Menemukan Kembali Bahasa Ibu
Menemukan kembali rasa cinta terhadap bahasa Indonesia lewat kelas pengantar linguistik di New York City.
Words by Whiteboard Journal
Suatu ketika, dosen kelas pengantar linguistik saya di New York bertanya kepada kelas berisikan 150 mahasiswa: “Is anyone here from Indonesia?” (“Apakah ada yang dari Indonesia di sini?”) Saya mengangkat tangan dengan percaya diri, meskipun waktu itu pikiran saya sedang berada di luar kelas linguistik—tangan saya menjadi satu-satunya tangan yang terangkat di kelas itu. Ketika beliau bertanya “where from?” (“dari mana?”) saya terdiam selama lima detik sebelum menjawab. “Jakarta,” saya jawab, berbohong sedikit karena beliau pasti tidak tahu dimana letak Tangerang Selatan di Indonesia. Dosen saya kemudian bercerita tentang kunjungannya ke Jakarta beberapa tahun yang lalu, di mana beliau sudah bersiap-siap belajar bahasa Indonesia dari buku-buku pelajaran akademis, namun tetap saja tidak bisa mengerti bahasa Indonesia yang orang-orang gunakan sehari-hari. Beliau pun harus menggunakan apa yang beliau deskripsikan sebagai “bahasa Indonesia pidgin” (dalam ilmu linguistik, pidgin adalah bahasa kontak yang dipakai kelompok orang yang tidak mengerti satu sama lain—dalam konteks ini, mungkin beliau ingin mengatakan bahwa bahasa Indonesia yang beliau pakai dicampur dengan bahasa Inggris). Beliau menjelaskan, bahasa Indonesia adalah satu dari banyak bahasa di dunia yang bahasa sehari-harinya sangat berbeda dibandingkan dengan bahasa yang diajarkan di sekolah-sekolah.
Semakin lama saya mengikuti kelas pengantar linguistik umum ini, saya semakin sadar akan keunikan bahasa ibu saya sendiri. Contohnya, kata ulang dalam bahasa Indonesia ternyata merupakan bentuk sebuah konsep linguistik bernama reduplikasi total, yaitu, mengulang satu kata untuk mengindikasikan perubahan jenis/arti/jumlah, seperti pengulangan kata “rumah” menjadi “rumah-rumah” dalam bentuk jamak. Saya pun semakin mengenal bahasa Indonesia, dan semakin menikmati kicauan-kicauan Ivan Lanin.
Dan semakin saya masuk ke dalam kelas ini, semakin saya menyadari bahwa saya kurang mahir berbahasa Indonesia. Ketika dosen saya menjelaskan konsep-konsep kategori linguistik, saya berpikir manakah dari kategori-kategori ini yang mendeskripsikan bahasa Indonesia. Namun, kadang-kadang saya kehilangan arah, karena tidak terpikir contoh apa-apa di benak saya. Ketika saya berbicara dengan teman-teman Indonesia, saya semakin terperangkap dalam fenomena linguistik alih kode dan campur kode, atau yang disebut “bahasa anak Jaksel” oleh warganet. Sepertinya saya cenderung memilih bahasa Inggris dalam berbagai aspek percakapan, contohnya ketika menyatakan argumen atau menjelaskan konsep besar. Saya juga lebih terbiasa menulis dalam bahasa Inggris dibanding bahasa Indonesia, baik dalam lingkungan akademis maupun non-akademis; bekerja menjadi pemeriksa naskah koran kampus mengakrabkan saya dengan aturan-aturan gramatika bahasa Inggris, namun membuat saya lupa dengan bahasa Indonesia.
Ada 198 juta pengguna bahasa Indonesia di dunia (baik sebagai bahasa ibu atau bahasa kedua), namun kita semua bisa mengakui bahwa bahasa Indonesia (atau budaya Indonesia secara umum) belum menembus pengetahuan awam atau budaya pop di dunia barat. Mungkin ada beberapa referensi tentang Indonesia di budaya pop barat—seperti ketika Jack Nicholson dan Morgan Freeman berdiskusi tentang kopi luwak, atau ketika Julia Roberts bersepeda di Bali—dan kita semua berbondong-bondong ke bioskop melihat artis-artis barat ini mencoba sedikit dari budaya Indonesia, bagaikan asupan untuk nasionalisme kolektif kita. Dan terkadang, ada beberapa referensi yang menggores luka di atas nasionalisme kolektif ini, seperti kicauan penulis Andre Vltchek tentang strata sosial metropolitan Jakarta dan kontroversinya, yang banyak dibilang bersifat etnosentris dan orientalis.
