Rilisan Fisik bersama Taufiq Rahman
Muhammad Hilmi (H) berbicang dengan Taufiq Rahman (T)
H
Mas Taufiq aktif di dunia literatur dan musik, mana yang lebih dulu diakrabi ketika kecil?
T
Saya lebih banyak mendengar musik lebih dahulu. Saya tumbuh di desa yang cukup udik hingga akhir 80-an, tepatnya di Pati, Jawa Tengah. Waktu itu arus komunikasi dan informasi belum seperti sekarang. Di televisi cuma ada TVRI saja, kontennya pun tak sebanyak itu. Tapi diantaranya, ada pengisi waktu yang memutar musik barat. Biasanya sebelum acara berita, diputarlah beberapa video musik barat. Bagi saya, seorang warga desa, menonton video musik barat merupakan pengalaman yang luar biasa.
Salah satu yang melekat dengan ingatan saya adalah pengalaman ketika menonton video klip Guns ‘N Roses yang “November Rain”. Scene ketika Slash bermain gitar di depan gereja itu membuat saya terperangah. Saya yakin, pengalaman yang sama juga pasti dirasakan oleh semua orang ketika melihat video itu. Tak peduli di desa, maupun di kota. Ini merupakan salah satu peristiwa yang membuat saya tergugah untuk menyadari kekuatan musik. Jadi Guns ‘N Roses lah yang membuat saya mendalami musik (tertawa). Tapi ya begitulah, ketika itu referensi belum sebanyak sekarang.
Saat SD-SMP saya lalu merasakan bahwa musik merupakan dunia yang sedemikian menarik. Sebuah hal yang belum pernah saya temukan sebelumnya. Orang tua saya adalah penganut Nahdhatul Ulama (NU), dan mereka sering mengajak saya untuk mengaji. Tapi terus terang saat mengaji, saya tidak bisa menemukan semangat. Mungkin ini sama dengan anak muda dimanapun, bahwa ketika semakin dipaksa, kita akan lari ke hal lain. Dalam kasus saya, saya berlari ke musik Guns ‘N Roses, Poison, juga Roxxette. Pokoknya ke musik barat mainstream lah.
Satu hal yang kemudian membentuk taste musik saya adalah radio top 40 Amerika. Suatu saat, The Wallflower, band bikinan Jakob Dylan anak dari Bob Dylan menjadi nomor satu di chart radio tersebut. Dari biasanya Guns ‘N Roses, Roxxette, Ace of Base, tiba-tiba ada The Wallflower. Ini membuat saya sadar bahwa ada banyak macam musik di luar sana yang belum pernah saya dengar sebelumnya. Saya lalu semakin penasaran dan ingin mencari musik-musik lainnya.
Ketika internet masuk pada awal tahun 2000an, semakin banyak kios DVD bajakan yang menjual CD bajakan. Salah satu CD musik yang paling banyak dijual saat itu adalah Weezer dan POD. Saya sempat suka sekali dengan POD, dengan lagu nu metal religius mereka. Bagi saya mencampur nu metal, ajaran Kristen dengan sedikit reggae itu keren sekali (tertawa). Untungnya saya tidak berhenti disitu dalam mencari referensi musik. Saya terus mencari, hingga pada tahun 2001 saya menemukan The Strokes. Ketika itu saya sedang berada menonton MTV di sebuah hotel di Solo. Yang diputar adalah “Last Nite”. Saya terpukau sekali lagi. Mungkin sensasinya sama seperti ketika saya menonton “November Rain” dulu. “Apalagi ini?” batin saya. Saya tidak pernah mengalami musik rock ‘n’ roll pada tahun 70’an, tapi The Strokes dengan video “Last Nite” membuat saya seolah ada disana.
Ketika saya lantas tahu bahwa The Strokes dipengaruhi oleh Guided By Voices, hingga Television, saya semakin banyak belajar. One thing leads to another, akhirnya selera musik saya terbentuk seperti sekarang.
H
Kalau cerita tentang mendalami dunia literatur?
T
Saya mendengarkan musik, tapi saya tidak bisa bermain instrumennya. Karena ingin tahu lebih banyak tentang musik, saya membaca informasi tentang musisi idola saya. Biasanya kalau kita membaca tulisan tentang musik, Anda akan tergerak untuk menulis musik. Saya merupakan pembaca majalah Rolling Stone Amerika yang rajin, dan dengan itu, saya jadi ingin bisa menulis seperti tulisan mereka. Terbiasa membaca tulisan musik di Rolling Stone, Spin, Pitchfork era awal, membuat saya merasa bahwa menulis musik seru kalau dilakukan dalam Bahasa Inggris, karena saya merasa di Bahasa Inggris, kita bisa memberikan kejutan-kejutan menarik dalam bentuk tulisan. Kebetulan, saya lumayan bisa menulis dalam Bahasa Inggris. Kebetulan pula, saya bekerja di harian berbahasa Inggris, the Jakarta Post.
