Membahas Relevansi Cerita di Era Streaming Bersama Jason Iskandar
Berbincang tentang budaya streaming video hingga pengalamannya bergabung dalam gelaran Film Musik Makan.
Words by Whiteboard Journal
Teks & Foto: Vestianty
Menjajal banyak hal sejak SMP, mulai photoshop hingga fotografi, Jason Iskandar akhirnya menemukan tempat yang selama ini ia cari untuk menyalurkan ide-idenya dalam medium film dan video. Karya-karyanya bersama dengan Studio Antelope yang ia dirikan, kini sudah banyak berkolaborasi dengan berbagai brand nasional untuk membuat iklan komersial yang dibawakan dengan storytelling kuat. Di samping itu, ia bersama timnya juga tak ketinggalan membuat film yang berangkat dari problema masyarakat dengan tetap menyampaikan pesan universal. Kami berbincang dengan Jason Iskandar untuk membicarakan mengenai awal keterlibatannya dalam dunia perfilman Indonesia, budaya streaming video, relevansi sebuah cerita dibuat ke dalam film pada masa kini, proses narasi, hingga pengalamannya bergabung dalam gelaran Film Musik Makan.
Pada umur 17 tahun, Anda meraih penghargaan atas film yang Anda buat pada documentary workshop & kompetisi “Think Act Change” yang diselenggarakan oleh Jakarta Arts Council and The Body Shop Indonesia. Sebenarnya sejak kapan awal Anda mengenal video dan teknis pembuatannya, dan bagaimana kalau Anda kini melihat kembali pada karya yang telah Anda buat tersebut?
Pertama kali kenalan dengan film sebenarnya jauh lebih panjang dari itu ya. Pertama kali, mungkin sekitar saat balita. Kebetulan orang tua saya itu orang yang suka menonton film, jadi saya dikenalkan dengan film sudah lumayan sejak dini. Saya diajak untuk ke bioskop pun juga sejak usia dini banget. Salah satu film awal-awal yang paling bermakna buat saya itu “Jurassic Park” karena waktu itu ayah saya kan sering sewa VHS dan salah satu yang disewa dan sering banget saya putar berkali-kali sampai rusak itu “Jurassic Park.”
Dulu di RCTI kalau ingat ada acara namanya “Cinema Cinema,” seperti acara – mungkin kalau sekarang tuh seperti acara yang memutar behind the scene film. Nah di situ saya melihat ada video behind the scene pembuatan “Jurassic Park” dan itu pertama kali saya tahu kata sutradara.
Saya belum paham sutradara itu pekerjaannya seperti apa, tidak tahu persis, tapi mungkin saya ingat pertama kali bilang ingin jadi sutradara itu awal SMP atau akhir SD. Dan sebenarnya waktu itu saya tidak sadar, cuma belakangan ini baru ingat-ingat lagi kalau ternyata memang ada dorongan buat menyutradarai sejak kecil. Seperti misalnya saat acara Natal atau kumpul keluarga, saya biasanya dengan sepupu-sepupu yang lain sering membuat drama kecil-kecilan sendiri yang diadaptasi dari komik-komik, misalnya Doraemon. Beberapa adegan kita mainkan bersama-sama. Nah, di bawah alam sadar, saya berperan sebagai sutradaranya. Jadi saya yang mengatur, seperti “lo gini, lo gini”, walaupun saya tidak tahu itu menyutradarai.
Begitu juga kalau ada tugas-tugas drama di sekolah, saya juga secara tidak sadar mengambil peran menyutradarai. Nah, mungkin saya baru sadar, memahami apa itu sutradara ketika masuk SMA. Ketika ikut kompetisi dan workshop itu juga diajarin lebih dalam lagi. Ternyata memang membuka mata sekali. Yang tadinya saya tidak terlalu paham sutradara atau menyutradarai itu seperti apa, di workshop jadi lebih paham. Membuat film ternyata tidak semudah yang saya kira selama ini. Saya bersama teman-teman SMA membuat film pendek dengan handycam saat kelas 1, tapi tidak tahu cara editnya. Karena masih pakai kaset jadi tidak tahu cara mendigitalisasinya bagaimana. Jadi ya syuting-syuting saja, tapi tidak tahu cara mengeditnya. Ya sudah, gagal. Sampai akhirnya saya baru mengerti semuanya itu sejak workshop itu.
