Mengupas Kondisi Wanita Hari Ini dalam Masyarakat Indonesia
Diskusi dengan tokoh-tokoh ternama tentang perkembangan dan kurangnya gerakan kesetaraan gender di Indonesia.
Words by Emma Primastiwi
Desain: Dila Hasan
Setiap tahunnya, 8 Maret jatuh sebagai tanggal spesial bagi wanita di seluruh dunia. Berawal di tahun 1917, 8 Maret dijadikan hari libur nasional di Rusia setelah kesuksesan wanita di sana untuk memperoleh hak pilih. Terus berkembang dan menyebarkan inspirasi ke jutaan wanita di negara-negara lain, akhirnya di tahun 1975, United Nations resmi mengangkat 8 Maret sebagai International Women’s Day. Meski kita sudah mengalami kemajuan pesat berkat perjuangan nenek moyang kita, masih banyak ketidakadilan yang ditemui oleh wanita setiap harinya. Oleh sebab itu, dalam rangka International Women’s Day Jumat lalu, kami berdiskusi dengan beragam tokoh wanita ternama di Indonesia mengenai peran seorang wanita dalam masyarakat Indonesia. Mulai dari perbandingan ekspektasi sosial, gerakan feminisme dalam negeri sampai peran seorang wanita modern di rumah tangga.
Hannah Al Rashid
Aktris & Model
Dari dulu, wanita selalu dilanda tekanan dan ekspektasi sosial yang berlebihan. Mulai dari cara berpakaian, cara berbicara, usia menikah dan lain lain. Di tahun 2019 sekarang, bagaimana Anda membandingkan ekspektasi wanita dulu dan sekarang, apakah sudah berubah?
Ini pertanyaan yang cukup sulit untuk dijawab, karena dalam beberapa aspek kita sudah maju, dan dalam beberapa aspek lain, sepertinya ada kemunduran. Saya melihat masyarakat yang justru semakin polarised antara dua sisi. Di satu sisi, semakin banyak perempuan dan lelaki yang “woke” akan isu perempuan, encourage self-empowerment dan ingin berubah standar sosio-budaya yang berlebihan tersebut, demi kesejahteraan dan keadilan bagi kita semua, tidak hanya bagi kaum perempuan Indonesia.
Dan di sisi lain, baik di media sosial, maupun di kehidupan nyata, semakin banyak kelompok yang menggunakan “logika agama” justru untuk melanggengkan tekanan dan ekspektasi sosial terhadap banyak perempuan. Di media sosial terutama, jelas terlihat propaganda of “creating fear and division” antara dua sisi ini, sedangkan menurut saya, seharusnya kita semua bisa coexist kalau kita benar-benar belajar untuk work for a common goal, social welfare and justice for all. Justru sebagai seorang yang menganggap diri a Muslim Feminist, I truly believe the values of my religion encourage equality, and seeking knowledge and seeking justice. Tapi entah kenapa, ada agenda untuk polarise masyarakat kita, semua seakan-akan kita dipaksa pilih loyalitas; “kita” atau “mereka”, sedangkan saya sangat percaya bahwa ada jalan tengah yang baik untuk kita semua.
Menurut Anda, seberapa pentingnya gerakan feminisme untuk perkembangan budaya Indonesia?
Menurut saya gerakan feminisme sangat penting untuk perkembangan budaya Indonesia. Tapi saya juga sangat sadar akan anggapan kurang baik terhadap kata feminist. Makanya sebelum menyampaikan pendapat soal feminisme, saya selalu merasa harus jelaskan feminisme versi saya dulu, biar orang tidak salah paham. Feminisme menurut saya sangatlah simple, yaitu, kesetaraan yang artinya kita bisa sadar akan perbedaan fisik antara perempuan dan lelaki, tapi kesempatan dalam hidup harus sama. Kesempatan untuk mengakses pendidikan, healthcare, justice, the job market etc. demi kehidupan yang lebih sejahtera dan adil. Tidak ada agenda lain kok, selain memperbaiki kehidupan setiap warga Indonesia, dengan mencapai kesetaraan. Tapi saya juga sadar, bahwa dari dulu budaya Indonesia cukup patriarki, jadi sebuah gerakan yang datang dan membuat sebuah perubahan dalam status quo, tentunya tidak akan diterima semua orang.
Tapi balik lagi ke apa artinya menjadi orang Indonesia bahkan manusia yang baik? Apakah bisa dibilang budaya yang baik saat kita melanggengkan ketidakadilan bagi perempuan? Menurut saya, tidak. Feminisme dan gerakan untuk kesetaraan, kesejahteraan dan keadilan ini justru seharusnya membuat budaya kita semakin baik.
Bagaimana Anda menanggapi gagasan bahwa feminisme adalah gerakan yang “kebarat-baratan” sehingga tidak cocok dengan masyarakat Indonesia?
Ya menurut saya ini absurd. Justru kenapa saya begitu yakin feminisme cocok dengan masyarakat Indonesia, karena saya melihat sejarah Indonesia penuh dengan tokoh-tokoh perempuan yang memiliki jiwa feminis. Kartini, Tjut Nyak Dien, Dewi Sartika, Martha Christina Tiahahu, apa kemiripan perempuan-perempuan hebat ini? Mereka semua dapat mengidentifikasi ketidakadilan, dan ingin melawannya demi Indonesia yang lebih baik.
Mungkin mereka tidak pernah menyebut diri feminism, tapi values mereka sama dengan values feminisme. Mereka adalah perempuan-perempuan hebat yang pada zamannya bisa dibilang radikal, bisa dibilang melawan norma atau value sosio-budaya pada zaman itu, they were trail-blazers in their own right. Nah, apa bedanya dengan aktivis-aktivis Indonesia jaman sekarang yang menganggap diri feminism? Sama-sama hebat sebenarnya, dan sama-sama harus work hard to fight existing injustice against women.
Apakah Anda puas dengan representasi wanita dalam politik sekarang? Jika tidak, apakah saran yang Anda ingin sampaikan kepada para pelaku politik?
Terus terang, saya tidak puas. Saya senang semakin banyak perempuan yang ikut dalam berpolitik, karena sometimes numbers do count to change the status quo. Tapi what kind of women? Saya merasa masih belum banyak female politicians di Indonesia yang benar-benar paham konteks gender, sehingga tidak terdapat banyak perubahan legislatif untuk mengatasi isu perempuan. Don’t forget, masih banyak perempuan Indonesia yang tanpa disadari ikut melanggengkan sistem patriarki yang justru they are victims of.
Saya pernah hadir di sebuah meeting di DPR untuk salah satu komisinya, dan saat saya melihat anggota DPR perempuan di sana, saya kecewa banget. Banyak yang datang telat, banyak yang duduk ngobrol-ngobrol saat presentasi sedang berlangsung, adapun yang selfie bareng. Makanya, untuk saya, bukan soal jumlah female politicians tapi the quality. Ya kita lihat saja caleg-caleg perempuan yang banyaknya hanya jual tampang, even my own peers from the entertainment industry. I don’t have faith in them to make any significant change for us women. Ke manakah female politicians 5 tahun terakhir ini, saat RUU PKS yang jelas-jelas akan bantu korban kekerasan (yang mayoritasnya memang perempuan) tidak di sah-sahkan. Saya paham bahwa female politicians shouldn’t have to use their femaleness to push pro-female agendas forward, tapi jelas-jelas male politicians won’t do it, so I do peg high hopes on female politicians to represent our worries and fight for us.
Beberapa tahun silam, gerakan equal pay dan equal opportunities di tempat kerja sedang gencar-gencarnya di Amerika. Menurut Anda, apakah Indonesia sudah mencapai kesetaraan dalam tempat kerja?
Menariknya, ada beberapa data yang menunjukkan bahwa justru di Indonesia, sering terjadi perempuan dibayar lebih dari lelaki. Ini sesuatu yang sangat menarik kalau kita bandingkan dengan global comparison. Tapi, sesuatu yang jelas, di Indonesia, sangat minim perempuan dengan jabatan yang tinggi, sehingga tidak terdapat banyak perempuan di posisi decision-making. Karena budaya “guilt trip” dari masyarakat jika seorang perempuan bekerja, dan tuduhan dia bukan seorang ibu atau istri yang baik karena bekerja, pastinya banyak perempuan yang merasa kewalahan. That guilt trip makes it easy for women to quit and “jadi ibu rumah tangga aja”. Tapi bayangkan bos mereka seorang perempuan, yang juga paham isu-isu itu, yang bisa implement company policy yang friendly terhadap working mothers, pasti lebih banyak perempuan yang akan stay in work karena work-life balance tersebut jadinya lebih diakomodir oleh perusahaan. Kita butuh lebih banyak perempuan dalam posisi yang tinggi karena pasti benefits-nya akan trickle down ke karyawan perempuannya. Tapi pada umumnya kita butuh lebih banyak orang dalam masyarakat yang encourage and give credit to women in work, instead of guilt tripping them into staying at home.
