Membicarakan Hak Freelance Hingga Budaya Lembur yang Jadi Kebanggaan Bersama SINDIKASI
Berbincang dengan ketua SINDIKASI, Ellena Ekarahendy tentang sisi negatif ekosistem kerja fleksibel, budaya overwork, dan pentingnya pekerja untuk memiliki perspektif kritis.
Words by Ghina Sabrina
Didorong dengan naiknya kesadaran atas kondisi kerja yang kurang mengakomodir para pekerja dan juga luputnya serikat kerja di industri kreatif dan media Indonesia, Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi pun hadir untuk mengisi celah tersebut. Terbentuk di tahun 2017, SINDIKASI memusatkan perhatiannya untuk mengadvokasi isu-isu penting yang sering dihadapi oleh para pekerja kognitif dengan program-program yang memberikan perspektif kritis. Kami menemui ketua SINDIKASI, Ellena Ekarahendy untuk membahas hak-hak yang dimiliki oleh para pekerja, konten yang menertawakan penderitaan, hingga capaian mereka dengan diakuinya kesehatan mental sebagai bagian dari K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja).
Apa yang menggerakkan kalian untuk akhirnya menginisiasi SINDIKASI?
SINDIKASI itu awalnya dari kumpul-kumpul teman-teman wartawan, lalu akhirnya membuat serikat pekerja. Mereka kemudian mulai mengajak teman-teman dari industri kreatif. Di tahun 2016 akhir sampai 2017 awal, mereka membuat komite persiapan. Paralel juga dengan saya cabut dari DGI dan mulai mengulik soal pekerja immaterial, terus saya presentasi beberapa kali soal itu lalu ketemu sama teman-teman wartawan ini. Kita mulai ngobrol soal pekerja immaterial, saya ingin membuat serikat pekerja, lalu saya tanyakan bagaimana kalau kita bikin serikat pekerja bareng? Akhirnya saya coba dulu.
Waktu itu saya mengisi acara mereka karena mereka awalnya bikin diskusi soal barcode media yang mempengaruhi ke media alternatif. Di diskusi kedua, saya mengikuti mereka membuat diskusi soal K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) di industri kreatif. Sejak saat itu kami jalan sebagai komite persiapan dan saya gabung juga di situ. Akhirnya pada April 2017 kami memutuskan untuk bikin semacam konferensi yang sebetulnya isinya cuma 10 orang.
Lalu kami membuat presidium, struktural sementara, ada 5 orang, saya dengan 4 orang lainnya yang tugasnya untuk membawa sampai ke Kongres, sampai benar-benar terbentuk menjadi serikat pekerja. Waktu itu, komite persiapan lalu kami test drive, “coba yuk kita ikut May Day”, dan mulai aktivasi di sosial media. Kami terus mulai viral dan orang-orang juga mulai bergabung. Ternyata, orang tertarik juga ya dengan ide soal serikat pekerja media dan industri kreatif ini. Karena, sebelumnya serikat pekerja media itu sudah ada tapi tidak terlalu kelihatan, terus kalau di industri kreatif belum ada serikat pekerja.
Akhirnya saya bertemu teman-teman yang mengeluh soal kondisi kerjanya tapi selama ini bingung kayak “gue mesti ngapain ya dengan kondisi ini?”. Akhirnya SINDIKASI terbentuk, pada bulan Agustus 2017 kami kongres pembentukan resmi dan kami bawa ke sudinaker (Suku Dinas Ketenagakerjaan) untuk pencatatan. Surat dari mereka pun baru keluar di bulan Januari 2018. Mereka memang lelet. Kami juga membuatnya di Jakarta Utara yang memang banyak serikat pekerja dan buruh supaya mereka tidak rewel. Akhirnyakami dapat surat tersebut lalu mulai bisa beroperasi secara legal sebagai serikat pekerja.
Sebagai kolektif, program-program apa saja yang telah dilakukan untuk menyebarluaskan misi SINDIKASI?
