Ilustrasi, Kritik dan Media Digital Bersama Kendra Paramita
Bertemu dengan pembuat ilustrasi sampul Majalah serta Koran Tempo untuk berbincang mengenai animasi, perkembangan media digital, dan proses di balik pembuatan karyanya.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Stefano William A.
Menyuarakan kritik tidak melulu harus melalui tulisan yang penuh perkataan tajam atau pendapat keras mengenai keadaan sosial. Buktinya, Kendra Paramita, melalui setiap ilustrasinya mampu menyindir oknum tertentu bahkan pemerintah dan pada saat bersamaan menggelitik para pembaca Koran atau Majalah Tempo. Terkadang, hanya dengan gambar sederhana, pesan yang kuat mampu ia sematkan dalam ilustrasi sampulnya. Eksekusi seperti itu membuat karyanya dikenal banyak orang walau kerap kali pendekatan yang ia pilih bisa berbeda-beda. Whiteboard Journal berkesempatan untuk berbincang bersama Kendra mengenai proses di balik pembuatan karyanya, juga menggali pendapatnya mengenai isu-isu terkait dunia kreatif yang ia geluti.
Untuk membuat sebuah ilustrasi cover pasti harus disesuaikan dengan isi artikel. Bagaimana proses menyesuaikan ide anda dengan isi artikel yang ditulis oleh orang lain? Apa kesulitan utama ketika menerjemahkan sebuah isu ke dalam gambar?
Sebenarnya tidak ada bedanya kalau yang saya tulis sendiri. Jadi sudah terbiasa. Sebenarnya yang penting kita punya angle dulu tentang bagaimana kita melihat situasi atau permasalahan ini. Dari situ, angle itu disimpulkan. Kalau sudah dapat kesimpulan itu biasanya lebih mudah buat saya. Jadi, saya tahu duduk persoalannya bagaimana, dan dari situ baru bisa cari keyword dan segala macam. Biasanya idenya berkembang dari situ. Tapi kalau untuk memikirkan judul, gaji saya kurang. Jadi tidak sampai di situ (tertawa). Gajinya harus ditambah lagi kalau sampai mikirin judul. Saya memikirkan gambar saja. Judul itu sebetulnya dari redaksi, kalau saya mau usul sih boleh. Tapi biasanya saya jual mahal. Jadi biar mereka saja lah. Biasanya kalau untuk judul, mereka merespon gambarnya dulu. Saya merespon temanya, ceritanya kemudian muncul gambarnya, lalu mereka merespon gambarnya dari judul.
Tapi tidak selalu begitu, sih. Kadang judulnya muncul lebih dulu dari story-nya. Kalau judul sudah pas baru saya gambar. Itu sah-sah saja. Kami ada rutinitas, tapi bukan berarti itu pola yang pasti. Kalau dulu lebih pada hal teknis. Seperti misalnya, orangnya tidak terkenal jadi susah menaikkannya. Kami pasang tampangnya juga orang tidak ada yang kenal. Tapi ini orang penting. Nah, seperti itu sih sebenarnya. Kalau orangnya terkenal sebenarnya enak sekali. Karena semua orang sudah tahu, kami menyampaikannya jadi lebih mudah. At least, orang tidak usah menebak-nebak ini siapa. Kalau sekarang lebih pada sentimen mungkin. Isu-isu yang sentimen dan sensitif yang harus lebih hati-hati. Bumi semakin panas, penduduknya kepanasan juga.
Anda selalu bisa menuangkan imajinasi ke dalam bentuk gambar yang menggelitik sekaligus mengkritik. Elemen apa yang biasa Anda angkat dalam memberi twist pada ilustrasi?
Pendekatannya banyak, tetapi umumnya kami menggunakan metafora atau perumpamaan. Karena misalnya kami mau menyatakan kepada seseorang, kalau kami mengungkapkannya secara gamblang, secara harfiah, sepertinya agak gimana gitu. Dengan perumpamaan semua jadi lebih subtle. Jadi lebih halus dan mereka juga lebih mudah menerima akhirnya. Kalau kami mau mengkritik orang secara langsung, orangnya marah, kan? Tetapi kalau kami menggunakan perumpamaan, permisalan, contoh, seperti itu dia akan lebih terbuka. Biasanya. Tetapi yang marah tetap ada saja (tertawa). Yang kesal-kesal itu tetap ada.
