Problematika Kebudayaan di Indonesia dan Cara Memperkuatnya Bersama Hilmar Farid
Berbincang dengan Dirjen Kebudayaan, Hilmar Farid, tentang sistem tata kelola kebudayaan, akses kebudayaan, dan cara menguatkan budaya Indonesia dengan pemerintah.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Vestianty Nurlestari Ningrat
Didorong oleh kecintaannya terhadap cerita, Hilmar Farid kemudian memulai perjalanannya dalam mengedepankan kebudayaan sebagai akademisi di bidang sejarah. Dua tahun setelah kelulusannya, beliau mengajar sebagai dosen bidang Sejarah di Institut Kesenian Jakarta dari tahun 1995-1999. Dari situ, semakin dalam perkenalannya dengan Indonesia, beliau pun juga turut aktif sebagai aktivis bersama teman-temannya dalam penguatan budaya, terutama dalam memberikan akses pada masyarakat yang masih sulit dalam mengakses kebudayaan itu sendiri. Pada akhirnya, kegiatan-kegiatan yang telah beliau tekuni selama bertahun-tahun tersebut membawa dirinya dalam posisi jabatan yang lebih tinggi, yaitu sebagai Dirjen Kebudayaan. Dengan posisinya kini, beliau bersama dengan jajaran timnya sudah mulai menguraikan permasalahan yang ada terkait pengembangan kebudayaan Indonesia ke arah yang lebih maju. Kami pun berbincang dengan Hilmar Farid mengenai budaya maritim di Indonesia, solusi konkret untuk museum, Pekan Kebudayaan Nasional 2019, hingga membahas isu RUU Permusikan yang akhir-akhir ini sedang hangat diperbincangkan.
Bagaimana perkenalan Anda dengan sejarah yang membuat Anda ingin mendalaminya hingga menjadi akademisi?
Pertama sih sederhana. Saya memang tertarik dari zaman sekolah. Bukan pelajaran sejarahnya, tetapi tentang cerita masa lalu. Dan segala macam jenis, jadi cerita tentang orang tua saya, cerita tentang kakek-nenek, dan seterusnya. Jadi selalu punya interest, secara khusus bahkan.
Jadi setelah lepas SMA, saya 1 tahun tidak kuliah sembari lihat-lihat apa sih jurusan-jurusan yang menarik. Kemudian kakak saya; kuliahnya antropologi. Sering teman-temannya datang, cerita tentang antropologi, pergi ke mana-mana, terus ketemu dengan macam-macam orang, masyarakat, dan seterusnya. Terus saya pikir, “Wah, bidang ini menarik ya”. Sepertinya sesuai dengan kesukaan saya pada macam-macam cerita. Dan dari situ saya bertanya, selain antropologi apa sih yang ada. “Oh ada jurusan sejarah.” Dan awalnya sesederhana itu. Jadi mengambil jurusan yang kira-kira sesuai dengan apa yang saya pikir menarik. Tidak ada bayangan sama sekali mau jadi akademisi dan seterusnya gitu. Malah bayangannya waktu itu, dari dulu saya senang menulis. Menulis kan selalu punya perubahan kan, entah itu cerita dari mana pun, termasuk cerita-cerita sejarah ini yang saya temui di mana-mana.
Jadi, sebetulnya sesederhana itu, ingin belajar sesuatu yang sepertinya bisa menjadi sumber untuk cerita-cerita, terus nulis. Tapi kemudian beda, belok di tengah jalan jadi lebih serius. Kuliahnya jadi banyak baca, jadi banyak tahu, terus mulai lebih sistematis pola pikirnya. Tapi dunianya tidak jauh sih, tetep saja ya nulis, terus juga mengajar. Saya senang cerita, senang mendengar cerita. Jadi sudah klop lah.
Apakah ada pengaruh dari ayah Anda yang merupakan seorang penerjemah buku cerita anak?
Iya pasti. Karena beliau itu penerjemah buku anak-anak. Storytelling di rumah kami adalah bagian dari kehidupan sehari-hari, jadi kami terbiasa mendengar cerita orang. Kami juga biasa bercerita. Jadi saya kira itu pengaruhnya besar sehingga mengambil jurusan yang memang kaitannya dengan bahasa, kebudayaan, sejarah, dan sebagainya. Dekatlah dengan dunia itu.
Anda kemudian dikenal sebagai Dirjen Kebudayaan. Apa sebenarnya hal yang mendorong Anda untuk beralih profesi dengan peran lebih besar?
Sebenarnya saya sudah cukup lama ya bergerak di bidang kebudayaan, walaupun dulu bergerak di luar pemerintah. Kita biasanya menyebut macam-macam kegiatan di mana-mana tuh sebagai gerakan kebudayaan semuanya. Apakah itu mengajar anak-anak secara informal atau menulis, kita melihatnya sebagai bagian dari gerakan yang sama gitu. Termasuk juga seniman-seniman yang sekarang banyak seni media – terutama mereka yang baru-baru. Kita melihatnya adalah gerakan kebudayaan secara keseluruhan.
