, bapak saya bekerja di bank pemerintah. Tapi saya tahu saya seorang rebel, pada saat itu. Kemudian ketika sekolah di luar negeri, memberikan saya ruang untuk lebih bebas mengekspresikan diri saya dan membuka juga horizon saya, wawasan saya lewat membaca, segala macam. Pada saat itu, saya tidak berpikir, tidak melabeli diri saya feminis karena saya merasa itu nilai-nilai yang saya kandung, dan saya berpikir bahwa feminisme itu lebih ke teoritis begitu ya, I wasn’t really steeped in that.
Kemudian ketika menjadi jurnalis, saya merasa bahwa, “Oh ya, saya capable just like any other male journalist.” Tapi memang saya sadari bahwa tantangan yang dihadapi jurnalis perempuan itu berbeda dengan tantangan yang dihadapi jurnalis laki-laki. Tidak hanya dari segi profesional, tapi karena gender kita menyebabkan kita memiliki tantangan tersebut. Seperti di-harass oleh narasumber laki-laki, beberapa di antaranya terjadi saat saya banyak meliput konflik seperti di Aceh dan di Poso, dan lain sebagainya. Tapi tetap bagi saya jurnalisme adalah jurnalisme. Saya tidak berpikir untuk menggabungkan jurnalisme dan feminisme, baru kemudian tahun 2007/2008, itu saya memutuskan untuk freelance dan pada saat yang sama saya menjadi guru yoga, saya menjadi kolumnis, konsultan, berbagai macam.
Nah, beberapa tahun kemudian, ketika ada panggilan untuk mulai membangun suatu situs perusahaan media yang baru bersama partner saya Hera Diani, di situ baru terpikir, media seperti apa yang perempuan inginkan? Berdasarkan dari perbincangan dengan orang-orang dan usulan orang-orang, lalu terpikir, kenapa tidak berfokus pada media perempuan? Di situ saya baru berpikir, saya tidak suka media perempuan pada umumnya, media perempuan yang ada itu hanya tipikal saja, lifestyle, fashion, beauty. Bukan karena itu salah, tapi memang bukan ketertarikan saya. Tapi dari situlah muncul ide bahwa berarti ini ada yang kurang, ada perempuan-perempuan yang tidak dilayani oleh media-media yang ada saat ini yang berfokus pada perempuan.
Dari situlah muncul keinginan, muncul nafas dan jiwa Magdalene saat itu. Tapi baru sekitar beberapa minggu setelahnya, baru kami benar-benar menggunakan kata feminis. Konten dari awal sudah seperti itu, sudah sama dan bahkan saat itu lebih bold, orang-orang berpikir karena saat itu semua kontennya bahasa Inggris, orang berpikir ini sepertinya bukan dari Indonesia. Tapi beberapa minggu kemudian – kita waktu itu belum ada staf, baru saya dan Hera, saya sedang buat sosial medianya, mau pasang di sosial media terus saya berpikir apa ya untuk menggambarkan ini? Membuat caption, begitu. Kemudian saya berpikir, we are feminists. Dari situ kata feminis itu keluar, jadi kami reclaim itu, dari situlah kami sadar bahwa kami berdua feminis, ini media feminis, dan nilai-nilai yang kami angkat dalam semua konten kami itu feminis. And then we reclaimed that, we owned it.
Menghabiskan banyak waktu di Amerika, tentunya Anda familiar dengan gerakan #MeToo. Menurut Anda, apakah gerakan sejenis punya potensi di Indonesia?
Sebenarnya ketika saya tinggal di Amerika, saat itu belum ada kesadaran seperti sekarang, kurang lebih sama dengan Indonesia saat ini. Banyak sekali pelecehan, kekerasan seksual, itu belum mengemuka bahwa orang-orang menjadi keluar, coming out and being open about it. Gerakan #MeToo ini kan baru 2-3 tahun terakhir ya.