Kalau boleh jujur, beberapa kali saya rip-off salah satu penulis Rolling Stone yang juga menulis “Love is Mixtape”, Rob Sheffield. Tentu yang saya maksud rip-off adalah memakai kata yang dia pakai, bukan kalimat, untuk menulis di The Jakarta Post.
Kalau kita bekerja sebagai jurnalis, biasanya tulisan kita bentuknya adalah penjabaran dari konsep dasar 5W1H untuk menjabarkan fakta yang ada. Tapi karena saya terlalu banyak membaca tulisan musik di media-media tadi yang bentuknya bukan berita, melainkan ulasan, maka saya cenderung menulis dalam bentuk yang sedikit berbeda, yakni menggambarkan apa yang saya alami ke dalam kalimat dan paragraf tulisan. Untungnya editor kantor saya tidak keberatan. Karena mungkin mereka melihat bahwa tak ada resiko untuk melakukan eksperimen dalam bentuk tulisan musik. Tak bakal ada yang akan melakukan tuntutan, paling cuma sakit hati saja kalau ada yang ditulis negatif (tertawa). Akhirnya saya bisa menuliskan pendapat saya disitu dengan cukup bebas, kalau misalnya ada pertunjukan musik yang jelek, ya saya bilang jelek. Tentu dengan menjelaskan apa saja alasannya.
H
Kalau ketika Mas Taufiq berada di bagian redaktur politik di The Jakarta Post, adakah perbedaan gaya menulis disitu?
T
Dulu sebelum adanya portal berita online, The Jakarta Post adalah harian berita tradisional. Dalam artian, kami strict menulis dalam format 5W1H. Tapi kemudian pada tahun akhir dekade pertama 2010 ada shifting, dimana kalau kita hanya menulis fakta dalam bentuk berita klasik, kita akan ditinggalkan pembaca. Kami pun beralih dari menulis berita menjadi menulis cerita. Terus terang ketika saya menjadi reporter, untuk menulis dalam gaya baru ini cukup susah. Tapi saya berusaha untuk mengangkat berita dalam bentuk cerita, karena ini membuat pengalaman membaca jadi berbeda. Ketika jadi editor, saya juga meminta pada reporter saya untuk menulis dalam bentuk ini. Termasuk dalam tulisan politik. Saya masih ingat ketika pemilihan presiden yang lalu, saya meminta reporter kami untuk menulis tentang hubungan musik metal dengan politik, karena pada saat itu Jokowi menggunakan musik metal untuk meraih suara. Juga tentang pendapat kalangan hipster tentang sosok Jokowi. Arahan yang demikian kami angkat demi mendekatkan pembaca pada cerita-cerita yang kami angkat.
Inilah yang sekarang sedang kami upayakan di Jakarta Post, supaya kami bisa bersaing dengan online publication yang ada. Jadi sebenarnya tak ada keterpisahan pada tulisan-tulisan politik dan musik.
Dan, respon pembaca juga positif dalam membaca gaya tulisan ini. Pembaca lebih menikmati gaya tulisan yang lebih bercerita. Karena dengan gaya baru ini, pembaca bisa mendapatkan angle lain dalam memahami sebuah peristiwa. Kalau hardnews semata, kita toh bisa membacanya di portal berita online yang bisa kita akses setiap saat.
H
Peralihan gaya menulis ini sebenarnya sudah cukup lama terjadi, apakah Mas Taufiq percaya bahwa gaya jurnalisme satrawi ini akan bisa terus dikembangkan ke depannya?
T
Sebenarnya saya tidak terlalu suka dengan term jurnalisme sastrawi. Tapi saya melihat fungsi jurnalisme di jaman sekarang ini adalah medium untuk storytelling. Karena koran-koran besar di dunia sedang menghadapi masalah sekarang ini. Saya sempat membaca di The Guardian tentang satu-satunya surat kabar yang masih bertahan hingga sekarang, namanya Le Monde. Disebutkan di artikel tersebut alasan kenapa Le Monde tak hanya survive, tapi justru berkembang pesat adalah karena mereka memiliki cerita-cerita eksklusif yang tidak disajikan oleh media lain. Kalaupun mereka tidak memiliki cerita eksklusif, mereka selalu menyajikan beritanya dalam angle yang berbeda.
Bagi saya, itulah satu-satunya cara bagi print media untuk menyampaikan cerita yang menarik juga untuk bertahan.
H
Tentang Elevation Records, bagaimana awal ceritanya?
T
Alasannya sekali lagi adalah karena ketidakbisaan saya untuk bermain musik-sebuah hal yang lantas saya tebus melalui anak saya, dan berhasil, she’s a good drummer. Satu-satunya hal yang bisa saya lakukan adalah mendengarkan musik. Tapi kadang dari pengalaman mendengarkan musik, ada keinginan lain yang tumbuh, yakni untuk memproduksi musik. Kalau kita bisa bermain musik, output setelah mendengar banyak referensi adalah bikin band dan bikin lagu, kalau bagi saya yang tidak bisa bermain musik, saya tidak bisa melakukan itu. Saya hanya kenal orang-orang yang bisa bermain musik. Itulah kenapa rilisan pertama saya adalah album Sajama Cut, ini salah satunya adalah karena saya kenal dengan Marcel Thee.