Prof. Melani Budianta, Ph.D
Akademikus & Intelektual Publik
Dari dulu, wanita selalu dilanda tekanan dan ekspektasi sosial yang berlebihan. Mulai dari cara berpakaian, cara berbicara, usia menikah dan lain lain. Di tahun 2019 sekarang, bagaimana Anda membandingkan ekspektasi wanita dulu dan sekarang, apakah sudah berubah?
Situasi akan berbeda untuk setiap perempuan, tergantung lingkungan dan keluarganya, tetapi secara umum tekanan sosial terhadap perempuan tetap sama. Di saat konservatisme agama meningkat, tekanan berbasis dogma terhadap perempuan akan semakin kuat.
Menurut Anda, seberapa pentingnya gerakan feminisme untuk perkembangan budaya Indonesia?
Pertanyaan no. 2 dan 3 sama karena inti feminisme adalah mencapai kesetaraan dan keadilan sosial. Itu ada dalam UUD dan Pancasila, jadi penting untuk setiap bangsa tanpa perlu menyebut kata feminism.
Bagaimana Anda menanggapi gagasan bahwa feminisme adalah gerakan yang “kebarat-baratan” sehingga tidak cocok dengan masyarakat Indonesia?
Kata “feminisme” dianggap berbau kebarat-baratan, tetapi inti perjuangan feminisme, yakni kesetaraan dan keadilan itu sudah ada di tataran lokal bahkan sebelum kata itu marak diperkenalkan. Kongres Perempuan pertama (22 Desember 1928) sudah membicarakan hak perempuan untuk memperoleh pendidikan, dan posisi perempuan dalam pernikahan.
Apakah Anda puas dengan representasi wanita dalam politik sekarang? Jika tidak, apakah saran yang Anda ingin sampaikan kepada para pelaku politik?
Representasi perempuan dalam politik harus terus diperjuangkan, bukan hanya dalam jumlah. Kualitas perlu ditingkatkan dengan berbagai kegiatan penyadaran akan hak politik setiap warga di tingkat akar rumput, termasuk para pamong praja, serta perluasan akses berbagai pendidikan politik. Harus ada kesadaran di setiap kampung atau kelurahan; perempuan maju menjadi ukuran keberhasilan daerahnya.
Beberapa tahun silam, gerakan equal pay dan equal opportunities di tempat kerja sedang gencar-gencarnya di Amerika, menurut Anda, apakah Indonesia sudah mencapai kesetaraan dalam tempat kerja?
Sudah ada peningkatan walau masih ada fenomena ‘langit-langit kaca’ (posisi tertinggi umumnya untuk laki-laki), dan pembedaan upah. Untuk itu perlu regulasi dan insentif juga buat korporasi agar tidak mendiskriminasi upah berbasis jenis kelamin dan memberdayakan pekerja perempuan dan pekerja difabel.
Bagaimana Anda melihat fenomena pertukaran peran dalam rumah tangga, dimana sang Ibu yang mencari nafkah dan Ayah menjadi stay-at-home dad?
Yang penting dalam keluarga bukan bertukar tetapi berbagi peran dan beban tugas rumah tangga. Perlu terus disosialisasikan bahwa Ayah yang mengasuh anak itu ok dan pasangan yang masak dan membersihkan perabot bersama itu keren dan gaul. Yang kedua diperlukan penyadaran bahwa tiap individu, baik laki-laki maupun perempuan punya talenta unik dan berbeda yang harus dihargai. Jika seorang laki-laki lebih suka dan memilih bekerja di rumah sambil mengasuh anak, itu sah dan bagus, demikian pula jika perempuan lebih berkembang dalam karir publiknya. Ini hak bukan saja untuk perempuan. Ini prinsip keadilan.
Mouly Surya
Sutradara & Produser
Dari dulu, wanita selalu dilanda tekanan dan ekspektasi sosial yang berlebihan. Mulai dari cara berpakaian, cara berbicara, usia menikah dan lain lain. Di tahun 2019 sekarang, bagaimana Anda membandingkan ekspektasi wanita dulu dan sekarang, apakah sudah berubah?
Saya rasa tekanan dan ekspektasi sosial itu selalu ada dan tidak pernah hilang. Sama sekali belum berubah, meskipun sekarang sudah ada sosok-sosok dan komunitas-komunitas yang melakukan gebrakan. Tetapi merubah pola pikir society secara luas jelas bukan hal mudah apalagi sudah dibentengi dengan keyakinan-keyakinan mengenai “kodrat”. How I hate that word.
Menurut Anda, seberapa pentingnya gerakan feminisme untuk perkembangan budaya Indonesia?
Sangat penting. Ini bukan saja soal budaya. Ini persoalan hak asasi manusia. Paling mendesak menurut saya justru ke internal pribadi perempuan-perempuan Indonesia itu sendiri. Harus berawal dari pribadi yang memang percaya dirinya bisa mandiri, baik secara finansial maupun pribadi.
Bagaimana Anda menanggapi gagasan bahwa feminisme adalah gerakan yang “kebarat-baratan” sehingga tidak cocok dengan masyarakat Indonesia?
Itu jelas salah paham dengan apa itu feminisme. Hak asasi manusia untuk hidup, mendapatkan kesetaraan, memang kebarat-baratan?
Beberapa tahun silam, gerakan equal pay dan equal opportunities di tempat kerja sedang gencar-gencarnya di Amerika, menurut Anda, apakah Indonesia sudah mencapai kesetaraan dalam tempat kerja?
Sangat tidak setara. Amerika itu ketinggalan dari Eropa soal ini. Apalagi Indonesia. We are decades behind! Tidak usah tempat pekerjaan, kesempatan pendidikan di keluarga saja seringkali mengutamakan anak laki-laki daripada perempuan. Dan akhirnya bermula dari titik itu; ketika anak perempuan itu beranjak dewasa ia tidak dibekali rasa tanggung jawab dan rasa percaya diri yang setara.
Kita sebagai wanita Indonesia tidak bisa menunggu hal-hal ini diberikan kepada kita. Kita harus fight for it.
Bagaimana Anda melihat fenomena pertukaran peran dalam rumah tangga, dimana sang Ibu yang mencari nafkah dan Ayah menjadi stay-at-home dad?
Kenapa tidak? Ini bukan siapa pencari nafkah lalu ia pegang kuasa. Saya selalu melihat peran ibu dan ayah dalam rumah tangga itu sebagai sebuah partnership.
Isyana Sarasvati
Musisi
Dari dulu, wanita selalu dilanda tekanan dan ekspektasi sosial yang berlebihan. Mulai dari cara berpakaian, cara berbicara, usia menikah dan lain lain. Di tahun 2019 sekarang, bagaimana Anda membandingkan ekspektasi wanita dulu dan sekarang, apakah sudah berubah?
Buat saya, kata kuncinya pendidikan. Di masa lalu pendidikan belum terjangkau semua kalangan, faktor budaya yang male-dominated, serta tekanan ekonomi dan sosial yang begitu berat, banyak ekspektasi yang tidak realistis kepada perempuan. Sekarang, perempuan sudah memiliki kesadaran yang tinggi untuk menjadi dirinya sendiri tanpa harus mengorbankan peran biologisnya.
Menurut Anda, seberapa pentingnya gerakan feminisme untuk perkembangan budaya Indonesia?
Sulit untuk menjawab karena banyak ragam dari gerakan feminisme. Buat saya perjuangan untuk kesetaraan gender adalah mutlak. Namun harus dilakukan dengan cara-cara yang santun dan tidak malah merendahkan harga diri dan identitas perempuan Indonesia.
Bagaimana Anda menanggapi gagasan bahwa feminisme adalah gerakan yang “kebarat-baratan” sehingga tidak cocok dengan masyarakat Indonesia?
Mungkin saja ada miskonsepsi yang mengatakan kebarat-baratan. Sejatinya, feminisme berawal dari ketidakadilan gender, dan itu terjadi tidak hanya di barat tapi di seluruh dunia, hanya kebetulan berkembang pertama kali di barat. Pola perjuangannya sangat kontekstual, bisa jadi gaya perjuangan yang kebarat-baratan tidak pas buat konteks keIndonesiaan kita.
Apakah Anda puas dengan representasi wanita dalam politik sekarang? Jika tidak, apakah saran yang Anda ingin sampaikan kepada para pelaku politik?