Nah, saya lihat karena teknologi digital, semua orang sekarang basically exists di sosial media, di dunia virtual begitu, jadi memang bukan hanya terbuka, bukan hanya potensi, tapi memang itu sudah masuk ke Indonesia, artinya kesadaran bahwa ini adalah satu. Ini bukan aib yang kita harus sembunyikan di bawah karpet tapi ini harus kita suarakan. Kalau tidak, masalah ini akan terus-menerus terjadi, masalah ini akan tetap ada. Yang saya lihat memang Indonesia punya potensi untuk membuat hal ini menjadi besar, itu ada. Apakah akan berdampak ke kebijakan, policy, sesuatu yang lebih konkret? Itu yang masih kita belum tahu saat ini.
Sampai sekarang masih banyak organisasi-organisasi perempuan yang sangat berdampak, itu tidak menggunakan kata feminisme, tapi what they’re doing is feminism.
Salah satu argumen kontra feminisme paling populer adalah bahwa ia adalah “produk Barat.” Apakah sebenarnya memang ada perbedaan antara feminisme di Indonesia dan di luar?
Sebenarnya feminisme di mana-mana sama, tujuannya sama. Yaitu memastikan ada kesetaraan gender dalam semua aspek kehidupan. Dari politik, sosial, ekonomi, dan sebagainya. Dari adat, tradisi, dan semacamnya itu sama semua. Perjuangannya yang berbeda-beda, bentuk perjuangannya berbeda-beda dan ekspresi perjuangannya juga berbeda tergantung dari lokalitasnya, tergantung dari bagaimana resepsi terhadap ide itu sendiri di tempat tersebut. Karena kalau misalkan seperti di Pakistan atau Afghanistan kita teriak-teriak feminisme, kita bisa disiram acid, what good does it do? Jadi kita harus menyesuaikan diri, kita melakukan perubahan kan tidak harus overnight. Dan ini yang saya kagumi juga dari banyak aktivis-aktivis perempuan di Indonesia yang sudah menjalani ini jauh sebelum saya – saya baru beberapa tahun terakhir ini. Sedangkan mereka sudah menjalani ini mulai dari 30 tahun yang lalu, zaman Soeharto sedang ngeri-ngerinya, tapi mereka bisa menavigasi itu, karena mereka membungkus pesannya, mereka berfokus pada isunya, begitu. Mereka tidak menggunakan kata feminisme, even sampai sekarang masih banyak organisasi-organisasi perempuan yang sangat berdampak, itu tidak menggunakan kata feminisme, tapi what they’re doing is feminism. Kalau kita berbicara tentang Kartini, lebih dari 100 tahun lalu, what she was doing, advocating is feminism. Mungkin nama itu belum keluar saat itu, jadi kesadaran itu ada dan saya yakin ada mungkin dari beberapa ratus tahun yang lalu itu selalu ada, kesadaran bahwa dunia ini, masyarakat ini, kita ini dikuasai oleh patriarki dan it is up to us to fight for our rights.
Jadi saya rasa tidak ada perbedaan dari segi itu, karena di Indonesia, tantangannya pun berubah-ubah, mungkin dari mulai pertama kali ada konferensi perempuan pertama di 1928 tantangannya berbeda. Pada saat itu tantangannya adalah bagaimana kita mempersatukan berapa ribu perempuan yang tergabung dalam macam-macam kelompok perempuan yang berbeda, dari mulai kelompok istri sampai kelompok agama, bagaimana kita menyatukan semua kepentingan ini dan membuat sesuatu yang berdampak untuk perempuan. Pada saat itu debatnya adalah bagaimana memastikan Undang-Undang Perkawinan itu adil terhadap perempuan, karena saat itu perempuan has no right, women have no right dalam pernikahan. Jadi suaminya mau menceraikan dia, mau poligami, kekerasan, perempuan tidak ada kekuatannya. Itu perjuangan mereka saat itu, dan semua perempuan itu setuju kalau perempuan harus setara. Tapi ketika isu seperti poligami, yang perempuan dari kelompok agama tidak setuju. Akhirnya mereka bisa berkompromi. Dan itu terjadi terus.
