Membahas Karya “Elevation” dan Inspirasinya Bersama Andra Matin
Proses di balik pembuatan karya “Elevation”, arsitektur vernakular Indonesia, hingga proyek sustainable housing.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Stefano William A.
Sebagai seorang arsitek kenamaan, Andra Matin telah berhasil menyelesaikan berbagai proyek desain bangunan untuk lokasi dan fungsi yang berbeda-beda. Dengan pengalaman segudang, terbukti bahwa kreativitasnya tidak berhenti dalam kapasitas sebagai arsitek saja namun bisa dituangkan menjadi sebuah karya seni. Diundang untuk menghadirkan karya pada gelaran bergengsi, Venice Biennale, tahun 2018 lalu, Andra Matin membuat instalasi berjudul “Elevation”. Terinspirasi dari arsitektur vernakular Indonesia yang sangat beragam dan khas, karya tersebut sukses menggabungkan nilai tradisional dan unsur seni kontemporer. Kami menemui Andra Matin untuk berbicara mengenai kreativitas, proyek-proyeknya, serta karya “Elevation” yang kini hadir di Museum Macan, Jakarta.
Anda membuat karya “Elevation” ini berdasarkan ragam kebudayaan yang tersebar di Indonesia. Apa latar belakang atau trigger di balik eksekusi karya ini?
Sebenarnya judul dari eksibisi di Venice itu adalah “Free Space”. Dengan “Free Space” itu kita bisa memilih apa saja. Saya juga bingung karena itu batasannya terlalu luas. Akhirnya saya berpikir apakah saya bisa exhibit my works, atau sesuatu yang lain. Tapi saya berpikir bahwa kita punya kekayaan luar biasa yang orang lain tidak tahu yaitu tentang arsitektur vernakular Indonesia. Dan tidak ada lagi di dunia yang memiliki kekayaan luar biasa beragam kita sebagai suatu bangsa, selain Indonesia yang memiliki ragam arsitektur yang begitu beda. Hingga saya berpikir ini saja yang saya angkat. Saya tidak perlu menampilkan karya proyek-proyek saya, tapi ini saja untuk mengenalkan arsitektur vernakular itu kepada dunia di mana dengan demikian saya bisa membantu mengenalkan Indonesia kepada dunia.
Indonesia memiliki begitu banyak suku dan budaya yang mendorong munculnya bangunan tradisional. Dari begitu banyak pilihan, mengapa Anda memilih rumah-rumah tradisional ini untuk ditampilkan?
Awalnya saya memilih untuk membagi berdasarkan kategori. Sebetulnya kita punya space di Venice 5 x 5 x 5,5 meter. Bagaimana caranya supaya di dalam pameran itu, dalam tempat sesempit itu saya bisa menampilkan sesuatu yang menarik. Yang menarik bagi saya tidak hanya X kali Y tapi juga Z, ke atas. Kalau atas berarti harus ada yang naik. Tapi kalau yang naik itu ada alasannya, tentu akan lebih menarik. Tapi apa alasan itu? Alasannya adalah saya bisa drag orang-orang untuk bisa jalan. Saya harus punya skenario. Skenarionya adalah, dengan saya tahu bahwa arsitektur Indonesia sangat kaya, maka saya bisa memilih kira-kira beberapa tipe orang tinggal di Indonesia seperti apa.
Saya tahu bahwa arsitektur Indonesia sangat kaya.
Kemudian kita riset, yang tinggal langsung di tanah itu suku apa saja, yang tinggal 30 cm di atas tanah, sampai 1.8 meter di atas tanah, kita catat, kita lihat mana yang paling banyak. Setelah itu dipilih. Misalnya ada 5 suku yang tinggal di lantai dasar, tapi yang bentuknya paling aneh mana? Itu yang kita pilih. Begitu juga di ketinggian yang berbeda. Supaya kita melihat keberagaman tidak hanya dari ketinggian mereka tinggal tapi sebetulnya keberagaman arsitektur. Sehingga ketika orang-orang jalan, mereka tidak hanya mengalami dan tahu bahwa suku ini tinggal di sini tapi juga melihat bentuknya seperti apa. Bayangkan kalau di Eropa, di Italia misalnya, atapnya begitu-begitu saja. Kalau di sini berbeda. Akhirnya kita harus memilih di ketinggian tertentu rumah yang mana. Misalnya kita pilih Suku Betawi, tapi ada kemiripan dengan suku Nias, jadi saya cari yang berbeda total. Jadi memilihnya bukan timur ke barat, tapi dari banyaknya variasi yang berbeda supaya orang mengalami elevasinya sekaligus mengalami variasinya.
Indonesia memiliki begitu banyak suku dan budaya yang mendorong munculnya bangunan tradisional. Dari begitu banyak pilihan, mengapa Anda memilih rumah-rumah tradisional ini untuk ditampilkan?