Saya pikir seru untuk bisa melakukan sesuatu dengan musik. Tujuan utama tentu untuk kepuasan saya sendiri, saya sama sekali tidak memiliki keinginan untuk “mewarnai blantika musik Indonesia” atau semacamnya. Murni demi kecintaan saya terhadap musik. Saya juga ingin merilis musik dalam bentuk yang beda. Karena saya suka dengan format vinyl, maka Elevation Records meriis musik dalam bentuk vinyl. Selain juga, kalau kita rilis vinyl pengalaman yang ada juga akan berbeda. Kalau kita rilis CD, kita tinggal kirim master ke tempat duplikasi CD maka selesai sudah proses produksi kita. Di vinyl, prosesnya panjang, jadi proses bekerjanya lebih seru. Pertama, penggandaan vinyl hanya bisa di Amerika, proses duplikasi lama, biayanya pun mahal. Banyak momen yang bikin deg-degan. Belum lagi masalah ketika di bea cukai, yang kadang harus bayar sampai 25 juta untuk menebus barang kita. Banyak sekali halangannya. Tapi saya menikmatinya. Ini seru, apalagi untuk musik. Sebuah hal yang saya cintai dan saya tak bisa hidup tanpanya. I will do almost anything untuk ini.
Hanya untuk menunjukkan kecintaan saya terhadap musik sebenarnya kenapa saya mau bersusah payah punya label. Lagian label indie berapa sih uangnya? Tapi di dalamnya, saya banyak sekali menemukan keseruan.
H
Salah satu hal yang membuat Elevation Records spesial adalah pola kurasinya yang cukup berbeda dengan label kebanyakan. Dibuktikan dengan rosternya yang beragam dan unik. Bagaimana sebenarnya proses Mas Taufiq dalam menjalankan scouting untuk label ini?
T
Taste musik adalah sebuah hal yang sulit untuk dijelaskan, jatuhnya akan terdengar klise, talking about music is like dancing with architecture. Tapi memang kebanyakan pemilik label musik independen adalah orang-orang yang egois. Ketika mereka menemukan musik yang bisa memuaskan selera mereka, pasti akan segera mereka rilis. Ini bisa dibuktikan ke pemilik label independen dimanapun, pasti jawabannya sama.
Musik yang saya rilis melalui Elevation Records yang pasti musik yang saya suka. Saya selalu mendengarkannya baik-baik dan saya benar-benar menyukainya. Anehnya dari semua musisi yang dirilis Elevation kebetulan ada benang merahnya. Walaupun musiknya bukan punk, tapi sosok-sosok di dalamnya adalah orang-orang berpemikiran anarkis, dan nihilis. Mereka cenderung mempersetankan apakah publik menerima musik yang mereka bikin atau tidak. Salah satu contohnya adalah Semak Belukar, meski musiknya melayu sekali, semangat mereka sangat punk. Setelah merilis album, mereka lantas bubar! Fami juga sama, ketika menemukan musiknya, saya bertanya-tanya kenapa musik bagus seperti ini belum ada yang merilis. Maka dirilislah Fami melalui Elevation Records. Hal yang sama juga saya alami bersama Bandempo, saya yakin kita semua tahu bagaimana kualitas Anggun Priambodo. Secara tidak sengaja ada benang meras pada semua musik yang dirilis oleh Elevation Records, semua datang dari orang-orang yang serius di musik, tapi mereka tidak mempedulikan apa yang terjadi di luar musik. Mereka sama sekali tidak peduli apakah musiknya bakal terkenal atau tidak. Dan ini hal bagus.
Misalnya kita bertanya pada Anggun tentang Bandempo, ia pasti berkata bahwa disana ia hanya bersenang-senang saja. Padahal bagi saya, album Bandempo adalah sebuah distillation, sebuah album penting. Dimana saya merasakan bahwa di album itu, para personilnya menuangkan ekstraksi dari apa yang mereka alami di keseharian, tentang suasana Indonesia awal 2000an menjadi musik. Soal srimulat, tentang Jakarta, hingga trivialitas kehidupan, diolah menjadi lagu. Hal-hal yang terdengar sepele, tapi datang dari proses pemikiran yang panjang.
Hal yang kurang lebih sama juga terjadi ketika saya merilis album Southern Beach Terror bersama Sonic Funeral Records. Sempat ada omongan untuk merilis dalam format lain, tapi pihak Southern Beach Terror memilih untuk merilis dalam bentuk vinyl. Kalau misalnya sang musisi mencari recognition, pasti kita merilis dalam bentuk CD, tapi langkah tersebut tidak kami ambil. Musik-musik seperti inilah yang saya suka dan saya perjuangkan melalui Elevation Records untuk dirilis.