Ketika zaman penjajahan Jepang, tantangannya berbeda. Pada saat itu penjajahan Jepang ingin menggunakan perempuan seperti ketika zamannya politik emak-emak sekarang ini, tapi mau dikooptasi menjadi pendukung penjajahan Jepang pada saat itu. Kemudian pada zaman Soeharto, dia ingin menempatkan perempuan kembali ke ranah domestik, jadi adalah istilah state Ibuisme itu. Saat itulah kelompok-kelompok perempuan ditekan, yang diangkat dan dikooptasi adalah kelompok istri-istri, seperti Dharma Wanita, mereka kan istri-istri pegawai negeri, Dharma Pertiwi, macam-macam lah, istri-istri polisi, kemudian ada juga PKK di daerah-daerah. Sebenarnya sangat bagus PKK itu konsepnya, tapi pada saat yang sama itu juga adalah upaya untuk menempatkan perempuan dalam ranah domestik. Pada saat itu tetap saja ada kelompok perempuan yang “bandel” ini, mereka tetap bernegosiasi dengan keadaan saat itu, dengan tantangan yang ada saat itu, pemerintahan dan segala macamnya.
Yang selalu menjadi korban ketika terjadi konservatisme dalam masyarakat itu selalu perempuan, pasti.
Nah, saat ini tantangan utama yang paling besar adalah ada semacam regresi dalam konsep relasi antara gender di Indonesia saat ini, yang disebabkan oleh mengerasnya pemahaman agama, praktek agama di Indonesia. Konservatisme yang makin tinggi, di keadaan seperti ini, yang selalu menjadi korban ketika terjadi konservatisme dalam masyarakat itu selalu perempuan, pasti. Jadi dari bermacam Perda syariah, yang basically membatasi ruang gerak perempuan dan mengatur tubuh perempuan, sampai terangkatnya kembali narasi-narasi seperti poligami yang dinormalisasikan. Sekarang ada upaya menormalisasikan poligami, padahal we have been fighting that since 1928! Terbayang tidak sih, sekarang muncul lagi dan kemudian mendorong perempuan untuk menikah muda seperti Indonesia Tanpa Pacaran. Akhirnya ini kembali lagi ke negara seperti apa yang kita inginkan, kan, karena kebijakan yang sangat penting seperti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual akhirnya terhambat karena ini.
Ini untuk mengilustrasikan saja. Jadi sebenarnya, dengan kita sebagai feminis, sebagai aktivis perempuan dan kita tahu apa fokus yang menjadi prioritas kita, kemudian bagaimana menavigasikannya di tengah masyarakat yang berubah dan berbeda, terus menerus shifting seperti ini, menurut saya kita bisa mencapai tujuannya. Tetapi ya begitu, memang unik di setiap tempat dan masa.
Anda sudah menyenggol sedikit tentang perjalanan Magdalene, juga tantangan feminisme dalam masyarakat. Bagaimana dengan tantangan yang dirasakan Magdalene sendiri dan juga tanggapan publik terhadapnya?
Kami bersyukur bahwa sejak awalnya banyak sekali tanggapan-tanggapan positif yang kami dapatkan, yang encouraging, yang menunjukkan bahwa perlu memang, ini sudah saatnya untuk media seperti Magdalene ada. Jadi itu membuat kami semakin bersemangat, tentunya, karena pada dasarnya memang ada kebutuhan yang harus dipenuhi. Karena ada dua hal ya. Pertama, media yang fokus perempuan selama ini tidak memberdayakan dan tidak memintarkan perempuan. Juga media biasa, media mainstream yang non-perempuan yang juga masih sangat buruk dalam merepresentasikan perempuan. Itu yang pertama, jadi orang mengatakan bahwa kita perlu media seperti Magdalene, sudah saatnya.
