Hidup di Luar Tempurung
Benedict Anderson
Buku ini mengisahkan bagaimana Benedict Anderson, seorang Irlandia kelahiran Tiongkok dari orangtua pegawai birokrasi kolonial Inggris, memilih karir sebagai seorang teoretisi nasionalisme terkemuka yang menaruh perhatian besar pada Thailand, Filipina, dan Indonesia khususnya. Ditulis sebelum meninggal, Anderson juga menjelaskan bagaimana Indonesia (dan Asia Tenggara) tiba-tiba menjadi sebuah subjek kajian di kampus-kampus seperti Cornell dan Yale pasca Perang Dunia II. Sebagian kecil dari buku ini merupakan statement tentang apa artinya menjadi terpelajar di lingkungan akademik humaniora hari ini (yang sangat terkorporatisasi, muntah jargon, dan miskin penguasaan bahasa) dan pada pada zaman Ben Muda (yang super santai dan dibekali tradisi klasik). Sebagian lainnya adalah ilustrasi komitmen intelektual seorang sarjana yang merasa jadi kaum pinggiran sejak lahir, persona non grata di negeri otoritarian, dan berpihak pada rakjat tertindas.
Mencari Kiri
Jacques Leclerc
Tiga artikel Jacques Leclerc dikumpulkan dalam satu buku. Mencari Kiri menjelahahi transformasi PKI dari masa ke masa, dari benih-benihnya dalam Sarekat Islam, pemberontakan amatiran pada 1926 ke pengambilalihan partai oleh golongan muda di awal 1950-an, jalinan gagasan dan praktik komunisme dan pembebasan nasional, dan akhirnya bagaimana orang-orang kiri (PKI maupun non-PKI) mengambil peran-peran kunci dalam perjuangan tersebut. Membaca buku kecil ini adalah sekaligus membaca sejarah gerakan kemerdekaan Indonesia dari perspektif kiri, khususnya pada periode yang paling menentukan (revolusi fisik/revolusi nasionalis, 1945-50). Sebagai karya sejarah politik, buku ini mesti dibaca berbarengan dengan Mencari Marxisme—yang menaruh perhatian pada usaha ‘pribumisasi’ Marxisme di ranah intelektual.
Kekerasan Budaya Pasca 1965
Wijaya Herlambang
Perang Dingin antara Blok Barat dan Timur bukan sekadar perlombaan senjata dan sejarah pergantian rezim, namun juga berpengaruh ke kultur intelektual, seni, dan produk kebudayaan lainnya. Kekerasan Budaya Pasca-1965 menguak keterlibatan CCF (Congress for Cultural Freedom), lembaga yang berafiliasi dengan CIA, untuk menandingi pengaruh LEKRA (yang berafiliasi dengan PKI) di kalangan intelektual dan pekerja seni—sebagaimana yang juga terjadi di belahan dunia lain—dengan cara mempromosikan seni abstrak, puisi-puisi liris, dan moda kesenian yang berpretensi/mengklaim apolitis atau anti-politis, sebagai alternatif untuk seni yang terlibat dengan persoalan-persoalan rakyat, yang saat itu diwakili oleh istilah payung ‘Realisme Sosialis’. Karya yang berangkat dari disertasi almarhum Wijaya Herlambang ini pun akhirnya memancing pertanyaan: seperti apa kebudayaan kita hari ini seandainya kudeta Suharto tak pernah terjadi dan CCF keok?
Di Bawah Tiga Bendera: Anarkisme Global dan Imajinasi Antikolonial
Benedict Anderson
Barangkali Ben Anderson adalah orang pertama yang merintis studi tentang anarkisme di kawasan Asia Tenggara (disclaimer: barangkali—mungkin ada yang lain, namun saya tidak tahu). Bagaimana nasionalisme—sesuatu yang menghendaki universalitas politik dalam batas-batas sempit bahasa, etnisitas, dan pengalaman kolonialisme yang spesifik—bisa bersanding dengan kaum anarkis yang serba transnasional, lintas bahasa, dan dipersatukan oleh perlawanan atas negara? Mengamati anasir-anasir gerakan anti-kolonial di beberapa negara jajarah berbahasa Spanyol, wabil khusus Filipina, Anderson menjawab mungkin. Nasionalisme bukan satu-satunya pewaris sah anti-kolonialisme, demikian pula gerakan-gerakan komunis pada abad 20, yang memandang perlunya merebut negara dan bersekutu dengan elemen-elemen termaju dari gerakan nasionalis. Anarkisme, dalam buku ini, digambarkan sebagai gerakan tanpa partai, populis, lebih luwes, lebih santai dengan ‘borjuis kecil’, enerjik, dan pintar merawat elan revolusioner massa dengan agitasi-agitasi spontan. Di Bawah Tiga Bendera nampaknya menjadi titik balik Ben, dari persinggungannya dengan nasionalisme radikal dan Marxisme dunia ketiga, ke Anarkisme sebagai gerakan popular—sesuatu yang sudah terlihat benihnya dalam Spectre of Comparison (1998).