Sebenarnya SINDIKASI ini secara sektoral fokusnya dua, pekerja media dan industri kreatif. Tetapi secara garis besar yang kami angkat adalah para pekerja kognitif. Pekerja-pekerja yang memproduksi pengetahuan, dari penulis, peneliti, dan pekerja digital – itu kan kebanyakan produknya pengetahuan. Tapi untuk fokus issue-nya, kami angkat dua hal, soal fleksibilitas tenaga kerja dan kesehatan mental. Dari sana, turunan programnya jadi banyak, advokasi soal pekerja fleksibel, pekerja lepas atau freelancer karena belum ada regulasi yang kuat kan? Sekarang cuma ada tentang buruh harian lepas yang konteksnya lebih ke buruh konstruksi, bukan freelance di industri kreatif, makanya memang kami ingin mendorong itu. Yang kedua, kami ingin menjalankan advokasi soal kesehatan mental. Meski di luar itu, kami seperti biasa mempublikasi soal hak kerja, kesehatan mental sama kami rutin setiap bulan mengadakan “Kelas akhir Pekan” yang tidak hanya mengangkat pengetahuan soal ketenagakerjaan tapi juga perspektif yang lebih kritis secara sosial dan politik.
Apakah infrastrukturnya siap dan apakah sistem ekonominya memang mengakomodir itu?
“Kelas Akhir Pekan” itu rutin dan dibuat menjadi reguler karena itu di satu sisi menjadi ruang untuk teman-teman yang selama ini sangat asing dengan isu-isu sosial yang lebih kritis dan pada akhirnya bisa belajar dari situ dan ketemu sama teman-teman yang lain. Di luar “Kelas Akhir Pekan”, kita juga rutin bikin program “Duduk-Duduk di Taman”. Kalau “Duduk-Duduk di Taman”, lebih seperti gathering biasa, cuma memang ada topiknya. Kami beberapa kali sudah membuat program, itu dengan topik misalkan soal “Peliputan Bencana”. Jadi mereka bisa sharing satu sama lain. Karena kalau duduk di taman, kita jadi lebih bisa sharing dan mengenal satu sama lain. Ini jadi ruang untuk itu. Karena salah satu kendala industri kreatif terutama, orang tidak bisa mengapresiasi profesinya karena mereka tidak mengerti pekerjaannya. Itu yang kami coba angkat dengan program itu.
Dengan terbentuknya Bekraf, terlihat bahwa Indonesia menaruh perhatian khusus pada pertumbuhan ekonomi kreatif. Namun, ternyata unsur ketenagakerjaan tidak termasuk dalam fokus mereka. Apa tanggapan Anda mengenai hal tersebut?
Mereka selalu ngeles dengan dua pledoi mereka, satu soal pariwisata, satu lagi soal bisnis. Jadi kalau kita membicarakan soal ekonomi kreatif, kalian pasti memperhatikan juga narasinya yang lebih ke soal kota kreatif dan soal pariwisata. Kota kreatif juga sebenarnya supaya mereka menjadi sebuah pusat pariwisata gitu kan? Atau soal bisnis. Ini mereka bilang sendiri, “Kita nggak ngurusin tenaga kerja, kita ngomonginnya sektor bisnis”. Kami udah beberapa kali bilang ke mereka sampai capek. Tidak ada salahnya juga sih ketika ngomongin bikin bisnis sendiri atau segala macam, tapi pertanyaannya adalah apakah infrastrukturnya siap dan apakah sistem ekonominya memang mengakomodir itu? Kalau tidak, cuma jadi start-up yang berdiri hanya selama dua tahun lalu collapse. Menurut saya, perspektif mereka itu belum sama sekali mencapai ke para pekerjanya. Yang mereka dorong adalah untuk jadi “pekerja mandiri” yang ada dalam tanda kutip itu. Tapi jadi pekerja mandiri itu dalam artian sebenarnya mereka melepaskan tanggung jawab mereka untuk bisa mengakomodir pekerjanya. Seperti misalnya, pekerja mandiri freelancer, regulasinya aja sekarang tidak ada. Kalau kita bedah kontrak kerja, pertama, ternyata permasalahan tidak bisa dibawa ke penyelesaian hubungan industrial, kedua bahkan itu harus diselesaikan secara perdata, ibaratnya privat. Padahal ini relasi kerja, tapi malah harus dibawa ke ranah privat.
