“Penjara yang sesungguhnya adalah rasa takut dan hanya ada satu kebebasan sejati, bebas dari rasa takut.”
– Aung San Suu Kyi (Peraih Nobel Perdamaian tahun 1991)
Di negeri tempat seorang peraih Nobel Perdamaian yang juga disebut sebagai kunci perubahan demokratis dalam hal Hak Asasi Manusia (HAM), ternyata rasa takut terus ada, dan justru lukanya semakin mendalam bagi kaum yang tersingkirkan: Rohingya.
Pencabutan kartu identitas penduduk oleh pemerintah Myanmar menyebabkan mereka kehilangan kewarganegaraan dan tidak mendapatkan hak-hak politiknya. Hal itu menjadi salah satu faktor yang membuat mereka nekat mengarungi samudra dan memilih jalan yang berbahaya untuk memasuki negara-negara lain secara ilegal. Perjalanan dengan perahu ini diatur oleh jaringan pelaku penyelundupan dan perdagangan manusia yang terorganisir.
Sejak terbongkarnya kamp dan kuburan massal di Thailand dan Malaysia, kedua negara tersebut mulai melakukan operasi besar-besaran di daerah perbatasan dan teritorial lautnya. Ini hal yang meresahkan para jaringan penyelundup dan perdagangan manusia yang beroperasi melalui jalur laut. Kapten kapal beserta awaknya meninggalkan kapal yang ditumpangi para pengungsi Rohingya dan imigran Bangladesh yang menyebabkan mereka terasing di lautan.
Beberapa negara Asia Tenggara menolak memberikan suaka untuk kelompok yang biasa disebut ”Manusia Perahu” ini. Meski dilarang pemerintah, nelayan Aceh menyelamatkan kelompok Rohingya yang terdampar di perairan Aceh dengan kondisi mesin kapal yang mati pada bulan Mei 2015. Akibat tekanan internasional, Indonesia dan Malaysia akhirnya mengizinkan kelompok tersebut mendarat, namun secara tegas mengatakan hanya akan menampung mereka sementara dalam kurun waktu setahun.
Sejak terjadinya kasus ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menggolongkan Rohingya sebagai kelompok minoritas yang paling tertindas di dunia dan tidak memiliki status kewarganegaraan. Pemerintah Myamar melalui Undang-Undang Kewarganegaraan Tahun 1982 memiliki tiga kategori kewarganegaraan, yaitu kewarganegaraan nasional, asosiasi, dan naturalisasi. Kelompok Rohingya sulit untuk memenuhi kriteria itu karena sejarah dan budaya yang berbeda.
Rohingya didiskriminasi secara budaya, dieksploitasi secara ekonomi, dan disingkirkan secara politis oleh pemerintah hanya karena mereka di luar etnis Burma.
“Penjara Rasa” ditulis oleh:
Muhamad Rahaddis Adiyoga
Mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Sahid Jakarta. Tergabung dalam organisasi Unit Kegiatan Mahasiwa Fotografi DuaMata yang berdiri di bawah naungan Universitas Sahid Jakarta tahun 2012.