Sebenarnya ada beberapa kali saya datang ke pemutaran film “Sarung Petarung”, belakangan ini. Entah diputar dengan karya saya yang lain, atau bisa juga diputar sendiri bersama karya-karya sutradara lain. Jadi saya beberapa kali menonton film “Sarung Petarung” lagi. Yang saya rasakan sih sebenarnya, “Gila gue zaman dulu ini banget ya, seperti remaja horny banget gitu.” Soalnya film itu tentang kondom kan – pengetahuan remaja tentang kondom. Dan tema-tema itu sebenarnya ya tema-tema yang menggelisahkan saya sekali kan ketika SMA. Jadi kadang malu sendiri sih melihat karya itu lagi, tapi kadang di sisi lain juga merasa itu catatan penting sih – seperti catatan harian yang penting di usia saya saat itu.
Bagaimana pentingnya video bagi Anda?
Karena menurut saya medium itu yang paling lengkap. Saya mengawali dari desain grafis. Lalu kemudian melompat ke fotografi, baru lompat ke film. Ketika saya pertama kali desain grafis, saya pertama kali belajar photoshop itu sepertinya SMP. Saya jatuh cinta banget sama desain grafis. Kalau ke Gramedia yang paling saya cari ya buku tutorial photoshop. Sekadar goblok-goblokan seperti text effects segala macam, cuma itu yang saya suka banget awalnya. Tapi saya lama-lama merasa seperti, “Gila ini sempit banget ya”. Space-nya itu tidak besar, apalagi skill gambar saya terbatas banget. Jadi ketika mau macam-macam, saya sudah tidak bisa, mau bikin ilustrasi itu saya tidak bisa. Ya paling mentok-mentok di layout. Terus kelas 1 SMA saya berkenalan sama fotografi. Prosesnya sama seperti pas pertama kali kenalan sama desain, saya suka banget. Waktu itu masih motret pakai seluloid, belajarnya juga masih pakai seluloid. Dan tiap minggu itu, saya ada ekskul di SMA saya. Dan semua orang-orangnya itu entah kenapa kompetitif banget. Jadi setiap minggu mereka akan hunting ke sana ke mari demi asistensi, seperti kasih lihat foto dikomentari. Dan saya salah satu yang kompetitif juga. Jadi tiap minggu motret, belajar teknis-teknisnya. Sampai akhirnya saya merasakan hal yang sama (seperti photoshop) karena fotografi juga satu frame kan. Photo stories bisa beberapa frame, tapi saya merasakan keterbatasan yang sama ketika saya ada di desain karena ya itu, terbatas.
Terus ikut workshop di “Think Act Change” itu saya ingat banget di workshop ini, materi pertama yang disampaikan adalah itu tadi; kalau foto kamu cuma ada satu frame, tapi sekarang kita ngomongin film atau video yang satu detik itu terdapat 24 sampai 30 frame bahkan kalau video. Dan itu langsung membuka mata saya, bahwa “Anjir ini, kalau seperti itu berarti space-nya luas banget ya.” Terus kemudian saya ikuti workshop itu, bikin film pertama saya juga di workshop itu. Pas jadi filmnya juga wah saya merasa puas banget sama hasilnya. Di sisi lain juga saya merasa ini, saya mendapatkan space yang selama ini saya cari. Saya mendapatkan ruang buat saya pakai yang selama ini saya cari, saya ingin seperti ini gitu. Seiring berjalannya waktu mulai belajar mengasah kepekaan, di saat yang bersamaan juga mengasah hal-hal teknis dalam film dan video. Ya akhirnya saya tetap merasa sampai sekarang bahwa ini medium yang paling tepat buat saya pribadi untuk menyampaikan sesuatu, karena lebar banget, maksudnya luas banget space-nya. Kamu bisa menaruh banyak hal di dalamnya.
Dengan latar belakang pendidikan sarjana di bidang sosiologi, hal apa yang membuat Anda memutuskan untuk beralih menekuni dunia perfilman hingga menjadi seorang sutradara dan produser?