Di satu sisi, mereka juga tidak melibatkan pekerja as in mereka yang ada di kelas pekerja. Perspektifnya kalau diajak asosiasi profesi, okay ini perihal profesionalitas tapi kebanyakan orang-orang yang masuk preferensi adalah para pengusaha yang lebih mempunyai privilege ketimbang pekerja itu. Sehingga perspektifnya tidak bisa mengakomodir teman-teman pekerja. Salah satu alasan kami membuat serikat pekerja adalah itu, harus ada orang yang speak up di posisi yang daya tawarnya tidak setinggi teman-teman pengusaha yang bisa memulai kantor atau studio sendiri. Tidak semua orang mempunyai modal atau bisa mendapat pinjaman. Makanya sekarang banyak orang-orang yang kerja di start-up, kalau dia belum mendapatkan investor yang besar, kondisi kerjanya hancur banget. Mulai dari gaji di bawah UMP, kerjanya 12 jam setiap hari, jam tidurnya tidak ada, sampai tinggalnya di kantor.
Banyak dari para pekerja kreatif yang abai atas hak-hak mereka. Menurut Anda, sebenarnya apa yang membuat mereka tidak menyadari bahwa mereka mempunyai hak lebih?
Karena satu, pemberi kerja pastinya tidak akan memberi tahu. Kedua, siapa sih yang tahan baca undang-undang? Undang-undang tenaga kerja itu banyak sekali, tapi pas dibaca kayak, “Wah gila nih harusnya gue bisa ngebantah kantor gue dengan pasal sekian”. Kendalanya adalah kurangnya sosialisasi sehingga pekerja seharusnya bisa lebih proaktif. Terus yang kedua ada sebuah budaya yang sangat buruk, bahwa bekerja itu bisa berhasil kalau sesuai dengan passion atau bisa berhasil kalau bekerja keras yang sebenarnya diartikan sebagai overwork dan penuh dedikasi. Akhirnya bisa mengkompromi relasi-relasi kerja yang sebenarnya eksploitatif. Ini saya alami dengan mengobrol bersama beberapa teman, bahwa relasinya selalu seperti “aku kalau mau berhasil seperti misalnya seorang desainer, aku harus susah-susah dulu dengan kerja overwork”.
Yang lumayan agak mendarah daging itu adalah, para pekerja kreatif atau kognitif punya perspektif bahwa mereka bukan pekerja tapi seorang profesional. Akhirnya mereka merasa bahwa regulasi itu tidak berlaku untuk mereka karena mereka tidak menganggap statusnya sebagai buruh. Padahal ketika kita menukarkan tenaga, pikiran, dan waktu untuk upah, itu kita sudah menjadi pekerja sebetulnya. Dan itu yang kita coba bongkar dengan SINDIKASI, kita mulai kampanye soal buruh, pekerja yang selama ini di-demonize oleh orang-orang. Kita sebetulnya masih pekerja yang menanti invoice cair, menanti uang masuk ke dalam rekening di akhir bulan, dengan itu harusnya kita paham hak-haknya apa saja. Di sisi lain juga, dari pendidikan formal juga tidak pernah dibahas tentang industrinya seperti apa. Tidak ada yang tahu kita mesti bagaimana ketika memasuki industri ini.
Saya juga sering bertemu dengan orang-orang yang mengeluh tentang gajinya yang tidak banyak tapi bilang, “Gak apa-apa, kan namanya juga belajar”, atau mereka yang merasa, “Mungkin karena kerjaku belum bagus”. Karena memang di kampus juga tidak diberi tahu di industri itu seperti apa. Magang juga belum tentu realistis dalam segi gaji – magang kemudian jadi ruang eksploitasi baru. SINDIKASI memiliki sistem keanggotaan yang dibagi menjadi dua. Keanggotaan biasa, yakni para pekerja profesional, dan anggota muda yaitu yang masih berstatus mahasiswa. Mahasiswa sekarang kan sudah banyak yang mulai kerja, terus biasanya mereka juga dibayar murah, tapi mereka juga setidaknya bisa belajar standar harganya bagaimana.
Kesehatan mental merupakan aspek penting yang harus dijaga, namun ternyata hal tersebut seringkali diabaikan oleh perusahaan. Langkah-langkah seperti apa yang seharusnya dilakukan oleh perusahaan untuk menyediakan lingkungan yang mendukung aspek tersebut?
