Belakangan ini, cukup banyak media yang menulis tentang tingginya angka tenaga kerja asing Tiongkok yang masuk ke Indonesia. Tidak hanya media-media daring seperti VOA-Islam [1] atau Sindonews [2], namun media massa nasional seperti Tempo [3] dan Kompas [4] juga mulai menggunakan diksi yang terkesan memojokkan kedatangan imigran. Sudut pandang yang diberikan oleh media kebanyakan memberikan sentimen negatif dan tidak terbuka terhadap keberadaan tenaga kerja asing. Narasi ini tidak terjadi di Indonesia saja, namun juga di negara-negara lain. Dalam studi kasus migrasi transit di Afrika Utara, media terbukti memiliki peranan yang kuat dalam menanamkan ilustrasi ‘migran’ ke dalam benak publik [5]. Adanya bias yang cenderung melihat imigran sebagai masalah ini disebut oleh sedentary bias [6]. Tidak hanya media, pemerintah juga merupakan aktor utama dalam penyajian informasi dengan sedentary bias ini. Berbagai kekhawatiran akan ancaman imigrasi sebenarnya tidak terbukti ketika ditelaah lebih jauh. Untuk menjelaskan hal tersebut, tulisan ini menggunakan data studi kasus Amerika Serikat yang notabene memiliki jumlah populasi imigran terbesar di dunia [7]. Penjelasan dari data tersebut kemudian akan dikaitkan dengan situasi di Indonesia saat ini. Tulisan ini berfokus pada efek ekonomi di negara tujuan migrasi dan terlepas dari status legal pekerja migran.
Ilustrasi migran sebagai ‘ancaman’ yang dipaparkan oleh media ini sering kali digaungkan oleh ratusan ribu pembacanya, terutama oleh masyarakat yang mudah tersulut oleh tulisan-tulisan provokatif. Kemarahan serta sikap antipati terhadap masuknya tenaga kerja asing ini mungkin merupakan bentuk kekecewaan atas kondisi sosial dan ekonomi mereka sendiri. Salah satu argumen yang sering digunakan untuk menentang imigrasi adalah migran mencuri pekerjaan penduduk lokal. Sebenarnya tidak ada pekerjaaan yang benar-benar hilang di sini. Hal ini terjadi karena ketika migran bekerja di Indonesia, maka ia akan memberikan kontribusi langsung pada ekonomi, bahkan ketika ia tidak membayar pajak. Ketika mereka bekerja, maka akan ada konsumsi, dan pertumbuhan tingkat konsumsi akan memacu pertumbuhan produksi. Peningkatan produksi kemudian akan menyerap lebih banyak tenaga kerja. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa migrasi tidak akan mengganggu jumlah pekerjaan yang ada. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh peneliti dari University of California San Diego menunjukkan bahwa peningkatan jumlah imigran di Amerika Serikat tidak memiliki dampak yang berarti terhadap native employment [8]. Center of American Progress bahkan melaporkan bahwa legalisasi pekerja tak terdokumentasi dapat membawa 336.000-470.000 wirausahawan ke dalam ekonomi formal [9]. Jumlah pekerjaan yang ada tidak akan berkurang—bahkan bertambah dengan meningkatnya jumlah pengusaha.
Argumen kedua yang sering diajukan adalah menurunnya besaran upah karena meningkatnya suplai pekerja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hal ini tidaklah benar [10]. Sebaliknya, besar upah pekerja yang terdokumentasi (lokal maupun asing) malah meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah pekerja migran tak terdokumentasi. Hal ini disebabkan karena adanya keuntungan komparatif yang didapatkan ketika jumlah migran di pasar tenaga kerja meningkat. Fenomena spesialisasi menjadi lebih terdorong sehingga tingkat produktivitas nasional secara menyeluruh menjadi semakin bertumbuh lagi.
Pihak yang anti dengan imigrasi juga sering menuduh bahwa migran membawa lari keuntungan karena remitansi terjadi. Dalam merespons hal ini, tidak semestinya kita menerapkan standar ganda—Indonesia memiliki lebih dari 7 juta diaspora di luar negeri yang secara langsung (melalui berbagai macam naskah remitansi) maupun tidak langsung telah memberikan kontribusi bagi pembangunan Indonesia [11]. Di sisi lain, jumlah tenaga kerja asing di Indonesia hanya sebanyak 74.183 orang [12]. Keberadaan tenaga kerja asing di Indonesia masih lebih menguntungkan dibandingkan apabila pemerintah hanya sekadar melakukan impor produk atau melakukan outsourcing.