Nah, ketika Pak Jokowi jadi presiden, di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kemudian untuk pertama kalinya dibuka kesempatan bagi orang yang bukan PNS untuk dia daftar di jabatan Dirjen Kebudayaan. Itu kali pertama, belum pernah ada sebelumnya. Terus, tentu kami mengobrol sama teman-teman, “Ini gimana nih? Ada jabatan Dirjen Kebudayaan,” Jabatan yang jelas sangat relevan dengan gerakan kebudayaan yang selama ini kita jalankan. Dan kata teman-teman, “Udah ambil aja, daftar aja.” Waktu itu masih Pak Anies (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan). Ya sudah mengajukan lamaran, ikut tes. Mimpinya apa, mimpinya tetap sih di gerakan kebudayaan itu. Cuma sekarang dalam posisi official, di pemerintah yang tugas utamanya kan memfasilitasi gerakan itu. Jadi kalau dulu kita sering mengeluh gitu ya, “Wah, nih kurang dapat perhatian,” begini begitu. Pokoknya melihat bahwa harusnya pemerintahan ini lebih sistematis lah memperhatikan gerakan kebudayaan ini. Ya sekarang kita ditugaskan di sini.
Keinginannya memperbaiki, memperkuat gerakan-gerakan kebudayan itu. Dan setelah masuk di sini kita lihat, memang ada problem besar di tata kelola kita. Management dari dunia kebudayaan ini secara keseluruhan. Misalnya, pembagian kerja di antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, peran dari taman budaya, peran dari dewan kesenian, peran dari sekolah kesenian gitu. Dan kita lihat ada banyak yang under-resourced. Jadi sumber dayanya terbatas banget, untuk mereka berkembang juga udah susah. Ini yang susah. Kita bilang, amanatnya Undang-Undang Dasar konstitusi kita kan sangat besar. Pasal 32 mengatakan bahwa negara memajukan kebudayaan. Tapi gimana mau maju kalau ternyata segala macam sistem tata kelolanya sumber dayanya juga sangat terbatas. Dan belum lagi kalau bahas soal Sumber Daya Manusia (SDM) ya.
Sering saya lihat saat jalan ke daerah, institusi-institusi yang sangat penting seperti museum dan segala macam dipegang oleh orang yang sebenarnya sama sekali tidak mau duduk di situ. Jadi karena mungkin dianggap jabatan yang tidak prestisius, terus uangnya juga tidak banyak, sumber daya terbatas, meletakkan orang-orang yang mungkin ya dinilai oleh pimpinannya, “Udah deh, pokoknya asal ada jabatan di situ.” Nah orang-orang seperti ini punya tugas besar sekali untuk memajukan kebudayaan melalui institusinya – ini yang bikin susah. Ketika saya masuk, saya lihat, “Waduh ini tumpukan masalahnya besar banget.” Karena harapannya yang diletakkan di pundak kebudayaan begitu besar, sementara perangkat yang kita punya untuk memastikan bahwa itu terjadi juga sangat-sangat terbatas. Itu sih, pertama-tama, begitu masuk yang dihadapi adalah bahwa kita banyak sekali pekerjaan rumahnya, tapi sumber dayanya pada saat bersamaan sangat terbatas.
Dari sebelum menjabat menjadi Dirjen, Anda sudah melakukan kegiatan pemajuan kebudayaan. Kebudayaan yang seperti apa sih sebenarnya yang Anda lakukan dengan teman-teman?
Banyak sih saya kegiatan dengan teman-teman di mana-mana. Tapi biasanya fokus kami untuk kalangan yang kurang diuntungkan lah, underprivileged, yang tidak punya privilege, Misalnya untuk pergi ke taman budaya atau menikmati kesenian, atau membaca buku. Nah saya justru dengan mereka yang tidak punya akses kepada itu. Dan membuat saya sampai hari ini pun sama. Ini akses harusnya dibikin lebih merata. Kalau orang; walaupun dia susah hidupnya, tapi tidak pernah ada akses kebudayaan, terus mau gimana? Jadi perhatian kita waktu di luar pemerintah sangat terarah pada situ. Jadi anak-anak pinggiran, masyarakat; termasuk pengungsi, macam-macam lah. Dan kami merasa – saya sampai sekarang percaya bahwa kalau kita pakai jalan kebudayaan untuk menangani masalah-masalah seperti ini kok sepertinya kemungkinan dia untuk membawa perubahan itu cukup besar.
Misalnya seperti pengungsi. Pengungsi kan susah hidupnya, kalau kita lihat sekarang mereka dikasih bantuan primer, makanan, Supermie dan segala macam. Sementara sebetulnya dia ada kebutuhan spiritualnya. Tak mungkin dia 7×24 jam dalam seminggu itu cuma memikirkan kapan bantuan makanan datang. Kita hidup normal saja tidak seperti itu, apalagi hidup dalam keadaan seperti itu. Jadi kadang kita bikin misi kebudayaan – kirim teman-teman seniman untuk berinteraksi dengan pengungsi atau bikin kegiatan pendidikan. Jadi kegiatan-kegiatan yang seperti itu sih yang kita inisiasi.
Dalam Pidato Kebudayaan pada tahun 2014, Anda ingin memajukan kembali budaya maritim. Bagaimana proses implementasi kebijakan hal tersebut semasa jabatan Anda?
Salah satu yang paling menonjol kita coba mengedepankan jalur rempah. Jadi bahwa selama ini kan Indonesia negeri maritim, condong kelautan dan begitu luas, lalu tradisi pesisirnya juga bermacam-macam. Jadi mulai dari makanan, ritual, teknologi, pengetahuan, banyak sekali. Dan tentu kita juga berpikir gimana caranya membuat kegiatan dari begitu banyak kemungkinan kan. Dan yang paling penting kemudian kita lihat kan kerangkanya, framework-nya apa. Walaupun kegiatannya itu bermacam-macam kan dia harus diletakkan nih di satu framework apa.
