Dosa Politik Kita pada Generasi Berikutnya
Kegelisahan atas anak-anak yang banyak terpapar dan ikut terseret agenda politik orang tuanya.
Words by Whiteboard Journal
Demi Pemilu, sesungguhnya kita telah berdosa pada anak-anak kita—generasi yang baru memulai kehidupannya. Bagaimana kita dapat menebusnya—bahkan sekian tahun kemudian?
Pemilu sudah usai. Tapi mengapa tidak untuk masih membicarakannya hingga kini? Topik ini belum basi. Bila beberapa waktu lampau orang-orang berdebat—baik sehat maupun kusir—mengenai kapasitas dan kelayakan pasangan 01 dan 02, kini perseteruan masih berlanjut pada soal angka. Dugaan kecurangan, kecurigaan terhadap kotak surat suara yang riskan diselewengkan, manipulasi angka, tudingan bahwa ada pihak penyelenggara Pemilu yang mendukung kepentingan salah satu calon menjadi berita yang hangat di media, bahkan hampir setiap hari.
Seluruh perseteruan yang berseliweran ini tidak hanya menyergap kita sebagai orang dewasa, tapi juga anak-anak. Tidak sekali dua kali saya mendengar anak-anak meneriakkan, “Jokowi!” “Prabowo!”. Dalam pandangan saya, hal itu terjadi bukan tanpa konteks.
Sebuah Prolog : Ingatan
Ingatan saya kembali ke tahun 2004, di mana di tahun tersebut terselenggara Pemilu pertama yang benar-benar dimiliki oleh rakyat pasca reformasi.
Di hari itu, dering telepon menyambangi rumah kami. Bukan saya yang mengangkat telepon, melainkan Ibu saya. Percakapan kali itu berjalan cukup lama, tak seperti biasanya. Setelah telepon asing tersebut terputus, saya menanyakan pada Ibu saya, “Siapa dia?” Ibu menjawab bahwa orang tersebut adalah surveyor yang sedang mengambil sampel untuk menghitung kemungkinan calon mana yang akan menang di Pemilu. Waktu itu, saya tak tahu pasti apa itu survey dan surveyor. Maka, hal yang saya tanyakan sangat sederhana, “Memangnya kalian pilih siapa?”
Pertanyaan itu kemudian segera disambut oleh Ibu saya dengan kalimat singkat yang tidak terlupakan hingga saya dewasa. Begini kira-kira yang beliau katakan, Ibu menjawab kalau “Pemilu itu luber, jadi pilihannya nggak boleh dikasih tahu ke siapapun. Ayah nggak tahu, kamu pun nggak boleh tahu.”
Saya yang saat itu duduk di bangku SD, tentu tak mengerti definisi luber—langsung, umum, bebas, rahasia bila Ibu saya tak menjelaskan kemudian. Dari situ saya berpikir bahwa Pemilu adalah hal yang sangat personal. Butuh kontemplasi untuk meyakinkan pilihan sendiri tanpa ada pengaruh. Bagaimana bisa memengaruhi dan dipengaruhi, lha wong, pilihan masing-masing saja tidak saling tahu. Tentu ini adalah pikiran anak-anak yang masih sangat lugu.
Jawaban Ibu saya tadi kalu dipikir ulang, barangkali memang mendiskreditkan kemampuan mencerna saya sebagai manusia kecil. Tapi, jawaban Ibu saaat itu justru membuat saya dewasa ini bersyukur karena menyadari bahwa mereka tidak punya dosa politik pada saya, anaknya.
Perluasan Panggung Kontestasi : Menyeret Anak-anak
Di Pemilu sebelumnya—tahun 2014—saya benar-benar mengalami betul apa yang dikatakan oleh para pengamat bahwa lini media sosial memang sudah terbelah menjadi dua. Masing-masing pendukung calon menjadikan akun media sosialnya sebagai panggung kampanye bagi jagoannya masing-masing. Alhasil, panggung kontestasi semakin luas. Tak hanya berupa kunjungan blusukan maupun kampanye akbar. Panggung-panggung tersebut hadir sangat personal dan menjamur di Facebook, Twitter, dan Instagram. Jauh-jauh hari, banyak orang menyatakan pilihannya—tak lagi dirahasiakan.
Namun, yang baru dari Pemilu tahun ini bagi saya adalah bahwa perluasan panggung kontestasi politik yang teramati di dunia maya—bahkan sudah tak lagi malu-malu ditampakkan di dunia nyata—ini sudah mengenal konsep baru, yakni “perlekatan pilihan” kepada anak-anak. Anak-anak—secara sepihak—dibebani untuk mengimani dan mengamini Capres-Cawapres idola orang tua—hal yang tidak tampak dilakukan oleh orang tua di periode-periode Pemilu sebelumnya.
Terlihat dari mana? Di Pemilu 2019 ini, beberapa kali saya menonton video yang dibagikan di media sosial maupun aplikasi percakapan instan. Video berdurasi pendek ini mencoba menunjukkan siapa calon presiden pilihan anak-anak. Sang penanya dalam video mengutarakan, “Jokowi atau Prabowo?” Sang anak kemudian mulai menjawab, “Jokowi!” Sang penanya kemudian lanjut bertanya, “Kenapa gak Prabowo, Prabowo aja ya?” Berlanjut dengan gelengan kepala bahkan rengekan dari yang ditanya dan disambut tawa oleh si penanya. Begitu juga di kubu sebaliknya, di mana anak dalam video menjawab lugas pertanyaan tersebut dengan menyebut nama “Prabowo.”
Siapa perekam video tersebut? Jelas, orang tua atau keluarganya sendiri.