Sebenarnya SINDIKASI jadi sangat fokus terhadap kesehatan mental karena kami sadar yang kita naungi itu pekerjaan kognitif. Jadi, ibaratnya risiko yang paling pertama dari orang yang pekerja kognitif adalah mentalnya sama seperti risiko dari pekerja konstruksi adalah fisiknya. Tapi, kendalanya hal itu masih sangat tabu untuk masyarakat umum dan kesehatan mental dianggap oleh budaya kita sebagai liability. Kalau orang membicarakan soal kesehatan mental, hal itu dianggap sebagai sesuatu yang lemah padahal sebenarnya being human aja. Tapi menurut saya, salah satu faktor utamanya adalah bagaimana perusahaan bisa lebih egaliter terhadap pekerjanya. Setidaknya minimal ada load kerja yang bisa dibicarakan atau bagaimana kemudian jam kerja bisa dibuat efektif sehingga jam kerja tersebut tidak consume seluruh jam hidup seseorang.
Kita sebetulnya masih pekerja yang menanti invoice cair, menanti uang masuk ke dalam rekening di akhir bulan, dengan itu harusnya kita paham hak-haknya apa saja.
Kalau yang terjadi sekarang, ketika orang bekerja, perusahaan sudah membeli seluruh hidupnya dia – dari bangun tidur sampai tidur lagi itu hanya buat kerja, dia tidak punya waktu untuk teman-temannya, tidak punya waktu untuk keluarganya, dan bahkan tidak punya waktu untuk diri sendiri. Itu yang akhirnya menggerogoti pekerja itu. Ketika gangguan kesehatan mental itu muncul, hal itu akan dianggap sebagai kelemahan dan salah dia sendiri. “Salah sendiri lo gak liburan,” atau “Salah sendiri terlalu fokus kerjaan,” padahal memang ini untuk dedikasi. Tapi, para pekerja sendiri juga semestinya secara berbarengan membicarakan hal itu, karena kalau tidak hal tersebut tidak dapat naik ke permukaan. Ini konteksnya lebih untuk mereka yang kerja kantoran karena lebih jelas siapa yang memberikan kerja dalam suatu periode waktu tertentu. Atau, saya tidak tahu memungkinkan atau tidak, tapi bisa pergi ke psikolog atau konsultan secara gratis – sementara di Indonesia itu mahal dan kalau minta reimburse pasti ditanya macam-macam. Coverage asuransi juga belum ada. Walaupun ada BPJS, BPJS Ketenagakerjaan itu belum mencakup kesehatan jiwa meski BPJS Kesehatan sudah bisa.
Saya percaya kalau kesehatan mental itu bukan hanya isu individual, tapi dia itu menyangkut isu politik dan sosial. Relasi terhadap pekerjaannya-pekerjaan itu mengambil waktu paling banyak dalam hidup, bahkan bukan hanya saat berkarya tapi juga transportasinya. Apalagi kalau perempuan yang rentan dengan harassment, aspek-aspek itu yang sering luput saat membicarakan soal kesehatan mental di area kerja. Dan bagaimana perusahaan bisa punya perspektif yang lebih pro-pekerja. Sebenarnya ketika membicarakan pro-pekerja itu suka seakan-akan dilihat sebagai kondisi yang abstrak, padahal setidaknya memperlakukan para pekerjanya sebagai manusia saja, tidak menjadikannya sebagai robot yang harus standby selama 24 jam. Alat elektronik aja kalau kita nyalakan terus baterainya habis, masa manusia tidak bisa dapat waktu istirahat? Itu sebenarnya yang harus didorong. Sekarang kita dipenuhi oleh budaya hard work yang sebenarnya overwork dan itu yang harus dibongkar lagi betapa kesepian orang-orang yang kerja, apalagi di daerah urban.
Telah muncul banyak konten meme di media sosial yang mengemas penderitaan yang dirasakan oleh para pekerja kreatif secara komedik seperti OverheadAhensi. Bagaimana Anda melihat ini sebagai cerminan dari kondisi kerja yang di bawah standard?