Sekarang kami lagi dalam proses mendaftarkan jalur rempah ini sebagai situs warisan dunia di Unesco.
Nah framework itu yang kita rumuskan. Dan kemudian kami temukan dari diskusi-diskusi itu ya jalur rempah itu. Jadi Indonesia ini, kepulauan Nusantara ini selama waktu lebih dari dua ribu tahun itu sebetulnya berhubungan dengan banyak tempat di dunia ini karena rempah itu. Jadi pelabuhan tua, seperti Barus di Sumatera Utara sana, itu kan kapur barus. Dari getah pohon itu ya yang kemudian jadi kapur, dipakai sampai dibawa ke Mesir kuno. Dan kita lihat, rempah-rempah ini sebetulnya praktis jadi salah satu komoditi terpenting dari zaman dulu. Boleh dibilang, jalur perdagangan, jalur pelayaran yang ada itu, kalau dianalogikan seolah-olah seperti badan, itu seperti aliran darahnya. Nah aliran darah itu isinya rempah itu. Jadi kita mengangkat itu sebagai framework dan kemudian banyak kegiatan dibuat berporos pada rempah itu. Jadi, banyak kuliner pasti. Ini bisa dilihat pada program rutin seperti seminar, dan berbagai hal rutin lain.
Selain kuliner apakah ada lagi yang lain?
Ritual di sekitar rempah itu banyak sekali dan itu di mana-mana, baik di pedalaman maupun di pesisir. Pengetahuan tentang menggunakan rempah itu juga banyak, kegunaanya banyak, bukan hanya kuliner, tapi obat-obatan juga. Jadi kita mengeksplorasi. Dan kuncinya memang di teman-teman daerah karena dia pemilik kebudayaannya. Jadi boleh dibilang pengetahuannya, ekspresi-ekspresi artistiknya, ritualnya, dan segala macam, teknologi, dan seterusnya ada di sana. Nah, tugas kita kan cuma menjahit, buat kerangkanya. Kalau orang jahit baju tuh bikin polanya, terus kemudian menjahit berdasarkan pola itu. Dan sekarang kami lagi dalam proses mendaftarkan jalur rempah ini sebagai situs warisan dunia di Unesco. Dengan proses ini kami terus mengumpulkannya. Jadi pemerintah-pemerintah daerah yang dilalui oleh jalur rempah itu terkumpul. Lalu mereka sendiri membuat kajian, kenapa tempat saya masuk dalam jalur rempah? Oh karena ada bekas pelabuhan ini. Terus apa sih signifikansinya di masa lalu? Ya jadi mereka kerja tuh menggali, mengkaji itu. Kami di sini tugasnya menjahit, mana yang ikut nanti dibawa ke Unesco untuk didaftarkan jadi situs warisan dunia.
Salah satu isu yang belum memiliki solusi konkret adalah museum di Indonesia. Kurangnya program relevan dengan publik maupun tren membuat orang semakin tidak berminat ke museum. Apa rencana Ditjen Kebudayaan terhadap hal ini?
Ya bikin museum jadi menarik pastinya. Tapi begini, salah satu alasan kenapa museum ini sepertinya tidak berkembang karena kelembagaannya sangat lemah. Karena kelembagaan sangat lemah, artinya kelembagaan lemah itu nggak dapat posisi yang semestinya. Jadi intinya sebetulnya sama pentingnya seperti institusi pendidikan, tapi resources-nya untuk dikembangkan itu sangat terbatas. Dan kedua, ada masalah SDM. Jadi orang yang punya pengetahuan tentang museum jumlahnya di Indonesia ini sangat terbatas. Jadi seringkali museum diurus oleh orang-orang yang sama sekali tidak punya pemahaman, pengetahuan yang cukup untuk itu.
Ketiga, yang paling mendasar adalah tidak adanya program. Jadi koleksinya tidak jelek. Banyak museum kita sebenernya punya koleksi yang lumayan, tapi karena tata pamernya sedemikian rupa, – ya itu tadi, soal kelembagaan – mereka tidak bisa misalnya tiap kali kemudian bikin tata pamer baru. Sekali mereka bikin, ya sudah, sampai 25 tahun tidak berubah, itu-itu saja. Sementara, daya tarik museum kan karena dia terus berganti. Jadi langkah yang kami ambil sekarang adalah yang paling mendasar itu sirkulasi koleksi. Koleksi yang ada di Museum Nasional ini harusnya bisa diputar dalam bentuk program. Nah, untuk membuat dia jadi program tentu ada kajian kan, harus ada studi. Kurator, peneliti, dan segala macam kumpul mau buat cerita apa sih dari barang-barang seperti koleksi guci kuno misalnya. Banyak yang kita bisa ceritakan dari barang-barang seperti ini, soal pelayaran, soal kapal, soal navigasi, soal kegunaan dari barang-barang ini. Tinggal sekarang kerangkanya, narasinya apa, apa sih yang membungkus benda-benda ini sehingga bisa menjadi suatu cerita. Nah itu tugasnya kurator.
Seringkali museum diurus oleh orang-orang yang sama sekali tidak punya pemahaman, pengetahuan yang cukup untuk itu.