Saya tidak terlalu mengikuti representasi wanita dalam politik, namun saya lihat di berbagai forum, perempuan sudah mendapatkan kesempatan sama dengan pria. Mungkin sudah bukan permasalahan representasi dari kuantitas tapi bagaimana peningkatan kualitas perempuan di segala bidang.
Beberapa tahun silam, gerakan equal pay dan equal opportunities di tempat kerja sedang gencar-gencarnya di Amerika, menurut Anda, apakah Indonesia sudah mencapai kesetaraan dalam tempat kerja?
Saya tidak tahu persis secara umum di Indonesia, tapi dari pengalaman profesi saya sebagai musisi, tidak dirasakan adanya ketidakadilan upah maupun peluang.
Bagaimana Anda melihat fenomena pertukaran peran dalam rumah tangga, dimana sang Ibu yang mencari nafkah dan Ayah menjadi stay-at-home dad?
Saya belum berumah tangga jadi belum bisa membayangkan. Mungkin ada beberapa peran yang bisa bertukar, mengurus rumah tangga menurut saya juga bekerja dan tanggung jawab suami-istri, jadi tidak ada salahnya bisa bergantian. Soal nafkah adalah soal rejeki, buat saya yang penting bekerja dan tidak menganggur atau bermalas-malasan.
Rain Chudori
Penulis
Dari dulu, wanita selalu dilanda tekanan dan ekspektasi sosial yang berlebihan. Mulai dari cara berpakaian, cara berbicara, usia menikah dan lain lain. Di tahun 2019 sekarang, bagaimana Anda membandingkan ekspektasi wanita dulu dan sekarang, apakah sudah berubah?
There is certainly more spaces for women to exist in recent years, and a lot of it we owe to the women that come before us who have fought, resisted, and carved out a place for us. However, we also need to recognise that the freedom that some of us may experience, may still be out of reach for others. There are women who can receive education, who can have careers, who has their own choices, and there are women who still struggle with these basic rights. It is difficult to truly call it “freedom” when these rights are only granted to a few. The responsibility that we have now is how to expand our space, offer a hand to those who are in need, and redefine what freedom means.
Menurut Anda, seberapa pentingnya gerakan feminisme untuk perkembangan budaya Indonesia?
Space for women is one of the most important issues that we have to focus on. For the literary industry, the past has been filled with the names of men, while women (who read, wrote, edited, translated, published, and worked in the industry) were forgotten. It is important to listen to the voices of women – from the past and the present – in order to understand humanity itself.
Bagaimana Anda menanggapi gagasan bahwa feminisme adalah gerakan yang “kebarat-baratan” sehingga tidak cocok dengan masyarakat Indonesia?
It depends on which theories and praxis that we’re discussing – feminism have different strands, layers, methods, but I’m of the belief that in order for progress to happen, we must be aware of the landscape that we are working with. A language that works in one space, may not work in others. First, we have to ask, who are we speaking to?
Apakah Anda puas dengan representasi wanita dalam politik sekarang? Jika tidak, apakah saran yang Anda ingin sampaikan kepada para pelaku politik?
There are a lot of women now in our national politics, perhaps more than there ever were in our history. Some has created great strides in becoming a figurehead in public security, economic expansion, and bridging cultural shifts. I don’t think there can ever be an “enough” amount of women in spaces, especially public sectors where they have the most power to create impact. I would love to see even more programs for educational services for women, such as scholarships, skill training, and assistance in the workforce.
Beberapa tahun silam, gerakan equal pay dan equal opportunities di tempat kerja sedang gencar-gencarnya di Amerika, menurut Anda, apakah Indonesia sudah mencapai kesetaraan dalam tempat kerja?
Within the literary industry, we are seeing the emergence of women writers – both established and emerging, who are gaining position, influence, opportunities, and equal pay with their male counterparts. However, socially, the landscape have been embedded with exclusively male voices for generations, something that is slowly disappearing, but still very much exists. It is much harder to be a woman writer because with everything we say, we do, and we create, we always have to be more careful than our male peers.
Bagaimana Anda melihat fenomena pertukaran peran dalam rumah tangga, dimana sang Ibu yang mencari nafkah dan Ayah menjadi stay-at-home dad?
Ever since I was a child, I have been around people from the creative industry who does not live a traditional lifestyle, so this idea or practice is not new for me. I think such arrangements is neither strange or an issue, as long as the people involved in it is happy with it.
Yacko
Rapper & Dosen
Dari dulu, wanita selalu dilanda tekanan dan ekspektasi sosial yang berlebihan. Mulai dari cara berpakaian, cara berbicara, usia menikah dan lain lain. Di tahun 2019 sekarang, bagaimana Anda membandingkan ekspektasi wanita dulu dan sekarang, apakah sudah berubah?
Selama masih ada pemberian nama terhadap anak perempuan berupa nama bunga karena ada ekspektasi supaya anak perempuan tersebut cantik seperti bunga, ekspektasi akan wanita dulu dan sekarang masih sama saja. Sedihnya hal itu malah diperuncing oleh sesama perempuan yang saling membandingkan satu sama lain. Padahal penting bagi sesama perempuan untuk saling mengapresiasi.
Menurut Anda, seberapa pentingnya gerakan feminisme untuk perkembangan budaya Indonesia?
Sangat penting sampai pada titik setiap orang bisa dan harus menjadi feminis. Menjadi feminis bukanlah untuk mendominasi gender lain, tapi lebih kepada bagaimana perempuan mendapatkan akses penuh terhadap haknya. Dan hal ini perlu ditanamkan pada budaya Indonesia yang menurut saya banyak didominasi oleh patriarki. Sehingga pemahaman feminisme perlu ditanamkan untuk melawan praktik praktik patriarki.
Bagaimana Anda menanggapi gagasan bahwa feminisme adalah gerakan yang “kebarat-baratan” sehingga tidak cocok dengan masyarakat Indonesia?
Ini yang saya maksud di atas. Banyak pemahaman akan feminisme itu salah. Padahal seperti yang saya bilang di atas, feminisme itu diperlukan supaya perempuan mengerti dan bisa mendapatkan akses full kepada hak-haknya seperti hak untuk hidup tanpa kekerasan dan pelecehan seksual, perbudakan, diskriminasi, hak untuk memilih, hak untuk mendapatkan akses pendidikan dan kesehatan reproduksi seksual, dll.
Apakah Anda puas dengan representasi wanita dalam politik sekarang? Jika tidak, apakah saran yang Anda ingin sampaikan kepada para pelaku politik?
Saya harap jumlah wanita yang duduk dalam penyelenggaraan negara dan bersuara untuk perempuan lebih banyak. Kalaupun jumlahnya tidak banyak, saya harap siapapun itu mau bersuara untuk memberdayakan perempuan lain.
Beberapa tahun silam, gerakan equal pay dan equal opportunities di tempat kerja sedang gencar-gencarnya di Amerika, menurut Anda, apakah Indonesia sudah mencapai kesetaraan dalam tempat kerja?
Belum semuanya. Masih ada praktik-praktik dalam tempat kerja yang tidak menempatkan perempuan pada posisi primary atau dipromosikan karena dia perempuan dan dilihat tidak mampu menduduki posisi penting itu.
Bagaimana Anda melihat fenomena pertukaran peran dalam rumah tangga, dimana sang Ibu yang mencari nafkah dan Ayah menjadi stay-at-home dad?
Tidak ada yang salah dari hal itu. Selama tidak ada paksaan, hal itu sah sah saja.
Intan Paramaditha
Penulis
Dari dulu, wanita selalu dilanda tekanan dan ekspektasi sosial yang berlebihan. Mulai dari cara berpakaian, cara berbicara, usia menikah dan lain lain. Di tahun 2019 sekarang, bagaimana Anda membandingkan ekspektasi wanita dulu dan sekarang, apakah sudah berubah?
Kalau di era Orde Baru itu, kita bicara soal peran ganda sebagai ekspektasi. Era Orde Baru lekat dengan developmentalism, kata bendanya pembangunan. Jadi perempuan diharapkan berpartisipasi dalam pembangunan dan gagasan modernitas Orde Baru. Jadi, ada semacam glamorisasi perempuan yang bekerja, misalnya bekerja di kantor. Tapi pada saat yang sama perempuan juga tidak boleh lupa tentang kodratnya sebagai istri dan ibu. Setelah Orde Baru jatuh, jadi semakin terlihat ya perlawanan dari; misalnya organisasi-organisasi perempuan atau intelektual perempuan yang mengkritik ini.
