Mengenang Aretha Franklin, “Queen of Soul”
Ikon liberasi perempuan, aktivis, dan penyanyi dengan lagu-lagu ikonik.
Teks: Winona Amabel
Foto: Pittsburgh Post-Gazette
Aretha Franklin, penyandang titel “Queen of Soul” untuk kepiawaiannya sebagai penyanyi mezzo-soprano yang anggun juga eksplosif, meninggal dunia pada usia 76 tahun, tanggal 16 Agustus 2018 di Detroit. Gaungnya mulai terdengar di kancah musik Amerika Serikat sejak akhir tahun 1960-an dengan eksplorasinya terhadap ritme soul bersemangat dan gospel yang ekspresif. Tidak ada yang dapat membawakan lagu-lagu ikoniknya seperti “Respect”, “Think”, “You Make Me Feel Like a Natural Woman”, dan “Dr. Feelgood (Love Is a Serious Business)”, dengan kegarangan, rasa, dan otoritas yang sama seperti Aretha. Selama kurang lebih setengah abad, lagu-lagunya telah menjadi bagian dari budaya populer yang masuk ke catatan sejarah. Bersama kepergian Aretha Franklin, inilah beberapa sisi Franklin yang tentu akan kita rindukan darinya, mulai dari warisan karya khasnya, kepribadian, hingga aktivismenya.
Emosi beragam dalam lagu-lagunya
Seringkali suara Aretha Franklin diromantisir atau justru direduksi menjadi sekadar ‘penderitaan’, sebagai seorang kulit hitam pada masa American Apartheid sekaligus karena lika-liku kehidupan Aretha – termasuk hubungan yang abusive dengan mantan suami pertamanya Ted White. Aretha kerap membuat lirik tentang hasrat romansa dengan emosi beragam yang dihadirkan dalam tiap lagunya. Contohnya adalah kemarahan yang dibalut dengan sikap sassy pada lagu “Respect”, keinginan menggoda di lagu “(You Make Me Feel Like) A Natural Woman” dan “Something He Can Feel”, kepuasan diri pada lagu “First Snow in Kokomo”, hingga kepasrahan dalam “Don’t Play That Song”.
Tahun 60-70 bersama Atlantic Records jadi era keemasannya
Bekerja sama dengan nama-nama visioner seperti produser Jerry Wexler, arranger Arif Mardin, dan sound engineer Tom Dowd, Aretha Franklin menjalankan masa-masa keemasannya. Pada masa ini yang terletak pada 1967 hingga 1976 dengan Atlantic Records ini, Aretha menorehkan standar baru untuk lagu-lagunya, seperti “Sweet Sweet Baby (Since You’ve Been Gone)”, “Rock Steady” hingga ballad yang perkasa seperti “(You Make Me Feel Like) A Natural Woman”. Album yang ia lahirkan pada era ini adalah “Lady Soul”, “Aretha Now”, dan “Soul” yang merupakan perpaduan dari blues-soul dan musikalitas luar biasa yang menjadi perlambangan dari perubahan sosio-politis dalam budaya kulit hitam.
Sassy soul-mamas dengan humor impromptu
Humor impromptu dan lelucon mengalir natural pada diri Aretha Franklin menjadi hal yang identik pada dirinya, seperti yang disebutkan di biografi “Respect: The Life of Aretha Franklin”. Ia seringkali membumbui performa konser langsungnya dengan ekspresi vokal humoris menirukan penyanyi-penyanyi seperti Diana Ross, Sarah Vaughan, dan Dionne Warwick. Selayaknya seorang soul mamas berlidah tajam, sikap acuh tak acuh Aretha dengan gimmick neck-popping dan jentikan jarinya selalu berhasil membuat orang-orang di sekelilingnya tergelak, terlihat jelas pada monolog lagunya “Jump to It”, “Dr. Feelgood (Love Is a Serious Business)”, dan dalam bentuk slang seperti di lagu “Respect”. Sikap itu juga mengantarkannya untuk menjadi cameo di serial televisi hits “Murphy Brown”, pemeran di film komedi tahun 1980 garapan John Landis “The Blues Brothers”, sekuelnya “Blues Brothers 2000”.
Aktivisme sosial yang lantang
Sebagai penyanyi ternama Aretha memiliki pengaruh besar di Amerika Serikat, bukan hanya dalam lanskap musik namun juga dalam pergerakan feminisme serta aktivisme kulit hitam. Tentu ini tidak terlepas dari konteks latar belakang sosio-historisnya, terutama sebagai perempuan dan ras kulit hitam pada masa American Apartheid di pertengahan abad 20. Nilai-nilai Franklin berakar dari tradisi gospel tempat ia tumbuh bersama ayahnya Clarence LaVaughn Franklin, seorang pemuka agama sekaligus aktivis, di New Bethel Baptist Church, Detroit. Ketika pada masa itu beberapa penyanyi dan musisi kulit hitam bersikap aman, Franklin justru bersikap radikal. Kontraknya pada tahun 1960-an berisi perjanjian bahwa ia tidak akan tampil untuk penonton yang tersegregasi. Bertahun-tahun Franklin membantu kampanye pergerakan kaum kulit hitam oleh Martin Luther King, Jr., baik dari segi pendanaan dan fundraising ataupun sebagai penyanyi yang melakukan touring ke sebelas kota untuk mendampingi kampanye gerakan tersebut.
Lagu “Respect” menjadi anthem gerakan untuk kesetaraan
Lagu ikoniknya “Respect” menjadi lagu kebangsaan dari gerakan feminisme dan ras kulit hitam, mengalahkan pamor dari pencipta aslinya Otis Redding. Awalnya lagu ini diciptakan Redding dalam perspektif laki-laki yang menuntut rasa hormat sebagai pemberi nafkah dalam rumah tangga. Kemudian, bukan hanya sekadar cover, namun Aretha Franklin mengubahnya dari segi aransemen maupun aura menjadi soul anthem feminis, simbol perjuangan golongan yang seringkali disepelekan dan menuntut kehormatan setara sebagai sesama manusia. Aretha Franklin mungkin memang sudah meninggalkan dunia, tapi ia mewarisi semangat kesetaraan yang masih membara untuk dijaga nyalanya.