Kita cari di museum di Indonesia, tidak ada yang menjadi kurator, tidak ada peneliti sehingga tidak ada cerita. Karena tidak ada cerita, tidak ada program. Jadi ini saling terkait. Kenapa tidak ada orangnya, ya karena memang tidak ada ahlinya. Nah sementara orang yang ahli punya kemampuan seperti itu – banyak lho sekarang anak-anak muda belajar museologi, mereka pergi ke sekolah luar negeri atau kursus-kursus dan pulang bawa pengetahuan itu – tapi tidak bisa diserap. Kenapa? Karena mereka bukan pegawai negeri. Nah itu masalah kelembagaan. Jadi, ada banyak soal yang muncul sebetulnya karena struktur kelembagaan kita tidak cocok dengan perkembangan sekarang. Makanya salah satu agendanya yang kami buat di Dirjen Kebudayaan ini adalah mengubah kelembagaan itu.
Museum ini harusnya dikelola seperti rumah sakit. Itu namanya Badan Layanan Umum (BLU), jadi bukan kelengkapan dari birokrasi. Tapi satu badan yang boleh dibilang otonom. Dan seperti rumah sakit kan dia bisa terima pemasukan. Kita bayar pakai BPJS, artinya rumah sakit terima uang, tapi tidak cari untung. Nah museum mestinya seperti itu. Pernah masuk ke Museum Nasional? Berapa bayarnya? Dua ribu rupiah. Kalau kita cari museum di dunia, tidak ada yang harga tiketnya segitu. Tidak ada. Itu salah satu faktornya, layanan publik yang diberikan museum tidak ada insentifnya. Kami sudah buat susah payah, tapi bayarnya tetap dua ribu. Terus dapat dari negara terima anggaran. Mestinya diubah. Ketika BLU, dia punya target – kamu bisa menghasilkan berapa setahun untuk menutupi overhead.
Nah kalau ditantang begitu, langsung orang bikin kalkulasi kan. Oh berarti saya perlu pengunjung sekian. Untuk bisa menarik pengunjung dalam jumlah yang banyak apa yang harus kamu lakukan? Ya ganti-ganti. Tidak bisa kamu 25 tahun pakai yang sama terus berharap orang datang terus kan. Kamu harus ganti. Berapa? 6 bulan sekali, 3 bulan sekali. Artinya kamu harus investasi nih untuk orang yang bikin cerita, kamu harus merekrut yang namanya kurator, peneliti, dan seterusnya. Jadi dengan cara seperti itu kami berharap sektor permuseuman ini akan bisa lebih berkembang. Karena kalau tidak, ya begitu. Ya lihat saja ada 111 museum milik pemerintah, pusat maupun daerah. Tapi di antaranya yang hidup itu mungkin cuma 40, yang benar-benar jalan ya. Dan itu pun susah untuk dituntut menghasilkan pendapatan. Padahal kalau kita pergi, tidak usah jauh-jauh deh – Singapura mungkin contoh yang perbaikan – pergi ke India, pergi ke Thailand, mereka sektor permuseumannya relatif sudah berkembang. Dan bahkan punya pemasukan yang cukup signifikan lah sehingga bisa mengembangkan program-programnya sendiri. Jadi kita masih perlu kerja keras mengubah kelembagaannya dan mengembangkan program.
Bagaimana meningkatkan minat masyarakat muda untuk mau mengunjungi museum?
Ya kata kuncinya adalah relevansi. Tidak akan orang tertarik kalau dia tidak merasa itu relevan buat dia. Jadi, “Buat apa gue ke sana.” Tidak ada sesuatu yang dekat rasanya. Dan ini memang memerlukan riset. Ya artinya tidak bisa kita hanya menebak-nebak, kira-kira anak-anak itu senang apa ya? Kan tidak bisa bisa begitu. Kita harus interaksi dengan mereka. Dan saya kira ada cara juga yang tidak terlalu mahal sebetulnya, ya teknologi digital. Kalau sekarang ini kita expose koleksi-koleksi seperti guci kuno dengan cerita. Dari respon orang-orangnya kita juga sudah tahu, kira-kira menarik atau tidak ya? Dan itu akan dengan gampang – kalau kamu pakai apapun lah, Instagram atau apa – dari setiap foto yang kita pasangkan sudah kita bisa hitung kan, mana yang di-like orang lebih banyak, mana yang tidak. Dari situ sudah kebayang kan.
Jadi sebetulnya sesederhana itu juga untuk merancang program hari ini. Dan yang saya minta dari semua unit-unit museum yang ada di bawah Kemdikbud sebenarnya itu. “Kalian banyak main deh, publikasinya lebih banyak di media sosial.” Bukan cuma agar kita ini kelihatan terkenal, banyak follower, bukan itu. Tapi itulah reality check yang lumayan accountable karena orang kan tidak bisa like dua kali, dia cuma bisa like sekali. Jadi bisa dipertanggungjawabkan. Beda misalnya orang datang ke museum kan motivasinya juga macam-macam. Ada yang cuma numpang ngadem, terus macam-macam. Jadi tidak unreliable lah kalau misal dibilang “Wah jumlah pengunjung kita sekian.” Seperti di Jogja tuh museumnya yang paling banyak dikunjungi dari sekitar 600.000 per tahun. Tapi banyak dari mereka itu ya numpang parkir. Jadi masuk ke sana karena harus parkir, ya sudah deh bayar bareng parkir. Kan tidak mahal sebenarnya.
Belakangan ada tendensi politik yang ingin menyeragamkan budaya, terutama mendiskriminasi tradisi lokal. Selaku unit yang berwenang melestarikan kebudayaan Indonesia, bagaimana Ditjen merespon hal tersebut?