Setelah masa itu saya merasa melihat banyak perlawanan, banyak perempuan-perempuan yang inspiratif. Tapi saya rasa sekarang ya, tahun 2019 itu kita hidup dalam ambivalensi. Jadi di satu sisi ada perempuan-perempuan seperti Sri Mulyani yang S3 dan karirnya sangat cemerlang. Kemudian ada Ibu Susi Pudjiastuti, seorang menteri yang sangat tegas. Lalu kita melihat orang-orang ini sebagai role model, tapi pada saat yang sama masyarakat (mainstream) juga semakin konservatif. Jadi ada semacam gerakan yang justru menciptakan ekspektasi-ekspektasi yang sangat mengekang perempuan – contohnya seperti tren hijrah. Perempuan-perempuan muslim diharapkan untuk lebih fokus mencari imam saja. Kemudian juga ada semacam ketakutan pada perempuan-perempuan yang berpendidikan tinggi. Mungkin kita kan banyak yang hidup di dalam bubble masing-masing.
Kalau dari keluarga saya, saya termasuk privilege dalam arti ayah dan kakek saya mendorong (untuk) financial independence, bahwa perempuan itu harus mandiri secara finansial. Tapi itu kan sangat tergantung dengan lingkungan masing-masing dan ada orang-orang yang dalam bubble-nya “nggak kok, gue baik-baik aja”. Sebenarnya gerakan ini semakin melebar dan melebar, kelas menengah muslim yang konservatif kemudian hijrahnya juga mengenal ajaran Islam itu juga baru. Kemudian ya mereka ikut menyebarkan ekspektasi-ekspektasi macam ini yang justru kalau saya melihat lebih parah dari era Orde Baru. Kalau dulu kita dikungkung oleh kodrat ibu dan istri itu, ya sekarang sudah bukan peran ganda lagi. Sekarang perempuan ya sudah puas saja menjadi ibu rumah tangga karena itu jalan ke surga. Jadi sepertinya tantangan kita semakin besar.
Menurut Anda, seberapa pentingnya gerakan feminisme untuk perkembangan budaya Indonesia?
Sangat penting karena yang kita butuhkan itu adalah ranah seni dan budaya yang punya perspektif feminis. Tanpa perspektif feminis, kita hanya akan melihat produk-produk budaya yang justru melecehkan perempuan atau menganggap bahwa katakanlah, perkosaan itu sesuatu yang normal.
Baru-baru ini kan ada satu film populer ya yang bikin heboh, film itu berdasarkan buku, “Antologi Rasa”. Dan di situ si perempuannya mabuk kemudian si laki-lakinya bercinta dengan perempuan ini, dan besoknya perempuannya marah tapi kemarahan itu tuh tidak dianggap serius. Film ini malah menormalisasikan, dan akhirnya tidak ada semacam hukuman ataupun sanksi untuk si laki-laki ini. Padahal ini kasus perkosaan karena tidak ada consent di situ. Anak-anak muda sudah banyak yang mengkritik film ini, tapi pada saat yang sama yang mendukung dan/atau yang protes karena film ini dikritik itu banyak sekali. Dan ini mainstream popular culture yang lebih banyak ditonton oleh masyarakat kita. Jadi tanpa perspektif feminis ya yang kita konsumsi adalah film atau musik yang menyudutkan perempuan.
Kalau dari sastra misalnya, walaupun ada beberapa penulis perempuan yang menonjol atau dianggap perlu terus dibicarakan, secara umum tidak berlaku untuk penulis perempuan lainnya. Yang membuat keputusan pasti laki-laki. Banyak sekali all male panels setiap penjurian sastra atau diskusi-diskusi sastra. Narasumbernya semua laki-laki, atau perlombaan misalnya. Terus, ini kan jadi kita bertanya-tanya sebenarnya mereka paham tidak sih pentingnya suara perempuan. Nah di sini banyak banget contoh di dalam ranah seni dan budaya yang menunjukan bahwa perspektif feminis itu masih harus terus kita dorong. Jadi dia (perspektif feminis) penting kan, tapi kita belum melihat bahwa dia diterima di banyak segi, jadi masih harus terus diperjuangkan.
Bagaimana Anda menanggapi gagasan bahwa feminisme adalah gerakan yang “kebarat-baratan” sehingga tidak cocok dengan masyarakat Indonesia?
Sebetulnya sejak dulu ya bahwa feminisme itu berasal dari barat itu selalu menjadi alat legitimasi, menurut saya dijadikan alat untuk mempertahankan status quo dan menolak pemikiran-pemikiran feminis. Kalau saya, pertama kali saya muncul di ranah seni dan budaya di Indonesia, saya melihat adanya kecurigaan terhadap kelompok-kelompok feminis. Mereka diberi label perempuan yang hobi marah-marah, sepertinya sampai sekarang juga. Walaupun sudah lebih banyak anak-anak muda yang mempopulerkan feminisme, secara umum masih ada kan stigma itu. Kalau ke-barat-baratan sebenarnya yang diperjuangkan oleh organisasi perempuan dari tahun 20-an, kemudian Gerwani di tahun 60-an, itu kan perjuangan feminis. Gerwani dulu menolak poligami, mengkritik praktik poligaminya Soekarno, kemudian juga menuntut upah yang sama. Jadi kalau misalnya dibilang ke-barat-baratan, praktik yang dilakukan katakanlah dari awal abad ke-20 itu sudah menunjukan bahwa perempuan Indonesia tuh berjuang dan mereka feminis, terlepas dari istilah yang mereka gunakan.
Kalau zaman dulu kan istilahnya, ‘perkumpulan istri’ misalnya kalau tahun 20-an. Ya mau namanya perkumpulan istri, kalau misalnya yang diperjuangkan itu adalah kesetaraan hak, yaitu perjuangan feminis. Atau si kaum ibu. Itu sebenarnya mereka menggunakan istilah yang dianggap bisa diterima di masyarakat. Ya tapi perjuangannya sih sebenarnya perjuangan feminis. Jadi menurut saya itu cuma alasan pihak-pihak yang merasa terganggu dengan perjuangan feminis karena feminisme itu kan menggugat dan mempertanyakan apa-apa yang nyaman atau menguntungkan sebagian pihak. Kalau mereka merasa bahwa mereka selama ini diuntungkan oleh sistem patriarki, ya jelas saja mereka tidak senang ada kelompok feminis dan mereka kasih label ke-barat-baratan dan tidak sesuai dengan budaya Indonesia.
Apakah Anda puas dengan representasi wanita dalam politik sekarang? Jika tidak, apakah saran yang Anda ingin sampaikan kepada para pelaku politik?
Ini juga ranah yang masih butuh perjuangan keras sih soalnya yang saya lihat orang-orang seperti Ibu Sri Mulyani dan Ibu Susi Pudjiastuti ya, itu mereka lebih seperti tokoh-tokoh perempuan yang eksepsional. Jadi ini sebetulnya masalah kalau misalnya kita mengangkat sedikit perempuan elite dan eksepsional, sementara sebagian besar perempuan nasibnya ya tidak berubah. Ada juga yang saya perhatikan banyak perempuan-perempuan yang misalnya masuk ke DPR itu tidak memperjuangkan kepentingan perempuan maupun minoritas. Padahal seharusnya kalau perempuan yang punya perspektif feminis, dia juga punya daya nalar kritis terhadap undang-undang yang cenderung mengkriminalisasi warga karena feminis sebetulnya kan itu soal cara berpikir yang sangat sadar pada relasi kuasa kan. Nah, di undang-undang seperti UU ITE, UU Pornografi, dan yang baru-baru ini RUU Permusikan itu kan masih sama semangatnya kriminalisasi warga. Jadi sebenarnya perempuan kalau dia feminis, dia harus punya kecermatan untuk mengkritisi undang-undang seperti ini. Nah, yang saya lihat sih justru kadang-kadang perempuan itu ikut berpartisipasi menghasilkan produk-produk hukum yang seperti ini. Jadi saran yang ingin disampaikan ya mungkin bukan saran juga ya, tapi harapan.
Harapan saya sih lebih banyak perempuan yang punya perspektif feminis di dalam politik praktis. Bukan hanya sekadar perempuan, tapi perempuan yang mau membela kepentingan perempuan, kelompok minoritas; minoritas dari segi gender, etnis, agama. Ya sampai sekarang kan isu LGBT masih sensitif juga. Orang takut kehilangan kuasa kalau misalnya mereka secara terbuka mendukung isu LGBT. Ya kita lihat saja misalnya partai yang baru ini ya, PSI yang dianggap dan mengklaim dirinya sebagai partai yang progresif. Itu kan sangat hati-hati dengan isu LGBT. Jadi ya idealnya di situ adalah perempuan-perempuan yang punya perspektif feminis. Nah sayangnya, kita masih harus terus perjuangkan – bukan berarti tidak ada yah. Karena menurut saya sih misalnya seperti Ibu Susi menurut saya punya perspektif feminis, ada satu occasion yang dia seperti mengkritik seorang pejabat publik laki-laki yang membicarakan ahli laki-laki semua, jadi dia aware soal keterwakilan perempuan.