Seperti kemarin ada sampul yang menggambarkan pasangan Capres-Cawapres memilih Nasi Padang, itu menarik. Berarti Anda mengambil hal-hal sederhana dan dimasukkan ke dalam isu yang ingin diangkat itu?
Betul. Ini kan lingkupnya seluruh Indonesia, kami memilih yang kira-kira semua orang Indonesia suka (tertawa). Sepertinya semua orang suka Nasi Padang.
Ilustrasi yang Anda buat adalah bentuk kritik terhadap isu politik dan sosial Indonesia. Pernahkah Anda mendapat masalah atau feedback dari pihak yang diliput terkait ilustrasi yang dibuat?
Kapan lagi bisa nge-bully orang dan dilindungi.
Beberapa kali pernah. Terutama orang yang tidak suka. Biasanya begini, yang kena kasus itu mereka sebenarnya keberatan dengan tulisan tetapi mereka tidak bisa menggugat. Akhirnya mereka mencari-cari kesalahan. Gambarnya lah yang paling gampang dipermasalahkan. “Ini kok gambarnya begini begitu,” “Terlalu menohok,” padahal yang namanya gambar kan dia multitafsir sebenarnya. Interpretasinya bebas. Jadi bisa macam-macam. Secara hukum itu lebih sulit untuk dipermasalahkan karena ini kan gambar. Beda dengan kalau kami melakukan rekayasa foto. Seperti itu lah.
Kalau ada yang protes, bagaimana respon Anda?
Kan sudah ada jalur hukumnya, biasanya mereka akan menggugat ke Dewan Pers. Kalau media kan urusannya dengan Dewan Pers. Dan sebenarnya semua penanggung jawabnya Pemimpin Redaksi, jadi semua di bawah tanggung jawab beliau termasuk gambar sampul. Iklimnya cukup baik untuk pelaku kreatif di majalah. Jadi kami bisa lebih bebas. Lebih merdeka dalam berekspresi. Kapan lagi bisa nge-bully orang dan dilindungi.
Mengerjakan berita menjadi sebuah gambar, bagaimana karakter Anda hidup berdampingan dengan berita? Apakah Anda memberikan tempat untuk karakter personal?
Sebenarnya saya berusaha tidak meninggalkan jejak (tertawa). Justru maunya tidak ada. Tetapi orang tetap tahu itu gambar saya. Jadi, saya juga bingung. Saya gambarnya bahkan kadang gayanya berubah-ubah, tidak tetap. Tapi orang ada saja yang, “Ini gambar lu ya?”, saya tanya balik, “Tahu dari mana?” (tertawa). Paling yang sering saya sematkan kejahilan-kejahilan sih. Cari saja sendiri. Ada beberapa hal yang saya iseng, tetapi tidak berdampak. Sepertinya kalau ditambah ini-itu lucu.
Apakah ada orang yang menemukan hal-hal itu lalu bicara langsung?
Banyak ternyata. Yang tidak saya duga adalah mahasiswa-mahasiswa tingkat akhir yang melakukan penelitian semiotika, semuanya dibahas. Sampai, “Ini kok ada gambar mata nih? Kenapa?” Terus saya bingung harus jawab apa. Masa saya bilang iseng. Sebenarnya memang iseng. Tapi saya tidak enak.
Kenapa Anda tidak ingin meninggalkan jejak?
Itu keinginan saya saja. Tetapi kenyataannya kan tidak. Karena akreditasinya tertulis, segala macam. Sebenarnya agar lebih bebas lagi. Ketika tidak ada yang tahu siapa yang membuat, itu lebih merdeka lagi. Lebih enak.
Apakah perubahan pola konsumsi media yang dulu fokus pada media cetak dan kini cenderung mengarah ke digital mengubah pola kerja Anda sebagai seorang ilustrator?
