Berpetualang bersama Riyanni Djangkaru
Amelia Vindy (V) berbincang dengan Riyanni Djangkaru (R).
V
Memulai hobi backpacking sejak masih kuliah, bagaimana awal mula perkenalan Riyanni pada jelajah alam?
R
Mungkin awalnya karena kakek dan nenek dari pihak ayah saya ya. Dari masih kecil, sebelum sekolah sampai setelah masuk TK saya tetap sering diajak jalan-jalan bareng mereka meskipun harus membolos, tapi saya memang lebih sering pergi berdua sama nenek, contohnya ke Makassar. Nenek saya itu pakainya baju kebaya, orang Sumatera, mungil, dan galak lah pokoknya. Jadi sebenarnya yang menginspirasi saya untuk memulai traveling adalah kakek-nenek saya, terutama nenek. Saya sangat ingat, sewaktu kecil nenek saya selalu bilang, “Kalau kamu tidak bisa belajar sesuatu dari sekolah, berarti di perjalanan seharusnya ada yang bisa kamu pelajari.” Akhirnya ya sudah, keterusan.
Sebenarnya orang tua saya tidak terlalu mendukung kegiatan saya ini, mungkin karena sudah beda generasi, sehingga saat saya SMA hingga kuliah, ketika ingin jalan-jalan, ya mau tidak mau harus agak berbohong biar bisa tetap menjalankan hobi.
V
Setelah mengawali karir sebagai presenter “Jejak Petualang” Riyanni tetap melakukan pekerjaan yang bersinggungan dengan alam – seperti terus melakukan promosi potensi pariwisata di Indonesia. Apa yang membuat Anda ingin terus mempromosikan pariwisata lokal?
R
Kenapa tidak? Mungkin karena edukasi itu tantangan terbesarnya adalah ketika harus berulang kali menyampaikan informasinya. Misalnya, sebelumnya kita sudah pernah menyampaikan sebuah informasi kepada teman-teman atau penonton di tahun 2003 atau 2005, tapi karena regerenasi terus ada, yang ditakutkan adalah ketika informasinya ada yang tidak tersampaikan. Tantangan berikutnya adalah banyak lokasi-lokasi keren di Indonesia yang sekarang cerita-cerita lokalnya tinggal cerita atau sejarah saja. Jadi dengan menghadirkan kembali cerita yang pada waktu itu sempat saya hadapi situasinya, saya berharap ada kearifan-kearifan lokal yang sekarang ini mungkin sudah mulai terkikis, muncul lagi dan bisa menjadi daya tarik sekaligus kebanggaan bagi bangsa nusantara. Saya tidak suka belajar di sekolah, setiap kali masuk kelas dan memulai hari dengan sesi berdoa, doa saya adalah “Ya Allah saya ingin cepat lulus, I had enough!” (tertawa)
Bicara soal regenerasi lagi, kenapa saya senang melakukan promosi, sekarang saja saya menyekolahkan anak saya di sekolah alternatif atau sekolah alam dan saya selalu bilang ke gurunya sejak dari playgroup, “Bu, anak ini akan saya bawa bolos sewaktu-waktu untuk pergi jalan-jalan,” biar anak saya bisa menyampaikan sendiri kepada generasinya tentang pengalamannya dengan alam.
V
Riyanni pun punya latar belakang pendidikan sebagai lulusan sarjana hukum, bukan begitu?
R
Kenapa belajar hukum? Supaya saya bisa membelot dari aturan saja sih (tertawa). Yang saya suka dari pelajaran hukum itu ialah adanya sudut pandang lain di balik aturan. Aturan itu perlu untuk jadi benchmark-nya kita terhadap suatu sudut pandang. Dalam pelajaran hukum kita juga kan harus mengerti logika hukum, seperti mengerti filosofi dan sosiologi, itulah yang sangat bermanfaat untuk saya sekarang.
V
Demi ramainya kunjungan turis baik lokal ataupun internasional, pola pengembangan tempat wisata justru mendatangkan masalah baru bagi lingkungan, contohnya seperti kasus reklamasi demi hotel di Bali. Menurut Riyanni bagaimana perkembangan turisme di Indonesia sekarang ini?