Beberapa tahun silam, gerakan equal pay dan equal opportunities di tempat kerja sedang gencar-gencarnya di Amerika, menurut Anda, apakah Indonesia sudah mencapai kesetaraan dalam tempat kerja?
Saya bukan ahli soal gender pay gap ya. Tapi yang saya tahu itu misalnya berdasarkan data tahun 2016 soal gender gap index, Indonesia itu ranking 88 dari 144 negara. Jadi ya masih banyak yang harus diperbaiki. Tapi dia cenderung lebih baik dari banyak negara, misalnya Vietnam dan Tiongkok. Kemudian gapnya itu juga cenderung lebih sempit. Saya juga pernah membaca artikel bahwa banyak perempuan sebetulnya pada posisi-posisi tertentu yang dibayar lebih daripada laki-laki. Tapi sebenarnya kan isunya bukan hanya di seberapa banyak dia dibayar, tapi lebih ke pertanyaan soal seberapa banyak perempuan hadir sebagai decision makers dalam organisasi.
Nah ini belum setara juga karena kadang-kadang perempuan itu opini-opininya dianggap lebih inferior dibanding laki-laki. Kemudian juga banyak sekali tantangan-tantangan yang sebenarnya lebih beyond the area of gender pay gap, misalnya soal authority. Otoritas kepemimpinan perempuan itu sering banget dipertanyakan. Itu satu. Kemudian ada juga hal lain misalnya keamanan di tempat kerja. Jadi soal bagaimana perempuan bisa merasa aman, bebas dari objektifikasi atau sexual advances yang tidak diinginkan. Kemudian juga kalau dia misalnya di dalam lingkungan kerja itu banyak subtle harassment, misalnya disebut “cantik deh, pasti bisa dapat klien”, seperti semacam itu. Dan itu dari yang seperti itu sampai yang kalau mau karirnya meningkat harus tidur sama si ini, si ini, tokoh-tokoh top leader yang semuanya laki-laki.
Nah, yang seperti itu kan makin memperumit saja tuh posisi perempuan di dunia kerja. Dan kita banyak bidang yang tidak punya code of ethics, misalnya kalau saya perhatikan – yang menjadi fokus saya memang bidang seni dan budaya – itu kan tidak ada code of ethics-nya, bagaimana di dalam suatu komunitas seni, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh. Makanya kita ada kasus pemerkosaan terhadap mahasiswi yang dilakukan oleh budayawan terkenal, yang dia memanfaatkan posisinya sebagai kurator di sebuah organisasi terkenal dan sebagai budayawan untuk bikin sexual advances ini dan untuk mendapatkan gratifikasi seksual. Ini kan belum ada regulasinya di dunia kerja, jadi lebih kompleks dari isu gender pay gap dan lebih bikin frustasi sebenarnya.
Bagaimana Anda melihat fenomena pertukaran peran dalam rumah tangga, dimana sang Ibu yang mencari nafkah dan Ayah menjadi stay-at-home dad?
Ya saya melihatnya banyak ya di keluarga-keluarga yang kontemporer. Ini berat banget sih menurut saya dan benar-benar tergantung pada komunikasi si pasangan ini, kemudian juga lingkungan keluarga, dan lingkungan sosial. Karena konstruksi maskulinitas di masyarakat kita tuh cenderung destruktif. Kalau misalnya laki-laki menjadi stay-at-home dad, walaupun si istrinya atau si suaminya oke-oke saja, tiba-tiba ada tekanan dari keluarga, “kenapa suaminya tidak kerja, di mana harga diri sebagai laki-laki” seperti itulah. Kemudian lingkungan sosial juga. Laki-laki yang stay-at-home itu juga cenderung dianggap feminin kan, dianggap lemah.
Kalau yang saya lihat di sekitar saya saja itu banyak kasus yang baik-baik saja karena komunikasi antar pasangannya baik. Tapi ada juga beberapa kasus yang saya lihat, karena transaksi ini cenderung berdua saja, sementara yang menjadi forces, yang menjadi daya tekan dari keputusan-keputusan personal itu kan justru dari keluarga, dari teman-teman. Nah ini efeknya ke si laki-laki itu bisa dia jadi sangat depresif. Atau yang lebih buruk dia tuh mencoba membuktikan maskulinitasnya dengan mengontrol istrinya. Misalnya dia tidak ingin istrinya lebih dari yang seharusnya bisa dicapai. Malah bisa jadi abusive juga. Semuanya tidak enak ya. Kalau yang depresif, kemudian jadi isu kesehatan mental juga tidak enak juga.
Jadi kalau yang saya lihat, karena tidak ada dukungan atau keluarga, lingkungan sosial yang mendukung stay-at-home dad ini cenderung sedikit, cenderung cukup terbatas. Di bubbles tertentu, banyak laki-laki yang jadi korban sistem patriarki ini dan efeknya bisa macam-macam seperti yang sudah saya sebutkan tadi. Jadi, buat saya sih karena masih ada stigma yang melekat pada stay-at-home dad, itu tidak bisa hanya pasangan itu ‘you and I against the world‘, tapi harus didukung oleh lingkungan sosialnya.
Rara Sekar
Musisi & Mentor Akademis
Dari dulu, wanita selalu dilanda tekanan dan ekspektasi sosial yang berlebihan. Mulai dari cara berpakaian, cara berbicara, usia menikah dan lain lain. Di tahun 2019 sekarang, bagaimana Anda membandingkan ekspektasi wanita dulu dan sekarang, apakah sudah berubah?
Sulit untuk menjawab pertanyaan ini karena sulit rasanya untuk mengeneralisasi pengalaman perempuan yang sangat beragam. Mungkin jawabannya ya dan tidak. Buat saya pribadi, ekspektasi sosial memang tetap ada. Namun karena faktor latar belakang sosio-ekonomi saya yang mungkin berbeda dengan perempuan lain (bisa dibilang jadi sebuah bubble tersendiri), ekspektasi itu tidak terlalu memaksa atau menekan pilihan hidup saya.
Singkatnya, dengan segala privilege yang saya miliki hari ini – baik ekonomi maupun sosial, saya memiliki ruang gerak cukup luas untuk menentukan hal-hal yang memberi arti dalam hidup saya. Tentunya masih banyak perempuan yang tertindas dari berbagai aspek, karena kesenjangan struktural, tekanan dari masyarakat, keluarga, maupun pasangannya. Namun hal berbeda yang saya amati belakangan ini adalah solidaritas antar-perempuan yang perlahan mengemuka dan menguat dalam melawan ragam penindasan yang dialami perempuan selama ini. Saya rasa ini hal yang patut kita rayakan dan terus dukung.
Menurut Anda, seberapa pentingnya gerakan feminisme untuk perkembangan budaya Indonesia?
Penting. Kesenjangan struktural dan mentalitas untuk menindas satu golongan, terutama perempuan, masih kental terasa di masyarakat kita. Seringkali kedua hal tersebut dinormalkan menjadi sesuatu yang lumrah. Feminisme, dengan ragam turunannya, hadir untuk memberi suara dan cara pandang alternatif untuk mengakhiri penindasan ini. Sebenarnya, ketika membicara penindasan, saya selalu terngiang pemikiran Paulo Freire tentang the vicious cycle of oppression. Kebebasan atau keadilan hanya tercapai apabila yang menindas berhenti menindas, dan ketika yang tertindas bisa membebaskan yang menindas dari siklus penindasan itu sendiri.
Bagaimana Anda menanggapi gagasan bahwa feminisme adalah gerakan yang “kebarat-baratan” sehingga tidak cocok dengan masyarakat Indonesia?
Mungkin ini karena ketidaktahuan masyarakat tentang pengetahuan-pengetahuan alternatif seperti feminisme ya sehingga pemahaman tentang isu feminisme atau gender sangat terbatas. Namun untuk hal ini, saya juga sepakat dengan sosiolog Raewynn Connel bahwa mungkin salah satu penyebabnya adalah dominasi teori gender dan feminisme dari Barat di Academia yang memang terlalu besar sehingga pengetahuan dan pengalaman gender dari “negara-negara Selatan” tidak mendapatkan panggung yang setara. Namun, sebenarnya, definisi gender yang progresif, relasi gender yang fluid, aktivisme gerakan perempuan, perlawanan terhadap penindasan terhadap perempuan bukan hal yang baru di Indonesia.