Rasanya lebih bertambah banyak kerjaannya ya. Yang cetak iya, yang online juga iya kadang-kadang. Perbedaan mendasar adalah antara RGB dengan CMYK, sih. Yang RGB lebih enak karena pixel-nya lebih rendah, warnanya bisa lebih jreng lebih kuat, kalau cetak pasti ada kemungkinan meleset warnanya. Tapi, kekuatan ilustrasi adalah dia bisa menggambarkan hal-hal yang abstrak sifatnya. Berbeda dengan foto yang sangat faktual. Jadi, kadang untuk berita-berita yang abstrak yang sulit sekali untuk diwakilkan dengan foto itu biasanya ilustrasi. Tetapi tidak menentu, karena tergantung story-nya juga. Ada yang cocok menggunakan ilustrasi, ada yang pakai foto.
Sebagai seseorang yang membuat karya tentu Anda familiar dengan topik hak cipta. Di sisi lain, masih banyak orang Indonesia yang tidak memiliki kesadaran akan hal tersebut. Bagaimana Anda menyikapi hal tersebut?
Di satu sisi senang kalau ada yang mengapresiasi hak cipta, tetapi di sisi lain, “Tunggu dulu, deh. Kok saya tidak diberi tahu?” Minimal izin ya. Kita tidak usah bicara royalti dan segala macam dulu. Minimal izin saja. Sebenarnya mengesalkan kalau tahu tiba-tiba gambar kami muncul di mana tanpa sepengetahuan kami. Pernah terjadi beberapa kali juga tapi ya sudahlah namanya juga kalau di media sosial. Bahkan yang upload juga tidak tahu sumbernya dari mana. Tetapi ada juga yang baik mereka minta izin kalau ingin share gambar. Kalau sudah begitu biasanya saya lebih terbuka. Tetap saya tanya untuk keperluan apa. Sebenarnya ini bentuk edukasi juga. Bahwa kita tidak boleh sembarangan menggunakan gambar milik orang lain. Begitu kan?
Menurut saya ini penting. Tidak hanya di dunia seni, tapi apapun. At least, izin lah. Kalau saya, kan masih ada hak cipta Tempo segala macam, di luar sana masih ada artis-artis freelance itu kan mereka hak cipta benar-benar namanya sendiri dan itu ketika ada orang yang menggunakan tanpa izin sudah pasti stake-nya lebih besar buat mereka ketimbang saya. Edukasi penting menurut saya. Setidaknya masyarakat tahu kode etik ketika ingin menggunakan gambar yang bukan milik dia.
Edukasi penting menurut saya. Setidaknya masyarakat tahu kode etik ketika ingin menggunakan gambar yang bukan milik dia.
Banyak pelaku kreatif menghadapi satu permasalahan yang sama, yakni overworking. Apa pendapat Anda tentang hal itu? Dan apakah Anda sendiri menganggap itu sebagai masalah?
Kalau menurut saya pekerja kreatif masih butuh lebih banyak exposure. Karena masyarakat awam sama sekali belum paham dengan dunia kreatif. Bahkan banyak yang benar-benar blank. Nah, dampaknya adalah itu. Pekerja kreatif paling sering dimintai desain gratisan. Kemudian, revisinya endless. Itu saya tidak mengerti. Kenapa selalu begini? (tertawa) Kenapa hanya pekerja kreatif ya yang diperlakukan seperti ini? Kami belum dipandang serius. Orang melihatnya itu hobi, suka-suka, apalah itu. Tapi paling awal itu, minta desain gratisan. Gimana ya? Kami ada sekolahnya, studi, ilmiah lho ini (tertawa). Sebenarnya tidak apa-apa. Perlu diedukasi juga meskipun saya belum punya solusi sosialisasinya, tetapi menurut saya tetap ini penting. Mungkin salah satu caranya, mau tidak mau dengan kontrak. Itu penting. Di klausul harus jelas semuanya. Batasan-batasannya. Revisi berapa kali, pembayaran, itu harus jelas di awal. Tapi kembali lagi. Itu kan idealnya, yang sering terjadi adalah, tiba-tiba kontak, deadline-nya mepet, mintanya cepat dan bagus. Kalau tidak mau, ya sudah. Akhirnya, boro-boro memikirkan klausul, kontrak, segala macam itu. Kadang langsung kerja saja.