Yang kedua, kami melihat bahwa usia pembaca kami semakin muda. Jadi ketika kami mulai, kami pikir pada saat itu mungkin usia pembaca adalah sekitar antara 30 sampai 40 tahunan, karena kontennya kesannya kan dewasa, kritis, dan in a way ditulis oleh orang-orang yang sudah don’t give a damn, sudah selesai dengan pergulatan pribadinya. Semakin ke sini, yang terlihat justru pembaca kami semakin muda. Jadi sekarang range usianya adalah antara 18 sampai 35 tahun, porsi pembaca paling besar kadang-kadang itu usia antara 18 sampai 24 tahun. Which is sangat mengejutkan bagi kami. Pada awalnya begitu, but it is also very telling karena ternyata konten-konten kami, isu-isu yang diangkat, ternyata it sticks to them, ini adalah usia-usia kala mereka masih memikirkan pertanyaan-pertanyaan besar, mereka masih harus menegosiasi berbagai hal dalam hidup mereka. Mungkin mereka baru meninggalkan masa anak-anak dan remaja, memasuki masa dewasa, mereka masih hidup di dua sisi. On the one hand they have their adulthood, on the other hand mereka masih tinggal dengan orang tua, masih diatur oleh keluarga. Jadi konten Magdalene itu seperti memvalidasi banyak keresahan mereka, memberikan jawaban atas keraguan mereka terhadap sesuatu, jadi in that way, we are very glad that we created this.
The only way to face it is by pushing back
On the other hand, tentu ada juga orang-orang yang memandang Magdalene ini adalah bagian dari upaya mengkorupsi bangsa Indonesia dengan liberalisme dan macam-macam itu ya. We are not aiming for them, kami berbicara kepada orang-orang yang di tengah, karena menurut kami memang kembali ke konservatisme yang luar biasa ini ya, the only way to face it is by pushing back. Jadi jangan takut, memang selalu ada saja orang-orang yang memberi komentar-komentar di sosial media, troll begitu. Dan troll itu bukan hanya dari kelompok yang misalnya kanan, yang troll kadang-kadang malah dari kelompok yang kiri sekali, yang merasa Magdalene itu tidak cukup radikal, itu ada! (tertawa) Dan itu yang paling menyebalkan bagi saya, karena mereka sok tahu. At least mereka yang di kanan ada ideologinya sendiri, kalau mereka yang kiri sekali ini menjadi seperti, “Kok Magdalene apologist Islam sekali sih?” Karena kita mengatakan bagi perempuan itu ya hak dia, dia mau pakai jilbab, mau pakai cadar, mau pakai apa saja. Tapi dianggap malah kita tidak cukup radikal, yeah whatever (tertawa). Jadi memang ada yang serang dari dua-duanya, tapi tidak apa-apa. Berarti kan we’re doing the right thing kalau kita dibenci dua-duanya.
Feminisme sebenarnya berkaitan erat dengan kesetaraan gender dan perlindungan hak-hak dasar manusia, sebuah hal yang common sense. Menurut Anda mengapa topik ini masih sering dianggap kontroversial untuk diangkat?
Kalau menurut saya, karena dia sudah suffer from generations of – namanya sudah dicemarkan, dijelek-jelekkan selama banyak generasi, dan itu ya karena patriarki tadi menganggap bahwa feminisme adalah ancaman terbesar. Kita mempertanyakan semua hal, kita mengkritisi semua praktik-praktik yang selama ini being taken for granted, yang melanggengkan berbagai ketidakadilan dan ketidaksetaraan. Jadi akhirnya, mitos-mitos yang keluar dari dulu sampai sekarang tidak berubah. Saya sendiri suka menonton film-film period, yang abad 20-an, makin kuno saya makin suka, di situ saya selalu melihat ada kesamaannya apalagi kalau berhubungan dengan perempuan. Dari dulu sampai sekarang itu sama saja, jadi dibilang bahwa feminisme itu perempuan yang tidak suka laki-laki, perempuan yang selalu marah, tidak tahu diri, tidak tahu berterima kasih, itu sampai sekarang masih ada.