Saya dari kuliah itu mengikuti grup Facebook “Ahensi Ex Ahensi”. Di sana sering muncul cerita-cerita, tapi saya lalu bertanya, “Kenapa curhatannya nggak pernah berbeda?” curhatannya sama sampai bertahun-tahun. Saya pikir, di satu sisi, konten-konten yang menertawakan penderitaan sendiri itu kemudian jadi bisa memunculkan persoalan yang selama ini dipendam tapi di sisi lain juga jadi buruk ketika itu jadi meromantisir, karena era sosial media di mana apapun bisa menjadi konten, itu pun jadi meromantisir penderitaan atau bahkan mengadu mana yang paling menderita – tapi tidak solve the problem. Jadi semacam trofi tersendiri layaknya “Aku yang paling menderita di tempat kerja,”. Padahal harusnya tidak begitu. Memang penting untuk kita membicarakan penderitaan itu jadi sebuah coping mechanism, tapi di sisi lain kita juga mesti bergerak supaya kita bisa mengubah itu karena ketika kita lihat itu terjadi dengan banyak orang, itu berarti persoalannya sistematik dan berpola. Jadi harus dicari celahnya, mana yang bisa kita ubah supaya setidaknya lingkungan kerja kita bisa lebih manusiawi. Jangan sampai hal itu perpetuating, di saat melihat konten-konten seperti itu, “Oh lucu ya” menderita jadi sebuah kelucuan dan akhirnya itu yang dipertahankan. Budaya kita kan seperti itu.
Saya sering banget menemukan para senior yang bilang “Waktu zaman gue juga sering lembur seminggu”. Anda melihat itu sebagai kerja yang tidak efektif kan? Berarti seharusnya ada sesuatu yang diubah. Kenapa kita tidak mengubah itu bersama-sama? Hal ini menjadi sebuah bentuk normalisasi. “Namanya juga anak agency, namanya juga anak social media”. Padahal realita sosial itu tidak ada yang sudah ada dari sananya. Itu sesuatu yang diciptakan, dan kalau bisa diciptakan sama manusia, berarti bisa diubah juga sama manusia. Itu juga cita-cita SINDIKASI. Menertawakan, iya, kita omongin, iya, tapi mau sampai kapan kita menertawai dan ngomongin doang? Harus ada upaya-upaya intervensi pada akhirnya dan itu juga tidak bisa dilakukan sendiri, mesti bareng-bareng.
Baru-baru ini ada salah satu artikel dari BuzzFeed News yang mengatakan bahwa millennials telah menjadi “Burnout Generation” karena kita telah secara sistematis dibesarkan untuk menjadi seorang tenaga kerja yang harus terus produktif. Apakah Anda menyetujui argumen tersebut?
Di satu sisi, iya, itu ada benarnya. Tapi ada tambahan lainnya, yaitu soal realita sosial ekonomi yang tidak bisa dielakkan juga sebenarnya, bahwa sekarang semua area digentrifikasi yang mengakibatkan ongkos kehidupan yang jauh lebih besar sementara pendapatan yang sangat sedikit. Kita dikonstruksi untuk bisa selalu mengonsumsi. Imajinasi kita itu tidak pernah lebih besar dari imajinasi mengonsumsi. Tidak cuma soal konsumsi dalam artian lifestyle, tapi juga basic needs juga yang sekarang jadi sangat tinggi. Itu yang sebenarnya mendorong so-called millennials ini untuk kemudian, pertama, mau tidak mau harus bekerja agar bisa tetap hidup, kedua, sangat berusaha untuk bisa membuktikan dirinya sendiri. Era kita sekarang, dengan internet, media sosial dan teknologi, akhirnya mengkapitalisasi itu. Dengan orang untuk bisa tampil, bahkan untuk sekadar memastikan bahwa, “Gue adalah orang yang paling baik di kantor ini” adalah dengan bertahan di kantor sampai berlarut-larut malam.
Dan budaya-budaya seperti itu yang kita anggap sebagai sesuatu yang normal karena kita juga seringkali mengapresiasi orang dari tingkat yang paling terlihat di permukaan – seperti status, pendapatan, dan banyak lagi. Maka dari itu, bias kelas juga muncul. Ketika kita membicarakan millennials, ada golongan millennials yang tidak cuma di kelas menengah tapi juga di kelas bawah dan di area yang bukan urban – dan mereka juga struggling, mau tidak mau harus bekerja. Di cakupan SINDIKASI, banyak teman yang walaupun sudah kerja, dia tetap kerja lagi untuk freelance, misalnya, pertama, untuk kebutuhan dia, “Kerjaan gue di kantor tidak sesuai dengan apa yang gue percayai,” berarti dia perlu mencari pekerjaan lain untuk dapat menggunakan skill mereka. Kedua, karena memang tidak mencukupi, mereka akhirnya harus kerja lagi supaya bisa mencukupi kebutuhan karena seringkali kebutuhan tidak hanya milik diri sendiri – bisa orang tua, adik, atau anak. Ongkos-ongkosnya itu bukan cuma sosial ekonomi tapi juga mental.