H
Dengan semakin mudahnya merilis rilisan fisik, semakin banyak label independen baru tumbuh, bahkan tak jarang ada yang datang dari kota kecil, bagaimana melihat fenomena ini?
T
Ini semakin menguatkan statement yang telah populer, bahwa scene musik Indonesia adalah yang paling menarik di Asia Tenggara. Atau bisa jadi malah di Asia. Saya bisa bilang bahwa disini scene musiknya paling berisik, paling dinamis, dan paling ramai, yang outputnya saya bisa katakan salah satu yang paling baik di Asia Tenggara. Ini mungkin ada bias karena saya orang Indonesia. Tapi kalau kita melihat di Asia Tenggara, tidak ada kekuatan besar seperti yang muncul dari sini. Homicide misalnya. Kebetulan karena mereka pakai Bahasa Indonesia, jadi reach mereka sampai Singapura dan Malaysia. Tapi sebagai kolektif independen asal Indonesia, Homicide bisa mendapatkan excitement yang sama seperti apa yang mereka dapatkan dari publik lokal. Ini bagi saya luar biasa. Bahkan pada kasus Aurette and The Polska Seeking Carnival, meski musik mereka tak seradikal itu, banyak teman-teman dari Malaysia dan Singapura yang semakin antusias ketika tahu bahwa Aurette ini datang dari Indonesia. Semak belukar juga sama kejadiannya.
Steve Lillywhite, produser U2 yang sekarang tinggal di Jakarta pun menyatakan hal yang sama. Meski dia bicara dalam konteks musik mainstream, tapi dia pernah berkata bahwa, “Orang mungkin sulit percaya kalau orang seperti saya pindah ke Jakarta untuk musiknya”. Ia lantas bilang, “Disini, scene musik yang ada sangat dinamis, orang masih sangat antusias untuk mencari dan mendengarkan musik. Mencari musik disini pun dilakukan dalam bentuk yang sangat istimewa, dimana orang masih mencari musik dalam bentuk kaset, CD dan vinyl.” Budaya seperti ini ada karena adanya dorongan dari kondisi scene yang dinamis. Di Malang, Surabaya, Bandung, bahkan Jambi, scene yang ada sangat hidup. Kebetulan tadi pagi saya melihat hasil riset yang diumumkan di CNN yang berkesimpulan bahwa bumilah satu-satunya tempat dimana kehidupan ada di antara alam semesta. Kita beruntung bisa berada di satu-satunya tempat dimana kehidupan berada. Dalam hal musik, kita juga beruntung hidup di Indonesia dimana kita bisa melihat dan merasakan geliat dan gairah dalam musik itu ada dan nyata. Dibandingkan tetangga kita di Asia Tenggara yang hidup di bawah represi pemerintahannya, tapi scene musiknya tidak terlalu hidup. Indonesia adalah tempat yang luar biasa bagi saya.
H
Sekarang semakin banyak band yang self-release. Bagaimana Mas Taufiq melihat posisi record label di era yang demikian?
T
Saya rasa, posisi record label masih akan terus strategis. Karena label bukan pihak yang menduplikasi serta memproduksi musik semata. Posisi label sebenarnya bukan itu. Kalau begitu, mending bermain sama label mainstream saja. Label musik independen perannya harus lebih jauh dari itu. Label independen harus bisa menjadi cultural adjudicator, penentu atau pengarah selera budaya. Ini mungkin posisi yang terkesan sombong. Di luar sana ada banyak musik dirilis, juga banyak kejadian budaya, record label-seperti halnya media massa, punya posisi untuk memilih dari sekian banyak noise, mana yang patut diperhatikan. Dan dari situ mereka bisa merilisnya.
Tapi merilis musik disini juga bukan sekadar menduplikasi dan mengemas musik tersebut sebelum diedarkan kepada publik. Kita juga harus bisa memberikan konteks disitu. Istilah kasarnya, kita harus membuat sebuah band memiliki arti. Jadi tak sekadar musik semata. Supaya musik mereka memiliki tempat dan peran di masyarakat. Mungkin ini sedikit berlebihan. Tapi ini penting supaya misalnya sebuah band tidak memiliki identitas, mereka lantas bisa memiliki identitas tersendiri. Beberapa band punya kemampuan untuk menciptakan identitas sendiri, dan ini penting bagi sebuah band itu sendiri. Tapi kalau record label bisa mengambil peran ini, sejatinya ini merupakan fungsi yang lebih esensial daripada sekedar menghitung berapa kaset yang terjual, dan seberapa terkenal label tersebut. Kalau cuma itu, mending bikin tempat penggandaan CD saja.
Kalau istilah cultural adjudicator itu terdengar agak terlalu sombong, mungkin kita bisa analogikan record label sebagai wasit, atau justru kurator. Persis seperti fungsi kutaror di seni rupa, label sebagai kurator juga harus bisa menciptakan narasi dari musik yang ada. Bisa dari backstory personil atau hal lain yang menarik.
