Adalah hal yang wajar jika kita menganggap film-film besutan sutradara yang berasal dari Yunani, Yorgos Lathimos aneh, terasa canggung, dan terlebih lagi, segmented. Sutradara yang pernah menggarap serangkaian video tari teater Yunani ini seolah memberi pesan yang amat satire dan banyak membuat saya bertanya-tanya makna dibalik karya-karyanya. Salah satunya bisa dilihat pada penggarapan kisah yang sangat kelam namun kental akan unsur satir dalam film “The Lobster”. Cita rasa avant garde yang disuguhkan lewat dunia distopia yang totaliter membuat kita sebagai penonton akan merasa bodoh, mencari apa tujuan dan makna dibalik film yang meraih beberapa penghargaan ini. Penuturan yang penuh metafora dengan menggelitik kepekaan sosial akan hidup berpasangan.
Di sini saya menulis tidak untuk membahas baik atau tidaknya para pemeran saat beradu akting, tidak juga secara teknis pengambilan gambar, maupun alur ceritanya. Saya ingin lebih fokus mengenai ide kontroversial di dalamnya dan bagaimana implikasinya jika hal itu terjadi di kehidupan kita, dan bagaimana film dapat mengubah pandangan kita secara tidak sadar.
Perspektif terhadap hidup berpasangan pada kenyataannya adalah setiap individu secara alamiah memiliki ketertarikan terhadap individu lainnya atas asas keberlangsungan hidup dengan meneruskan garis keturunan. Tidak perlu berlandas pada agama sebagai paguyuban tertua yang menaruh ajarannya sebagai pelaksanaan bahwa manusia diciptakan berpasang-pasangan. Hakikatnya, proses hubungan intim yang terjadi pada manusia jaman dahulu adalah suatu aktivitas sentral untuk mengembangkan populasinya agar tidak punah, dan hal itu terjadi karena manusia memiliki transisi dalam hidupnya dan sampai pada suatu fase tersebut.
Hal ini menjadi perdebatan pada zaman berkembang seperti sekarang yang penuh dengan realitas fana yang tercipta akibat pengaruh globalisasi serta aktivitas peran media di dalamnya. Di mana nilai-nilai baru mempengaruhi segala aspek kehidupan dan dipahami oleh sebagian kalangan masyarakat untuk mencoba keluar dari stigma masyarakat khususnya dalam hidup berpasangan. Kini maraknya kaum homoseksual dan biseksual menjadi hal yang lumrah namun tetap hangat diperbincangkan. Terlebih lagi dengan munculnya sikap apatis alamiah dengan hal itu semua yang berujung pada tidak adanya minat dan hasrat individu untuk hidup berpasangan.
Indonesia sebagai negara yang baru mereformasikan dirinya secara “paksa” pada tahun 1998 memang patut memulai pelajaran demokrasinya dengan bentuk wacana apapun. Konsekuensinya adalah muncul wacana-wacana yang sangat ekstrem seperti wacana gender yang disilangkan dengan wacana lainnya. Demokrasi mensyaratkan sebuah pemerintahan yang dapat mengakomodasikan seluruh aspirasi masyarakat, begitu juga sebaliknya masyarakat dapat dengan bebas mengekspresikan kebebasannya. Namun hal ini masih berada di titik abu-abu, tidak hitam maupun putih.
Lantas bagaimana Industri film di Indonesia berperan?
Sampai saat ini, peran sentral di industri film di Indonesia sebagai stakeholder terlalu menyerah pada keadaan dimana masyarakat masih terlalu sensitif dengan segala ajaran baik sosial maupun agama yang dianutnya, menjadikan mereka semakin fanatik dan tidak mau menerima adanya perubahan. Banyak sineas-sineas muda yang karyanya mendapat apresiasi membanggakan tidak mereka dapat di negaranya sendiri. Hal ini tidak terlepas pula dari selera pasar yang adalah komoditas. Film-film yang ‘bagus’ pun banyak yang tidak disiarkan. Microsinema akhirnya perlahan bermunculan, menjadi sebuah tempat screening dan diskusi bagi komunitas-komunitas kecil yang memiliki pikiran terbuka akan tema-tema film yang sensitif. Namun tentu film ‘bagus’ juga memiliki barometer tersendiri. Ingatkah kalian saat pemutaran film “Lovely Man” bertemakan LGBT yang mendapat kecaman dan penghentian tayang oleh okum-oknum yang mengatasnamakan agama? Seperti itulah kondisi negara kita yang berlaku semaunya tidak bijak memaknai film. Tema tersebut masih banyak berputar di pusaran kejadian sehari-hari, layaknya film “Arisan” yang disutradarai Nia Dinata, tidak pernah dibuat secara ‘berkhayal’ seperti yang Yorgos lakukan, tapi mungkin itu saja sudah cukup.
Film menggugah perspektif masyarakat
Film selalu menjadi bentuk fondasi sentimental yang dimanfaatkan untuk menuturkan ide serta gagasan yang objektif dengan menghadirkan alur cerita, latar belakang, tokoh, bahkan fantasi yang lolos dari persepsi fana karena hal tersebut terasa nyata terjadi di kehidupan sekitar kita. Runtuhnya batasan-batasan akan kebebasan ide tidak dibiarkan begitu saja para filmmaker. Justru mereka membuat dunia distopia dengan fenomena yang tidak lazim dan menantang perspektif kita. Contohnya “Twelve Monkeys” karya Terry Gilliam yang menceritakan kehidupan sosial di masa depan yang penuh dengan wabah yang mengharuskan seseorang kembali ke masa lalu untuk menemukan semacam vaksin sebagai penawarnya. Adapula “Mad Max” dengan latar belakang kehidupan post-apocalypse dengan menjadikan air sebagai barang mewah yang sangat sulit didapat, dan hanya orang terpilih dan berkuasa lah yang berhak untuk memiliki serta mengatur peredarannya kepada masyarakat yang menderita di bawah kepemimpinannya.
Dengan segala metafora yang bertaburan lewat dunia distopia, interpretasi bermunculan dengan berbagai tingkatan kepekaan dalam menyerap maksud film. Sebagian berpikir bagaimana jika apa yang terjadi di film akan terjadi di kehidupan nyata dalam lingkup tatanan sosial fiktif dibawah pemerintahan yang otoriter dan dikekang oleh pengawasan sosial yang ketat dan menindas. Sebagian lainnya berpikir lebih dalam apakah isu yang dibawa oleh filmmaker dapat sewaktu-waktu terjadi dan kita tidak pernah tahu kapan dan bagaimana cara menanganinya.
Sekarang bagaimana kita sebagai individu kini memaknai film?
“Memaknai The Lobster” ditulis oleh:
Dimas Adiprasetyo
Fresh graduate dari jurusan interior design ITB yang gemar mengabadikan realita melalui kameranya.