Melihat isu feminisme dari kacamata Indonesia juga rasanya tidak bisa lepas dari isu kelas, ras, dan lingkungan – isu gender adalah isu kompleks yang interseksional. Mungkin sudah saatnya kita membuka cakrawala kita terhadap sejarah dan kebudayaan Indonesia agar bisa lebih memahami isu-isu yang dihadapi oleh kaum minoritas gender dan perempuan.
Apakah Anda puas dengan representasi wanita dalam politik sekarang? Jika tidak, apakah saran yang Anda ingin sampaikan kepada para pelaku politik?
Kurang puas, karena masih sedikit perempuan dan juga laki-laki yang membawa agenda feminis di dalam perjuangannya. Representasi perempuan dalam politik bisa juga tetap melanggengkan patriarki dan penindasan terhadap perempuan, laki-laki, dan minoritas lainnya apabila cara pandanganya masih seperti itu.
Beberapa tahun silam, gerakan equal pay dan equal opportunities di tempat kerja sedang gencar-gencarnya di Amerika, menurut Anda, apakah Indonesia sudah mencapai kesetaraan dalam tempat kerja?
Lagi-lagi sulit untuk menjawab pertanyaan ini untuk mewakili pengalaman perempuan yang beragam. Buat saya pribadi, di lingkungan dan disiplin ilmu yang saya dalami, kesetaraan dalam tempat kerja sudah cukup baik, terutama perihal kesempatan yang setara. Tapi lagi-lagi saya berbicara dari pengalaman di bubble saya, kerja di kota besar, di lingkungan yang progresif dan terbuka. Akan berbeda dengan pengalaman perempuan lain dengan konteks yang berbeda.
Bagaimana Anda melihat fenomena pertukaran peran dalam rumah tangga, dimana sang Ibu yang mencari nafkah dan Ayah menjadi stay-at-home dad?
Saya melihat hal itu sebagai sesuatu yang normal-normal saja. Apabila sudah didiskusikan secara matang, pertukaran peran dalam kehidupan berumah tangga rasanya biasa saja. Dalam berumah-tangga sebenarnya sudah pasti banyak kompromi yang dilakukan untuk masing-masing pasangan agar bisa mendapat ruang dan kesempatannya untuk berkembang. Di dalam penyesuaian rencana hidup itu, terkadang bertukar peran menjadi salah satu cara untuk saling mendukung mimpi. Di rumah saya, justru Ben yang lebih banyak memasak dan bekerja dari rumah (menulis dan mempersiapkan bahan ajar), sedang saya memang lebih sering keluar untuk bekerja, manggung, dll. Cara pandang kami terhadap peran gender cukup fleksibel, karena kami merasa maskulinitas tidak melulu didefinisikan oleh peran-peran macho dan kerja kasar, dan begitupun dengan femininitas dengan kerja di dapur atau mengurus rumah tangga atau anak sendiri. Kami merasa, kedua elemen tersebut sebenarnya hadir di dalam setiap manusia dan terus berdinamika dalam mengarungi kehidupan.
Cania Citta Irlanie
Political Vlogger
Dari dulu, wanita selalu dilanda tekanan dan ekspektasi sosial yang berlebihan. Mulai dari cara berpakaian, cara berbicara, usia menikah dan lain lain. Di tahun 2019 sekarang, bagaimana Anda membandingkan ekspektasi wanita dulu dan sekarang, apakah sudah berubah?
Jelas sudah jauh lebih baik. Data selengkapnya terekam dalam GDI (Gender Development Index) dunia. Kalau secara awam saja kita lihat terpampang nyata hak politik bagi perempuan sudah setara dengan laki-laki, berbeda dengan zaman di mana perempuan tidak punya suffrage (hak memilih dan dipilih dalam Pemilu). Di Indonesia, ada beberapa kasus yang saya rasa penting untuk disoroti. Yang pertama, pengakuan perempuan sebagai subjek hukum yang mandiri. Sampai tahun 1960-an, perempuan yang sudah menikah perlu izin suami untuk bikin paspor, atau membuat perjanjian hukum seperti perjanjian kredit atau jual-beli aset, dan lain sebagainya. Selain itu, soal anak di luar nikah, sebelumnya hanya memiliki hubungan perdata dengan pihak keluarga ibu. Artinya, seluruh pertanggungjawaban finansial dan materiil lainnya dalam membesarkan anak hanya dibebankan pada pihak ibu secara hukum.
Sejak putusan MK Tahun 2012, pembuktian hubungan ayah biologis dengan uji DNA dapat dipakai sebagai dasar hubungan perdata anak dengan ayah, bukan hanya ibunya. Jadi, pertanggungjawaban atas anak ditanggung ibu dan ayah. Kemudian juga perubahan dari sisi budaya, misalnya penempatan perempuan dalam perkawinan bukan lagi sebagai objek transaksional ekonomi-politik antara ayahnya dengan keluarga suaminya, melainkan betul-betul sebagai keputusan otonomnya atas hidupnya untuk memilih membangun rumah tangga dengan orang yang ia cintai dan ia yakini akan membahagiakannya. Masih banyak pencapaian lainnya yang pantas kita rayakan bersama sebagai sebuah bangsa dan sebagai bagian dari peradaban dunia. Sekarang tinggal bagaimana pengalaman kesetaraan bisa dinikmati oleh lebih banyak perempuan di tempat-tempat yang mungkin belum terjamah teknologi atau informasi pengetahuan modern, dan yang terhalang oleh berbagai hambatan lainnya.
Menurut Anda, seberapa pentingnya gerakan feminisme untuk perkembangan budaya Indonesia?
Tergantung sih ya, gerakan feminisme yang mana. Saya pribadi memperjuangkan kerangka pikir ilmiah dan rasional dengan semangat moral yang pro kebebasan dan kesetaraan, terserah mau dinamakan apa. Dan ini menurut saya sangat penting, karena sains dan nalar memberikan kita peta realita yang akurat untuk mencari solusi yang tepat untuk permasalahan yang ada, sedangkan kebebasan yang berlaku setara bagi semua orang menjadi prakondisi yang harus terpenuhi dalam rangka membangun masyarakat yang bernalar dan secara kreatif melakukan kerja-kerja saintifik; mencari formula yang menjelaskan bagaimana dunia bekerja. Tanpa kebebasan, kita tidak akan bisa melatih kreativitas dan kapasitas berpikir kita. Makanya semua itu menjadi penting.
Bagaimana Anda menanggapi gagasan bahwa feminisme adalah gerakan yang “kebarat-baratan” sehingga tidak cocok dengan masyarakat Indonesia?
Dari dulu saya sudah lelah ya dengar pendapat seperti ini. Untuk feminisme, untuk HAM, untuk demokrasi, dan lain sebagainya. Coba dipikirkan ya, Barat itu beberapa ratus tahun lalu percaya perbudakan, orang-orang disuruh kerja tanpa upah, bahkan orang-orang kita dijajah dan dijadikan budak mereka. Lalu, mereka berubah. Esensi dari budaya adalah berubah seiring dengan pengetahuan yang semakin maju dan berkembang. Kalau budaya kita adalah suka keroyokan dan main hakim sendiri, apa mau dilestarikan terus? Barat saja berubah. Buat saya, budaya kebebasan dan kesetaraan itu ya budaya universal. Yang jelas secara rasional dapat kita nilai sebagai budaya yang lebih baik. Kalau bukan begitu, jadi apa budaya kita? Anti kebebasan? Pro penjajahan? Pro menempatkan perempuan dalam derajat yang lebih rendah dari laki-laki? Kan bodoh sekali pandangan seperti ini.
HAM juga begitu. HAM menjadi hak hidup, hak berpendapat, dan lain sebagainya. Disebut bukan budaya kita, berarti budaya kita apa? Hobi membunuh? Tidak mengakui hak hidup orang? Budaya begitu kok mau dipertahankan? Betul-betul pandangan yang bodoh sekali, harusnya tidak ada lagi orang Indonesia yang berpikir sebodoh ini saat kita sudah 74 tahun merdeka dan 21 tahun berdemokrasi. Lihat alternatif nilai yang ada, pikirkan baik-baik, pilih yang beradab dan berkemajuan. Sesederhana itu.
Apakah Anda puas dengan representasi wanita dalam politik sekarang? Jika tidak, apakah saran yang Anda ingin sampaikan kepada para pelaku politik?