Masuknya tenaga kerja asing juga berdampak baik pada ekonomi karena dapat menjadi insentif untuk berkompetisi. Pemerintah dan masyarakat akan lebih terpacu untuk memperbaiki kualitas sumber daya manusia, pendidikan, dan menciptakan lapangan pekerjaan baru. Negara tetangga seperti Singapura merupakan contoh negara yang kebijakan foreign talent untuk memicu kompetisi dan persaingan demi meningkatkan kualitas sumber daya manusianya. Adanya aliran masuk tenaga kerja ini justru akan memicu masyarakat dan pemerintah untuk memperbaiki kompetensi demi dapat bersaing dengan pekerja asing.
Oleh karena itu, dalam menanggapi wacana yang sedang berkembang mengenai maraknya arus masuk tenaga kerja asing asal Tiongkok ke Indonesia, Indonesia sebenarnya tidak perlu khawatir. Masuknya imigran, dari mana saja mereka berasal, bukanlah hal yang buruk bagi perekonomian. Tugas kita sebagai masyarakat adalah berpikir kritis ketika menyerap informasi, dan secara konsisten memperbaiki diri agar tidak kalah bersaing dengan tenaga kerja asing. Pada dasarnya, kita semua adalah bagian dari masyarakat dunia. Ingat, tanpa adanya imigrasi dari Tiongkok, Indonesia mungkin tidak akan pernah memiliki sosok-sosok yang mampu mengharumkan Indonesia di kancah internasional seperti Susi Susanti, menggetarkan rezim penguasa seperti Soe Hok Gie, atau membawa perubahan yang masif dalam pemerintahan seperti Basuki Tjahaja Purnama.
—
Notes:
[1] “Wasekjen MUI,: Imigran Syiah dan China Bahayakan Indonesia,” VoA Islam, diakses 22 Desember 2016
[2] “Tenaga kerja asing China membludak bikin imigrasi kewalahan”, Sindonews, diakses 22 Desember 2016
[3] “MEA berlaku 400 juta tenaga kerja China jadi ancaman,” Tempo.co, diakses 22 Desember 2016
[4] “Banjir tenaga kerja asing ke Indonesia, Menaker sebut visa turis banyak disalahgunakan,” Kompas, diakses 22 Desember 2016
[5] Michael Collyer and Hein de Haas. “Developing Dynamic Categorisations of Transit Migration,” Population Space Place Vol. 18 (2012): 468-481.
[6] Stephen Castles. “Understanding Global Migration: A Social Transformation Perspective.” Journal Of Ethnic and Migration Studies Vol. 36, No. 10 (2010): 1565-1586.
[7] “Mapped: Which country has the most immigrants,” Telegraph, diakses 22 Desember 2016
[8] George J. Borjas. “The economics of immigration.” Journal of economic literature 32, no. 4 (1994): 1667-1717.
[9] “Immigration helps American workers wages and job opportunities,” American Progress, diakses 22 Desember 2016
[10] Julie L. Hotchkiss, Myriam Quispe‐Agnoli, and Fernando Rios‐Avila. “The wage impact of undocumented workers: Evidence from administrative data.” Southern Economic Journal 81, no. 4 (2015): 874-906.
[11] “Presiden Indonesian Diaspora Network Tuntut Kewarganegaraan Ganda”, Detik, diakses 22 Desember 2016
[12] “Berapa sebenarnya jumlah tenaga kerja asal Cina yang masuk ke Indonesia,” BBC, diakses 22 Desember 2016
“Merespons Masuknya Tenaga Kerja Asing di Indonesia” ditulis oleh:
Agung Sulthonaulia Utama
Known by his internet friends as @agungisme, Agung is currently an International Relations student at University of Indonesia. He is a philomath who aspires to be a polymath. His interests range from current affairs, youth empowerment, photography, indie music, to cat videos on Youtube. You can connect with him via his LinkedIn.