Sebetulnya saya membuat film, bahkan sebelum saya memilih masuk sosiologi. Jadi saya sudah membuat film sejak SMA. Bahkan saya sempat tidak naik kelas sekali saat SMA karena terus ingin mencoba membuat film. Sampailah di kelas dua atau kelas tiga itu, muncul pilihan dimana saya harus memilih mau kuliah di mana. Pada saat itu muncul perdebatan mau sekolah film atau tidak. Awalnya saya ingin sekolah film. Orang tua pun mendukung untuk masuk sekolah film. Tapi kemudian saya mengobrol dengan beberapa teman – mentor-mentor sih sebenarnya yang saya kenal dari acara workshop itu. Timbul pertanyaan, “Penting tidak sih sekolah film?” Dan saat itu memang mulai ada perdebatan sekolah film itu penting atau tidak karena kan kita sedang transisi digital. Itu terasa sekali.
YouTube mulai ada – walau tidak segencar sekarang. Orang mulai membuat tutorial di YouTube, di blog masing-masing orang mulai mencoba buat tutorial. Jadi pengetahuan saat itu kencang sekali arusnya. Jadi, beberapa pertimbangan saya dengar dari teman-teman, ya akhirnya memberikan saran, “Kalau lo sekolah film untungnya gini, networking, lo bisa punya banyak teman-teman yang punya passion sama, ok. Tapi kalau lo tidak sekolah film, lo bisa punya banyak waktu untuk bikin film. Tapi kekurangannya lo tidak punya teman-teman buat ngejagain lo gitu yang punya passion yang sama.” Ya sudah lah dari pertimbangan itu saya akhirnya memilih untuk tidak sekolah film. Nah, cuma kalau tidak sekolah film, pertimbangannya mau sekolah apa. Muncul beberapa jurusan, salah satunya sastra, sosiologi dan antropologi. Pertimbangan sebenarnya sesederhana karena film bukan cuma soal teknis, tapi soal apa yang mau diceritakan. Bukan cara berceritanya saja, tapi apa yang mau diceritakan.
Saya ingin banget Studi Antelope itu buat platform untuk membuat collaborative working culture yang baik.
Beberapa ilmu sih sebenarnya menurut saya punya power buat membantu saya dalam hal itu; dalam menceritakan, salah satunya sosiologi. Sepanjang saya kuliah sampai lulus, saya merasa sosiologi banyak membantu saya di filmmaking sih karena menurut saya sosiologi itu adalah ilmu untuk mengungkap yang tersembunyi. Jadi kamu bisa melihat – kamu mungkin melihat di kehidupan kita ini biasa saja semuanya. Tapi sebenarnya di balik itu ada banyak sekali hal menarik. Sosiologi memberikan saya tools buat membongkar itu lah. Nah, sementara film adalah medium untuk merekam itu semua. Jadi menurut saya, sosiologi membantu sekali untuk filmmaking sebenarnya.
Bagaimana proses pendalaman narasi yang Anda lakukan untuk membuat satu cerita yang dibuat ke dalam penggambaran video?
Sebenarnya tidak banyak berbeda dengan pakem-pakem development lainnya sih. Kalau di Studio Antelope kita punya komitmen untuk setahun setidaknya membuat satu film pendek yang dibuat atas inisiatif sendiri. Tahun-tahun ini kita ada rencana untuk bikin film panjang yang bekerja sama dengan beberapa pihak lain, tapi kita juga tetap sampai kapanpun kita ingin commit untuk membuat satu film pendek yang atas inisiatif kita sendiri. Setiap kita membuat itu, kita pasti berkumpul untuk melontarkan beberapa ide-ide yang kita punya. Siapapun boleh memberikan ide. Dan dari ide-ide itu, kita pilih mana yang paling relevan untuk dibuat saat ini. Lalu misalnya satu ide terpilih, ide tersebut biasanya masih berupa premis – jadi premis itu cuma satu kalimat yang menggambarkan sisi filmnya, jadi tidak detail. Dan biasanya kita selalu menilai dari premis. Kita tidak terlalu suka untuk menilai – di tahap awal ini ya, development awal – cerita itu dari detail-detailnya.