Awalnya saya memilih untuk membagi berdasarkan kategori. Sebetulnya kita punya space di Venice 5 x 5 x 5,5 meter. Bagaimana caranya supaya di dalam pameran itu, dalam tempat sesempit itu saya bisa menampilkan sesuatu yang menarik. Yang menarik bagi saya tidak hanya X kali Y tapi juga Z, ke atas. Kalau atas berarti harus ada yang naik. Tapi kalau yang naik itu ada alasannya, tentu akan lebih menarik. Tapi apa alasan itu? Alasannya adalah saya bisa drag orang-orang untuk bisa jalan. Saya harus punya skenario. Skenarionya adalah, dengan saya tahu bahwa arsitektur Indonesia sangat kaya, maka saya bisa memilih kira-kira beberapa tipe orang tinggal di Indonesia seperti apa.
Kemudian kita riset, yang tinggal langsung di tanah itu suku apa saja, yang tinggal 30 cm di atas tanah, sampai 1.8 meter di atas tanah, kita catat, kita lihat mana yang paling banyak. Setelah itu dipilih. Misalnya ada 5 suku yang tinggal di lantai dasar, tapi yang bentuknya paling aneh mana? Itu yang kita pilih. Begitu juga di ketinggian yang berbeda. Supaya kita melihat keberagaman tidak hanya dari ketinggian mereka tinggal tapi sebetulnya keberagaman arsitektur. Sehingga ketika orang-orang jalan, mereka tidak hanya mengalami dan tahu bahwa suku ini tinggal di sini tapi juga melihat bentuknya seperti apa. Bayangkan kalau di Eropa, di Italia misalnya, atapnya begitu-begitu saja. Kalau di sini berbeda. Akhirnya kita harus memilih di ketinggian tertentu rumah yang mana. Misalnya kita pilih Suku Betawi, tapi ada kemiripan dengan suku Nias, jadi saya cari yang berbeda total. Jadi memilihnya bukan timur ke barat, tapi dari banyaknya variasi yang berbeda supaya orang mengalami elevasinya sekaligus mengalami variasinya.
Ditujukan sebagai sebuah representasi struktur tradisional yang asli dari Indonesia, bagaimana proses pengembangan ide di balik “Elevation”?
Prosesnya adalah, pertama melihat ukuran tempat yang tersedia. Kedua, saya pikir kita harus bisa sequence ketika masuk. Jadi masuk ke dalam, naik ke atas, keluar lagi. Dan bagaimana caranya supaya masuk, naik ke atas, tapi tidak melewati jalan yang sama. Kemudian masuk ke dalam, naik, jalannya tidak sama, tapi tidak tabrakan dengan pintu masuk. Jadi ada strateginya. Ketika yang satu masuk, harus melewati lorong yang bentuknya miring supaya orang seperti tersedot masuk, kemudian pintu keluarnya sengaja ditutup supaya orang tidak masuk dari situ. Setelah itu, saya masukkan karya-karya tadi. Jadi tangga itu merepresentasikan ketinggiannya.
Sekarang di daerah-daerah Indonesia orang lebih pilih berjualan handphone dibandingkan anyaman.
Kayu-kayu untuk strukturnya saya menggunakan kayu Jabon. Kayu Jabon adalah kayu yang sebenarnya bukan kayu yang kuat, tapi dengan ditempel-tempel menjadi kuat. Dan itu bukan kayu yang diambil (langsung) dari hutan. Itu adalah kayu hutan produksi. Jadi itu dipotong dari perkebunan, diperkuat, kemudian ditaruh. Saya juga ingin memperkenalkan bahwa sebenarnya kita sudah bukan saatnya lagi mengambil kayu dari hutan tapi kayu hutan yang sudah diproduksi. Kemudian kenapa di facade saya menggunakan anyaman. Itu karena sekarang di daerah-daerah Indonesia orang lebih pilih berjualan handphone dibandingkan anyaman. Jadi jika kita mengenalkan anyaman ke seluruh dunia, orang tertarik, anyaman menjadi terkenal, sebetulnya kita akan memperkenalkan lagi bahwa orang Indonesia pandai menganyam, mereka juga terampil, itu warisan nenek moyang, dan kita bangga. Kayu itu buat struktur atau tulangnya, dan anyaman ini menjadi kulit yang transparan, terbuka, breathing.
Apa saja tantangan yang Anda hadapi dalam proses pembuatan karya ini?
Waktu dan biaya tentunya. Kemudian hal-hal technical dan ide. Sejak mulai diundang, kita tidak bisa bicara ke siapa-siapa. Jadi selalu bisik-bisik kalau bertanya ingin membantu atau tidak. Kebetulan bertemu yang dari Woodlam ingin membantu untuk membuat strukturnya karena dia ingin eksperimen juga tentang kekuatan kayu dari pabrik barunya. Kemudian bertemu Pak Lim Masulin dari BYO Living yang ingin membantu untuk merepresentasikan tentang ‘kulit’, dan kita beri challenge bagaimana kalau kita membuat ‘kulit’ yang tidak polos saja tapi ingin beberapa motif kain yang dijadikan satu. Kita memilih 6 kain dari seluruh nusantara kemudian digabung menjadi satu dan dijadikan facade. Lalu dia memberikan added value dia tidak membuat 2 dimensi saja namun dibuat anyaman 3 dimensi. Makanya saya menggunakan sinar agar bisa lebih terlihat 3 dimensi. Menurut saya itu menarik.