Ekosistem kerja yang fleksibel kerap membuat para pekerja lupa kalau mereka bekerja lebih dari 8 jam. Apalagi di industri kreatif, mereka pun jarang diberikan kompensasi yang adil. Apakah sebenarnya hal ini telah diatur oleh pemerintah?
Itu sebenarnya sudah ada di Undang-Undang No 13 Tahun 2003, jam kerja sehari itu 8 jam dan maksimum 40 jam seminggu. Bahkan lembur pun di undang-undang ada maksimumnya. Pertama, bahwa lembur itu bisa berlaku kalau pekerjanya mau dan sebenarnya pekerja itu bisa menolak. Kedua, maksimum 3 jam per hari. Jadi kalau yang sudah kerja sampai 12 jam itu sudah exceeding, dan harus ada upahnya. Ada perhitungannya sendiri, formulanya, untuk menghitung upah lembur. Tapi sekarang, apalagi kalau start-up atau studio-studio kecil, jam masuknya fleksibel jadi waktu lembur jadi tidak tertata. Itu jadi dua sisi koin soal kerja fleksibel itu sendiri. Menurut saya, pekerja itu bisa lebih kritis melihat bagaimana menghargai dirinya sendiri. Misalkan saya kerja dari jam sekian sampai jam sekian, kalau sudah melewati jam kerja yang ditetapkan seharusnya saya dibayar lemburnya. Kalau tidak dibayar, setidaknya merasa gelisah kenapa tidak pernah dibayar walaupun project selalu masuk.
Ketika orang bekerja, perusahaan sudah membeli seluruh hidupnya dia – dari bangun tidur sampai tidur lagi itu cuman buat kerja, dia tidak punya waktu untuk teman-temannya, tidak punya waktu untuk keluarganya, dan bahkan tidak punya waktu untuk diri sendiri.
Bahkan sekarang ada kerja social media atau customer service yang harus selalu ready 24 jam. Sebenarnya yang tricky dari undang-undang itu adalah ada keterangan dan aturan lain yang bisa mengubah itu sesuai dengan turunan sub-sektornya. Hanya, sepertinya untuk industri media dan kreatif kurang memadai, banyak loophole-nya. Selama ini banyak hal-hal yang kita anggap sebagai sesuatu yang wajar. Di satu sisi juga karena ada krisis validasi di industri kreatif atau media – karena pekerja kognitif mungkin ingin mengakui kalau, “Gue itu beda”. Regulasi pun terkadang tricky. Kendalanya adalah ketika regulasi dibuat, mereka argumennya adalah dengan melibatkan para praktisi dalam proses pembuatan regulasi, makanya SINDIKASI selalu menggunakan narasi “serikat pekerja” karena praktisi bukan selalu berarti pekerja, mereka bisa jadi orang-orang yang punya privilege. Akhirnya kita terlalu sibuk dengan moral dalam kontennya tapi infrastruktur manusia sering luput. Mungkin karena memang realita ekonomi sekarang yang melihat manusia itu tidak lebih dari komoditas yang bisa saling dipertukarkan saja di bursa tenaga kerja.
Melihat pemberhentian pekerjaan secara besar-besaran yang dilakukan oleh media internasional seperti BuzzFeed dan HuffPost, isu ketenagakerjaan ternyata juga terasa secara menyeluruh. Bagaimana Anda melihat posisi Indonesia di mata global?
Indonesia, mau tidak mau kita akui masih sebagai negara berkembang dan jika dibandingkan dengan negara-negara maju yang memang pemegang industri, Indonesia cuma dijadikan dua, kalau bukan konsumen, tenaga kerja murah. Itu kondisi kita sekarang dan seluruh relasi yang ada sekarang, apalagi jika membicarakan industri media, itu sudah tidak ada lagi pembicaraan tentang media yang memang bekerja sebagaimana media seharusnya bekerja. Setidaknya masih ada media-media alternatif yang punya isu spesifik diangkat.