Jadi gini, di dalam Undang-Undang No. 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan yang disahkan dua tahun lalu itu, itu cukup clear bahwa sebetulnya ada larangan bagi orang untuk menghalangi orang lain berkebudayaan. Jadi kebebasan orang untuk menyelenggarakan kegiatan apapun itu ya, ritual dan segala macam itu dijamin. Nah, kalau ada yang pelanggaran terhadap itu kan mestinya urusan polisi. Jadi misalnya kalau ditanya ke saya, apa sih yang bisa dilakukan. Kalau saya, akan menjawab dengan promosi lebih banyak.
Kalau kita lihat orang misalnya dia melarang sebuah ritual, apa sih sebenarnya keberatannya dia. Dia bilang musyrik lah, dia bilang ini bertentangan dengan nilai agama, dan segala macam. Oh kalau itu persoalannya, ayo kita diskusi. Jadi buat saya itu pendekatan yang paling bagus, bukan yang represif ya. Artinya, bukan kemudian panggil polisi “Ini nih tangkap nih,” tapi lebih “Oke, kita ngobrol deh. Apa sih kira-kira keberatan kamu kok sehingga merasa harus bisa, harus melarang orang lain untuk melakukan sesuatu. Toh orang itu juga nggak ganggu kamu.” Dan biasanya dalam dialog-dialog seperti itu, tidak selalu mudah karena biasanya ada yang asal ngotot. Kalau sudah asal ngotot terus ribut pakai kekerasan, sudah kasih polisi saja, tidak usah pusing-pusing. Tapi kalau misalnya masih bisa reasoning, biasanya saya bilang itu keberatannya apa. “Wah pokoknya kami nggak setuju.” “Ya boleh nggak setuju,” saya bilang. “Kamu boleh tulis kok di koran kalau perlu kamu bikin Demonstrasi pun boleh.”
Tapi kalau sudah melarang orang adalah lain cerita. Itu tidak bisa kita benarkan. Kalau kamu mau protes mereka lagi mau apa lah beracara di sini, kamu di sebelahnya pasang-pasang spanduk, silahkan. Tapi kalau sudah menghalangi orang itu lain urusannya. Jadi mana nih yang dipersoalkan.” “Lho kami kan ingin mengekspresikan.” Ya boleh.
Demokrasi kan berlaku bagi semua elemen, semua orang boleh bersuara, kecuali yang mau menghilangkan demokrasi itu sendiri.
Jadi dia kadang-kadang orang tidak mengerti batasannya. Kan demokrasi, kalau demokrasi itu batas kita itu di mana? Kalau kamu sudah menindas kebebasan orang lain dengan klaim bahwa sedang memperjuangkan kebebasan kamu, di situlah batasannya. Demokrasi kan berlaku bagi semua elemen, semua orang boleh bersuara, kecuali yang mau menghilangkan demokrasi itu sendiri. Kalau kamu sudah mau menghilangkan demokrasi itu sendiri hanya untuk kepentingan kamu, tidak lagi demokratis namanya. Itu bukan lagi kebebasan berekspresi namanya, kamu sudah menghalangi kebebasan orang lain. Dalam masyarakat demokratis, batas kebebasan kita adalah kebebasan orang lain kan. Jadi biasanya kalau seperti itu langsung terbelah. Dan kita lihat kadang-kadang juga ada kepentingan politik macam-macam lah di belakangnya. Jadi diurus sesuai dengan proporsinya. Kalau persoalannya adalah pemahaman, kita diskusi. Kalau urusannya sudah politik dan politiknya menggunakan kekerasan – ya urusan polisi. Jadi sangat bergantung sih konteksnya.
Tentang seniman yang terlihat dalam prosesnya kini seolah-olah masih berjalan sendiri-sendiri, tindakan apa dari Dirjen Kebudayaan yang dapat diambil untuk menyatukan mereka?
Kalau misalnya paguyuban seniman itu mestinya natural ya. Negara tuh bahkan tidak perlu ikut campur. Biarkan saja mereka buat apa pun. Yang bisa kita fasilitasi kalau sudah menyangkut profesi, misalnya musik. Komponis-komponis kita, penulis lagu, pencipta musik, dan segala macam itu sering kali punya problem royalti dan hak ciptanya tidak dipenuhi oleh industri. Nah, itu kita bisa masuk. Ayo buat asosiasi yang bisa membela kepentingan kamu untuk memperjuangkan hak royalti segala macam. Tapi kalau organisasi seniman lebih banyak untuk diskusi pencipta – mereka urus sendiri. Negara tidak perlu masuk-masuk ke urusan penciptaan. Itu namanya kebebasan masyarakat. Dan kita punya prinsip bahwa yang berkebudayaan itu kan masyarakat, bukan birokrasi pemerintah. Birokrasi pemerintah tugasnya paling penting memfasilitasi.
Negara tidak perlu masuk-masuk ke urusan penciptaan. Itu namanya kebebasan masyarakat.
Kalau lihat akar katanya fasilitasi ini kan ‘fasil’ yang berarti mempermudah, dari bahasa Latin. Orang untuk melakukan sesuatu ya sudah tugasnya itu. Jadi kadang-kadang kan ketika masuk, membuat organisasi dan segala macamnya malah jadi ribet. Seperti sekarang nih Undang-Undang Permusikan lagi ramai karena isinya aturan aja semua. Saya sih tidak mau komentar soal itu ya, barangnya juga belum jadi. Tapi, prinsipnya tadi bahwa yang kita lakukan di sini kalau menyangkut profesi, wah pasti sangat akan kita bantu. Ya misalnya sertifikasi itu kan salah satu isu ya, seniman sertifikasi. Ya memang kalau sertifikasi ini akan sangat diperlukan oleh orang yang misal pekerjaannya sound engineer. Ya kalau mau bikin panggung itu kan sangat esensial pekerjaan itu. Kita tidak punya, tidak ada sekolahnya, tidak ada proses sertifikasinya. Sehingga ketika kita lihat ya kualitas sound kadang-kadang untuk dia masuk industri global, bisa dijual, tidak akan cukup. Nah itu, kita berkewajiban memastikan bahwa kita punya nih orang-orang yang sound engineer, recording engineer, music producer, segala macam itu terwadahi. Jadi kalau organisasi kita arahnya lebih ke sana.