Belum, karena masih kurang progresif, baik di isu perempuan sendiri maupun di isu pada umumnya. Tetapi ada beberapa sih yang menurut saya breakthrough ya, seperti bu Sri Mulyani dan bu Susi Pudjiastuti. Saya juga apresiasi sejumlah anggota DPR perempuan yang setidaknya bekerja dengan integritas dan pemikiran bermutu, seperti Rieke Diah Pitaloka, Eva Sundari, dan Rahayu Saraswati Djojohadikusumo. Tapi perlu ada suara progresif yang bisa mengimbangi suara perempuan konservatif seperti Fahira Idris.
Beberapa tahun silam, gerakan equal pay dan equal opportunities di tempat kerja sedang gencar-gencarnya di Amerika, menurut Anda, apakah Indonesia sudah mencapai kesetaraan dalam tempat kerja?
Saya pribadi agak skeptis dengan konsep yang dipakai orang dalam menghitung kesenjangan upah gender. Karena saya sempat membaca sebuah model di suatu riset tentang ini di mana cara menganalisisnya adalah dengan mengakumulasi upah semua pekerja perempuan dibagi jumlah semua pekerja perempuan, lalu dibandingkan dengan akumulasi upah semua pekerja laki-laki yang juga dibagi dengan jumlah semua pekerja laki-laki.
Nah, model ini menurut saya tidak masuk akal. Harusnya kan dilihat juga aspek pekerjaannya itu sendiri; durasi, tingkat kesulitan, dan lain sebagainya yang mungkin bisa menjelaskan kesenjangan yang ada. Jadi, kesenjangan itu bukan muncul akibat perbedaan gender, melainkan perbedaan kuantitas atau kualitas pekerjaannya. Saya pribadi tidak mengalami diskriminasi upah gender dan saya rasa di banyak perusahaan lain juga tidak ada fenomena itu. Saya sempat baca data juga tentang cuti yang lebih banyak diambil perempuan dibanding laki-laki (misalnya untuk nyeri haid, hamil, dan persalinan), bahkan data di Amerika ada yang menyebutkan perempuan juga lebih sering cuti sakit dibanding laki-laki. Baca di sini.
Nah, ini soal equal pay. Idealnya equal pay for equal work. Jadi, dihitung saja secara objektif kuantitas dan kualitas kerja karyawan, terlepas dari gendernya, dan berikan upah berdasarkan data itu. Kemudian, soal equal opportunity, saya gak bisa kasih pendapat ya karena belum sempat membaca data atau riset spesifik tentang ini.
Bagaimana Anda melihat fenomena pertukaran peran dalam rumah tangga, dimana sang Ibu yang mencari nafkah dan Ayah menjadi stay-at-home dad?
Bukan urusan saya sih. Saya melihatnya ya setiap individu punya kebebasan untuk bernegosiasi dalam rumah tangga mereka dan membuat kesepakatan mereka sendiri, entah itu urusan siapa yang akan mengurus domestic affair atau mau monogami atau poligami. Tetapi, sekali lagi, saya mendorong orang untuk mengadopsi paradigma saintifik dan rasional. Maka, saya berharap keputusan mereka sudah mereka pahami dampaknya, baik-buruknya, konsekuensinya, secara utuh, berdasarkan data-data yang ada.
Asmara Abigail
Model & Aktris
Dari dulu, wanita selalu dilanda tekanan dan ekspektasi sosial yang berlebihan. Mulai dari cara berpakaian, cara berbicara, usia menikah dan lain lain. Di tahun 2019 sekarang, bagaimana Anda membandingkan ekspektasi wanita dulu dan sekarang, apakah sudah berubah?
Kalau menurut saya banyak yang sebenarnya masih sama. Jadi dari dulu sampai sekarang sebenarnya belum banyak berubah, cuma cara-caranya saja, seperti bagaimana kita mesti berpakaian juga masih diatur. Dan maksudnya mungkin tidak seperti dulu sih cara mengaturnya, cuma sekarang seperti kita mau pakai apapun yang kita mau juga kita mesti memikirkan society lah, mesti memikirkan keluarga, ataupun keamanan kita. Misal kita mau pakai sesuatu tapi kita takut di-harrased di jalanan.
Yang saya tidak suka juga biasanya kalau di-harrased itu kalau misalnya kita sendirian. Kalau misalnya kita dengan pendamping, misalnya sama pacar, suami, kakak, atau ayah sama laki-laki, mereka tidak bakal harrased kita di jalan. Tapi kalau kita sendirian pasti di-harrased. Jadi maksudnya mereka menghargai pendamping kita, bukan kita sebagai perempuan. Jadi mereka lebih seperti “Oh, yaudah ada bapaknya, oh ada suaminya, ada pacarnya, jadi kita nggak ganggu.” Nah, tapi kalau perempuan ini jalan sendiri, pasti diganggu, disiulin, diapakan. Jadi maksud saya lebih menghargai ke pendamping kita, bukan wanita secara individual.
Untuk ekspektasi yang lain juga maksudnya toh kita sampai sekarang selalu ditanya, umurnya berapa kok belum menikah. Maksudnya masih sama saja, walaupun memang dulu mungkin usia menikahnya lebih muda, perempuan belasan juga sudah menikah. Cuma kalau sekarang mungkin memang umurnya beda, cuma perilakunya kurang lebih masih sama. Dan itu bolak-balik lagi tergantung dari lingkungan dan keluarga perempuan itu sendiri. Jelas kalau di keluarga saya tidak terjadi. Cuma maksudnya, saya selalu merasa saya beruntung.
Lalu untuk seperti ekspektasi pendidikan, pekerjaan, banyak juga kok teman-teman saya atau yang di lingkungan saya walaupun bukan teman dekat, kuliah ataupun kerja tapi ujung-ujungnya juga – begitu mereka memutuskan untuk berkeluarga, pasti seperti ada saja suaminya yang suruh mereka di rumah, lebih ke mengurus keluarga, mesti berhenti bekerja, atau lainnya. Jadi lebih patokannya seperti mesti menurut sama suami karena sudah menikah. Yang saya tidak mengerti, maksudnya waktu mereka (pasangan pertama kali) bertemu, situasi pertama perempuannya memang sudah bekerja atau bagaimana, kenapa sehabis itu pas menikah dijadikan hak milik terus harus menurut kepada suaminya? Itu yang saya tidak mengerti sih. Jadi menurut saya kurang lebih situasinya masih sama, tapi caranya berbeda.
Menurut Anda, seberapa pentingnya gerakan feminisme untuk perkembangan budaya Indonesia?
Menurut saya penting sekali. Gerakan feminisme itu tidak dilakukan hanya oleh perempuan menurut saya, malah penting sekali oleh laki-laki. Seperti maksudnya, siapa sih manusia yang lahir di dunia ini bukan dari rahim seorang ibu. Jadi maksudnya saya juga masih tidak mengerti mengapa mereka tuh bisa memposisikan perempuan di nomor dua. Sedangkan tidak mungkin ada orang yang lahir di dunia ini tanpa seorang perempuan. Bukannya kita mau sok feminis atau apa, tapi menurut saya lebih ke kemanusiaan ya. Kita sama-sama manusia, kenapa harus dibedakan?
Jadi pandangan saya soal feminis bukan memperjuangkan hak wanita atau gimana, tapi memang karena kita sama-sama manusia, karena kita sama-sama makhluk hidup ya kita ayo bersama memperjuangkan hak yang sama. Bukannya sok feminis lalu pekerjaan perempuan, perempuan, perempuan, dan perempuan, tapi lebih ke kebersamaan dan kemanusiaan. Kalau laki-laki bisa, ya perempuan juga bisa dong.
Sebetulnya Indonesia tuh kalau dirasa, dilihat sistemnya, menurut saya Indonesia itu sangat feminis dari konsepnya. Bolak-balik apa sih Indonesia kalau bukan ibu pertiwi, maksudnya dari judul tersebut saja Indonesia itu sudah super feminis, Indonesia kaya akan mother earth-nya kan. Kita di-supply dengan sangat kaya oleh alam, oleh ibu pertiwi. Itu kan perlambangan, filosofi dari tanah kita sendiri. Tapi pada terapinya kenapa kita tidak bisa seperti itu? Ke ibu kita, ke perempuan Indonesia. Padahal dari konsepnya Indonesia super feminis, makanya kenapa prakteknya kok lari sekali. Karena menurut saya mungkin juga cara pengajaran, atau cara yang diterapkan di keluarga banyak tuh yang tidak diresapi, jadi cuma “kenapa harus gini, kenapa harus gini. Ya sudah, ikuti saja karena memang begitu.” Tapi tidak diresapi ke dalam sebagai ideologi, sebagai filosofi, sebagai cara hidup, jadi cuma sekadar teori mengambang saja. Dan saya sepertinya juga merasa di dalam keluarga itu komunikasi antara orang tua dan anak itu kurang baik. Jadi anak itu sepertinya diajarkan untuk berbohong, buat menutupi siapa diri mereka sebenarnya karena takut tidak boleh kan.
