Archipelago Festival
Archipelago Festival memupuk sebuah harapan dan semangat baru bagi para penggiat musik hari ini agar bisa saling mendukung dan melahirkan buah-buah ide segar.
by Amelia Vindy
“Terlalu banyak yang ingin jadi anak band. Semua mau nge-band, tapi tidak ada yang ingin bergerak di belakang layar. Apa gunanya?” ujar Helvi Sjarifuddin saat menceritakan persoalan yang terjadi pada kancah musik independen Bandung di akhir 90-an hingga awal 2000-an, sebelum akhirnya mendirikan sebuah label rekaman definitif, FFWD Records.
Satu dekade berlalu, dengan segala kemajuan dan percepatan yang terjadi hari ini, menarik untuk kemudian melempar pertanyaan apakah kondisi yang dimiliki sekarang sudah berkembang menuju arah yang ideal. Tanggal 14-15 Oktober, bertempat di Soehanna Hall, Jakarta, berkumpul lah kru produksi, manager band, pemilik label rekaman, pemilik toko musik, promotor, hingga legenda hidup musik Indonesia, serta pemerhati musik lokal untuk menemukan jawaban untuk pertanyaan tersebut.
Sebagai perkenalan, Archipelago Festival memupuk sebuah harapan dan semangat baru bagi para penggiat musik hari ini agar bisa saling mendukung dan melahirkan buah-buah ide segar yang dapat mendukung perkembangan skena musik Tanah Air. Pada eksekusinya, tempat diskusi dibagi menjadi 2 bagian yakni Hall dan Jasmine yang mana keduanya memulai 2 topik berbeda di jam yang bersamaan. Sehingga, para pengunjung harus memilih panel mana yang ingin mereka ikuti terlebih dahulu.
Di hari pertama terdapat 8 topik, yang di antaranya adalah “Indonesian Pop Music” dan “Music & Activism.” Dua topik ini cukup mencuri perhatian pada hari itu, terlihat dari bagaimana antusias pengunjung memadati tiap ruang diskusi. Contohnya ketika Guruh Soekarno Putra menjelaskan pengertian musik pop dan bagaimana akhirnya musik pop lahir di Indonesia. Tak jauh dari situ, Ucok “Homicide” bersama M. Taufiqurrahman mendedah peranan musik dalam perubahan sosial, menariknya dari pembahasan keduanya, disimpulkan bahwa musik – kalau boleh jujur, tidaklah memiliki peran dalam meruntuhkan rezim, kalaupun ada, peran terbesar musik sebatas pada penyadaran beberapa individu yang kemudian turun ke jalan, karena tanpa aksi nyata, musik hanya akan menjadi pelepas penat dan hiburan semata.
Yang menarik adalah bagaimana penyampaian diskusi tidak terbatas hanya untuk para pengunjung yang memiliki relevansi dengan topik-topik tersebut, melainkan turut memperkenalkan peranan narasumber terhadap tema dan persoalan-persoalan terkait. Dengan begitu, selain bisa mendapatkan wawasan menarik, para pengunjung pun bisa kemudian mengenal siapa saja orang-orang yang terlibat dalam upaya mengembangkan musik lokal hari ini.
Selain diskusi, Archipelago Festival turut mengundang juga menghadirkan emerging artist lokal dan internasional seperti Inggris, Polandia, Malaysia, Filipina dan Singapura. Pertemuan para sosok kreatif ini diharapkan dapat menjadi titik temu ide dan gagasan yang kemudian dapat memunculkan kemungkinan-kemungkinan baru seperti membangun koneksi, kolaborasi dan sebagainya. Deretan nama-nama yang tampil pada festival ini tentu secara tidak langsung bisa menjadi gambaran besar seperti apa wajah-wajah yang tengah meramaikan kancah musik hari ini baik di Indonesia maupun internasional.
Terlepas dari kesuksesan ide yang ditawarkan, sebagai wadah alternatif baru, rasanya penting bagi tim Archipelago Festival untuk melihat kembali sejauh mana acara ini mampu menyampaikan maksud dan tujuan digelarnya acara ini. Sebagai perkenalan, tentu apa yang dibawakan oleh konferensi ini adalah sesuatu yang segar, namun di sisi lain, masih terasa agak ambisius.
Sangat disayangkan topik-topik penting dan menarik yang dikaji di dalamnya sering tak bisa digali lebih mendalam karena batasan waktu yang padat. Membatasi pembicara dan audiens untuk mengulas lebih mendalam topik bahasan, sehingga tak jarang diskusi harus diakhiri saat diskusi baru menyentuh permukaan. Masih soal waktu, jeda antar diskusi pun terlalu rapat, sehingga audiens tidak diberi waktu untuk mencerna diskusi yang baru saja berlangsung. Sekiranya jika misi ini adalah konferensi, seharusnya ada pengaturan waktu yang lebih optimal agar fokus para pengunjung tidak terlalu banyak terbagi. Tapi apapun itu, Archipelago adalah inisiatif yang perlu, dan untuk itu gelarannya di masa yang akan datang akan selalu ditunggu.