Jadi ketika premis satu kalimat itu menarik dan bisa menggambarkan apa yang kita ingin sampaikan, biasanya itu yang akan kita judge pertama kali. Dari premis itu, yang tadinya cuma satu kalimat, barulah kita kembangkan menjadi sinopsis. Sinopsis biasanya antara satu paragraf sampai tiga paragraf, jadi sudah masuk ke hal-hal yang lebih detail, walaupun belum se-detail berikutnya. Dari sinopsis itu baru kita kembangkan lagi menjadi treatment. Treatment itu seperti naskah, tapi belum punya dialog – jadi seperti semuanya masih berupa penjelasan-penjelasan, semua diceritakan dalam berupa kalimat saja. Baru terakhir dikembangkan menjadi skrip.
Proses idealnya seperti itu, proses yang kita jalani seperti itu sampai akhirnya jadi skrip. Tapi dari itu semua yang paling penting dan harus kita jelas dulu adalah statement-nya. Jadi apa yang ingin kita bahas, statement kita apa, argumen kita apa, dan itu yang akan kita jaga sepanjang proses itu. Mungkin saja argumennya berubah di tengah jalan, tapi proses perubahan itu kan pasti ada perdebatannya dulu, ada diskusinya dulu. Menurut kita itu tetap bagian dari hal yang produktif sih. Setiap kita memberikan workshop, kita tidak pernah bilang bahwa ini adalah metode yang paling tepat, atau “Lo harus kayak gini.” Karena kebanyakan dari kita bukan dari sekolah film, jadi kita belajar dengan caranya masing-masing. Dan kita memberi tahu bahwa yang biasanya kita seperti ini, tapi kamu boleh belajar dengan cara-cara lain sebenarnya. Tapi yang paling penting di antara itu semua sebenarnya bukan tahapan-tahapan ini, tapi ya tadi film statement. Statement kamu apa, argumen kamu apa, dan kenapa ini penting untuk diceritakan.
Hal apa yang ingin Anda capai lewat Studio Antelope?
Awal Studio Antelope sebenarnya mimpinya tidak besar, setidaknya di awalannya. Maksudnya ketika itu saya lagi kuliah, terus saya sama Flo – yang sekarang jadi istri saya itu. Dulu dia kuliah di Karawaci di UPH, saya di UGM di Jogja dan LDR begitu. Awalnya kita ingin membuat satu bisnis kecil-kecilan yang bisa buat saya bolak-balik Jakarta-Jogja. Sambil mengerjakan, sambil bisa dapat uang. Sudah gitu berpikirnya kalau lancar, mungkin setelah lulus saya bisa tinggal melanjutkan itu. Awalnya waktu itu malah bukan production company atau film company bahkan, awalnya mengerjakan macam-macam, dari desain grafis, fotografi – video salah satunya. Itu kenapa kita menyebutnya waktu itu studio, terinspirasi salah satunya dari Studio 1212. Menarik juga, karena kita mengerjakannya macam-macam.
Nah, terus berkembang, akhirnya sampai sekarang – mungkin transisi yang penting buat Studio Antelope itu tahun 2014 ketika kita awalnya mengerjakan cuma fotografi, desain grafis, segala macam, sampai 2014 kita menentukan, “Okay kita mau mengerjakan film dan video.” Kita sepakat buat fokus mengerjakan film dan TV. Sebenarnya film sudah kita kerjakan sebelumnya, tapi kita lebih banyak membuat film independen untuk diputar di festival film. Cuma setelah itu kita decide, fokus di film dan TV, dan kita juga mulai terima pekerjaan komersial, seperti branded content. Karena saat itu memang kita merasakan video ini jadi banyak yang cari, demand-nya jadi tinggi, jadi kita mengerjakan itu. Sejak itu kita fokusnya berpindah ke sana.