Tapi ketika membicarakan media massa yang mencakup semua, sepertinya kondisinya sudah tidak lepas dari isu-isu politik dan oligarki. Sekarang teman-teman yang bekerja di industri media tereksploitasi, lalu para pengusaha dan pemodalnya adalah orang-orang yang bermain di politik kan? Pada akhirnya, media sama industri kreatif, kalau kita berbicara jujur, itu dipakai buat alat politik dan alat konsumsi. Tapi balik lagi, relasi kerjanya itu seperti apa? Mimpinya adalah untuk muncul media yang bisa dibiayai oleh publik seperti BBC. Tanggung jawab mereka adalah pada investor mereka yaitu publik. Realita lay-off di media itu kesedihan yang tidak bisa dihindari, karena faktanya mereka hanya bergantung pada iklan. Semua orang kini beranggapan bahwa mereka bisa menikmati konten secara gratis.
Relasi industri yang lebih berpikir secara ekosistem itu belum ada sekarang. Untuk industri media, itu adalah pekerjaan yang berat. Yang mesti dilawan adalah para pemilik modal yang memiliki backingan politik. Kalau membicarakan media sekarang, medianya selalu harus bernarasi dengan menjadi tandingan politik pada akhirnya, kecuali media-media alternatif yang secara sektoral memang membahas khusus hal tersebut.
Kalau kita membahas pekerjaan, start-up atau small to medium-sized enterprise (SMEs) itu didorong banget sekarang, tapi tidak pernah dibicarakan sampai kapan itu akan bertahan. Itu sebenarnya narasi yang saya pribadi kritisi banget. Waktu itu Pak Hanif Dhakiri (Menteri Ketenagakerjaan) pernah bilang, “Kalau zaman sekarang pemikirannya harus berubah. Jangan berpikir jadi ‘perkerja tetap’ tapi berpikir ‘tetap bekerja’. Bahwa ada pekerjaan tapi tempatnya berbeda-beda.” Dari situ kan aspeknya jadi banyak. Pertanyaannya adalah, pekerja itu pendapatannya seperti apa? Kondisi kerjanya seperti apa? Apakah mencukupi orang itu bekerja untuk masa tuanya atau keluarga? Itu tidak pernah dibahas. Narasi pekerja fleksibel atau ekonomi kreatif selalu dipelintir sekarangNarasi pekerja fleksibel atau ekonomi kreatif selalu dipelintir sekarang karena term ‘kreatif’ sendiri juga tidak pernah ada definisi yang jelas.
karena term ‘kreatif’ sendiri juga tidak pernah ada definisi yang jelas. Jadi akhirnya didefinisikan sesuka hati.
Untuk segi diskursus pun sedikit sekali penelitian yang membahas itu. Makanya salah satu misi SINDIKASI adalah untuk membuka diskursus soal kerja, ekonomi digital dan pekerja kognitif itu sendiri. Ketiga topik tersebut adalah hal yang jarang dibahas. Toh, ketenagakerjaan juga tadinya tidak dianggap sebagai sesuatu yang layak untuk jadi pembicaraan mainstream.
Apakah Anda telah melihat/merasakan perubahan dari aspek pemerintah dan undang-undang sejak terbentuknya SINDIKASI?
Kalau secara formal, tahun lalu kami mengajukan 2 kertas posisi, “Ongkos Tersembunyi Ekonomi Digital” yang membicarakan kondisi ketenagakerjaan di ekonomi digital dan “Kerja Keras Menukar Waras”. Salah satu demand kertas posisi ini adalah kami mendorong kesehatan mental untuk diakui sebagai bagian dari K3, yang akhir diakui oleh pemerintah. Itu adalah sebuah pencapaian sekali bagi kami. Akhirnya keluar Permenaker (Peraturan Menteri Tenaga Kerja) No 5 Tahun 2018 yang akhirnya memuat faktor psikologi sebagai bagian dari K3. Seluruh aspek dalam faktor psikologi dirincikan oleh mereka, makanya kami coba pakai itu sebagai instrumennya. Dalam dokumen tersebut ada questionnaire yang kami coba pakai, namun ternyata questionnaire-nya hanya cocok untuk pekerja kantoran atau pekerja tetap. Tapi setidaknya, hal ini memperlihatkan progres yang bergulir.
