Tentang “Waktu Bicara”: Sebuah Album Dari Laze
Pada submisinya di Open Column, Prihatur Setyo Putra melihat lebih dalam album “Waktu Bicara” milik Laze.
Words by Whiteboard Journal
Pada malam hari, tepatnya sehari sebelum Pilkada serentak 2018, saat saya sedang bingung-bingungnya memilih siapa pasangan yang akan saya coblos, ada kicauan dari akun Twitter seorang musisi Indonesia yang menarik saya untuk menulis teks ini:
Respon dari akun Twitter @Laze92_ kepada pertanyaan penggemar
Meskipun mereka berafilisasi di komunitas hip-hop asal Jakarta, yaitu Zero One, musikalitas Laze dan Young Lex tidaklah apple to apple. Bukan bermaksud membanding-bandingkan kedua rapper tersebut, namun dalam soal aspek berkarya, saya rasa pada hakikatnya Laze dan Young Lex memang sudah beda jalur. Di tulisan ini saya tidak akan berfokus pada Young Lex, melainkan musik sang penulis kicauan di atas karena menurut saya musiknya menandakan progresifitas kultur hip-hop di Indonesia saat ini. Selain itu, saya juga berasumsi masing-masing sudah punya opini pribadi bila pernah mendengar nama Young Lex.
Album perdana Laze yang rilis 10 Maret silam, yaitu “Waktu Bicara” (2018), menurut saya merupakan sebuah pernyataan lugas tentang sesuatu yang lebih luas daripada membanding-bandingkan emcee satu dengan emcee lain. “Waktu Bicara” menggarisbawahi identitas Laze sebagai seorang musisi hip-hop yang terampil mengeksekusi ide-idenya ke dalam rekaman musik. “Yang mau saya ceritain tuh adalah orang yang baru pindah ke Jakarta lalu culture shock,” ujar Havie Prakasya, atau lebih dikenal dengan nama panggung Laze, persisnya saat press release album “Waktu Bicara” di Queens Head, Kemang, Jakarta. Begitu kira-kira bila ditinjau secara ringkas. Album ini menceritakan pengalaman dirinya dan orang-orang disekitarnya dari sudut pandang Laze, seorang warga Jakarta yang bertandang ke Institut Teknologi Bandung bertahun-tahun lalu pulang ke Ibu Kota dan terkejut dengan perbedaan budaya, gaya hidup, dan sikap warga Jakarta. Namun dalam wacana ini, saya tidak akan membahas album ini secara ringkas.
Lagu Pengantar, Jakarta, Culture Shock dan Peran Film Warkop DKI
Sebelum Laze mulai menggelontorkan rima-rimanya dalam “Waktu Bicara”, album ini dibuka oleh dialog tentang Ibu Kota yang terdengar seperti diambil dari potongan film Warkop DKI di era 80-an. “Jakarta memang hutan keras kalah bersaing akan digilas,” ucap Alm. Dono Warkop DKI yang suaranya terdengar sangat akrab. Begitu kurang lebih cara Laze memperkenalkan albumnya lewat lagu pertama “Introgasi”. Nama “Introgasi” berkena sebagai judul mungkin karena bagian chorus-nya berisi pertanyaan dan pernyataan yang secara batin mengintrogasi pendatang di Jakarta: “Datang dari belah mana? Hendak kerja jadi apa? Apa kau punya ijazah? Apa kau ada saudara? Jangan cari gara-gara karena ini kota keras bila lunak balik rumah”.
Menariknya, saya rasa potongan dialog pada lagu “Introgasi” digunakan tidak hanya sebagai pengisi saja, namun juga berfungsi sebagai pembangun narasi, struktur, dan juga menampilkan keadaan mental sang empunya karya di sepanjang album. 5 dari 15 lagu yang ada di album ini diantaranya menggunakan dialog, yaitu: lagu ke-1 “Introgasi”, ke-2 “Belum Tentu Emas”, ke-10 “Fokus”, ke-11 “Peringatan”, dan ke-15 “Waktu Bicara”. Komposisi lagu-lagu tersebut yang tersebar di awal, pertengahan, dan akhir menjadikan album ini konsisten dengan penggunaan dialog tersebut. Selain itu, struktur cerita di sepanjang album ini jadi terdengar utuh namun tetap padu.
Selain memberi hormat pada kultur pop di Indonesia, potongan film ini membantu Laze untuk memperkuat tema besar tentang Ibu Kota di “Waktu Bicara” karena pada umumnya warga Indonesia punya memori masing-masing dengan film Warkop DKI. Hal tersebut berpotensi memunculkan rasa nostalgia sekaligus memberi citra sinematik di album ini, mengingat potongan dialog tentang Jakarta tersebut teksturnya terdengar seperti diambil dari film 80-an (terkecuali lagu “Fokus” karena dialog yang digunakan terdengar seperti dari wejangan seorang rekan via telepon). Apalagi film-film mereka sebagian besar bersifat urban dan berlatar di Jakarta, contohnya Mana Tahan (1979), Gengsi Dong (1980), dan Dongkrak Antik (1982).
Film Gengsi Dong (1980) yang potongan dialognya digunakan di lagu “Introgasi”
Setelah melakukan skimming di film-film populer Warkop DKI, saya mendapati bahwa potongan dialog pada intro dan verse kedua Laze yang ada di lagu “Introgasi” ternyata diambil dari film Gengsi Dong (1980). Secara kontekstual, plot cerita di mana dialog ini diambil mengandung tema yang serupa, yaitu culture shock. Dalam film ini, karakter Slamet (diperankan oleh Dono) merupakan anak juragan tembakau kaya raya di sebuah desa yang kaget oleh pergeseran kehidupan di desanya dan Jakarta. Laze nampaknya menggunakan potongan dialog ini untuk memperlihatkan jukstaposisi antara lagu ini dan karakter Slamet yang selaras: keduanya sama-sama menggambarkan impresi atau kunjungan awal ke Jakarta, dan sama-sama diletakan di awal album ataupun film.