Di lain akun, sepasang ibu dan bapak juga sangat bangga menampakkan foto keluarganya dengan pose mengacungkan jempolnya atau ibu jari dan telunjuk yang beradu seperti pistol siap ditembakkan. Apa yang menjadi keterangan foto? Tentu saja klaim bahwa keluarganya—termasuk anak mereka—mendukung salah satu calon. Bahkan, ada pula yang membagikan unggahan foto anaknya sedang berdoa dengan khusyuk demi kemenangan salah satu Capres dan Cawapres.
Unggahan seperti ini tidak hanya saya lihat satu atau dua kali. Sehingga yang tampak secara superfisial, “Wow, anak kecil saja bisa memilih, lho,” atau “Anak-anak aja tahu siapa yang pantas dipilih.” Hal ini bisa nampak sebagai internalisasi pilihan yang sangat dangkal.
Sebuah Agenda Besar dan Catatan Dosa
Badan Pengawas Pemilu sudah membuat aturan bahwa acara kampanye tidak boleh mengikutsertakan anak-anak di bawah umur. Aturan ini mungkin bisa dikontrol di lapangan pada hari-H kampanye saat para calon dengan gagahnya berada di atas mimbar, di bawah terik matahari.
Namun bagaimana dengan anak-anak yang sudah dicomot dan terseret ikut masuk ke dalam “kampanye” di akun-akun media sosial personal orang tuanya sebagai dampak perluasan panggung kontestasi politik? Mereka barangkali tak pernah tahu bahwa bahwa wajah di foto dan perkataan di video mereka dilihat banyak orang, dibagikan ulang ke banyak grup percakapan yang mereka tak kenali anggotanya—tanpa seizin mereka.
Orang tua terlalu sibuk dengan agenda politik mereka sehingga alpa menjaga privasi anak. Orang tua juga terlalu sibuk dengan agenda membuat anaknya menyukai bahkan mendukung calon jagoannya hanya dengan mengandalkan prinsip like and dislike.
Tak hanya itu, ada juga orang tua yang dengan bangganya menunjukkan foto anaknya menunggu sampai larut di lokasi ia melakukan pengawalan suara. Sang ibu menyebut anaknya di usia sekecil ini telah menjadi bagian dari sekelompok orang yang berjuang mencari kebenaran.
Hari ini mereka bisa mengklaim bahwa anaknya mendaku simpatik dan mendukung calon favoritnya. Tapi benarkah demikian adanya?
Bagi saya, ini adalah dosa besar dalam melibatkan anak-anak dalam pusaran Pemilu dan politik. Anak-anak hanya fokus digiring untuk berbicara tentang “siapa”, tapi kecil kemungkinan mereka dilibatkan untuk berbicara tentang “apa”. Kita dapat dipersalahkan atas sistem edukasi politik di rumah yang sama sekali tidak dialogis.
Pernahkah mereka diajak melihat dan bicara tentang “apa” itu kesenjangan sosial? Pernahkah mereka sebagai seorang siswa diajak untuk menganalisis “apa” saja sistem pendidikan kolot yang mungkin membebani fisik dan psikis mereka? Pernahkah mereka diajak bicara tentang “apa” itu HAM? Pernahkah mereka diajak merenung tentang “apakah” pembangunan dan bukan sekadar menikmati atau mengumpati hasilnya saja? Pernahkah mereka diberi ruang untuk menumbuhkan kesadaran bahwa isu SARA sangat tidak elok bila digunakan sebagai kendaraan politik untuk mendongkrak elektabilitas, dan “apa” saja dampaknya bila hal tersebut terjadi? Mereka barangkali hanya sebatas tahu “siapa” yang berhasil membangun jalan tol atau “siapa” sosok yang mampu menarik massa untuk sholat subuh berjamaah di GBK.
Mereka mungkin memang belum akan memahami seluruhnya secara utuh hari ini. Tapi, dengan memberi kesempatan untuk melihat, membaca, dan membicarakan kondisi nasional hari ini, kita membuka cakrawalanya bahwa mereka adalah raja di negaraya sendiri. Kepentingan mereka harus terakomodir. Ini akan memberinya pondasi sejak kecil sehingga dapat membuat kesimpulan sendiri tentang mengapa mereka harus memilih salah satu calon, atau bahkan tidak memilih keduanya. Tidak sekarang, tapi nanti, kelak saat mereka sudah punya hak pilih, mereka akan mampu memperjuangkan kepentingannya tanpa pengaruh orang lain—termasuk orang tuanya
Sayangnya, mereka bukanlah subyek yang punya kesempatan tersebut. Mereka bahkan tak pernah tahu apa itu visi-misi Capres dan Cawapres. Mereka hanya diposisikan sebagai objek yang diwarisi pilihan oleh orangCtuanya dan harus menginternalisasinya secara superfisial sebagai nilai keluarga yang mendarah daging. Di sinilah dosa kita sebagai orang tua juga mendarah daging.
Kemudian hari—dua atau tiga periode Pemilu lagi—saat anak-anak kita tumbuh sebagai warga negara dan punya hak suara sendiri, mereka barangkali terbebani oleh masa lalu di mana kita menorehkan dosa politik yang begitu dalam. Mereka bisa jadi memilih hanya berdasarkan “warisan keluarga”—mana yang mungkin disukai keluarganya dan mana yang bukan. Karena bagaimana pun, internalisasi di masa anak-anak adalah sesuatu yang dahsyat, berbekas lama—bisa sepanjang usia, dan sulit dibengkokkan. Hasilnya, Indonesia bisa jadi kekurangan pemilih rasional kelak, dan ini adalah dosa kita.
Ingatlah bahwa kita mewariskan negara ini pada anak-anak kita—generasi berikutnya yang akan menjalani kehidupan kewarganegaraan—bukan sekadar mewariskan presiden dan wakil presiden.