Telur Melawan Batu
Sembari mengirim duka bagi Lombok, tulisan open column kali ini menyoroti tentang bagaimana kita seharusnya bisa lebih bijak saat memahami konsep pariwisata.
Words by Whiteboard Journal
“dulu, itu pulau kami” ujar Dzulfatiyah, 78 tahun, generasi ketiga masyarakat Gili Sunut. Punggungnya membungkuk, jalannya sudah lamban, dengan segala kekuatannya ia mengantarkan kami ke ujung daratan untuk menunjuk pulau yang pernah didiaminya selama puluhan tahun.
Jarinya mengarah sepuluh derajat ke arah kiri, “bangunan yang masih berdiri itu, masjid” katanya lirih. Diterpa angin yang cukup besar dari laut, kami telah berdiri di ujung daratan, saya bertanya singkat tentang kehidupan dan bangunan yang tersisa di Dusun Sunut, Lombok Timur.
Dusun Sunut memiliki potensi pariwisata yang besar. Lokasinya pun cukup strategis karena dekat dengan beberapa daerah yang sudah terkenal, seperti Pantai Pink dan Pulau Pasir. Pantai pink kerap menjadi bulan-bulanan bagi wisatawan lokal maupun mancanegara untuk dikunjungi sebab warna pasir yang merah muda terlalu rugi jika ditinggalkan. Kemudian, satu pulau yang muncul jika air laut surut, muncul jalur pasir yang menghubungkan Gili Sunut dengan gili di dekatnya dan orang bisa berjalan di atas pasir tersebut, seolah-olah berjalan di laut.
Secara historis, Dusun Sunut berada di sebuah pulau yang dinamakan, Gili Sunut. Sejak tahun 1940-an, warga mulai menghuni Gili Sunut. Saat itu penghuni Gili Sunut tidak lebih dari 10 orang. Mereka bekerja sebagai pembakar kapur. Namun, setelah ada pelarangan pembakaran karang-karang oleh pemerintah karena dapat merusak ekosistem laut, mereka beralih profesi menjadi nelayan.
Semenjak itu, nelayan adalah pekerjaan utama warga Dusun Sunut. Awalnya masyarakat asli yang bekerja sebagai nelayan hanyalah masyarakat suku Bugis/Bajo, disusul masyarakat suku Sasak yang awalnya di darat pindah ke daerah pesisir disebabkan kekurangan lapangan pekerjaan, kemudian beralih menjadi nelayan. Di sela-sela mencari ikan, warga juga berinisiatif memanfaatkan ladang untuk menanam berbagai hasil tani yang pada mulanya adalah cabai, jagung, dan kacang-kacangan.
Keadaan berbalik pasca perusahaan masuk. Setelah seluruh warga Pulau Sunut direlokasi pada 2013, kegiatan di pulau itu kini hanya bisa diratapi oleh Dzulfatiyah. Perusahaan properti asal Singapore yang telah mendapat restu dari Bupati Lombok Timur, Ali Bin Dachlan, untuk mengembangkan pariwisata di Gili Sunut. Dalam masterplan perusahaan, rencananya Gili Sunut akan dibuat 46 buah villa mewah dengan rincian sebagai berikut: 31 vila menghadap samudera, 1 buah villa untuk bulan madu, 7 bungalow, 6 vila terpisah dari pulau, dan 2 vila mewah yang akan membuat pengunjung seolah memiliki sebuah pulau.
Pembangunan tersebut memiliki syarat, yaitu keseluruhan warga harus dipindah ke daratan. Syarat tersebut dipenuhi oleh Bupati. Dengan bumbu janji-janji dan isu pekerjaan menjadi penyedap rasa untuk memudahkan warga pindah. Ketiadaan sertifikat membuat seluruh warga Sunut hanya bisa pasrah ketika diminta pindah ke daratan. Upaya mengajukan sertifikat jauh sebelum relokasi berujung sia-sia. Birokrasi yang berbelit-beli menyulitkan mereka mendapat bukti bahwa tanah yang didudukinya ialah miliknya.
Di tempat tinggal yang sekarang, Dzulfatiyah kebingungan mencari tanah untuk menanam karena jarak yang cukup jauh dan tanah di sekitarnya sudah dimiliki pula oleh pihak lain. untuk mencari ikan, ia harus bersusah payah dengan kondisinya yang sekarang. Ia hanya mampu menangkap ikan dengan ingatannya yang masih kuat.
“dulu tinggal jalan sedikit sudah pantai, sekarang tebing” sambil menunjuk ke utara, “sekarang cuma beribadah saja” tambahnya sambil terkekeh.
Pariwisata Sebagai Motif
Ada garis tipis yang membatasi antara industri pariwisata dan ketidakadilan sosial. Isu mendorong kemajuan pariwisata di pulau kecil adalah isu seksi sekaligus paling “aman” untuk menyita perhatian orang. Padahal, jika tidak diperhatikan, potensi kesenjangan dan ketidakadilan sosial sangat besar. Jika mengambil contoh di provinsi Bali, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, pada tahun 2014, tingkat kemiskinan di Buleleng mencapai 5,19% dari jumlah penduduk 625.125, tertinggi dari angka kemiskinan di Provinsi Bali sebesar 4,1%. Pada tahun 2016 sendiri, tercatat setidaknya 21 desa di Buleleng yang memiliki tingkat kemiskinan di atas 30%. Kondisi tersebut jelas ironis melihat Bali adalah ikon pariwisata terbesar di Indonesia sejak zaman orde baru.