Kalau overwork menurut saya risiko pekerja kreatif. Karena kita memang bekerja beda dengan yang office hour untuk targetnya. Kadang benar-benar tidak terduga saja waktu kerjanya. Kami harus siap dulu dengan overwork ini. Saya terus terang tidak pernah melihatnya sebagai overwork. Saya melihatnya bahwa ini tugas yang harus saya selesaikan. Lalu dilihat rentang waktunya. Ini yang agak tricky. Saya pribadi tidak pernah benar-benar tahu berapa lama saya bisa menyelesaikannya. Pokoknya kebut saja terus. Sebenarnya saya malah senang kalau banyak yang harus dikerjakan. Ini yang memang saya sukai, saya senang melakukannya, jadi saya tidak pernah melihatnya sebagai sebuah beban yang berlebihan.
Anda sudah terbilang lama bekerja di bidang ini. Selain memenuhi kebutuhan ekonomi, apa yang membuat Anda terus bertahan di Tempo?
Sampai sekarang saya masih merasa banyak yang harus dipelajari. Masih harus banyak belajar. Saya merasa masih banyak yang perlu ditingkatkan. Jadi, saya tidak pernah merasa cukup dengan kapasitas saya. Jadi, saya merasa selalu ada ruang untuk berbenah, untuk diperbaiki. Jenuh tidak pernah, karena merasa masih banyak yang harus dicapai. Lalu, saya senang melakukannya. Meskipun terlihat sama, tetapi sebenarnya tantangannya berbeda. Setiap berita yang masuk, setiap cerita yang datang itu selalu menawarkan hal baru, tantangan baru. Kadang susah itu masih terjadi.
Bagaimana dengan Pilpres 2014 dan 2019? Apa yang membedakan keduanya?
Keuntungannya saya sudah lebih terbiasa dengan menggambar dua orang itu. Kebetulan dua-duanya enak digambar, jadi saya sebenarnya senang-senang saja. Yang berbeda mungkin experience-nya. Kalau yang sebelumnya, keduanya sama-sama relatif baru. Kami belum terlalu banyak pengalaman dengan mereka. Lima tahun kemudian banyak yang sudah terjadi, itu yang menggiring perasaan kami jadi berbeda.
Anda pernah bilang mendalami ilustrasi karena tuntutan pekerjaan saja dan sebenarnya tertarik pada animasi. Apakah ada keinginan untuk membuat karya dalam bentuk animasi?
Sangat. Masih ada. Tetapi animasi 3D ya, kalau animasi 2D saya tidak sabar mengerjakannya. Saya sempat terobsesi dengan animasi 3D sebelum zamannya. Jadi, sebelum dia booming saya mempelajari. Sebenarnya sudah agak lumayan (tertawa). Tetapi waktu itu (awal 2000-an), pasarnya belum ada. Tapi ya begitu, jadi skill yang sia-sia. Mungkin kalau sekarang akan berbeda.
Kenapa sekarang tidak dilanjutkan?
Momennya lewat. Saya waktu itu masih sibuk, jadi tidak banyak waktu luang juga kalau sudah berkecimpung di sini. Tidak punya spare time untuk ngulik lagi. Software-nya juga versinya sudah maju. Sepertinya kalau mau mengejar butuh banyak waktu luang yang tersedia. Kehilangan momentum saja sebenarnya.
Selain membuat ilustrasi untuk majalah, Anda juga mengeluarkan karya sendiri salah satunya pernah membuat cover untuk single dari Tulus. Apa perbedaan yang paling dirasakan antara mengerjakan gambar untuk majalah dengan proyek yang fokus pada seni?
Kekuatan ilustrasi adalah dia bisa menggambarkan hal-hal yang abstrak sifatnya.