Bagaimana Anda menanggapi gagasan bahwa feminisme adalah gerakan yang “kebarat-baratan” sehingga tidak cocok dengan masyarakat Indonesia?
Menurut saya tidak kebarat-an sama sekali karena juga di barat dulu juga situasinya tidak jauh berbeda dengan sekarang, masalah ekspektasi perempuan mesti nikah umur berapa, perempuan harus di dapur saja, perempuan mesti pakai korset, mesti pakai baju seperti ini, maksudnya itu barat sekali deh peraturan-peraturan bajunya dan lain-lain. Dan masalah seperti siapa mesti nikah sama siapa, putrinya siapa harus menikah dengan rajanya siapa, maksudnya itu barat sekali.
Yang paling terkenal saja deh, Marie Antoinette. Itu kan juga dijodohin apa segala macam. Jadi menurut saya itu tidak barat sama sekali, itu super universal. Perempuan manapun posisinya di dunia pasti mengalami hal yang sama. Jadi maksudnya, sama sekali tidak barat karena toh itu di barat kejadian sekali. Apa yang terjadi di sini, di barat juga terjadi. Perempuan memang pada dasarnya sebagai individu, kita mesti memperjuangkan hak kita, jadi bukan – balik lagi bukan perempuan. Setiap makhluk hidup menurut saya harus memperjuangkan haknya dan menjalankan kewajibannya supaya dunia ini berjalan dengan baik rotasinya dan keseimbangannya. Jadi supaya lingkungan di antara kita juga sehat. Kalau setiap individunya sehat dan bahagia, otomatis lingkungannya juga semakin sehat dan bahagia.
Apakah Anda puas dengan representasi wanita dalam politik sekarang? Jika tidak, apakah saran yang Anda ingin sampaikan kepada para pelaku politik?
Kalau untuk sekarang kita juga cukup bersyukur ya, banyak wajah-wajah di perpolitikan di Indonesia – walaupun di luar yang cukup ikonik sekarang, seperti ada Christine Lagarde di International Monetary Fund, terus juga ada Amal Clooney. Dia juga menurut saya sangat kuat. Atau mungkin Angelina Jolie, yang walaupun dia tidak berpolitik, tapi sisi kemanusiaanya kencang sekali. Lalu di Indonesia juga sekarang muncul sangat kuat ada Ibu Susi Pudjiastuti, Menteri Keuangan Ibu Sri Mulyani kan juga tadinya di World Bank. Jadi maksudnya, walaupun belum terlalu banyak, tapi juga sudah bermunculan. Dan juga sosok-sosok seperti Grace Natalie di PSI. Maksudnya sudah ada.
Saya cuma berharap mungkin lebih banyak lagi – tidak usah besar – mulai dari lingkungan sendiri-sendiri. Tapi paling tidak individual perempuan dan laki-laki, sepertinya menurut saya yang paling penting adalah menjalankan hal yang mereka cintai dan mereka percayai yang membawa dampak positif bagi masyarakat. Dari komunitas kecil saja itu pasti berdampak sangat baik dan kebaikan itu pasti menular. Jadi efeknya semakin besar, malah mungkin mulai mempengaruhi masyarakat dan negara.
Beberapa tahun silam, gerakan equal pay dan equal opportunities di tempat kerja sedang gencar-gencarnya di Amerika, menurut Anda, apakah Indonesia sudah mencapai kesetaraan dalam tempat kerja?
Kalau di Indonesia sendiri saya tidak pernah mengalami perempuan dibayar lebih rendah. Saya tidak pernah mengalami ini dan saya juga tidak pernah dengar dari teman-teman saya. Jadi paling sekadar ya kalau intern masih gajinya rendah. Kalau belum ada pengalaman kerja, gajinya masih rendah. Tapi semakin dia naik, pindah perusahaan, gajinya bertambah, seperti sewajarnya saja. Tapi laki-laki sama perempuan gajinya sih sama. Toh di perfilman juga, setahu saya seperti itu, mau sutradara perempuan, sutradara laki-laki, asisten sutradara perempuan/laki-laki, atau director of photography, atau bahkan aktor/aktris, mereka di nilainya dari kualitas dan pengalaman bekerja sih.
Saya sampai sekarang belum bisa berkomentar kalau itu terjadi di Indonesia. Tapi saya juga tidak tahu kalaupun itu terjadi atau tidak di dunia yang saya tidak kenal. Tapi yang saya alami itu tidak terjadi di lingkungan saya dan di lingkungan orang-orang yang saya tahu.
Bagaimana Anda melihat fenomena pertukaran peran dalam rumah tangga, dimana sang Ibu yang mencari nafkah dan Ayah menjadi stay-at-home dad?
Menurut saya ini bagus banget karena selama ini kita kan dicekoki seperti ibu di rumah, ayah bekerja. Jadi menurut saya juga ini bagus banget untuk pertumbuhan anak. Jadi dia tidak hanya melihat “oh ayah bekerja, ibu di rumah mengurusi.” Dan juga saya merasa banyak banget anak-anak yang tidak begitu dekat dengan ayahnya karena jarang komunikasi dan orang tua juga jarang banget yang kenal anaknya secara mendalam seperti teman, cuma ala kadarnya saja orang tua dan anak. Cuma mereka benar-benar tidak mengerti dunia-(anak)-nya, seperti they don’t have any idea. Coba saja tanya (ke) orang tua film favorit anaknya, atau lagu dan band kesukaan anaknya, they don’t have any idea menurut saya.
Dengan fenomena ini misalnya ayah dengan anak perempuan atau dengan anak laki-laki itu juga semakin terjalin. Tidak bisa saya merasa kalau ibu pasti sudah punya jalinan lebih kuat karena ya ada jalinan tersendiri yang tidak bisa kita jelaskan, anaknya ada dalam perut ibunya gitu untuk beberapa lama dan dilahirkan. Jadi ada jalinan yang kita tidak bisa deskripsikan, memang ada gitu mau tidak mau. Dan saya juga merasa potret atau image laki-laki Indonesia tuh memang dibikin kok kesannya tidak boleh show emotion ke anak, ke keluarga. Mesti kenceng terus, mesti jaim terus, mesti kasih sifat yang keras terus. Nah, menurut saya itu tidak banget sih. Maka anak-anaknya juga jadinya rata-rata tidak dekat dengan orang tua karena itu. Jadi menurut saya itu bagus banget. Apalagi menurut saya itu biasa banget misalnya ayah yang masak, ibu cuci piring, atau besoknya gantian ibu yang masak, ayah yang cuci piring. Bagi-bagi job desk saja sebagai keluarga dan persoalan rumah tangga supaya masing-masing individu tidak stres. Kasihan juga kalau misalnya terlalu berat di satu sisi kan, lebih ke pembagian tugas sih dalam ayah dan ibu karena menurut saya yang penting itu juga kerja sama di dalam rumah tangga.
Dan yang menurut saya juga penting banget adalah walaupun ayahnya stay-at-home as dad juga bukan berarti dia tidak bekerja. Karena sekarang juga banyak banget pekerjaan yang bisa dilakukan di rumah, misalnya ayahnya penulis kah, atau yang punya saham di mana-mana. Laki-laki kan memang sensitif banget tuh, tidak boleh merasa threatened atau tidak boleh merasa posisinya di bawah perempuan. Rata-rata yang stay-at-home dad malah makin stres karena dia merasa tidak berguna kan, tidak bisa cari uang atau gimana. Jadi menurut saya penting banget juga siapapun melakukan, bukan cuma laki-laki – ibu-ibu juga kalau di rumah saja tidak melakukan apa-apa jadinya stres. Tapi ibu-ibu kan lebih cekatan kan, entah dia punya warung, jualan tempe sama teman-teman arisan. Ibu-ibu tuh aktif, kalau bapak-bapak lumayan agak males ya sepertinya. Memang sepertinya hormon laki-laki dan perempuan itu berbeda. Jadi maksud saya penting banget juga seorang stay-at-home dad punya hobi atau usaha yang dia lakukan juga. Jadi dia bisa stay-at-home dad tapi he’s proud of it. Dia bangga bisa mengurusi anak, tapi dia bangga juga hobi sama bisnisnya jalan. Menurut saya itu ideal banget.