Sampai sekarang saya masih dipanggil perempuan keblinger, it’s like you can’t even come up with something new to attack me? (tertawa). Jadi menurut saya, ini karena sudah bergenerasi diserang dengan mitos-mitos dan persepsi seperti itu, sampai sekarang pun publik masih tidak teredukasi dalam hal feminisme. Feminisme itu apa saja mereka tidak tahu, kadang-kadang perempuan yang sama, sebenarnya dia melakukan apa yang diusung oleh feminisme akan mengatakan, “Saya sih bukan feminis ya, tapi saya percaya bahwa perempuan itu sejajar sama laki-laki.” Then you are a fucking feminist! (tertawa) What is your understanding of that word? Berarti kan dia tidak mengerti pengertian sebenarnya.
Just because you’re a feminist doesn’t mean you should be uncomfortable when your worldview is being challenged.
Tidak tahu ya, mungkin cara mengemasnya juga. Makanya di Magdalene tagline kami adalah we aim to engage, not to alienate. Karena kami melihat banyak juga kelompok-kelompok feminisme muda sekarang ini, perempuan-perempuan muda yang calling out saja tapi tidak strategis. Itu yang saya bilang tadi, perempuan-perempuan yang saya ketahui selama 30 tahun belakangan ini they can survive dibawah rezim yang sangat zalim, karena mereka tahu cara mainnya dan mereka berhasil membuat dampak. Kalau yang kita lakukan hanya calling out, sedikit-sedikit marah, sedikit-sedikit gaspol, itu menurut saya juga kontra produktif. Kita malah jadi mengalienasi semua orang, jadi preaching to the choir saja, orang-orang yang mendengar yang itu-itu saja, tidak bertambah. Kami sebagai media, meskipun kami menyebut diri sebagai feminis, tapi we allow all kinds of conversations to happen. Makanya kadang-kadang pembaca kami juga merasa “Apa sih, kok Magdalene seperti ini?” Kami beri tahu bahwa just because you’re a feminist doesn’t mean you should be uncomfortable when your worldview is being challenged. Justru kita harus bisa terbuka, bukan berarti harus semua orang berbicara hanya tentang sesuatu yang kita setujui, that’s bad, because when that happens, you’re just going to turn out like the people that you hate.
Of course, you are free, you should be free just like any other person in the world, but that is not what feminism is ONLY about.
Feminisme menjadi sebuah topik kontroversial, membuat banyak yang masih enggan menyematkan label tersebut dalam identitas mereka meskipun sebenarnya tindakan mereka sejalan. Mengapa mindset ini bisa terbentuk?
You don’t have to call yourself a feminist, tidak apa-apa. Tapi juga pahami apa itu, jadi jangan juga langsung bilang, “Saya bukan feminis”. Bagi saya, just do whatever it is that you think is you, tapi tetap mengerti juga apa itu dan apa dampak dari hal-hal yang kamu lakukan. Karena sebenarnya itu kembali lagi ke kita memahami privilege kita apa. Misalnya seorang perempuan yang terlahir dari keluarga menengah ke atas, punya akses ke berbagai macam hal, itu berbeda dengan perempuan yang terlahir dari keluarga miskin, punya disabilitas, dan lain sebagainya. Jadi feminisme itu juga; apalagi saat ini feminisme sudah semakin interseksional, mengakui itu.