Mencari Marxisme
Martin Suryajaya
Melalui 30 esai dalam buku ini, Martin Suryajaya merehabilitasi sains, memerangi obskurantisme yang muncul dengan nama pascastrukturalisme, dan mengambil posisi-posisi yang tak jarang tidak populer dalam kebudayaan kiri kontemporer Indonesia yang muntah jargon, sektarian, ahistoris, kebelet rusuh, dan menjauhi keterlibatan dengan suprastruktur politik yang ada. Upaya membumikan Marxisme—bukan sebagai pengantar—ini tersebar dalam berbagai macam topik, dari sains hingga seni, filsafat politik hingga politik elektoral. Ia tidak sekadar melakukan kritik atas pemikiran lawan, tapi juga berpolemik dengan ‘tradisi’ pemikiran kiri yang terlanjur baku dan diterima sebagian orang sebagai dogma yang tabu untuk dipertanyakan. Untuk masyarakat bekas jajahan yang tiap 5-10 tahun sekali ganti selera intelektual, dan sudah 30 tahun lebih dilucuti tradisi pemikiran kirinya, ini ikhtiar luar biasa.
Ekonomi Revolusi Che Guevara
Helen Yaffe
Berkuasa setelah revolusi ternyata lebih susah: konstitusi baru perlu disusun, penyelenggaraan proses-proses politik dari akar rumput hingga ke puncak mesti disetel ulang, dan tak lupa—jika itu revolusi sosialis—ekonomi jadi sasaran utama perombakan. Buku Ekonomi Revolusi yang disusun oleh seorang ekonom Helen Yaffe ini mengisahkan Kuba awal masa revolusi (1959-1965), ketika negeri mungil tersebut dipaksa keadaan untuk menjalankan eksperimen sosialis di luar resep-resep paten ala Uni Soviet. Dan Che—sebelum memutuskan untuk kembali ke medan gerilya—adalah sosok penting di sini. Yaffe merekam bagaimana Che, yang duduk di kursi Menteri Perindustrian dan Kepala Bank Nasional, terlibat dalam segala lini pembaruan ekonomi, merumuskan tata ekonomi baru dalam polemik-polemik di jurnal, merombakk relasi negara-pabrik, sampai mengurusi tetek-bengek akuntansi. Revolusi memang bukan jamuan dinner, tapi juga bukan sekadar merangsek parlemen, menggasak arsenal serdadu, mengumumkan pemerintahan baru, dan menggelar pengadilan rakjat.
Penghancuran Buku dari Masa ke Masa
Fernando Baez
Anti-intelektualisme bukan fenomena yang muncul dalam semalam. Ia lahir dari kekuasaan yang membuat orang takut pada bacaan. Pembodohan massal—sebagai kelanjutan dari pembantaian massal—pasca-1965 di Indonesia dengan pembakaran dan pelarangan literatur kiri bukan peristiwa yang sekali terjadi dalam sejarah. Sumeria, Romawi Kuno, Dinasti Qin, orang Islam, orang Kristen, Nazi Jerman—semua punya saham besar dalam memberangus dan memusnahkan buku. Bibliosida (pemusnahan buku)—demikian istilah yang digunakan Fernando Baez, kepala perpustakaan nasional Venezuela yang menulis buku ini, untuk menyebut perilaku membakar buku. Perang, perebutan kekuasaan, kepala negara yang paranoid tercatat dalam peristiwa-peristiwayang didokumentasikan Baez. Yang memilukan tentu bukan sekadar kertas yang jadi abu, namun kenyataan bahwa saat penguasa mulai membakar buku, ia biasanya siap membakar manusia. Edisi baru buku ini terbit pada saat yang tepat: ketika pesan-pesan tolol dari Whatsapp group didengar sementara bacaan bermutu diinjak-injak.
Gombalisasi Globalisasi: Komik Sejarah Kapitalisme
El Fisgón
Brandal, kocak, dan terang—ini terbitan Marjin Kiri pertama yang saya jumpai. Beberapa komik bertema serupa (misalnya yang diterjemahkan dari seri “For Beginners”, ”Graphic Guide”, atau “Introduction to…”) sebetulnya sudah diterbitkan penerbit lain dalam bahasa Indonesia sejak 2000. Namun, ditambah kualitas terjemahan yang superior, sampai sekarang karya komikus Meksiko ini masih menjadi pintu masuk yang sangat baik untuk memahami kapitalisme.
Marjin Kiri Publisher
Regensi Melati Mas A9/10
Serpong, Tangerang Selatan
0813 85319131
redaksi@marjinkiri.com