Pengalamannya sangat berbeda. Kalau di media itu overnight work. Kerja semalam, selesai. Kalau ini benar-benar longterm yang semua direncanakan secara matang dari awal perencanaannya. Kalau dari cover single Tulus ini konsepnya memang lebih halus. Semuanya benar-benar detail dan lebih terukur. Bahkan kadang perbedaan sedikit saja itu berpengaruh. Bedanya, yang satu brutal yang satu halus. Mengerjakannya juga memang harus dinikmati. Jangan berpikir ingin cepat selesai, cepat jadi, tetapi selalu dilihat masih ada yang bisa diperbaiki atau tidak. Karena kalau majalah, ketika jadi ya sudah. Nanti minggu depan atau besok juga ada lagi. Lewat saja. Kalau album kan bertahan, jadi kami membuat sesuatu yang long-lasting juga tidak mungkin mengerjakannya secara instan. Prosesnya sih yang lebih terasa perbedaannya. Kalau membuat karya untuk sendiri lebih beda lagi. Tidak selesai biasanya. (tertawa)
Anda menyampaikan komentar sosial mengenai keadaan negara melalui ilustrasi yang bisa dibilang milik majalah tempat Anda bekerja. Sementara, saat ini banyak ilustrator yang beralih ke media sosial seperti Instagram, membuat komik dengan tujuan yang kurang lebih sama. Bagaimana pendapat Anda mengenai hal ini? Apakah pernah terdorong untuk membuat karya seperti itu?
Kita bisa berterima kasih dengan adanya media sosial ini sekarang semua bisa mengkritik. Dan beberapa juga bagus-bagus saya lihat. Saya cukup terhibur dan menikmati. Memang perbedaannya adalah cara penyampaian. Mereka dengan komik, lalu ada teksnya. Kalau sampul majalah itu kami memang menghilangkan teks di situ sebenarnya (di samping headline). Jadi benar-benar mengandalkan ilustrasi. Kami tidak bisa bergantung pada teks untuk menjelaskan gambar. Tantangannya adalah bagaimana hanya dengan visual, orang paham duduk perkaranya. Kalau bisa di-swipe kan ada penjelasan sepanjang yang kami perlukan. Beda penyampaian, kritiknya tetap sama.
Saya ingin buat karya seperti itu. Tapi ya itu tadi, tidak selesai biasanya. Karena sudah harus mengerjakan ini-itu.
Gambar mengenai isu apa yang paling Anda senang kerjakan selama ini?
Soal Pilkada waktu itu. Masih zaman SBY sebenarnya. Cover-nya relatif sangat sederhana. Saya lupa edisinya. Idenya dari permainan Hangman yang mengisi kata-kata kosong. Yang saya senangi dari situ adalah karena saya merasa sukses meng-gol-kan ide yang sangat malas. Itu eksekusinya sangat malas. Cuma gambar begitu saja, selesai. Tidak perlu teknik yang bagaimana. Background putih tidak ada apa-apa lagi. Putih, hanya coret-coretan begitu, sudah. Selesai. Soalnya, biasanya susah sekali memasukkan sebuah ide ke redaksi. Apalagi ide yang seperti ini. Makanya saya merasa, “Hell yeah! Lolos nih.” Pesannya sih kuat. Tapi eksekusinya itu lho. Beberapa yang saya gambar dengan niat ada juga sih. Yang “Perang Tagar” saya suka, PUBG saya juga suka. Terhibur saya mengerjakannya. Pokoknya yang mengerjakannya tidak stres – saya suka. Saya stres biasanya kalau orangnya tidak terkenal, mukanya tidak enak digambar. Begitu yang nyebelin.
Apakah ada rencana untuk melanjutkan karya Anda ke dalam bentuk buku atau mungkin kumpulan artwork yang sudah pernah dibuat?
Tadinya tidak, tapi ada yang menawarkan membuat buku. Jadi ya sudah, boleh deh. Suatu hari nanti semoga selesai bukunya. Bukunya lebih tentang konseptual. Bagaimana menemukan gagasan. Karena, buku soal teknis menggambar sudah banyak. Di YouTube juga banyak. Saya ingin yang pendekatannya lebih konseptual. Seperti bagaimana menyampaikan pesan secara visual. Begitu.