R
Sebenarnya tidak hanya di Indonesia ya, tapi kalau bicara tentang Indonesia, seharusnya kita tidak memandang dengan banyaknya tempat indah di Indonesia kemudian dengan mudah dijadikan tempat wisata. Pertama yang harus diperhatikan adalah apakah masyarakatnya siap? Karena wisata itu berhubungan dengan hospitality atau manusianya. Kalau masyarakatnya secara kultur bukan tipikal yang ramah atau bisa melayani, masa harus dipaksakan? Meskipun tempatnya baik, mungkin bisa dialokasikan penggunaannya agar bisa dimanfaatkan oleh masyarakat lokalnya saja atau hal lain yang lebih berguna bagi setempat. Jadi kalau menurut saya Indonesia itu harusnya jadi segmented tourism attractions bukan jadi mass tourism. Karena ketika sudah menjadi mass tourism dan yang dipentingkan hanya volume, itulah yang sebenarnya membuat Indonesia jadi tidak punya nilai atau berkurang nilainya. Jadi saya bukan pendukung mass tourism.
Juga menurut saya aturan itu sangat penting – aturan dan edukasinya yang seperti apa. Dan itu tadi, alasan mengapa saya terus-terusan mempromosikan tempat-tempat di Indonesia, karena regenerasi informasi edukasi itu harus terus dilakukan. Kita tidak bisa mengatakan bahwa ada satu tempat yang bagus dan siap sekarang, tetapi coba 10 tahun kemudian apakah masih siap atau tidak, kita kan harus terus gali informasinya dan menyebarkannya. Karena dalam hati saya percaya Indonesia itu harusnya segmented tourism atau dalam kata lain lebih mementingkan kualitas daripada kuantitas, seharusnya pemilihan tempat-tempat yang premium itu adanya di Indonesia.
Orang berpikir, maaf sebelum kalau agak keluar bahasan, contohnya seperti Raja Ampat, saya tidak bisa ke Raja Ampat karena mahal, bisa tidak ya dimurahin? Menurut saya tidak boleh berpikir seperti itu. Saya merasakan rasanya volunteering beberapa tahun di sana, dari awareness-nya kurang hingga berkembang sampai akhirnya mulai baik, kemudian turun dan naik kembali. Bagi saya Raja Ampat memang seharusnya mahal, karena tempatnya bagus, premium, menjaganya susah, terus mau sembarangan orang datang? Setiap lokasi wisata itu punya caring capacity-nya, atau kapasitas daya tampungnya, ketika kita mementingkan volume, banyak orang yang datang, di situlah batas daya tampung akhirnya diterabas. Nah kalau batasnya diterabas, bagaimana bisa kita jaga?
Lalu bicara zonasi, jadi ada beberapa tempat yang memang diperuntukkan untuk mass tourism dan ada juga tempat-tempat premium yang bukan untuk mass tourism, hanya orang yang membayar mahal yang bisa datang ke tempat tersebut. Logikanya seperti ini, untuk apa kita mendatangkan 20 juta turis kalau mereka hanya menghabiskan US$ 500/orang untuk satu minggu misalnya. Bandingkan jika yang datang hanya seribu orang tapi pengeluaran per orangnya bisa sekitar US$ 5000, caring-capacities-nya terjaga, beban lingkungannya tidak terlalu berat, dan pendapatannya juga bisa lebih besar, logikanya seperti begitu.
V
Sebagai seorang penyelam, Riyanni tidak hanya melakukannya itu untuk sekadar hobi, dari sanalah Riyanni tergerak membuat sebuah Diver’s Lifestyle Magazine bernama Divemag. Apa latar belakang Riyanni membuat majalah ini?
R
Pada waktu itu sebenarnya latar belakang terbesarnya adalah isu politik – isu maritim kalau dari saya pribadi. Karena saya berpikir sebagai negara kepulauan, kesadaran wisata dan kulturnya kita terrestrial, orang tidak melihat laut sebagai penghubung melainkan laut sebagai pemisah, karenanya segala sesuatu yang ada di Indonesia selalu melihatnya ke dalam. Ibarat orang darat kalau melihat sesuatu di luar pagar itu sebagai hal yang mengerikan. Tapi seandainya melihat laut sebagai penghubung, kita bisa melihat hal di luar pagar sebagai kesempatan, atau sesuatu yang bisa memperkaya diri, itu yang pertama.