Cuma mimpi besarnya sebenarnya lebih besar dari production saja. Ketika saya masuk ke industri ini, industri film, TV, dan iklan ini, saya merasa lumayan gelisah melihat kultur kerja orang-orangnya. Jadi saya ingin banget Studi Antelope itu buat platform untuk membuat collaborative working culture yang baik. Dimulai dari kita sendiri, Studio Antelope, terus ke teman-teman yang kerja freelance bareng kita. Jadi kita ingin membuat sistem supaya kita benar-benar bekerja dengan baik, kulturnya baik. Sesimpel sistem feedback, kultur kerja di set dan di lapangan, segala macam itu, mimpi kita sebenarnya bisa nge-set itu, bisa menularkan budaya kerja yang kolaboratif.
Kamu tidak bisa sebagai seorang sutradara merasa cuma di industri film dan yang kamu pedulikan cuma film tok.
Misalnya gini, kita beberapa kali kerja bareng pihak ketiga, brand atau klien – ini untuk kerjaan yang komersial. Paling tidak, kita tidak mau sense dari awal yang kita tanam ke mereka itu sense seperti kita itu tukang jahit yang mengerjakan pesanan. Jadi mereka datang “Okay, lo harus mengerjakan seperti ini, seperti ini. Kalau tidak ya gue tidak mau kerja sama lo.” Dari awal yang selalu kita tanamkan ke teman-teman ini – yang pihak ketiga ini, bahwa kita tidak mau bekerja seperti itu. Kita itu ingin memiliki posisi yang sejajar. Kamu punya message atau value yang ingin kamu sampaikan lewat karya ini, kita juga tahu bagaimana cara-cara untuk menyampaikan itu. Jadi kita ingin menanamkan sense of collaboration ini sejak awal, sejajar jadinya.
Begitu pula dengan ketika kita kerja bareng freelancers. Ada director, ada DOP (director of photography), segala macam urusan teknis itu, kita pun juga men-treat mereka sejajar gitu sama kita. Dan sebenarnya ingin memberikan sense bahwa kita lagi bikin ini, kita berkolaborasi, bukan kompetisi, jadi tidak ada yang lebih baik. Kalau salah satu dari kita tidak beres ya kita tidak akan bisa menghasilkan yang baik. Jadi mimpinya seperti itu sih. Kalau film sama, maksudnya production, orang bilang production house itu cuma sebagian kecil dari yang kita lakukan sih sebenarnya karena visi ke depannya kita ingin jadi benchmark baru dalam hal working culture gitu.
Dari iklan, musik video, sampai video pendek, bagaimana pengerjaan masing-masing projek bisa memperkaya visi saat menjadi sutradara?
Ada yang bilang sutradara itu tidak perlu tahu segala hal, tapi perlu untuk tahu banyak hal – perlu tahu sedikit tentang banyak hal gitu. Jadi kamu tidak mungkin tahu segalanya, tapi setidaknya kamu mengerti sedikit-sedikit tentang banyak hal. Ya salah satunya itu tadi, musik. Bahkan bisa jadi bukan cuma musik, fotografi segala macam itu mempengaruhi, punya impact untuk seorang sutradara. Misalnya kita lagi ada sebuah proyek gitu, karya-karya lain bisa meng-influence kita sebagai sutradara. Jadi saya selalu bilang, kamu tidak bisa sebagai seorang sutradara merasa cuma di industri film dan yang kamu pedulikan cuma film tok.
Orang bilang kalau kamu mau jadi sutradara ya harus nonton film. Tentu harus nonton film. Tapi inspirasi tidak cuma ada di film. Di sekitar kamu, bahkan pameran foto, pameran lukisan, musik, seni tari itu semuanya bisa menjadi inspirasi kamu. Apalagi film adalah medium yang paling lengkap, di dalamnya lengkap, bisa ada apa aja, bahkan bisa ada seni bela diri di dalamnya. Inspirasi selalu datang darimana saja.
Bagaimana pentingnya alur cerita atau story telling di tengah perkembangan tingginya minat akan konten audio visual?