H
Asal tidak gimmicky saja ya…
T
Betul. Karena kalau cuma sekedar gimmick akan segera ketahuan oleh publik. Kita harus menemukan hal-hal baik dari band yang dirilis. Tidak bisa misalnya dulu sang musisi bermain musik pop-punk, lalu kita bilang bahwa dia adalah sosok yang sangat punk.
H
Tentang toko musik, sebagai orang yang berhubungan langsung dengan mereka, bagaimana sebenarnya keadaan toko musik lokal?
T
Toko musik fisik adalah salah satu tempat penting di sebuah kebudayaan. Apalagi sebagai individu yang tumbuh di saat dimana belanja musik dimaknai sebagai kegiatan pergi ke toko musik. Bahwa beli musik sama sekali berbeda dengan beli dan download di itunes, itu bukan cara terbaik untuk menghormati musik bagi saya. Pergi ke toko musik adalah petualangan tersendiri, kita berjalan memasuki toko, lalu memilih satu per satu kaset, CD atau vinyl yang ada, itu menarik. Maka dari itu, toko musik penting. Dia menjadi sarana sekaligus tempat dimana musik diputar, diperbincangkan lebih dari sekedar transaksi jual beli.
Inilah yang menjelaskan kenapa setelah jaringan toko musik besar tutup, teman-teman di Blok M, pasar Santa juga Lian di Jalan Surabaya bisa terus berjalan dan bahkan mendapat cultural recognition. Mereka tetap ramai dikunjungi oleh pecinta musik karena mereka menyediakan kebutuhan bagi orang-orang seperti kita yang mencari musik dengan cara yang benar. Toko semacam ini ada di berbagai kota. Ada yang umurnya panjang, ada yang umurnya tidak terlalu panjang. Beberapa stok dari Elevation Records hilang di toko yang umurnya setahun, atau bulanan. Tapi tidak apa-apa, itu bukan masalah bagi kami, anggap saja itu resiko bisnis.
Dari tiga tahun melihat perkembangan toko musik, saya melihat ini tidak akan mati. Mungkin akan ada yang tutup, tapi pasti ada yang bikin baru. Kalaupun tidak dalam bentuk toko fisik, akan selalu ada toko musik online yang menjual rilisan fisik. Ini pasti.
H
Sekarang musisi semakin gampang cari referensi, tapi justru yang ada adalah band-band yang berlomba meniru referensinya mati-matian daripada menciptakan musik mereka sendiri. Bagaimana Mas Taufiq melihat ini?
T
Ini kembali ke fungsi label tadi. Sebuah label harus bisa membaca tren, tapi dia tidak boleh hanyut dengan tren yang ada. Rough Trade misalnya, mereka dengan berani merilis The Smiths ketika dunia tergila-gila dengan disko dan hair metal. Mereka bisa berjalan sendiri dengan pilihan mereka. 30 tahun kemudian, tidak hanya mereka masih berjalan, mereka bahkan bisa terus eksis sebagai cultural institution. Contoh lainnya adalah Sub Pop, mereka dikenal dengan Nirvana, dan Soundgarden yang grunge. Sekarang mereka merilis Father John Misty yang berbeda 180 derajat dengan kebiasaan mereka. Bahkan banyak yang mencibir ketika Sub Pop merilis Beach House, musiknya dibilang terlalu soft dan girly untuk karakter Sub Pop. Tapi tidak ada protes tersebut yang datang dari orang-orang yang memang benar-benar mencintai musik.
Yang membuat Rough Trade, hingga Matador bisa muncul dengan karakter mereka sendiri adalah kemampuan mereka dalam melihat lebih dalam daripada apa yang terjadi di permukaan histeria massa. Inilah kenapa album The Queen Is Dead dari The Smiths jika diputar sekarang masih akan terasa relevan, sama sekali tak terasa bahwa album tersebut berusia 30 tahun. Rilisan Pavement pun demikian, tak terdengar bahwa mereka merilis musik itu pada tahun 90an. Pavement dalam hal ini aged gracefully better than Nirvana’s Nevermind. Nevermind terasa dengan jelas datang dari 90’an dan bahkan sekarang terasa seperti classic rock, Pavement tidak demikian, mereka tidak akan terdengar tua.
Musik seperti itulah yang bebas dari tren. Label dalam hal ini berperan besar dalam melihat bahwa musik itu tak harus trendi, karena musik yang baik akan bisa abadi dan terus ada diantara tren yang ada. Dan label memainkan peran untuk memilih mana musik yang cuma knock-off dari yang telah ada, mana musik yang hanya korban tren, dan mana musik baik yang akan bertahan hingga 30 – 40 tahun ke depan.
H
Jadi Elevation Records ini investasi untuk 30 tahun ke depan ya?