Kedua, cara pendekatan ketika memperkenalkan isu-isu maritim, haruslah dengan cara yang menyenangkan. Kebetulan waktu itu saya sedang aktif menyelam akibat cedera, ya sudah saya pakailah pendekatan visual dengan cerita-cerita dari laut Indonesia. Mimpi besarnya adalah dengan awareness orang-orang terhadap kesadaran maritim ini, bisa lebih membuka mata bangsa Nusantara terhadap sesuatu yang lebih besar. Pandangan identitas dirinya nomor satu, toh hal tersebut juga berhubungan dengan aset-aset yang kita punya tapi kita tidak disadari. Ketika kita sudah ada di titik itu, akhirnya kita ada pergerakan untuk mencari tau isu-isu apa lagi sih yang jadi tantangan atau masalah. Ketika sudah tau isu-isu yang jadi masalah, mulailah kita bergerak, mau bikin apa nih kita. Itu tujuan besarnya, tapi sisanya sih saya hanya kepingin diving saja (tertawa).
V
Jadi karena majalan Divemag yang membuat Riyanni punya kesempatan mendatangi tempat-tempat bagus untuk diving?
R
Sayangnya ternyata tidak, hanya reporter saya yang pergi (tertawa). Saya jalan hanya pada saat ada meeting saja. Dan sekarang pun majalah kita sudah tidak lanjut sampai 2 tahun yang lalu, di tahun 2015 kita stop majalahnya, karena alasan keuangan.
V
Riyanni juga tengah aktif melakukan kampanye #SaveSharks untuk menyelamatkan hiu dengan mengedukasi konsumen. Sebenarnya sudah separah apa keadaan habitat dan jumlah hiu di Indonesia?
R
Kalau keadaan populasi yang menarik adalah karena dia hewan migrasi, beberapa spesies hitungan populasinya akan lebih terlihat ketika sudah landing di pasar bukan di alam dan data-datanya sangat dinamis. Ketika data yang di darat jumlahnya semakin meningkat, tandanya yang di dalam laut atau pusatnya, jauh lebih sedikit. Fokus yang kedua, Indonesia selalu masuk urutan 5 besar sebagai negara pengekspor sirip hiu terbesar di dunia, lalu ada India dan sebagainya. Menariknya kalau memang hiu itu dijadikan aset bangsa kita yang nilai ekspornya sangat tinggi, kenapa tidak diatur, dalam hal pajak misalnya. Kalau ada yang mau mengekspor sirip hiu berarti jumlahnya harus terbatas, ada ukuran-ukuran tertentu, lalu pajaknya dinaikkan. Kenapa dinaikkan? Kan harus memberikan pemasukan dong buat negara. Sedangkan yang sedang terjadi adalah, pajaknya tidak ada, aturannya masih meraba-raba, awareness-nya cuma mikir, “Oke karena laut kita luas” atau karena datanya tidak jelas. Tapi kan buat apa?
Selanjutnya adalah faktor ekologi. Kalau bicara Indonesia sebagai negara kepulauan yang juga menggantungkan pada industri perikanan, seharusnya sadar ada elemen-elemen di laut yang sebenarnya mendukung perikanan Indonesia, salah satunya top predator. Keberadaan top predator sebagai yang paling atas dan juga keadaan pondasi paling bawah yaitu terumbu karang. Kalau cuma jaga yang paling bawah, tidak menjaga paling atas juga, karena tidak diperhatikan akhirnya di tengah berantakan. Tapi kalau kita jaga yang atas, yang paling bawah dan tengahnya atau dengan kata lain yang punya nilai ekonomi, perikanan itu bisa jadi lebih baik, mendukung perekonomian. Lagi-lagi kita masih belum ke arah sana.
Awareness ini sebenarnya penting juga, tidak hanya untuk pemerintah saja tapi kita sebagai konsumen juga. Kalau kita terus menunggu pemerintah bergerak membuat regulasi – ya lama. Mending kita sebagai konsumen yang bergerak. Bergerak seperti apa? Lewat adanya edukasi.