Kalau saya dan teman-teman di Studio Antelope percaya bahwa cerita itu adalah rajanya, story is king. Sesimpel ini, ketika kita mau cerita – jangankan cerita ya, kita masih membahas konsep besar – ke orang lain, kita membutuhkan alur, logika buat bercerita gitu. Basic dari story telling kan tiga babak, ada awal, tengah, dan akhir. Nah ketika kamu mau menyampaikan apa pun itu – maksudnya, jangankan cerita – kamu harus punya itu, awal, tengah, dan akhir. Awal kamu menjelaskan globalnya, tengah isinya, dan sementara akhirnya seperti ya what’s next gitu. Begitu pula dengan konten, dengan film, video segala macam. Itu sama pentingnya. Misalnya gini, banyak orang yang berpikir kalau di film, kamu nanti beresin semuanya di editing. Tapi ketika membicarakan editing, kita berbicara soal proses sebelumnya, yaitu ketika di lapangan syuting. Nah, syuting juga semua bergantung, ditarik lagi di awalnya itu ya cerita, skrip. Sebenarnya ketiganya melakukan hal yang sama, ketiganya itu penulisan sebenarnya.
Ketika kita membahas script writing, cerita, alur, dan segala teknis penulisan itu, kita lagi menulis. Tools-nya ini, laptop atau kertas, atau apapun yang kita pakai. Ketika directing di lokasi syuting, sebenarnya kita lagi menulis ulang, cuma mediumnya beda. Yang tadinya pakai laptop dan pakai kertas, sekarang mediumnya sensor film di dalam kamera itu. Tapi yang kita lakukan sebenarnya menulis, seperti menulis diary, cuma mediumnya beda. Nah, ketika editing, sama, kita lagi menulis juga, cuma alatnya beda lagi, alatnya software editing yang kita rangkai tadi.
Tapi sebenarnya tiga hal ini melakukan hal yang sama, yaitu menulis. Dan ketiganya berhubungan dengan ya itu tadi, alur, cerita, struktur, dan sebagainya. Jadi ketika awalnya ini tidak kuat, mau di tengahnya sekuat apapun, dan bahkan di editing-nya sekuat apapun tidak akan bisa menolong. Tapi kalau di awalnya ini sudah kuat, skrip ceritanya itu sudah kuat, directing-nya lemah atau editingnya lemah, setidaknya kita masih bisa, cerita itu masih bisa sampai deh. Jadi saya percaya yang di awal ini momen yang sangat penting.
Bagaimana pandangan Anda sebagai seorang sutradara melihat budaya streaming film yang kini menjamur?
Saya malah merasa saya lahir di era yang tepat sebenarnya karena ketika kita dengar cerita zaman-zaman dulu – film itu kan benda yang mahal, tidak semua orang punya akses untuk ke alat. Bahkan untuk alat, semua orang tidak punya akses untuk bisa menggunakan kamera film. Ketika mau syuting film, kamu harus melewati beraneka ragam tahap. Kalau kamu mau jadi sutradara, kamu harus jadi script continuity dulu, harus jadi astrada dalam beberapa film, sampai akhirnya kamu bisa jadi sutradara. Jadi ada tahapannya. Terus, kamera film mahal, seluloidnya pun mahal, jadi untuk bisa mengakses itu sulit banget. Begitu juga dengan pemutaran film. Orang tidak bisa sembarangan memutarkan film karena dulu medium putarnya cuma ya itu tadi, roll seluloid, dan itu pun juga semua orang tidak punya akses. Lalu muncul digital.
Story is king.
Ternyata juga ada beberapa persoalan yang masih sama, seperti soal pemutaran atau festival film deh misalnya. Orang mau bikin film waktu era digital awal-awal, mau diputar, okay dia harus submit itu ke festival film, atau submit ke programmer yang punya ruang pemutaran. Kalau mereka bilang boleh diputar, baru boleh diputar, baru film dia bisa bertemu sama penonton yang ditargetkan. Nah, tapi dengan adanya platform-platform streaming ini, termasuk YouTube, Viddsee, dan kalau yang lebih film panjang seperti Netflix, iFlix, dan sebagainya, menurut saya mendemokratisasi kamu sebagai pembuat film karena kamu bebas untuk memutar film kamu kapan saja kamu mau gitu.
Contoh paling gampangnya, YouTube. Jadi kamu bikin film, kamu tidak perlu lagi menunggu orang bilang iya atau tidak untuk film kamu ketemu sama penonton kan? Kamu bisa langsung upload, share link, orang bisa langsung nonton film kamu. Dan ini sebenarnya yang saya cari selama ini. Maksudnya, ini yang membuat saya senang dengan era ini, seperti kamu bisa bebas banget untuk membuat konten dan nge-share. Jelas tantangannya jadi banyak, tanggung jawabnya jadi lebih besar lagi gara-gara itu. Tapi kalau pertanyaannya itu sebenarnya saya merasa saya ada di era yang tepat.
