Pada September 2015, Walikota Bandung Ridwan Kamil mencanangkan Bandung sebagai “Kota Musik”[1]. Wacana ini memang sudah saya dengar sejak lama. Tiga tahun silam, pada acara rilis buku Ujungberung Rebels di Gedung New Majestic, Ridwan Kamil juga pernah menyampaikan hal sama [2]. Menurutnya, bukan hanya sebatas julukan atau persepsi, namun juga pengakuan dunia karena keberadaan komunitas musiknya yang luar biasa besar.
Potensi musik sebagai ekonomi kreatif di Kota Bandung memang didukung oleh keberadaan komunitas yang menjadi energi kreatif di Kota Kembang ini. Hal ini senada dengan hasil penelitian antropolog asal Amerika Brent Luvaas (2012) [3] yang menyimpulkan bahwa komunitas memiliki peranan besar dalam penciptaan proses kreatif anak muda di Kota Bandung mulai dari menyablon kaus, membikin distro, menggelar festival musik, dan menerbitkan majalah/zine, hingga membuat album rekaman.
Pada sesi diskusi yang sama, filsuf Bambang Sugiharto juga cukup intens mengamati pergerakan dinamika komunitas musik di Kota Bandung. Dia beranggapan bahwa komunalitas inilah yang selama ini menjadi kunci keberhasilan membentuk kultur musik di Bandung. Sifat komunalitas yang demokratis membuat pencipta musik dan penikmat musik berada dalam satu tongkrongan yang sama. Selain itu, sifatnya yang militan dan bergerak hampir tanpa dukungan pemerintah juga menjadi karakter otentik komunitas musik ini.
Bandung memiliki sejarah yang panjang dalam melahirkan musisi-musisi besar di Indonesia. Sejak tahun 1970-an, kota ini getol menciptakan inovasi dan kreator-kreator mumpuni yang berprestasi di kancah nasional. Sebut saja nama-nama musisi seperti Giant Step, Bimbo, The Rollies, hingga Harry Roesly yang terkenal pada tahun 1970-an. Dekade berikutnya pun Bandung tak pernah alpa menerbitkan musisi untuk berkarir di industri musik Indonesia. Maka, ketika banyaknya potensi urang Bandung yang berkiprah di industri musik nasional, komunitas GAS (Gabungan Artis Sunda) mendesak Ridwan Kamil agar mendeklarasikan Bandung sebagai “Kota Musik”[4].
Meski memiliki komunitas yang besar dan akar sejarah yang kuat, hal itu saya pikir belumlah cukup relevan untuk menjadikan Bandung disebut sebagai “Kota Musik”. Beberapa tahun terakhir terjadi perubahan sosial yang juga memiliki pengaruh yang tak dapat dikesampingkan. Tantangannya kini juga cukup besar. Kalau hanya mengacu kepada “komunitas” dan “sejarah besar” maka itu hanya akan menjadi jargon omong kosong tanpa ada implementasi konkritnya.
Pembangunan pada sektor kebudayaan – atau dalam hal ini musik – sebenarnya memiliki daya tarik yang luar biasa besar. Setidaknya akan mampu mendatangkan turis jika bisa dikelola dengan baik seperti halnya di Singapura. Tujuan besarnya menciptakan “Bandung Kota Musik” tak hanya sebatas jargon atau gimmick semata, akan tetapi menghadirkan indeks kebahagiaan (index of happiness) dan peningkatan kesejahteraan untuk warga Bandung lewat sektor musik. Maka, untuk mencapai itu semua perlu adanya daya dukung berupa daya dukung fisik dan daya dukung sosial.
Dulu sebuah kota akan dianggap “berbudaya” jika memiliki auditorium yang mewah atau galeri dan museum yang menghadirkan karya-karya besar. Infrastruktur fisik memiliki daya tarik yang cukup penting. Seperti halnya di Singapura. Pembangunan kebudayaan mereka diciptakan terlebih dahulu lewat daya dukung fisik. Karena pemerintah mereka menyadari bahwa mereka tidak memiliki komunitas atau daya dukung sosial. Sehingga, melalui gedung-gedung seperti Esplanade, mereka menciptakan pasarnya sendiri di bidang musik. Mereka cukup aktif menghadirkan band-band internasional agar tampil di negeri Singa. Dan tentunya menarik turis-turis asing datang menonton pertunjukan musik – toh ujungnya tak hanya nonton pertunjukan musik tapi belanja-belanja juga di Orchard Road.
Daya dukung fisik menjadi komponen yang cukup penting dalam menghadirkan ekosistem musik yang baik. Pada level ini saja, Bandung hampir tidak memiliki daya dukung fisik berupa ruang publik atau gedung kesenian yang layak untuk suatu pertunjukan musik kaliber internasional. Gedung kesenian atau gedung youth-centre yang dulu didengungkan pun sebatas menjadi wacana. Sampai saat ini hanya sebatas taman-taman kota yang mampu dimanfaatkan.