T
(Tertawa) Mungkin 20 tahun lagi akan ada boxset Elevation Records, seperti layaknya boxset 20 tahun Matador gitu. Tapi seperti Semak Belukar itu saya rasa akan tetap bisa menciptakan sensasi yang sama bagi pendengarnya jika didengar 10-20 tahun ke depan. Ini mungkin ada biasnya karena ini rilisan saya sendiri. Begitu halnya dengan Bandempo atau Southern Beach Terror, anak yang lahir sekarang kalau mendengar musik mereka 20 tahun lagi pasti akan tetap mendengar dengan sensasi yang sama seperti yang kita alami sekarang. Mereka akan mendengar dengan fresh ear. Bahkan mungkin bisa jadi certified classic. Sekali lagi ini karena saya merilis mereka jadi saya bilang baik-baiknya saja (tertawa). Tapi mungkin akan ada beberapa orang yang setuju dengan pendapat saya ini.
H
Yang mempunyai posisi untuk memilah mana musik yang cuma knock off dan mana yang baik, adalah label dan media musik. Apakah Mas Taufiq melihat bahwa media musik telah melaksanakan fungsinya ini?
T
Agak susah membicarakan tentang media musik di Indonesia. Ada media musik online, ada juga media musik cetak terbitan reguler sekarang semakin sedikit jumlahnya, tinggal satu yang franchise besar itu. Yang tidak kalah penting juga sebenarnya adalah institusi-institusi besar seperti Kompas, Tempo, juga The Jakarta Post to some extent. Sayangnya sejauh ini, institusi-institusi besar ini selalu salah arah dalam memberikan perhatian mereka. Perhatian mereka selalu menuju ke tempat yang salah. Apalagi pada media yang telah ada selama 40 tahun, 90% perhatian mereka selalu tertuju pada selera-selera tua yang old school, mereka tak terlalu suka memberikan perhatian pada musik-musik yang ada sekarang.
Media online juga tak lebih baik, mereka lebih suka menulis gosip musik dan musik yang telah dikenal banyak orang daripada mencari musik bagus yang lebih layak diperhatikan. Media musik cetak yang ada pun demikian, mereka lebih suka untuk mencari berita tentang musik yang dikenal oleh publik supaya terus ada pasokan iklan untuk mereka. Kita tidak bisa mempersalahkan mereka, tapi sayangnya, perhatian mereka kepada yang independen dan cutting edge tidak terlalu besar. Kalaupun ada, yang diulas tetap nama-nama yang sama. Tidak ada nama-nama upcoming yang masuk. Pilihan selera mereka pun tak jarang aneh dan berbeda dengan apa yang disepakati komunitas musik independen sebagai yang berkualitas.
Dengan keadaan yang demikian, maka jelas bahwa media musik belum optimal dalam melaksanakan fungsinya sebagai kurator musik di Indonesia. Pitchfork dan Stereogum itu walau kadang agak norak, mereka menjalankan fungsi ini dengan baik. Hampir setiap hari ada review musik disana. Review musik penting karena ini sangat penting dalam membentuk selera. Walaupun saya telah berhenti membaca Pitchfork lagi, dulu ketika masih bagus tahun 2000-2010, selera saya banyak terpengaruh oleh mereka. Saya yakin Anda pun demikian, selera Anda pasti berhubungan secara langsung dengan apa yang Anda baca. Saking percayanya saya dengan Pitchfork ketika itu, band yang tidak terlalu penting seperti The Walkmen pun saya suka. Ini menjadi bukti kekuatan media untuk mengarahkan histeria massa. Tidak harus kepada dikotomi baik dan buruk, tapi fungsi ini bisa membawa publik untuk tahu apa yang menarik, apa yang beda, apa yang lebih patut diperhatikan. Saya pikir hal ini sebenarnya sudah dilakukan, tapi porsinya masih sedikit dan cenderung salah fokus. Harus ada lebih banyak media musik professional yang datang dari budaya kritik musik.
H
Bagaimana ceritanya dari musik, Elevation kemudian merilis buku?
T
Logikanya begini, kalau saya suka masak, maka saya akan buka restoran. Atau kalau saya suka fashion, saya akan buka toko baju. Maka ketika saya suka musik dan membaca, dan kasusnya sama dengan ketika kita suka mendengar musik, maka kita akan merilis musik. Ketika kita membaca tulisan tentang musik, maka langkah berikutnya adalah menerbitkan buku tentang musik. Sebenarnya sebelum saya membuat Elevation Books, saya menulis buku “Lokasi Tidak Ditemukan”. Tapi ketika itu, saya tidak tahu siapa saja yang membaca tulisan saya. Maka hal pertama yang dilakukan Elevation Books adalah merilis ulang buku saya tadi. Sebenarnya saya juga tidak tahu apakah bakal ada yang beli atau tidak (tertawa). Hasilnya lumayan sebagai penerbitan independen, kami mencetak tidak terlalu banyak, tapi antusiasmenya cukup tinggi.