Bagaimana dengan musisi yang tersertifikasi?
Musisi yang tersertifikasi tidak ada gunanya. Gini lho, jadi prinsipnya sertifikasi itu kan kenapa sih sertifikasi sama dengan ijazah. Jadi kalau kamu punya ijazah, orang yang misalnya – kamu melamar pekerjaan, terus bawa ijazah. Si perusahaan atau apapun yang mau menerima kamu kan sudah punya pegangan tuh. “Oh sudah lulus SMA nih, ya sudah, bisa saya terima karena standarnya ada.” Yang perlu sertifikat itu kan orang yang mau melamar kerja sehingga dia bisa masuk ke dalam industri yang punya standar tertentu. Jadi bukan sebaliknya. Karena sering kali sertifikasi dipahami sebagai mekanisme untuk kemudian menghalangi kebebasan orang. Jadi misalnya kalau kamu tidak punya sertifikat – tidak boleh manggung. Tidak ada urusannya itu. Apalagi musisi, penampil, misalnya penyanyi. Masa Andien terus kita tanya “Kamu coba lihat sertifikatnya,” kan tidak. Orang berebut mau bayar dia untuk bisa manggung. Dia tidak perlu sertifikat, orang seperti dia tidak perlu sertifikat. Atau musisi yang lain gitu yang sangat terkenal seperti band-band, buat apa mereka sertifikat? Karena yang menentukan mereka ini layak atau tidak ya sudah market, orang sudah tahu.
Nah cuma untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu sangat diperlukan sertifikasi. Seperti tadi, sound engineer, itu tidak bisa main-main. Tidak bisa sembarang orang yang kemudian bilang “Oh gue tahu kok utak-atik,” ya tidak bisa, ini harus qualified. Saya misalnya kalau produser musik, siapapun talent-nya itu yang nyanyi, kalau saya sudah tahu, wong saya yang milih, saya yang bayar, saya tidak tuntut dari mereka. Tapi kalau sudah urusan teknis, buat panggung, lampu, apa segala macam, saya pasti akan nuntut, “Kamu punya tidak sertifikasi?” Jadi sertifikasi itu sebetulnya adalah mekanisme bagi orang, seniman/pekerja seni, agar bisa masuk ke dalam dunia industri yang lebih luas. Itu prinsipnya sertifikasi yang sering kali disalahpahami sebagai alat untuk menghalangi ya, untuk membatasi. Jadi seolah-olah dibayangkan misalnya nanti siapa, Superman is Dead (SID) tidak punya sertifikat terus tidak boleh manggung. Ya tidak ada urusannya itu. Misalnya saya yang punya uang, urusan apa sertifikasi? (tertawa) Jadi sering salah paham gitu soal sertifikasi itu.
Bagaimana pengawalan dari Ditjen Kebudayaan untuk memfasilitasi musisi membahas draft RUU Permusikan yang disebut-sebut masih terdapat pasal ‘karet’ di dalamnya?
Ini soal prosedur ya. Prosedurnya itu begini. Jadi sekarang sudah ada draft di DPR, dan sebetulnya masih jadi pembicaraan internal DPR. Kalau pembicaraan internal DPR selesai, mereka akan berkirim surat ke presiden mengajukan “Nih ada RUU Permusikan Pak Presiden. Kami ingin bahas dengan pemerintah.” Presiden pasti nanti tanya ke menteri ke apa segala macam, penting tidak nih. Nah, setelah katakan lah ya, jadi DPR kirim surat, presiden bahas surat ini. Presiden harus membalas surat ini ke DPR. Dalam surat itu juga bilang, “Saya menugaskan A, B, C, D untuk membahasnya bersama DPR.” Nah, kalau itu terjadi, baru nih. Biasanya kalau misalnya permusikan pastilah kebudayaan larinya ke Mendikbud, Mendikbud ke saya kasih perintah, bahas di DPR, langsung ikut dalam sidang-sidangnya dan seterusnya. Nah sekarang gitu kan, kedudukannya ini mengirim surat saja belum ke presiden gitu. Jadi kita kepagian. Bahkan si draft-nya aja masih dibahas. Jadi orang, ada juga saya lupa dari mana itu wartawan tanya, “Gimana pak draft-nya?” Draft-nya aja belum kita terima secara resmi. Jadi pemerintah sebetulnya kepagian. Ini orang lagi ngerjain PR gitu ya, istilahnya kalau zaman sekolah tuh orang lagi bikin makalah, terus kita sudah ikut campur.
Dia bikin makalah saja belum kelar. Biarkan saja dulu sampai dia jadi, sampai dia juga memutuskan. Saya kira kan banyak respon tuh dari teman-teman musisi, dari mana-mana. Saya kira DPR juga dengar kok. Jadi apakah mereka akan terus dengan draft itu atau tidak juga sangat bergantung kepada reaksi publik yang mereka baca. Jadi buat kami pemerintah ya kepagian kalau ikutan komentar. DPR mengirim surat ke Kemendikbud saja belum. Kami juga tidak tahu apakah itu akan jadi atau nggak. Terus ketika masuk ke sini apakah presiden juga nantinya menugaskan atau tidak. Jadi masih panjang sekali perjalanan itu.