Kalau kita sudah memiliki pemahaman tentang apa privilege kita, kita bisa menempatkan diri kita dengan lebih bijak di dunia ini
Saat ini ada kesalahpahaman – atau mungkin lebih ke pemahaman yang sempit – tentang apa itu feminisme. Dianggap bahwa feminisme itu adalah semua hal yang berhubungan dengan kebebasan pribadi kita. Of course, you are free, you should be free just like any other person in the world, but that is not what feminism is ONLY about. If you want to call yourself a feminist, kita juga harus mengakui bahwa banyak sekali ketidakadilan di dunia ini yang berakar dari ketidaksetaraan. Meskipun kita tidak melakukan aktivisme, bukan seorang akademisi, tapi ketika kita datang dari pemahaman seperti ini kita akan semakin menyadari apa privilege yang kita miliki, yang membuat kita bisa sekolah di sini, yang membuat Anda bisa dapat pekerjaan ini, yang membuat kita bisa duduk-duduk minum kopi di sini, yang membuat kita bisa mengobrol politik dengan bebas, begitu kan? Jadi mulai dari pemahaman itu saja sudah penting bagi saya, karena kalau kita sudah memiliki pemahaman tentang apa privilege kita, kita bisa menempatkan diri kita dengan lebih bijak di dunia ini dan ketika kita melakukan sesuatu, itu akan lebih berarti dan organik. Bahwa activism is not just for activism sake, tapi untuk membuat dampak. Bagi saya itu awalnya, kalau ingin mulai memahami mindset feminisme seperti apa.
Berbicara tentang feminisme dalam masyarakat, penyedia jasa publik melakukan beberapa upaya yang dinilai melindungi perempuan, seperti ladies parking atau gerbong KRL khusus wanita. Namun muncul juga narasi yang kontra akan hal ini, berargumen memicu double standard. Apa pendapat Anda mengenai isu-isu yang memicu standar ganda seperti ini?
Memang banyak isu tentang double standard, tapi saya juga seorang realis ya. Ini datang dari seseorang yang sering sekali mengalami pelecehan. Bagi saya, menciptakan ruang yang aman untuk perempuan itu adalah bagian dari solusi. Mungkin itu bukan solusi untuk mengubah suatu masyarakat, mengubah norma, tapi itu minimal adalah solusi yang dibutuhkan saat ini. Seperti kereta commuter di jam-jam rush hour itu kan padatnya luar biasa, membuat perempuan memang rentan, dan itu sudah fakta di manapun ya. Sementara itu di negara yang masyarakatnya masih sangat permisif, sistemnya belum kuat untuk mengatasi ini, jadi memang dibutuhkan ruang-ruang tersebut. Itu sih bukan sesuatu yang harusnya terlalu dipermasalahkan saat ini. Orang mengatakan itu bukan solusi akhir, tapi untuk mencapai solusi akhir, kita harus memberikan solusi untuk yang saat ini juga, sembari menyiapkan solusi akhir. Solusi akhir adalah mengubah norma, mengubah perilaku, tapi itu kan tidak bisa dalam semalam. But for now, you have to protect those people who are very fragile, very vulnerable.
Saya tahu ada satu ‘aktivis perempuan’ yang sangat anti dengan gerbong wanita. Tapi ternyata dia sendiri tidak pernah naik kendaraan umum, ke mana-mana membawa mobil. Jadi saya pikir, I don’t know why you even talk about this if you don’t even experience it. Seperti ketika laki-laki berkomentar, “Kok kamu dapat cuti menstruasi sih, tidak adil lah.” Well you’ve never experienced period, same thing. Itu satu, sama halnya dengan perempuan harus belajar martial arts, self defense. Bagi saya, kalau misalkan kamu bisa dan punya uang dan waktu untuk investasi ke situ, ya kenapa tidak? Saya melakukan itu, karena saya sering bepergian sendiri ke India, saya ke India bisa berbulan-bulan, karena saya tahu India is not a very safe place for women, but that is not the ultimate solution of course. But if you have to protect yourself, why not? Kalau misalkan saya punya anak laki-laki, saya juga akan ajarkan dia bagaimana untuk self-defense, karena it’s the same. Saya sendiri juga tidak suka ladies parking, menurut saya itu tidak penting, jauh lebih penting parkir untuk orang-orang dengan disabilitas. I can park very well, thank you.