Sama halnya seperti di Elevation Records, saya tidak ingin Elevation Books ini one-off project saja. Saya lalu mencari cara dan naskah agar ada output yang continue dari Elevation Books ini. Kalau yang nulis saya sendiri, saya tidak terlalu yakin bakal ada yang mau beli hanya karena ada nama Taufiq Rahman di sampulnya. Sebagai penerbit, saya perlu introduction, that I go out with a bang!
Saya kenal baik dengan Ucok dari Homicide, dia adalah penulis yang rajin. Sayangnya tidak mungkin untuk meminta dirinya menulis naskah baru sekarang diantara segala macam kesibukannya. Tapi dia punya banyak arsip tulisan lama. Bahkan dia sendiri pernah cerita bahwa tak jarang orang datang ke rumahnya dengan membawa flash disk untuk meminta copy tulisannya. Saya lantas terpikir, kenapa tidak bikin buku saja, karena hal tadi membuktikan bahwa orang ingin memiliki memento dari Ucok selain dalam bentuk musik.
Naskah yang telah ada lalu kita kumpulkan, kita kurasi, edit mana saja yang berhubungan dengan musik. Kebetulan saya sempat sakit dan harus di rumah selama satu bulan, saya lantas mengisi waktu dengan mengedit dan komunikasi intensif sama Ucok. Satu bulan kemudian tulisan siap cetak dan minggu lalu bukunya dirilis.
Dan, layaknya apapun yang dirilis oleh Ucok, excitementnya selalu tinggi. Kalau Anda mengalami bagaimana orang mengantisipasi rilisan Ucok, itu sering tidak masuk akal. Meski saya telah memberikan informasi bahwa buku akan dikirim pada tanggal 3 Agustus 2016, setiap hari pasti ada email yang menanyakan kapan bukunya dikirim kepada mereka. In a way, ini membuktikan bahwa keputusan saya untuk merilis tulisan Ucok itu tepat adanya.
Di luar itu, saya ingin memberikan sesuatu bagi para penggemar karya Ucok. Memberikan mereka something to anticipate. Dan saya dalam project ini hanya cater to their needs. Karena saya juga tidak yakin bahwa buku Ucok akan jadi best-seller di toko buku besar. Tapi di sisi lain, ini akan menjawab kebutuhan orang yang memang mengikuti kiprah Ucok sejak dulu. Dan setelah rilis dan dibaca orang, saya jadi tahu bahwa banyak yang dengan semangat mengunggah ke social media, dan banyak pula ucapan terima kasih. Dengan ini, saya jadi bisa membuktikan sendiri bahwa orang Indonesia suka membaca. Asalkan bacaannya menarik dan ditulis oleh orang-orang yang kompeten.
Ada beberapa naskah lain yang sedang saya persiapkan, mungkin tak akan menghasilkan excitement yang sama dengan buku Ucok. Konsepnya akan mirip dengan seri buku 33 1/3. Jadi saya sedang meminta beberapa penulis untuk menulis album-album klasik Indonesia yang akan dikompilasikan jadi pocket book yang akan rutin diterbitkan dalam bentuk seri. Melalui buku ini, saya ingin membuat orang tahu bahwa ada buku musik yang cukup berbeda dan membahas album-album yang dicintai oleh banyak orang. Meskipun tidak besar, saya ingin menciptakan antusiasme terhadap buku ini, setidaknya mereka yang pernah mendengar album yang ditulis pasti akan tertarik untuk membaca. Begitulah bagaimana saya akan menjalankan Elevation Books, sebuah penerbitan abal-abal, yang bahkan bukunya tidak memiliki ISBN. Buku Ucok ini bahkan nyaris seperti zine, dibuat secara independen, diedarkan secara underground, sama seperti Ucok beredar. Tidak peduli dengan sistem.
H
Di beberapa kali kesempatan Mas Taufiq mengaku sebagai nihilis, tapi dari semua aktivitasnya justru berkebalikan dengan sikap nihilis. Bukannya melalui buku dan musik yang dirilis itu justru Mas Taufiq justru membangun sebuah kebudayaan baru?
T
(Tertawa) Sebenarnya apa yang saya lakukan itu untuk kepentingan saya sendiri. Saya tidak punya tujuan besar seperti untuk mencerdaskan bangsa dan semacamnya. Itu bukan fungsi saya, itu fungsi departemen pendidikan mungkin. Di musik pun demikian, saya tidak ada keinginan untuk mewarnai blantika musik. Saya hanya ingin memikirkan diri saya sendiri. Saya hanya ingin menciptakan arti buat saya sendiri, tidak ada usaha untuk menciptakan arti bagi masyarakat. Bagi orang nihilis, inilah satu-satunya hal yang menjadi justifikasi bagi saya untuk going on in live.