V
Kampanye ini menyentuh banyak lapisan masyarakat, tak terkecuali anak muda. Seberapa besar dampak dari kampanye tersebut dalam mengurangi pemburuan hiu di Indonesia?
R
Naik turun. Kadang berkurang, kadang bertambah, kadang kami diterima oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, kadang juga di blacklist. Jadi kami sebenarnya tidak terlalu ambil pusing. Tapi kalau bicara soal awareness anak muda, sangat terlihat sekali. Di saat kami memulai kampanye ini di tahun 2010, masih banyak yang bertanya, “Apa pentingnya ngomongin hiu? Memangnya tidak ada ikan lain? Gurame atau cupang yang lebih mudah?” (tertawa). Sekarang yang terjadi adalah sudah mulai banyak orang yang melaporkan, “Eh saya lihat nih ada yang masih jual sirip hiu” atau mereka langsung mention ke ibu Susi Pudjiastuti (Menteri Kelautan dan Perikanan) hingga ada yang sampai bikin gerakan hiu sendiri. Yang tadinya bukan merupakan hal yang menarik, akhirnya sampai bisa membuat mereka tergerak untuk punya gerakan sendiri, tandanya menurut kami itu adalah salah satu pergerakan ke arah positif.
Kedua, kami juga mendukung beberapa regulasi, yang berhubungan dengan hiu, perlindungan whale shark, dan beberapa jenis hiu lainnya dan tidak hanya yang ada di Indonesia tapi juga dengan rekanan-rekanan kami di luar Indonesia. Kenapa penting memiliki rekanan di luar Indonesia, karena pasar terbesar dari penjualan sirip hiu ternyata bukan di sini, tapi di luar. Jadi biasanya saling komunikasi, misalnya sama rekanan di Hong Kong, mereka memberitakan ada kiriman sirip hiu dari pelabuhan A. Terus nanti saya cek, karena biasanya mereka akan menekan dari negaranya langsung. Orang-orang yang posisinya ada di atas mereka, punya lobbying regulasi untuk mendukung pemerintah kita untuk membuat regulasi yang lebih baik, dan pada akhirnya yang akan merasakan untungnya adalah kita-kita ini yang punya concern dengan kelautan di Indonesia.
V
Riyanni sempat menyebutkan ada juga beberapa orang yang langsung mention Bu Susi. Sebenarnya pemerintah aware tidak dengan urgensi ini?
R
Sekarang ini awareness-nya secara general mungkin lebih ke income ya, karena kalau di Kementerian Kelautan dan Perikanan ada dua departemen yang kebutuhannya saling bertolak belakang. Sumber daya ikan misalnya, kebutuhannya bagaimana dia bisa mengambil ikan lalu membudidayakan dan memberikan pendapatan untuk negara. Di satu sisi ada konservasi kawasan dan jenis ikan, tujuannya adalah konservasi. Tetapi karena sering terjadinya kebertolak-belakangan ini yang membuat pemimpin menentukan yang mana yang akan jadi prioritas. Dan prioritas itu selalu bergerak.
V
Secara logika sebenarnya konservasi dan penjualan bisa dicarikan solusinya, tetapi saat dipraktekkan, ternyata selalu ada bentrok atau bertolak belakang. Bagaimana menurut Anda?
R
Mungkin karena Indonesia terlalu luas kali ya, law enforcement tidak dianggap terlalu penting. Kaya sekarang, isu-isu penting selalu bergerak, salah satu contohnya tentang kesadaran toleransi dan politik atau kawasan, pada akhirnya yang benar-benar memilih untuk bergerak di sudut mana ya kita-kita ini sebagai konsumen. Pemerintah punya concern itu, tapi prioritasnya selalu dinamis dan itu juga yang terkadang tidak bisa ditebak.
Jadi gerakan seperti #SaveSharks ini tidak bisa hanya jalan sendiri. Kami juga berkolaborasi dengan banyak lembaga lain, seperti ada paguyubannya sendiri gunanya untuk saling berkomunikasi. Selanjutnya nanti akan aturan baru yang lebih ringkas dan jelas untuk beberapa jenis hiu. Untuk bisa mewujudkannya, dukungan ini harus dijalankan bersama-sama. Supaya pemerintah pun bisa melihat bahwa isu-isu konservasi, dalam konteks ini adalah hiu, punya banyak orang yang mau mendukungnya dan dianggap penting.