Secara informal, kami mendampingi beberapa kasus, mungkin tidak besar tapi bipartit dan juga selalu menjawab konsultasi teman-teman. Mungkin mereka lebih sering menyebutnya sebagai curhat. Jadi di media sosial kami seringkali menerima DM, kami sih melihatnya sebagai progress, akhirnya teman-teman yang selama ini menormalisasi kerja eksploitatif kemudian merasa resah. Akhirnya mereka bisa mulai terbuka dan melihat bahwa mereka tidak sendiri. Saya melihat beberapa teman di sekitar pun mulai berani menagih uang lembur atau meminta untuk naik gaji. Sudah berani speak up bahwa mereka juga punya hak. Itu yang kami dorong banget, sih.
Isu darurat apa yang menurut Anda harus secepatnya diperbaiki di Indonesia?
Banyak banget. Isu-isu ini tidak terlepas satu sama lain. Soal kesehatan mental dan fleksibilitas kerja itu kan saling bersambungan. Tapi mungkin yang menjadi genting adalah bagaimana para pekerja bisa mempunyai perspektif yang lebih kritis, bukan hanya melihat relasi kerjanya tapi juga melihat realita sosialnya. Seperti yang tadi saya bilang, imajinasi kita tidak lebih dari imajinasi konsumsi, naik gaji supaya bisa beli. Mau tidak mau akan selalu kerja karena imajinasinya terpaku pada konsumsi. Bahkan identitasnya pun dimaknai sama kerjaannya. Ironisnya adalah para pekerja kognitif pada dasarnya sering menjual sebuah realitas yang seringkali dia sendiri masih terbeli dengan realitas itu. Oleh karena itu, yang kami dorong sekarang adalah soal cara pandang kritis itu. Makanya sekarang SINDIKASI lebih banyak mengadakan “Kelas Akhir Pekan” yang membahas tidak cuma soal ketenagakerjaan tapi juga soal hal-hal lain seperti “Kerja Kreatif” untuk membongkar apa yang kita selama ini pikir sebagai sesuatu yang normal.
Apa harapan Anda untuk ke depannya?
Masyarakat tanpa kelas dan tanpa kerja upahan (tertawa). Kalau yang lebih realistis adalah untuk lebih banyak teman yang bisa mulai berpikir kritis terkait kondisi ketenagakerjaannya dan juga relasi sosialnya. Satu, bisa lewat questioning dan juga punya sikap yang lebih kritis, sih karena para pekerja media dan industri kreatif adalah pekerja kognitif yang sebenarnya punya power. Ironisnya mereka bisa menjual dirinya untuk menciptakan sebuah rekayasa yang mungkin dia sendiri tidak percaya realitas itu. Tapi bagaimana kalau misalkan hal itu bisa diintervensi dan digeser sehingga mereka bisa memakai kemampuan itu untuk greater good.
Untuk menciptakan lingkungan yang lebih adil, lebih manusiawi. Agak utopis, sih. Pekerja media mungkin bisa mencicil sedikit energi untuk menulis berita yang ia percayai. Desainer bisa membuat desain untuk issue yang memang diyakini memang diperlukan oleh masyarakat. Kadang anehnya, teman-teman di industri media dan kreatif sangat terbawa dalam “Profesi saya bisa mengubah dunia” tapi mengikuti apa yang didiktekan terhadap profesinya itu. Tapi kepercayaan itu tidak bisa digunakan untuk kehidupan yang lebih baik.
Kalau untuk SINDIKASI, pertama adalah agar bisa bertemu lebih banyak orang yang lebih kritis. Kedua adalah dapat mencicil jalan untuk membangun; entah itu sistem ekonomi alternatif atau sistem sosial alternatif, supaya kita tidak mengulang kesalahan-kesalahan yang sama. Kalau SINDIKASI kemudian bisa terlibat buat teman-teman industri media dan kreatif bisa lebih mengakomodir itu. Kalau di tahun 2019 memang fokus kami di freelancer sama mendorong soal implementasi Permenaker itu soal kesehatan mental, serta bisa jadi sebuah support system sendiri buat pekerja. Karena kadang kalau kita membicarakan serikat, orang kan sering menanyakan “apa itu serikat?” kami setidaknya ingin membuatnya menjadi relevan dengan menjadi support system. Minimal, kalau kami tidak bisa membela, kami bisa jadi teman yang bisa menemani.