Kebanyakan orang menciptakan arti dari kehidupan mereka dengan menautkan diri pada institusi besar seperti agama, negara, hingga nasionalisme. Saya tidak percaya pada semua hal tersebut, saya hanya percaya pada musik dan literatur. Maka saya melakukan aktivitas saya untuk memberikan arti pada diri saya sendiri saja. Kalaupun ada akibat positifnya, itu hanya efek samping saja buat saya. Ini bukan altruisme yang berusaha untuk menciptakan perbaikan di masyarakat, tapi lebih kepada menciptakan nilai lebih pada diri sendiri. Kalau ternyata ada hal baik yang didapat masyarakat, itu lebih baik lagi. Jadi dalam hal ini saya harus stand by my words untuk konsisten menjadi nihilis (tertawa).
H
Album lokal yang ingin dirilis Mas Taufiq?
T
Bandempo ini sebenarnya keinginan lama. Indra Ameng pernah mengirim materinya kepada saya ketika saya masih sekolah di Amerika, itu saat pertama saya mendengar mereka, saya langsung suka. Tapi akhirnya saat itu tidak jadi dirilis albumnya karena permasalahan ijin sebuah lagu yang tidak jelas penciptanya. Kebetulan awal tahun 2016, saya bertemu David Tarigan di acara record store day, saya lalu bertanya tentang lagu di album Bandempo yang kami sempat kira ciptaan Adi Bing Slamet, David pun tidak tahu kepastiannya. Anggun bercerita bahwa ia mendengar lagu yang ia cover bersama Bandempo itu dari sebuah kaset yang ia kira musik rock, tapi ternyata isinya lagu dangdut dan salah satunya lagu itu. Absurd sekali. Setelah berdiskusi bersama David Tarigan dan Anggun, kami lalu memberanikan diri untuk merilis album tersebut tanpa tahu siapa pencipta aslinya. Toh kami hanya merilisnya dalam 300 kopi, ini bukan mega project.
Kalau album lain yang ingin saya rilis ulang sebenarnya album soundtrack Badai Pasti Berlalu. Tapi ini project yang hampir mustahil untuk dilakukan. Meskipun ini salah satu album terbaik di Indonesia sepanjang masa, kualitas materi yang ada sangat kurang kondisinya. Album ini dulu hanya dirilis kaset dan vinyl hanya untuk radio, kalau mau cari vinylnya sangat susah dan sangat mahal harganya,. Master rekaman tidak jelas ada dimana. Saya sempat terpikir bagaimana jadinya kalau kita bisa melakukan proses remaster album ini dalam proses yang benar, kita pasti akan mendapatkan album yang lush, yang surround sound-nya keren. Pasti akan sangat mewah kalau dirilis dalam format dolby 5.1. Tapi masalah lainnya adalah masternya tidak ada. Kedua, bayangkan berapa royalti yang harus dibayarkan. Semua orang yang ada di album itu big names. Ada Fariz RM, Eros Djarot, Chrisye disana. Tapi siapa tahu mungkin Bekraf berminat untuk menangani project ini, mungkin mereka bisa melakukan remaster dari vinyl yang masih bagus. Karena sayang sekali, salah satu kekayaan musik Indonesia yang paling bagus tidak bisa diproduksi ulang dalam format terbaiknya. Ini impian saya sebenarnya, kalau ongkosnya tidak terlalu mahal saya pasti akan melakukannya.
H
Kalau yang baru apa?
T
Saya sebenarnya sudah lama ingin mendengarkan album ketiga Efek Rumah Kaca, tapi sampai sekarang belum sempat beli CD-nya. Ini mungkin saya perlu minta maaf kepada Efek Rumah Kaca, tapi saya hanya ingin mendengar lagu mereka dari CD atau kaset, dan sayangnya belum kesampaian sampai sekarang. Ini mungkin agak sedikit telat ya.
Kalau ada yang lain yang menurut saya bagus sekali adalah album dari Tigapagi yang “Roekmana’s Repertoire”. Itu masterpiece menurut saya. Itu kan album konsep yang satu CD berisi satu lagu panjang. Tanpa merendahkan kualitas vokal vokalis Tigapagi, ada satu lagu dimana Cholil bernyanyi, itu paling bagus disitu. Bahkan -no offense buat Efek Rumah Kaca- Cholil terdengar lebih bagus menyanyi disitu dibanding apa yang ia lakukan di Efek Rumah Kaca. Di album yang sama, Ade Paloh juga bernyanyi, dan disitu, ia jauh lebih bagus daripada ketika dia di Sore. Jadi album ini yang luar biasa bagus. Album ini pernah tinggal di player mobil saya selama tiga bulan tanpa pernah diganti. Perputaran antara lagu berakhir dan mulai juga nyambung terus dan sangat smooth. Kalau album itu kurang dari 60 menit, saya akan sangat senang untuk merilisnya dalam bentuk vinyl. Jika album ini dirilis dalam bentuk vinyl akan butuh double disc yang biayanya lumayan mahal. Tapi siapa tahu sih, let’s see.