Permainan Kata dan Skema Rima
Menurut saya, mendengarkan Laze ibaratnya seperti menemani ahli kunci melakukan pekerjaannya—ternyata ada saja caranya untuk masuk. Bila ahli kunci bisa masuk lewat pintu yang kuncinya hilang entah kemana, Laze rimanya masuk entah terpikir dari mana. Keterampilan Laze sebagai emcee dalam mengolah kata tidak usah diragukan lagi. Ia sudah lebih dari 10 tahun berkecimpung dengan hip-hop. Meskipun begitu, yang ia suguhkan di album ini bukan hanya rangkaian rima yang elok belaka, tapi juga secara halus membentuk cerita.
Tengok saja bars di “Harap Itu Aku” yang merupakan salah satu lagu personal di album ini—masing-masing verse-nya merupakan curahan tentang cita-cita masa kecil, proses pendewasaan, serta ode untuk ibu. “Dari bujangan kerja agar ibu jangan kerja,“ ucap Laze pada verse ketiga dengan tidak terdengar pretensius, namun tetap ambisius. Dengan cara pengujaran yang jelas, ia menggunakan status bujangan untuk memberikan hubungan ke sumber motif usahanya: meringankan beban seorang ibu. Bars di lagu ini yang nampaknya cukup emosional bisa ia ekspresikan tanpa harus merusak karakternya di sepanjang album, namun mendengarkannya benar-benar tetap membuat kepala mengangguk.
Laze bukan hanya kapabel membuat bars emosional, di album ini ia juga menunjukan bahwa ia sama sekali tidak menawarkan kekakuan berkreasi. Di lagu “Peringatan” contohnya, rentetan rimanya meliuk-liuk dengan flow yang ciamik— dan itu semua ia lakukan di beat yang tergolong cepat untuk musik hip-hop, yaitu 140 beats per minute (BPM). “Peringatan”, yang terletak di pertengahan akhir album, merupakan penanda bahwa selain ia tetap dapat bernarasi di tempo instrumental yang jauh lebih cepat, suara vokalnya juga berfungsi sebagai instrumen yang melodis. Buktinya, terdapat 5 bunyi rima berbeda yang terkandung dalam 4 dari 16 bars yang ada di verse 1:
“Bilang kritikus ini tikus sirkus
Sakit macam tifus nusuk bagai infus
Dulu anak ingus hingga aku sinus
Tangenku berkarya hingga mereka sinis”
Verse 1 dalam Laze – Peringatan
Penggalan verse di atas menyiratkan bahwa Laze merupakan seorang emcee yang imajinatif dalam hal penyusunan skema rima. Keistimewaan yang bisa ditemukan sepanjang album ini yang lantas membuat saya melihat mengapa lagu-lagu yang terdapat di “Waktu Bicara”—terutama “Peringatan” dan “Harap Itu Aku”—begitu mudah diingat dan lirik-liriknya “keras memukul” sebagai bagian dari kesatuan cerita.
Tingginya Nilai Dengar Ulang Album
Menurut saya, “Waktu Bicara” mempunyai nilai dengar ulang album yang cukup tinggi. Selain bahasan sebelumnya, dalam aspek lirik, menemukan barisan lirik bermakna ganda di album ini merupakan poin plus yang menghibur. Misalnya pada lirik “tangenku berkarya hingga mereka sinis,” yang ada di lagu “Peringatan”. Secara rima dan makna leksikal memang jelas-jelas masuk di dalam tema dan narasi lagu yang braggadocious. Tetapi pada waktu yang sama, Laze juga mereferensikan “karyanya” yang diibaratkan sehebat rumus trigonometri—sinus cosinus tangen. Hal mendetail namun simpel dan tidak menjemukan inilah yang membantu album ini untuk bisa dinikmati berulang kali.
Terlepas dari aspek lirik, keputusan sang musisi untuk mengkomposisikan berbagai suara juga mempunyai andil besar dalam nilai dengar ulang album ini. Saya kagum dengan penggunaan satu-satunya suara gitar rock di album ini yang terletak tepat di pertengahan album, yaitu lagu ke-8 pada “Kota Keras”. Bagi saya, penggunaan suara gitar rock di lagu ini mempertegas klimaks cerita atas sudut pandang Laze tentang Jakarta yang atmosfernya keras. Selain gitar, suara terompet yang secara berurutan digunakan dengan cara mayor dan minor pada awal dan akhir album memberikan efek eksposisi dan resolusi pada jalan cerita “Waktu Bicara”. Bukan bermaksud melebih-lebihkan, tetapi mungkin maksud saya akan menjadi lebih jelas bila album ini didengar secara berurutan dari awal, ke akhir, hingga ke awal lagi.
Lantas seberapa besar album ini akan berpengaruh pada perkembangan musik dan kultur hip-hop di Indonesia? Rasanya, album ini dikemas untuk kalangan yang lebih luas dari pada penggemar hip-hop. Di sini ia mampu membuat album—yang bila ditelaah ternyata cukup rumit—terdengar simpel dan tidak memusingkan. Tidak ada maksud untuk menggurui, Laze hanya berbagi sudut pandangnya dan orang-orang disekitarnya tentang beberapa bagian dari hidup mereka. Sesederhana itu. Namun tetap memiliki substansi. Saya tidak yakin pertanyaan di atas bisa terjawab sepenuhnya oleh saya. Oleh karena itu, saya yakin pengaruh dan warisan album “Waktu Bicara” hanya bisa dibuktikan dengan bicaranya waktu.