V
Bagaimana progresi kampanye #SaveSharks sejauh ini?
R
Naik turun. Karena kami ini bentuknya volunteering atau komunitas, bukan NGO. Volunteering ini pada akhirnya tergantung dari orangnya, kadang kami pun pernah kedapatan volunteer yang luar biasa semangat lalu bikin kampanye di mana-mana. Tapi ya volunteer ini juga kan berkembang, yang tadi masih SMP sekarang sudah kuliah, yang tadinya jomblo sudah beranak-pinak, fase-fase seperti itulah (tertawa).
Tapi dari dulu hingga sekarang, anggota aktif kami selalu kurang dari 10 orang. Mereka inilah yang mengajak komunitas-komunitasnya untuk bergerak membuat kegiatan. Memang di tahun ini kegiatan kami tidak terlalu banyak yang terekspos, jadi fokusnya dalam komunitas-komunitas dekat. Kenapa penting pergerakannya di dalam komunitas dekat? Supaya kami punya regrenerasi volunteer yang bisa meneruskan kegiatan ini dan terus bisa saling berkomunikasi.
V
Sebagai sosok figur yang aktif dalam perkembangan turisme di Indonesia, bagaimana tanggapan Riyanni terhadap sustainable travel? Apakah destinasi wisata Indonesia mampu menerapkannya?
R
Bisa kalau mau. Kembali lagi ke edukasi ya – edukasi itu penting agar kita bisa melihat prioritas dan kesempatan, lalu dari pilihan kesempatan tersebut mana yang bisa dijadikan prioritas untuk dilakukan, setelah itu komitmen. Tantangannya banyak, karena biasanya yang sustainable tourism masuknya seperti segemented tourism – sesuatu yang kelihatannya hype, seakan hanya untuk golongan tertentu dan pendukungnya sedikit. Tapi lucunya sustainable tourism sesuai dengan salah satu kata dalam frasenya itu sudah lebih sustain daripada mass tourism. Pertama kita bisa “lebih menjamin” bahwa satu situs itu lebih terjaga kondisinya dan kedua kita bisa membuat satu lokasi tersebut ke arah yang lebih baik dan juga orang-orangnya. Ini hanya masalah mau dan tidak mau dan sabar atau tidak sabar saja sebetulnya.
V
Menurut Riyanni indikator seperti apa yang dibutuhkan tempat wisata untuk bisa mempraktekkan sustainable travel?
R
Kalau tempat wisata menurut Kementerian Pariwisata harus ada atraksi, akomodasi transportasi atau akses, tapi menurut saya lebih ke kesadaran. Saya percaya kearifan lokal selalu punya sesuatu yang bisa diangkat. Perhatikan masyarakatnya dulu, apakah mereka siap? Jangan hanya tempat yang bagus. Kalau masyarakatnya belum siap ya sudah, terus kenapa? Memangnya harus dipaksakan? Ya tidak bisa seperti itu. Kita harus kembali lagi ke rambu-rambu masyarakat, dari sisi sosiologinya juga. Kala masyarakatnya siap, gali lagi aturan-aturan adatnya seperti apa, mungkin bisa diangkat. Pasti banyak kan aturan-aturan di masyarakat adat yang serasi dengan alam.
Lucunya beberapa waktu yang lalu saya pernah mengajar di sebuah sekolah pariwisata, kemudian ada salah satu dosen tamu yang berkunjung dan mengikuti kelas saya, lalu dia bertanya kepada saya, “Bu saya mau tanya, sekarang saya sedang mengelola tempat pariwisata di sebuah lokasi A, pengunjung sudah bayar untuk masuk ke tempat wisata dengan membayar tiket kurang dari Rp. 5000,- tapi kalau kita melarang orang untuk jangan buang sampah sembarang kasian dong mereka, kan sudah bayar tapi kita larang-larang, nanti orang-orang tidak mau datang lagi.” Setelah mendengarkan pertanyaannya, saya hanya bisa memandang si dosen tamu dan menjawab, ”Berarti ibu memandangnya dari segi volume saja dong. Oke mereka sudah bayar Rp. 5000,- untuk sebagian masyarakat uang segitu jumlah yang cukup besar, sehingga mereka merasa ingin bebas, tapi uniknya ketika memilah-milah siapa saja yang boleh datang, orang yang rela datang dan mengikuti peraturan biasanya selalu kembali dan hal ini terjadi di banyak tempat.”