Dalam konteks bahasa, adanya kelas bahasa Indonesia di universitas-universitas ternama di Amerika Serikat (dan adanya mahasiswa-mahasiswi non-Indonesia yang tertarik mengambil kelas-kelas tersebut) bisa dibilang sebuah bentuk representasi bagi budaya Indonesia. Namun, banyak dari kelas ini hanya beranggotakan kurang dari lima orang, sampai beberapa universitas harus menggunakan berbagai strategi untuk mengakomodasi partisipasi yang rendah, contohnya dengan menggunakan telekonferensi antar sekolah. Di kampus saya, menurut artikel di tautan tersebut, banyak dari orang-orang yang mengambil kelas bahasa Indonesia sudah akrab dengan Indonesia sebelumnya—mulai dari mahasiswa Amerika keturunan Indonesia sampai pelajar politik Asia Tenggara.
Namun, referensi bahasa Indonesia dari dosen saya merupakan hal yang spontan; referensi itu tidak saya tunggu-tunggu di kelas ini. Menjadi satu-satunya mahasiswa yang berbahasa ibu bahasa Indonesia di kelas 150 orang merupakan sebuah kebanggaan dan ketakutan tersendiri; kebanggaan bahwa orang-orang non-Indonesia ini bisa berkenalan dengan identitas yang membentuk seluruh hidup saya, namun pada saat yang sama, ketakutan jika saya tidak bisa merepresentasikan bahasa Indonesia dengan benar ketika dosen saya meminta saya untuk mengkonfirmasi pandangannya terhadap bahasa Indonesia. Rasa takut tersebut hilang ketika teman sekelas saya yang berasal dari luar Indonesia bertanya lebih lanjut tentang bahasa Indonesia.
“Jadi, kalau ‘rumah’ itu bentuk tunggal dan ‘rumah-rumah’ itu bentuk jamak, apakah orang Indonesia menambah jumlah reduplikasi jika jumlah objeknya bertambah banyak? Seperti ‘rumah-rumah-rumah’ atau ‘rumah-rumah-rumah-rumah’?”
Saya tertawa. Dia memang bermaksud untuk bercanda sedikit (setelah itu, ia menambahkan, “Bercanda kok, gue tahu bentuk jamak itu artinya apa”) namun saya membantunya dengan senang hati. Di dalam sebuah universitas di mana saya selalu merasa berada di antara ahli-ahli dalam berbagai bidang—dan terkadang bisa menciptakan ilusi imposter syndrome—menjadi sebuah pembicara bahasa ibu dalam sebuah bahasa yang kurang umum di dunia barat merupakan sebuah kebanggaan tersendiri, terlebihnya ketika bahasa tersebut dijadikan referensi di ruang kelas.
Rasa takut akan kewajiban untuk merepresentasikan identitas saya hilang ketika saya menyadari bahwa menjadi pelajar di Amerika Serikat—dan, secara spesifik, mengambil mata kuliah pengantar linguistik umum—tidak menutup kesadaran saya terhadap bahasa ibu saya sendiri. Mendengar diskusi akademis tentang bahasa Indonesia di sebuah ruang kelas beribu-ribu kilometer dari rumah menandakan bahwa meskipun bahasa Indonesia tidak krusial dalam kehidupan sehari-hari saya di Amerika Serikat, jarak tidak memisahkan saya dari bahasa Indonesia, namun malah mendekatkan. Seperti istilah “bahasa ibu” sendiri, mata kuliah ini mengingatkan saya tentang bahasa yang membesarkan saya, dan menerkanya kembali dalam kajian linguistik mendekatkan saya dalam pelukan bahasa Indonesia, bagai pelukan seorang ibu.