Pekan Kebudayaan Nasional, perlombaan kesenian pertama di Indonesia yang akan diadakan pada Oktober 2019. Apa upaya Ditjen untuk menggaet penggiat kebudayaan dan anak muda dalam prosesnya?
Yang pasti ini kita menganggapnya seperti PON-nya kebudayaan. Jadi, satu perhelatan besar yang memang bertumpu pada ekspresi ya kita sebut, ekspresi kebudayaan, termasuk permainan rakyat, permainan tradisional, olahraga tradisional, dan lain-lain. Nah, upayanya apa? Upaya yang paling penting adalah pertama-tama memperkuat kepemilikan terhadap ide ini. Ini kan ide terlontar waktu Kongres Kebudayan kemarin. Nah ketika kongres selesai, ada amanat coba selenggarakan Pekan Kebudayaan Nasional. Nah sekarang tugas yang paling pertama ini adalah membuat publik memiliki dulu, Jadi merasa bahwa gagasan ini memang cukup menarik. Caranya gimana? Ya bertanya lah kita pada publik, kalau seandainya ini ada, permainan seperti apa yang kamu pengen lihat di dalamnya, kegiatan-kegiatan apa yang mestinya ada. Terus apakah panggungnya itu semuanya tradisi atau ada musik kontemporer atau apa? Jadi kami sedang keliling untuk mengecek kira-kira kalau misalnya Pekan Kebudayaan ada tuh apa sih isinya. Nah itu sedang kami susun.
Mestinya bulan Februari akhir selesai. Ya setelah itu memulai prosesnya dari tingkat paling bawah, terutama di tingkat kabupaten kota. Kita punya 516 kabupaten kota, ada 84.000 desa dan kelurahan, 6.000 kecamatan. Jadi langkah yang dilakukan setelah kami tahu, misalnya yang kita akan pertandingkan apa sih? Gerobak sodor, egrang, terus gasing, dan lain-lain. Kami sudah tahu paket ini yang akan dibawa nih. Nah, nanti bulan Februari ini juga, minggu ketiga minggu keempat di kecamatan-kecamatan. Beberapa kami dorong dulu, contoh selalu harus ada daya tariknya kan, insentif. Ada perlombaan tentu ada hadiah. Ya begitu ada hadiah, ya sudah kita sokong deh dengan sepeda, apapun gitu ya yang kira-kira cukup menarik buat masyarakat. Nah berharap, dari proses seperti ini minat akan tumbuh. Dan kita sudah coba sih di beberapa tempat memang antusias. Karena permainan tradisional ini kan accessible ya, biasanya tidak sulit, mudah dimainkan, tidak perlu peralatan banyak, tidak perlu keahlian khusus gitu ya, pokoknya asal senang dan suasananya biasanya senang. Jadi bukan seperti ngotot pertandingan kompetitif yang saling mengalahkan gitu. Pokoknya suasana gembiranya jauh lebih besar lah.
Melihat kenyataan-kenyataan seperti itu kami cukup percaya diri bahwa ini akan bisa menarik. Nah, tentu ada soal ya karena tidak semua masyarakat, apalagi masyarakat urban – masyarakat urban nih kan pengenalan terhadap permainan kaya gitu-gitu sudah jarang banget. Nah kita juga mengundang teman-teman yang inovasi teknologi, mereka untuk berpartisipasi di dalam proses-proses seperti ini. Misalnya, pindahkan game, tahu galasin? Tahu ya. Galasin ini dipindah ke handphone. Kan prinsipnya cuma itu. Ya kan sebetulnya seperti apa sih permainan, strategi saja kan sebetulnya, mengatur. Kamu bisa jadi yang jaga, yang jaga kan begitu tuh, melintang begitu, atau jadi yang lari. Nah jadi dengan keterlibatan teman-teman yang fokusnya lebih banyak ke teknologi digital, harapan kami juga dia ada ruang untuk itu. Karena sekarang kan e–sport kan besar banget. Dan bukan tidak mungkin ya, saya sendiri belum mengecek, dari permainan-permainan tradisional tuh juga bisa dikembangkan seperti itu sebetulnya.
Prinsipnya e-sport kan, ya sama lah algoritma ya. Sama seperti permainan tadi tuh, gerobak sodor, punya algoritmanya, logic-nya itu harus bisa dikembangkan ke berbagai bentuk. Dan nanti bulan Juni akhir kita akan ada youth camp, akan ada kemah untuk kaum muda di Prambanan, jadi mengumpulkan termasuk inovator-inovator. Jadi yang punya ide macam-macam ya ke sana. Tapi tidak semuanya permainan. Di Pekan Kebudayaan Nasional juga ada eksibisi cukup banyak ya, yang sifatnya pameran, sekadar pentas. Tadi barusan di sini ada pertemuan, ada kelihatannya kalau untuk panggung-panggung juga kami mau buat internasional ya, bukan hanya dalam negeri. Ya meriah lah pokoknya, tempatnya di GBK, di seluruh kompleks situ ya. Berharap sih sebetulnya ini jadi ownership ya, jadi orang merasa memiliki sehingga bisa berlanjut terus nih tiap dua tahun lah dan fokusnya memang ke anak-anak ya. Anak muda deh yang usia remaja sampai 20-an yang ingin dijangkau oleh kegiatan ini.