Setelah menyelesaikan “Elevation”, apakah ada rencana untuk proyek selanjutnya yang akan mengangkat nilai-nilai tradisional lain dari Indonesia?
Secara spesifik saya tidak berpikir sampai di situ. Tapi sebagai arsitek Indonesia, saya ingin mengangkat bagaimana kita arsitek Indonesia mempunyai arsitektur yang maju ke depan dengan nilai-nilai tradisi yang kita convert menjadi kekinian bahkan lebih ke depan lagi. Maksudnya seperti kalau dilihat Tenun Baron atau Sejauh Mata Memandang, sebenarnya mereka mengambil ide dari masa lalu tapi ditarik ke depan. Saya ingin arsitektur Indonesia juga begitu. Kita punya satu karakter kuat yang bisa kita kedepankan.
Akhir-akhir ini Anda banyak mengerjakan proyek affordable sustainable housing. Mengapa Anda mulai merambah proyek tersebut? Sebagai arsitek, bagaimana melihat publik bisa mulai menerapkan sustainable housing ke depannya dengan budget minimal?
Rumah-rumah murah itu yang saya lihat pada awalnya kasihan. Sepertinya affordable house, tapi dengan desain yang kurang dipikirkan. Padahal kalau desainnya baik, itu akan menjadi nilai tambah. Jika itu sustainable seperti ada ventilasi, sinar matahari bisa masuk sampai ke dalam, bagaimana caranya supaya orang masuk ke rumah tersebut dengan nyaman sampai merasa tidak perlu menggunakan AC. Untuk bisa sampai ke titik itu kayaknya penting sekali. Itu tantangan untuk saya sampai akhirnya saya mencoba. Karena buat saya, estetika atau rumah yang sehat itu bukan milik orang-orang kaya saja tapi sebetulnya semua orang worth untuk mendapatkan itu. Dan saya memiliki tantangan agar bisa membuat rumah yang affordable untuk semua orang. Kalau itu bisa, saya akan sangat bahagia. Karena buat saya hidup tidak hanya untuk kita pribadi tapi kalau kita bisa share untuk banyak orang akan lebih baik.
Profesi arsitek seringkali dikaitkan dengan mendesain gedung, tapi sesungguhnya arsitek juga punya daya kreativitas layaknya seniman. Lewat karya “Elevation”, hal apa yang Anda dapat dalam proses penciptaan karya yang hasil akhirnya bukan untuk dihuni?
Estetika atau rumah yang sehat itu bukan milik orang-orang kaya saja.
Saya juga kaget sebenarnya. Untuk Venice Biennale itu arsitektur, tapi ternyata ini juga bisa dianggap sebagai karya seni. Makanya diundang di Museum Macan. Buat saya surprise. Makanya ketika diajak bicara, saya bilang bahwa hari ini saya merasa seperti artis. Padahal sebetulnya saya tidak pernah merasa jadi artis. Tapi saya pikir arsitek-arsitek punya sense 3 dimensi yang kuat. Dari sejak belajar sudah seperti itu. Jadi sebetulnya arsitek punya kemampuan untuk itu. Bisa sebagai arsitek, bisa sebagai artist.
Untuk ke depannya apa proyek yang sedang Anda kerjakan?
Sekarang yang menarik saya sedang membuat museum seni kontemporer di Bali. Buat saya itu sangat menarik karena, seperti di Jakarta ada Museum Macan, di Bali ada juga, dan museum yang saya desain tidak interior saja. Itu benar-benar dari arsitekturnya saya juga desain. Bagi saya itu sangat challenging. Mudah-mudahan kita bisa mendapatkan museum yang baik, sesuai persyaratan, tapi juga indah dan mewakili zamannya, serta ada makna yang baik untuk masyarakat.
Proyek yang lain, ada proyek semi-public, saya sedang desain namanya “Rumah Cokelat”. Itu menceritakan tentang Indonesia sebagai penghasil cokelat terbesar ketiga di dunia dan tidak banyak orang yang tahu. Dengan adanya tempat itu orang akan bisa tahu bahwa Indonesia (salah satu) penghasil cokelat terbaik, cokelatnya dibawa ke Swiss dan Belgia, kita hanya tahu cokelat pakai susu saja tapi yang sangat enak itu tidak pernah ada. Nantinya akan ada pabrik kecilnya dan interaktif untuk anak-anak juga. Itu akan menjadi semacam edutainment untuk masyarakat.