Selain Buleleng, ada Pulau Komodo dan Pulau Rinca yang mengalami hal serupa. Menukil berita detik.com (31/10) bahwa di Pulau Komodo, terdapat sekitar 1.300-an orang yang mana jumlahnya tak jauh beda dengan di Pulau Rinca. Dengan kondisi sosial kemasyarakatan yang berbading terbalik dengan yang diiklankan pada sektor pariwisatanya. Keterbatasan mengakses listrik, kesulitan mencari air bersih adalah contoh kecil bahwa mendorong industri pariwisata tidak berpengaruh pada laju pemenuhan kualitas hidup masyarakatnya. Alih-alih membawa kesejahteraan, pembangunan sektor pariwisata adalah narasi tentang apa yang membuat rakyat miskin, bagaimana mereka menjadi tetap miskin, dan mengapa mereka menjadi semakin miskin (Dale, 2013).
Langit biru, angin kencang, buih ombak, bungalow dan khas pantai memang amat menggoda untuk dilirik. Kemampuan alam untuk menyerap daya tarik investasi dan lapangan kerja tidaklah sepenuhnya salah. Suyadnya (2016) mengatakan bahwa sebagai industri jasa, pariwisata merupakan industri yang menganut pola kerja jaringan dengan sektor lainnya seperti sektor pertanian, sarana/prasarana, transportasi dan komunikasi. Ini yang membuat pariwisata menjadi salah satu sektor yang diharapkan meraup rupiah ke dalam kantong-kantong investasi.
Dari hal tersebut, kita semestinya bertanya, apakah pariwisata untuk pemasukan ke negara atau menyejahterakan warga negara? Keadaan di lapangan memperlihatkan sektor pariwisata Indonesia masih bersifat mass tourism. Sistem ini memiliki ciri-ciri, (1) pengemasan yang distandardisasi dan tidak fleksibel; (2) replikasi atau produksi yang bersifat masif; (3) pemasaran masif bagi konsumen yang tidak memiliki diferensiasi; (4) liburan atau rekreasi dikonsumsi en mase; dan, (5) memiliki perhatian yang minimal terhadap daerah dan kebudayaan tujuan wisata (Burns and Holden, 1995)
Paradigma pembangunan yang diterapkan Indonesia masih paradigma fungsionalis. paradigma ini dimotori oleh teori-teori modernisasi yang menyatakan bahwa suatu bentuk transformasi dari keadaan yang tradisional berkembang menjadi ke arah modern. Sekilas, paradigma ini memang dirasa yang paling cocok untuk kondisi Indonesia sekarang karena fokus perhatian pembangunan sosial dan ekonomi lebih mengarah pada pengurangan angka kemiskinan ataupun program pengentasan kemiskinan. Namun, ada beberapa hal yang dilupakan oleh paradigma ini, yakni partisipasi dan kelestarian lingkungan.
Dalam sektor pariwisata, partisipasi masyarakat dan kelestarian lingkungan memiliki kaitan yang akrab. Tanpa adanya peran dari masyarakat, proyek pembangunan pariwisata hanya menggerakkan koin mengisi kantung-kantung investasi semata. Sementara, terjadi degradasi lingkungan dan gap kesenjangan sosial semakin lebar sebab usaha-usaha pembangunan ditandai dengan eksploitasi sumber daya alam. Kekayaan yang diambil dari sumber-sumber, seharusnya dapat dipertanggungjawabkan tetapi seringkali tidak membawa keuntungan bagi penduduk lokal, juga masyarakat luas.
Wood (1997) dan Picard (1990; 1997) dalam Suyadnyanya (2006) menunjukkan bahwa perkembangan pariwisata telah menyebabkan ketimpangan ideologis, struktural, ekonomis, geografi dan organisasional. Mulai dari perkembangan kapitalisme global dalam eksploitasi sumber daya lokal, komoditisasi kebudayaan lokal untuk kepentingan pariwisata, bahkan yang dilakukan oleh kalangan misionaris agama-agama besar di dunia, yang kenyataannya telah mendesak masyarakat lokal untuk menjadi penonton di negerinya sendiri. Kedatangan wisatawan dijadikan tolok ukur sebagai sebuah keberhasilan pariwisata. Pada posisi itu, saya menyadari bahwa angka nyatanya lebih diuntungkan daripada kondisi manusia.
Konsep mass tourism ini nyatanya tidak akomodatif dalam menunjang kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang ada. Singkatnya, pariwisata belum menjamin adanya perubahan sosial yang mendorong kemajuan kualitas hidup masyarakat lokal. Semestinya, memajukan pariwisata di daerah mendorong partisipasi penuh masyarakat untuk mengelola potensi di daerahnya melalui paradigma people-centered development. Paradigma tersebut berupaya meningkatkan pertumbuhan dan kemakmuran manusia, meningkatkan keadilan secara berkesinambungan. Dengan mendorong intervensi komunitas, konsep suatu daerah terpusat pada potensi dan kemampuan yang dimiliki masyarakat yang ada di daerah tersebut dapat meningkatkan kualitas hidup mereka yang lebih baik tanpa adanya pergeseran nilai-nilai kultural juga sosial ekonominya.
Pendekatan people-centered development mampu mencapai aspek-aspek terdekat pada masyarakat karena paradigma ini memfokuskan pada pemberdayaan dan pembangunan manusia itu sendiri. Dalam pembangunan, inilah yang paling penting bagaimana manusianya sendiri menjadi peka terhadap lingkungannya. Sehingga, ke depan, tidak ada Dzulfatiyah lain yang harus meratapi pulaunya dari kejauhan.
“sekarang gimana, pak?” tanya saya sebelum pulang
Rokok kembali dihisapnya. Dua hisapan adalah jeda untuk menjawab pertanyan saya.
“sekarang kita ya pasrah aja. Ibarat telur melawan batu.” Sekali ia hisap lagi tembakau di jarinya, matahari rubuh, adzan memanggil. “saya ibadah dulu, ya”