Bagaimana video bisa mengangkat problem yang ada di masyarakat kini?
Tentu bisa. Setiap karya-karya yang saya buat, dan teman-teman di Studio Antelope buat itu sebenarnya selalu berangkat dari apa yang kita rasakan. Mungkin terdengar klise, tapi memang itu yang paling kita rasakan. Setiap berkarya, terutama karya-karya yang independen, yang dari inisiatif kita sendiri, kita selalu menganalisa dulu. Goals-nya apa, objektif dari proyek ini apa, ingin diputar di mana, siapa penontonnya – bahkan film pendek pun kita break down dulu. Lalu juga tentang relevan tidak cerita ini untuk disampaikan sekarang? Relevansinya apa, kenapa harus dibuat saat ini. Ada tidak cerita lain yang kita punya yang sebenarnya harus kita dahulukan untuk dibuat? Jadi hal-hal yang seperti itu yang akan selalu didiskusikan oleh kita. Soal itu penting banget karena kita mau semua karya kita relevan untuk dibahas saat ini.
Beberapa video produksi Anda ada yang dibuat berlatarkan budaya dan sejarah Indonesia. Bagaimana latar belakang tersebut, mulai dari aneka ragam suku dan ras, sejarah politik, mempengaruhi Anda dalam membuat konten video?
Tadi saya cerita bahwa saya dulu jurusan sosiologi, selama saya empat tahun kuliah di jurusan sosiologi, saya itu seperti diberikan tools oleh dosen-dosen saya untuk membongkar, bukan cuma membongkar tapi juga mengungkap apa yang selama ini kita anggap biasa-biasa saja, baik-baik saja, lalu kita bongkar dan ternyata ada banyak hal menarik di situ. Oleh karena itu, hal tersebut melatih kepekaan saya terhadap apa yang saya lihat di sekitar saya. Saya seperti dilatih untuk lebih kritis. Kritis kan arti sebenarnya bukan suka mengkritik, kritis kan artinya peka terhadap sekitarnya gitu. Jadi, tools yang dikasih itu membuat saya peka dan jadi lebih sensitif terhadap sekitarnya.
Terus selain itu juga ada hal lain, seperti latar belakang etnis saya. Saya lahir di keluarga Chinese dan kebetulan lahir di era sebelum ’98. Ketika ’98 itu saya masih berusia tujuh tahun dan peristiwa ’98 ya pasti berkesan buat kita semua. Pengalaman-pengalaman tumbuh sebagai orang Chinese di Indonesia itu juga di bawah alam sadar berpengaruh juga ke perspektif saya. Ada satu film pendek yang saya buat judulnya, “Langit Masih Gemuruh”, itu bercerita tentang itu, tentang pengalaman kita-kita ini yang ketika di tahun ’98 masih di bawah sepuluh tahun menghadapi peristiwa ’98.
Ada juga film lain tentang pernikahan Jawa, judulnya “Seserahan”. Itu sebenarnya tentang kegelisahan seorang pengantin menghadapi hari pernikahannya. Walaupun adatnya adat Jawa tapi kita membahas pernikahan secara lebih luas, tentang penting tidak sih upacara-upacara yang ada di pernikahan itu untuk dibuat sedemikian rumitnya. Film-film saya selalu menggambarkan hal yang universal sih. Maksudnya walaupun background saya mempengaruhi saya secara tidak sadar, tapi saya selalu berusaha supaya film-film saya ini bercerita tentang hal yang universal.
Ini adalah kali kedua film Anda ditayangkan di Film Musik Makan. Pengalaman apa yang Anda dapatkan saat karya Anda ditayangkan dalam gelaran ini?