Jadi maksud saya adalah kita harus fokus ke tidak hanya calling out saja, tapi juga memberikan solusi. Kalau kita hanya protes, we’re just going to validate the whole criticism, affirm the whole criticism about feminist bahwa bisanya marah-marah saja. Harus solutif juga. Not very many people will like that answer, but oh well. (tertawa)
Jika kemudian ada argumentasi yang muncul bahwa secara biologis laki-laki dan perempuan berbeda. Bagaimana menanggapinya?
Ya memang berbeda, malah saya tidak paham maksud dari argumen itu. Maksudnya memang berbeda, but it doesn’t mean kemampuan kita berbeda. Ya mungkin hal-hal yang tidak bisa dilakukan perempuan karena perbedaan biologisnya, tapi saya rasa juga dengan teknologi banyak juga kok mitos-mitos sejenis itu yang di-debunk. Saya tidak mengerti apa poin dari orang-orang yang mengatakan seperti itu. Tapi faktanya, perbedaan utama adalah perempuan lebih rentan dalam hal keamanan saat ini. Jadi saya rasa, yang paling pertama harus dilakukan adalah memastikan bahwa perempuan itu aman. Karena ketika sistem, pemerintah dan fasilitas belum bisa menjaga keamanan perempuan sepenuhnya, semua jadi harus sadar dan siap.
Apa definisi feminisme menurut seorang Devi Asmarani?
Intinya, mengakui adanya ketidaksetaraan di dunia ini yang harus dibenahi. Feminisme itu berarti adalah suatu pengakuan dan pemahaman bahwa ada ketidaksetaraan, dan kita harus menjadi bagian dari solusi ketidaksetaraan itu tadi, terutama yang berbasis gender tapi juga karena ada interseksionalitas, ya intinya ketidaksetaraan dalam banyak hal bagi saya.
Jika Anda berkesempatan untuk mengobrol dengan seseorang yang kontra feminisme, apa yang ingin Anda ketahui dari/sampaikan pada mereka?
Saya ingin mengobrol dengan orang yang pintar, berpendidikan. Artinya dia punya akses ke berbagai informasi tetapi pikirannya sama sekali bertolak belakang dengan saya. Dan lebih daripada saya menceramahi dia, saya ingin mendengarkan, sebenarnya apa sih yang membuat dia berpikir seperti itu. Karena saya ingin tahu.
Saya merasa ada missing link dalam percakapan kita. Jadi memang saat ini mungkin karena sosial media, kita mengobrol dengan sesama kita, mereka mengobrol dengan sesama mereka saja. Seperti ada dua universe yang paralel, yang sama sekali bertolak belakang. Mungkin bertemu dengan dedengkotnya atau siapa dari AILA Indonesia begitu ya. Bukan menantang, saya ingin duduk, mengobrol sebagai sesama manusia, tidak ingin tunjuk-tunjukkan. Saya juga masih melatih ini (menunjuk dada) karena jujur saya juga gampang terpancing, jadi ingin duduk dan ingin tahu. Karena ingin mengetahui bagaimana they come to think like that, di luar lingkup agama ya tentu saja, karena pemahaman agama kan dipahami berbeda-beda. Feminis juga banyak kok yang berjilbab dan sangat taat dengan agama, jadi saya ingin tahu bagaimana mereka bisa mendapatkan pemahaman seperti itu, berpikir seperti itu, dan punya militansi seperti itu.
Harapannya, lebih daripada sekadar saling menceramahi, saya ingin merekam dan mempelajari bagaimana untuk bisa berkomunikasi yang lebih efektif, meng-counter mereka lewat narasi feminis ini yang bisa disampaikan dengan lebih mengena. Selama ini rasanya seperti hanya memantul, kebanyakan hoax sih.