Pada prakteknya, akankah Strategi Kebudayaan yang ditetapkan dalam Kongres Kebudayaan Indonesia tahun lalu bisa diikuti secara tepat dan sesuai sasaran?
Sekarang ada proses kami menerjemahkan, mengurai Strategi Kebudayan ini dalam rencana kerja yang lebih konkret dan melibatkan bukan hanya kami di sini, tapi melibatkan banyak kementerian dan lembaga yang lain. Ini semacam pembagian tugas. Jadi kalau misalnya ada di situ amanatnya dari Strategi Kebudayaan kan memperluas ruang-ruang ekspresi sehingga timbul kebudayaan yang inklusif – ini PR-nya dari Strategi Kebudayaan. Dan tentu ini bukan sesuatu yang bisa selesai dalam 1-2 tahun. Sekarang prosesnya dengan Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, diskusi, termasuk dengan elemen-elemen kementerian yang lain mulai melihat, dan 15 Februari ini batas waktunya dari masing-masing “Oh saya akan berperan di A, B, C, D.” Setelah itu dapat, kami akan dapat petanya “Oh ini nih harus dikerjakan, siapa yang terlibat.” Jadi gambar besarnya tuh ada.
Apa sih ukurannya kita maju secara kebudayaan?
Nah dari situ baru saya kira bisa mengukur ini bakal kejadian apa tidak. Ada hal-hal yang mungkin memang memerlukan waktu 10-15 tahun, ada hal-hal yang sifatnya mungkin lebih jangka pendek dan bisa dikerjakan segera. Jadi ya, hasil dari pemetaan itu nantinya akan bisa memperjelas tadi target-target. Dan yang penting sebetulnya kita juga perlu indikator. Apa sih ukurannya kita maju secara kebudayaan? Apakah semakin banyak orang menonton kesenian tuh berarti kebudayaan kita maju? Atau semakin banyak pelaku? Atau apa gitu indikatornya. Atau kita bicara dampak, bukan hanya soal output ya, kita bicara tentang dampak. Dampaknya apa? Level kebahagiaan orang itu meningkat tidak sih karena intervensi kami? Apa sih ukurannya kebahagiaan? Yang kaya gitu-gitu diskusinya sekarang gitu yang sekarang kami lagi bahas sehingga bisa jauh lebih akurat nanti kami menilai kemajuan-kemajuannya.
Apa proyek yang akan datang dari Hilmar Farid?
Ingin menulis. Saya ingin sekali menulis. Setelah keliling-keliling ke banyak tempat, saya merasa ada yang kurang di dalam kehidupan kita berbangsa, yaitu narasi. Jadi narasi yang kurang lebih orang, tadi tuh kata kuncinya ‘relevansi.’ Jadi narasi sejarah misalnya, karena saya latar belakangnya sejarah, narasi sejarah ini kalau dibandingkan dengan 30 tahun lalu, waduh sudah banyak ini perkembangannya. Buku-buku sejarah lokal di mana-mana muncul. Tapi kok rasanya pada saat bersamaan bagi orang dari daerah yang lain tidak merasa bahwa itu miliknya. Misalnya ya, nah kalau sekarang kita (orang Jakarta) disuruh baca tentang sejarah Kabupaten Muna di Sulawesi Tenggara sana, jarak kulturalnya bukan hanya jarak geografis ya, jarak kulturalnya juga sudah besar banget itu karena merasa kaya sama misalnya jauhnya seperti kita baca tentang sejarah Thailand, tidak terasa ada bagian darinya.
Kenapa itu bisa terjadi? Tidak usah jauh-jauh deh, kamu baca tentang sejarah Kerawang, kan deket tuh, ya 2 jam lah, kalau sekarang 1 jam naik mobil. Tetapi begitu kita masuk ke sana seperti cerita yang sama sekali berbeda dan mungkin relevansinya juga tidak begitu terasa. Kenapa itu bisa terjadi? Ya karena narasi tadi. Narasi yang mengikat ini yang absen, yang bisa menempatkan daerah yang berbeda-beda – kita nih 652 bahasa, bicaranya 1.100 suku bangsa. Jadi yang mengikat ini, apa ya yang mempersatukan narasinya? Sama seperti anak-anak di Kerawang mungkin tidak terlalu relevan “Ah dibikin di Jakarta, nggak tahu lah, nggak penting.” Apa aja gitu. Dan kita semakin lama semakin parokial. Padahal, teknologi digitalnya, transportasinya, segala macemnya, sangat memungkinkan kita untuk nyambung. Tapi kok malah terjadi sebaliknya. Dan saya berkesimpulan, “Wah ini kayanya ada problem besar gitu dengan narasi kita.”
Jadi kalau ditanya, mau apa? Saya ingin banget menulis. Menulis lagi. Dulu banyak menulis, sekarang menulis lagi untuk coba mengembangkan narasi yang kira-kira mungkin bisa dilihat relevan, dan tidak usah berat-berat. Ini yang saya bayangin tuh travel writing, tapi yang historis. Jadi pergi ke tempat yang lain, terus lihat gitu sejarahnya. Tapi apa sih artinya buat saya gitu pergi ke tempat yang jauh, lihat barang dari 500 tahun yang lalu? Untuk saya yang tinggal di Jakarta, berkegiatan sehari-hari boleh dibilang dominan di sini terus apa maknanya? Nah, mudah-mudahan refleksi-refleksi seperti ini nih nyambung yah dengan pembaca. Mimpinya sih itu, waktunya tidak ada, disuruh wawancara terus soalnya (tertawa).