Orang-orang yang menaati peraturan ini seperti punya kebanggaan karena berhasil mematuhi aturan, dibanding memamerkan kegiatan yang tidak semestinya, contohnya seperti buang sampah sembarangan. Ada sense of belonging untuk menjaga juga, keterikatan pengunjung ke lokasi tersebut menurut saya rasanya jadi lebih besar, ditambah selain mengedukasi juga memilih siapa yang bisa datang. Dan sebenarnya arah sustainable tourism ke arah yang berbasis lingkungan harus lebih dikembangkan diberbagai lokasi yang sudah ditunjuk sebagai lokasi wisata di Indonesia. Jadi jangan mentang-mentang sudah bayar, pengunjung bisa seenaknya.
V
Eksploitasi lahan sebagai pembangunan tempat wisata masih sering terjadi di Indonesia. Ada banyak pihak yang menganggap bahwa keindahan alam di bisa dimonopoli untuk kepentingan pribadi. Sebenarnya, adakah upaya yang bisa dilakukan untuk mengurangi hal tersebut?
R
Menurut saya, seharusnya ada penilaian progresif. Aturannya sudah ada kok, kalau ada yang mau investasi, harus bayar pajaknya sekian, harus punya pegawai orang lokal sekian banyak, harus ada kontribusi ke daerah sekian. Nah itu yang sebenarnya harus dikawal terus. Bukan malah, “Oke saya mau ambil pegawai orang luar daerah semua, lalu tidak membayar pajak ke daerah,” itu masuk law enforcement. Kalau menurut saya, seharusnya melibatkan penegak hukum. Tapi kalau bicaranya soal investor atau calon investor, misalnya ada yang mau berinvestasi di sebuah lokasi di Kaimana, Papua, yang harus diperhatikan adalah orang-orang sekitar.
Kita tidak bisa mengatakan kalau kita tidak bisa bekerja sama dengan orang-orang daerah setempat karena sulit atau tidak mengerti, karena mau atau tidak mau kita harus mengedukasi – karena kita bertamu. Bagaimanapun akan menimbulkan konflik ketika kita banyak mendatangkan orang luar daerah daripada mendukung orang-orang lokal yang ada di sana. Kalau yang menempati lokasi tersebut memiliki kontribusi yang baik ke masyarakat juga lingkungannya, kenapa tidak? Tapi kalau tidak ada kontribusinya dan sibuk sendiri, sebaiknya harus di telaah kembali.
V
Tapi apa tidak menjadi lebih susah ya? Misalnya ada traveler atau backpacker yang sedang berlibur dan tidak sengaja menemukan lahan kosong yang sekiranya menarik untuk dibeli dan ia olah jadi sebuah tempat wisata. Itu mungkin kan?
R
Kan ada zonasi. Di tata ruang daerah itu bisa dilihat daerah mana saja yang bisa digunakan sebagai tempat wisata, ruang terbuka hijau, pemukiman, dan kawasan konservasi, ikuti zonasi itu saja. Tidak bisa asal bangun, secara hukum tidak boleh. Seperti Freeport Indonesia contohnya, itu sebenarnya tidak boleh. Masa bertambang di zona inti kawasan konservasi Taman Nasional? Tapi kan alasannya Undang-Undang tersebut muncul setelah tambang itu sudah ada, jadi blueprint-nya terus berjalan.
V
Berarti agak susah juga ya, entah karena pemerintahnya yang mapping-nya belum menyeluruh atau tidak progresif karena Undang-Undangnya baru ada setelah pembangunan tambangnya berlangsung dan tahu punya lahan emas sebanyak itu.