Tahun lalu saya memutar film pendek berjudul “Elegi Melodi.” Itu diputar perdana waktu itu di Film Musik Makan. Jadi sebelumnya belum pernah diputar di tempat lain, benar-benar pertama kali. Gelaran Film Musik Makan tahun lalu cukup penting buat saya karena ya itu tadi, saya memutar film saya untuk pertama kalinya, pertama kalinya bertemu sama penonton langsung. Sebelumnya saya belum tahu respon penonton seperti apa dan di Film Musik Makan kemarin pertama kalinya saya bertemu penonton lewat film itu. Dan itu memulai journey dari film itu, dari film “Elegi Melodi” tersebut, sekarang sudah ada di YouTube. Jadi sepanjang dari bulan Maret sampai bulan Desember tahun lalu, film itu diputar di banyak tempat dan berakhir di Festival Film Indonesia kemarin, jadi nominasi film pendek terbaik. Dan itu semua berawal dari Film Musik Makan.
Jadi lumayan berkesan buat saya karena itu sih, karena pemutaran perdana, terus penontonnya juga ramai waktu itu, Q&A-nya juga seru, banyak yang nanya, banyak yang memberikan komentar dan responnya orang juga baik setelah pemutaran. Jadi itu yang berkesan. Selain itu juga kalau event-nya ya event yang seru ya. Maksudnya seperti biasanya acara film ya film doang, tapi sekarang ada lapak makanan milik filmmaker yang punya lapak makanan. Jadi seru banget sih.
Bagaimana menurut Anda film-film pilihan yang akan ditayangkan pada Film Musik Makan kali ini?
Ada beberapa yang sudah pernah saya tonton dan karyanya bagus banget, seperti filmnya Yosep Anggi Noen yang “Ballad of Blood and Two White Buckets.” Terus yang sudah saya tonton lagi “Kado” yang kemarin menang di Venice, itu juga bagus banget. Film panjangnya saya sudah nonton “Daysleepers” karya Paul Agusta juga seru banget, kemarin di Jogja-NETPAC Asian Film Festival. Ada beberapa film pendek lain yang belum saya tonton, tapi saya sudah tahu sepak terjang pembuatnya, seperti film “Kembalilah dengan Tenang” karya Reza Fahriyansyah. Kemarin baru diputar di Clermont-Ferrand International Short Festival, salah satu festival film pendek paling bergengsi. Terus Ismail Basbeth juga bawa film pendek baru judulnya “Woo Woo.” Jadi ya lumayan tegang juga buat saya, di satu sisi juga membanggakan karena diputar bareng-bareng teman-teman saya ini. Saya juga tidak sabar buat nonton film-film yang belum saya tonton film pendeknya.
Bagaimana Anda melihat gelaran Film Musik Makan sebagai wadah diperkenalkannya film-film independen kepada masyarakat yang juga memadukan musik dan makanan dalam acaranya?
Salah satu kehebatan Film Musik Makan adalah dalam membangun hype dan mengumpulkan teman-teman anak muda buat datang ke acaranya. Dalam beberapa tahun sebenarnya festival film di Indonesia tidak sebanyak sebelumnya ya. Dulu ada beberapa festival yang dulunya ada, tapi belakangan, kembang kempislah festival film di Indonesia, terutama yang film pendek. Film Musik Makan ini sudah konsisten selama beberapa tahun selalu ada dan selalu jadi tempat buat kita untuk nongkrong, networking, lalu juga buat tahu film-film pendek Indonesia sudah sampai mana, dan juga karena diadakan di bulan Maret jadi kita bisa punya gambaran seperti film-film apa yang akan jadi highlight di tahun ini. Ya itu sih, itu serunya dari Film Musk Makan.
Tema video dokumenter apa selanjutnya yang akan diangkat oleh Jason Iskandar?
Jadi saya ini lagi ada satu proyek film panjang – bukan dokumenter sih, ini film fiksi, film fantasy gitu, tapi ceritanya belum bisa disampaikan lebih detail. Rencananya mungkin akan syuting tahun ini. Yang paling dekat sih itu. Terus tahun ini, seperti yang saya tadi bilang juga, kita ada satu film pendek yang akan kita buat, tapi sutradaranya bukan saya, sutradaranya Brandon Hetarie, salah satu sutradara in-house di Studio Antelope juga. Mungkin yang paling dekat itu sih kalau karya-karya yang dari Studio Antelope.