Namun, tentu saja itu pun tidak dilengkapi dengan kualitas dan teknologi yang maksimal untuk suatu pertunjukan musik. Padahal pembangunan fisik kota Bandung sedang bergeliat seperti tumbuhnya technopark dan teknopolis. Andaikan saja pembangunan infrastruktur itu memperhitungkan kebutuhan suatu gedung kesenian dalam tataran kota sebagai daya dukung fisik yang nantinya akan menjadi simbol kota itu sendiri.Daya dukung fisik memang tak sebatas gedung kesenian semata, pembangunan museum, galeri, hingga klub-klub yang akan menjadi tempat pertunjukan musik reguler pun dirasakan cukup penting. Apalagi Bandung memiliki akar sejarah yang cukup kuat, seharusnya pendokumentasian karya-karya musisi urang Bandung mampu menjadi warisan yang penting – syukur-syukur mampu menjadi daya tarik turis.
Daya dukung yang cukup penting lainnya yaitu daya dukung sosial. Inilah yang saya rasakan memiliki pengaruh cukup besar. Daya dukung sosial yang saya maksud antara lain penciptaan pasar, proses edukasi dan inovasi, hingga ke persoalan regenerasi musisi. Keberadaan komunitas musik yang sudah besar memang memudahkan untuk menciptakan pasar – atau mengutip Efek Rumah Kaca, “Pasar Bisa Diciptakan”. Hal ini hanya perlu didorong oleh kemudahan perizinan, dukungan sosialisasi tingkat nasional dan internasional, hingga menciptakan iklim yang kondusif terhadap kreativitas bermusik. Dukungan teknologi media sosial juga kini mempermudah dalam memproduksi dan mendistribusikan karya musik.
Tantangan yang paling kian terasa besar memang perubahan dari sesuatu yang awalnya “modal sosial” kini berubah menjadi “modal kapital”. Mungkin hal ini tak hanya terjadi di Kota Bandung saja, akan tetapi di seluruh kota-kota besar lainnya. Selalu saja terjadi komodifikasi dan kooptasi di mana-mana. Perubahan terjadi pada level inisiatif yang bermula untuk identitas komunitas maka kini inisiatif bergeser pada kepentingan korporasi.
Proses edukasi dan inovasi komunitas musik di Bandung terlahir dari interaksi yang kompleks dalam lingkup komunitas. Budaya tongkrongan atau “hangout culture” seperti yang dipaparkan Luvaas (2012) mendorong bagaimana transaksi pengetahuan itu terjadi sehingga melahirkan musik-musik death metal, hip hop, indie rock, indie pop, hingga musik elektronik. Sedangkan faktor yang tak kalah pentingnya lagi yaitu regenerasi musisi. Dampak dari minimnya ruang-ruang untuk band-band baru membuat regenerasi minim terjadi. Belum lagi minimnya juga ruang di media massa membuat persoalan distribusi informasi mengenai band baru di Bandung menjadi sulit tersebar dengan sangat luas. Beberapa tahun terakhir ini untunglah ada beberapa komunitas yang rutin menggelar acara untuk tujuan memberikan ruang pada band-band relatif baru ini seperti Lazyfest dan An Intimacy. Meski tantangan terberatnya yaitu komitmen agar acara tersebut berkelanjutan.
Daya dukung sosial ini tak hanya membutuhkan komitmen yang kuat, akan tetapi juga perlunya ruang agar terbentuk interaksi antarkomunitas. Harapannya tercipta inovasi baru dan hadirnya peluang-peluang untuk band-band baru sehingga regenerasi pun cepat terjadi. Sehingga daya dukung sosial ini perlu didorong melalui terciptanya interaksi-interaksi antar komunitas itu sendiri. Hal ini saya pikir bisa terjadi melalui kehadiran ruang-ruang publik baik itu melalui forum komunitas ataupun diciptakan informal.
Pengamatan empiris saya terhadap kota yang saya tinggali hari demi hari menyisakan persoalan yang tak kalah peliknya. Perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu tentu menjadi bagian dari dinamika kota saat ini. Kontestasi-kontestasi yang terus terjadi kian membentuk wajah Kota Bandung. Musik, sebagai salah satu pilar kreatif kota ini, seharusnya menjadi bagian yang membentuk wajah Bandung itu sendiri.
References:
[1] http://jabar.tribunnews.com/2015/09/14/bandung-sebagai-kota-musik-segera-dideklarsikan
[2] http://daerah.sindonews.com/read/809172/21/banyak-lahirkan-musisi-bandung-jadi-kota-musik-1385176994
[3] Luvaas, Brent. 2012. DIY Style: Fashion, Music, and Global Digital Culture. Berg Publishers: New York
[4] http://jabar.metrotvnews.com/read/2015/06/19/138477/musisi-sunda-minta-emil-jadikan-bandung-sebagai-kota-musik
“Musik dan Kota” ditulis oleh:
Idhar Resmadi
His writings are most often focused on music and culture. He is also active as a researcher, speaker, moderator, and lecturer in various music and cultural forums. His publications include Music Indie Label Records (2008), Like This: Kumpulan Tulisan Pilihan 2009-2010 Jakartabeat (2011), NU-Substance Festival (2013) and Based on a True Story Pure Saturday (2013). He has written for numerous media outlets in Indonesia.