R
Sebenarnya begini, kalau kita bicara soal kebijakan pemerintah kita harus memahami apa yang dasar dari politik. Politik itu sebetulnya memupuk pandangan untuk kepentingan di masa depan. Ya sudah sekarang kita pilih jalur politik kita mau seperti apa. Ambil sikap saja, karena hasil politik itu tidak pernah terjadi sekarang, pasti di depan.
V
Menurut Riyanni hal apa yang bisa dilakukan untuk memajukan Indonesia? Dari konteks pariwisata misalnya?
R
Kalau bisa sih banyak-banyak main keluar rumah ya, jangan terlalu sering menghabiskan waktu di rumah. Tapi jangan hanya touchdown – selfie, kalau saya boleh saran ya. Kadang-kadang banyak yang berpikir, bahwa sebagai traveler harus pergi ke Aceh, Hulu Kapuas, atau Asmat, padahal mendingan mengenal dulu daerah di sekitar kita – main di sekitar rumah. Karena main-main di sekitar rumah, menurut saya pribadi adalah satu cara kita untuk mengidentifikasi diri. Misalnya saya pergi ke Flores, nantinya saya akan ditanya oleh mamak-mamak Flores, seperti, “Tinggal di mana, seperti apa lingkungannya?” Ya kalau saya tidak pernah jalan-jalan saya harus jawab apa?
Ada orang yang memilih untuk jalan-jalan jauh dulu baru mendekat, ada yang mendekat baru pergi menjauh. Kalau saya tipikal yang mendekat dulu baru menjauh. Karena saya takut ditanya. Kaya kalau saya mau keluar, saya puas-puasin dulu di Indonesia, supaya kalau nanti saya pergi kemana-mana dan ada yang menanyakan asal saya, saya tidak hanya menjawab “dari Indonesia” saja, tapi juga bisa menjelaskan apa saja sih yang Indonesia miliki.
V
Jadi untuk bisa membuat Indonesia maju, adalah dengan kenali dulu tempat asal kita untuk bisa merepresentasikannya ke luar?
R
Iya, contohnya seperti Jakarta. Menurut saya Jakarta tidak hanya sebagai pusat ibu kota saja ya atau pusat pemerintahan tapi juga merupakan pusat publikasi. Banyak orang mengira, yang terjadi di Jakarta adalah representasi Indonesia. Bentuk publikasi seperti itu kan sangat mudah di sini, karena pusat media ada di Jakarta. Tapi apa yang terjadi di sini, segala kasus atau isu-isu yang ada di Jakarta belum tentu terjadi juga di daerah.
Dengan sering jalan, kita akan punya sudut pandang itu, jadi tidak akan mumet sendiri. Misalnya seperti kasus-kasus intoleransi, kalau hanya berdiam di Jakarta pasti akan teriak kepusingan dengan apa yang terjadi. Dengan sering main ke tempat lain, hal seperti itu tidak akan terjadi, kita akan santai-santai aja. Contoh kasus lain, soal kesetaraan gender, karena saya tau di Sumatera atau di tempat lain posisi perempuan tidak punya masalah soal kesetaraan gender, masing-masing memerankan porsinya kok, jadi saya tidak perlu memusingkannya. Kalau tidak sering jalan, minimal baca-bacalah, karena membaca itu adalah perjalanan pikiran dan itulah yang membekali dengan memfilter banyak sekali asupan-asupan yang terlalu kanan atau kiri.
V
Apa proyek yang sedang Riyanni kerjakan atau persiapkan?
R
Masih akan terus bersama #SaveSharks dan sekarang juga lagi sibuk bareng I Was Here Networks. Jadi founder-nya ada Windy Ariestanty, dulunya di penerbit Gagas Media dan Bukune, lalu ada Murni dari indohoy.com. Mereka berdua membuat semacam situs aggregator untuk para pejalan dan masih tentang traveling. Tidak hanya memberikan gambaran naratif storytelling itu seperti apa, Windy dan Murni juga mendukung komunitasnya supaya bisa menulis lebih baik, karena mereka berdua pun adalah penulis yang serius. Divisi saya di I Was Here adalah sebagai Public Relation, karena saya sudah tidak mau lagi menjadi bagian redaksi dan harus menulis panjang (tertawa).